Minggu, 06 April 2014

DINAMIKA BURUH PERKEBUNAN DI SUMATERA TIMUR TAHUN 1950-1957



BAB I
Pendahuluan


            Perkebunan merupakan   aspek terpenting dalam pemandangan ekonomi di Indonesia pada masa kolonial sampai sekarang. Usaha perkebunan yang semula diadakan di Jawa itu, menjelang akhir abad ke-19 mulai dikembangkan dan meluas di luar pulau Jawa, khususnya Sumatera. Perluasan usaha perkebunan itu nampaknya sejalan dengan proses ekspansi dan pasifikasi kekuasaan kolonial Belanda di wilayah nusantara dalam rangka menerapkan kebijakan politik Pax Neerlandica-nya yang sukses.

Dengan dibukanya perkebunan yang ada di Sumatera ini maka dibuka pula lapangan kerja baru yang ada di Sumatera. Wilayah Sumatera yang sangat luas dengan penduduk yang sedikit ini memicu para pengusaha perkebunan untuk mendapatkan tenaga kerja dari luar pulau Sumatera. Para pengusaha mendatangkan tenaga kerja dari luar Sumatera dengan bantuan agen-agen penyalur tenaga kerja (buruh), AVROS merupakan salah satu agen yang menyalurkan tenaga kerja dari luar Sumatera ke perkebunan-perkeunan yang ada di Sumatera.

Gerakan protes buruh perkebunan sering terjadi seiring dengan lajunya perkembangan pembangunan dan proses industrialisasi serta meningkatnya jumlah angkatan kerja, maka masalah perselisihan perburuhan yang timbul antara pekerja/ buruh dengan perusahaan/majikan merupakan suatu kejadian yang tidak  dapat dihindarkan lagi, mengingat berbagai tipe manusia yang bekerja diperusahaan/ perkebunan selalu akan berhadapan dengan kebijaksanaan pengusaha/ majikan. Disatu fihak kebijaksanaan tersebut dirasakan sebagai aktivitas yang sangat memuaskan tetapi di lain fihak dirasakan sebagai aktivitas yang kurang menyenangkan. Meski bagaimana baiknya suatu hubungan kerja yang telah diperjanjikan dan disepakati bersama oleh pekerja/buruh dengan perusahaan/majikan, tetapi masalah perselisihan antara ke duanya akan selalu ada dan bahkan sulit untuk dihindarkan.

Ciri penting kontrak tenaga kerja pendatang di Sumatera ialah bahwa kontrak yang mereka tanda tangani sewaktu berangkat dari tanah asalnya tidak dapat dibatalkan. Penguasa kolonial memberikan ketentuan-ketentuan hukum yang dapat memaksa kuli melaksanakan kewajibannya. Ordonansi kuli dan sanksi hukuman menjadi dasar aturan kerja yang dilakukan diperkebunan-perkebunan di Luar Jawa.

Dipertahankannya asas paksaan sebagai dasar pengerahan tenaga kerja dalam industri perkebunan di Sumatera ini menunjukkan bahwa tidak ada perubahan yang hakiki di dalam hubungan antara tuan kebun dan kuli. Sekitar seratus ribu kuli yang berkerja di daerah sekitar Medan ternyata tak mempunyai hak untuk melepaskan diri dari kontrak kerja yang dibuatnya dengan perkebunan sebelum berangkat ke Deli. Kalaupun mereka berani menghentikan pekerjaan maka hukuman yang bisa dikenakan menurut peraturan penale sanctie (sanksi hukuman) sangat berat.

AVROS merupakan Perhimpunan Pengusaha Perkebunan Karet di Pantai Timur Sumatra yang didirikan oleh pengusaha perkebunan karet di Sumatera Timur pada awal abad ke-20 (tepatnya 1909). Organisasi ini didirikan karena pemodal perkebunan karet di Sumatera, seperti Horisson and Crosfield (masuk 1904) dan Goodyear Rubber Company (masuk 1909) memerlukan tenaga kerja dalam jumlah yang besar. Pencarian dilakukan melalui agen-agen ke Jawa sebab tenaga kerja dari pulau Jawa dinilai tekun.

Dalam ketimpangan hubungan antara pengusaha dan rakyat setempat, AVROS juga berperan menjadi penghubung para pengusaha dengan pemerintah kolonial, tenaga kerja, maupun dengan institusi tradisional setempat. Kegiatan pokok yang dilakukan oleh AVROS adalah menyediakan tenaga kerja perkebunan, membuat peraturan perekrutan serta mengadakan pengawasan dengan kuli-kuli kontrak seandainya melarikan diri perkebunan yang satu dengan perkebunan yang lainnya. Dengan adanya organisasi penghubung seperti AVROS pengusaha sangat terbantu mengingat tajamnya harga karet. Para pengusaha perkebunan mampu mengendalikan biaya produksi yang mencakup upah kuli kontrak.

Perselisihan perburuhan terhadap pekerja dan perusahaan/majikan memang sulit untuk dihindari. Walaupun ke dua belah pihak telah membuat suatu peraturan tertulis baik yang dibuat oleh Serikat Pekerja/buruh.

Penyelesaian Perselisihan Perburuhan pada dasarnya diatur dalam undang-undang No.22 tahun 1957 serta peraturan pemerintah lainnya (Peraturan Menteri dan Keputusan Menteri Tenaga Kerja). Namun pada dasarnya undang-undang dan peraturan tersebut tidak dapat dilaksanakan secara maksimal.

Dewasa ini tidak sedikit buruh, baik secara langsung maupun tidak langsung mengadukan masalahnya kepada lembaga-lembaga yang sebenarnya berdasarkan peraturan perundang-undangan yang tidak berwanang dengan penanganan perselisihan perburuhan. Akan tetapi seharusnya para buruh mengadukannya kepada Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan, karena lembaga inilah yang akan menengahi permasalahan perselisihan antara buruh dan perusahaan.




















BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Perkebunan Sumatera
            Sumatera Timur sampai pertengahan abad ke-19 didiami oleh kelompok etnis Melayu, Batak Karo, dan Batak Simalungun. Mereka inilah yang dikenal sebagai penduduk asli Sumatera Timur. Etnis Melayu Pesisir Sumatera Timur mendiami daerah Pantai Sumatera Timur yang membentang dari perbatasan Aceh (Tamiang) sampai ke Kerajaan Siak. Yang dimaksud dengan etnis Melayu adalah golongan bangsa yang menyatukan dirinya dalam pembauran ikatan perkawinan antar-etnis serta memakai adat Resam dan Melayu secara sadar dan terus-menerus. Etnis Melayu mayoritas beragama Islam, sehingga dikenal istilah “masuk Melayu sama dengan masuk Islam”.

Sampai pada pertengahan abad ke 19, di Sumatra Timur terdapat se-jumlah kerajaan kecil di daerah pesisir dan terdapat lebih banyak di daerah pedalaman. Wilayah kerajaan-kerajaan ini menjadi rebutan dan pengaruh antara Aceh di Utara dan Johor di Malaya.

Memasuki abad ke-20, pemerintah Belanda mulai menaklukkan wilayah Simalungun dan Tanah Karo, Batak Toba dan Dairi. Antara tahun 1870-1942 wilayah dan penduduk dari 41 kerajaan di Sumatera Timur telah digabungkan ke dalam jaringan birokrasi pemerintah Kolonial Hindia Belanda. Semua kontrak politik yang ditandatangani antara kedua belah pihak, akhirnya telah mereduksi jumlah kerajaan itu menjadi 34 kerajaan. Kerajaan-kerajaan itu telah diberi batas-batas wilayah tertentu dan secara bersama-sama digabungkan sebagai Residensi Sumatera Timur. Pada tahun 1915, Residensi Sumatera Timur dinaikkan statusnya menjadi Propinsi Sumatera Timur yang membawahi lima afdeling, yaitu Deli en Serdang, ibukotanya Medan, Langkat ibukotanya Binjai, Simalungun ibukotanya Siantar, Asahan ibukotanya Tanjung Balai, dan Bengkalis ibukotanya Bengkalis.

Dengan adanya penataan wilayah kerajaan Sumatera Timur, maka Belanda secara otomatis telah memasukkan daerah Sumatera Timur ke dalam struktur birokrasi kolonial yang berpusat di Batavia. Hal ini artinya Belanda telah berhasil menyatukan wilayah kerajaan yang belum pernah memiliki kesatuan politik dan administratif. Belanda pun secara tidak langsung telah memberi indentitas baru kepada daerah pesisir Sumatera Timur dan menghubungkan daerah itu dengan Jawa.

Perkebunan merupakan   aspek terpenting dalam pemandangan ekonomi di Indonesia pada masa kolonial sampai sekarang. Usaha perkebunan yang semula diadakan di Jawa itu, menjelang akhir abad ke-19 mulai dikembangkan dan meluas di luar pulau Jawa, khususnya Sumatera. Perluasan usaha perkebunan itu nampaknya sejalan dengan proses ekspansi dan pasifikasi kekuasaan kolonial Belanda di wilayah nusantara dalam rangka menerapkan kebijakan politik Pax Neerlandica-nya yang sukses.

Orang pertama yang pantas disebut dalam pembicaraan tentang sejarah perkebunan di Sumatera Timur adalah J. Nienhuys. Ia datang ke Deli tahun 1863 untuk menetap sebagai pengusaha dan menjadi peletak dasar budidaya tembakau yang mengantarkan Sumatera Timur terkenal ke seluruh dunia. Sejak datangnya Nienhuys sampai 1890 adalah masa berkembangnya perkebunan tembakau di Sumatera Timur. Pada tahun 1872, lima belas perkebunan tembakau telah berdiri di Sumatera Timur; 13 di Deli, 1 di Langkat dan 1 di Serdang. Investasi modal Eropa berkembang pesat. Dalam satu tahun antara 1869-1870 produksi tembakau telah meningkat dua kali lipat dari 1381 sampai 2868 bal. Dalam sepuluh tahun antara tahun 1873-1883 hasil tembakau meningkat 10 kali lipat dari 9238 menjadi 93.532 bal. Penghasilan perkebunan juga meningkat dari f. 2.500.000 menjadi f. 19.150.000 . Sampai tahun 1884 ada sejumlah 76 perkebunan, 44 di Deli, 20 di Langkat, 9 di Serdang, 2 di Bedagai dan 1 di Padang. Hanya dalam waktu 25 tahun setelah Nienhuys, daerah rawa Sumatera setelah Nienhuys, daerah rawa Sumatera Timur telah berubah menjadi kawasan perkebunan besar.

Era perkebunan tembakau kemudian digantikan dengan tanaman keras seperti karet, sawit, dan teh. Perkebunan karet pertama didirikan di Serdang tahun 1902. Usaha perkebunan di Sumatera Timur dirintis pertama kali oleh Jacobus Nienhuys, seorang pengusaha Belanda, yang berkesimpulan bahwa tanah di daerah itu sangat cocok untuk usaha perkebunan, selain itu juga tanaman tersebut memiliki prospek yang sangat menguntungkan dalam pasaran dunia. Pada tahun 1863, Nienhuys memperoleh tanah seluas 4.000 bau (bouw) dari Sultan Mahmud, penguasa Deli, untuk membuka usaha perkebunan tembakau. Usaha Nienhuys itu ternyata berhasil, karena lahan di daerah tersebut mampu menghasilkan daun tembakau pembungkus cerutu yang halus dan mahal harganya di pasaran dunia. 

Melihat usaha yang menguntungkan dari Nienhuys itu, maka kemudian banyak pengusaha perkebunan Eropa lainnya, seperti Inggris, Perancis, Amerika Serikat, dan Swiss, yang tertarik untuk menanamkan investasi dan mengambil keuntungan dalam bidang perkebunan di daerah Sumatera Timur. Pemerintah kolonial Belanda sendiri, tentu saja, mendorong dan membuka pintu lebar-lebar bagi masuknya investasi dan modal asing swasta itu sesuai dengan politik liberalnya. Ditambah lagi oleh suatu kenyataan bahwa ketergantungan pemerintah kolonial pada pajak tanah dan pajak perorangan, semakin lama semakin berkurang. Sehingga sekarang lebih mengandalkan pada pajak keuntungan dari sektor usaha perkebunan.

Keberhasilan usaha perkebunan di Sumatera Timur, sebenarnya tidak bisa dilepaskan juga dari keberhasilan perusahaan-perusahaan Belanda dalam melakukan negosiasi dan mempengaruhi para penguasa lokal di daerah itu  seperti Sultan Deli, Serdang, dan Langkat agar mau mengadakan perjanjian dan menandatangani kontrak jangka panjang untuk menyediakan lahan perkebunan yang luas. Seperti telah disebutkan bahwa Nienhuys mula-mula berhasil memperoleh tanah seluas 4.000 bau itu dengan masa sewa selama 20 tahun dan biaya sewa yang sangat murah. Usaha itu kemudian diikuti oleh para pengusaha perkebunan Eropa lainnya, sehingga wilayah di Sumatera Timur itu telah menjadi “lautan perkebunan” yang luas.

Dengan beralihnya perkebunan tembakau ke perkebunan karet, maka tenaga kerja beralih dari kuli kontrak Cina ke kuli kontrak Jawa. Hal ini menunjukkan bahwa kuli kontrak Jawa sangat menguntungkan berdasarkan kondisi objektif (orang Jawa juga terkenal memiliki tenaga yang kuat, gigih dalam bekerja, tidak mudah protes  dan mudah di intervensi) maupun geografis (orang Jawa telah terbiasa menanam tanaman keras, sejak masa cultuurstesel, hal ini sangat menguntungkan karena orang Jawa sudah mamahami tentang tanaman keras). Walaupun indusri karet mempekerjakan kuli-kuli kontrak Jawa namun  penguasaan kuli-kuli kontrak Jawa oleh pengusaha perkebunan karet pada tahun 1914  telah mului dihapuskan. Padahal koeli ordonantie (1915) menyatakan pelaksanaan Poenale Sanctie dapat dihapuskan dengan kemauan atau pemakluman Gubernur Jenderal.

2.2 Masalahan Perburuhan
Perkembangan perusahaan-perusahaan asing di Sumatera Timur sangat memerlukan tenaga kerja manusia. Pembukaan hutan dan penebangan pohon-pohon besar, pembuatan saluran air, pengelolaan tanah penanaman tembakau dan sebagainya sangat memerlukan tenaga manusia. Sulitnya mencari tenaga kerja sudah diketahui sejak semula. Para pengusaha perkebunan mengetahui penduduk asli tidak bersedia bekerja di perkebunan dengan syarat-syarat yang telah ditetapkan. Penduduk setempat Sumatera Timur tidak diambil sebagai pekerja di perkebunan, baik karena jumlah mereka yang tidak cukup besar maupun karena psikologis mereka itu tidak senang bekerja diperkebunan. Akhirnya mereka tergantung pada buruh yang didatangkan dari luar, berawal dari buruh Cina lalu buruh Jawa.

 Keberhasilan mereka mengeksploitasi lahan adalah apabila tersedianya tenaga manusia. Sumatera yang mempunyai lahan yang luas sedangkan penduduknya sedikit menjadi masalah tersendiri. Rakyat Sumatera pada  umumnya memiliki tanah yang luas. Dalam masalah ekonomi mereka bukanlah termasuk ekonomi lemah. Mereka lebih suka bekerja di lahannya sendiri.

Pertumbuhan perusahaan-perusahaan perkebunan di Sumatera Timur berjalan dengan sangat pesat. Perkembangan dan perluasan daerah-daerah perkebunan, diikuti pula oleh kebutuhan tenaga buruh yang semakin meningkat. Hal ini menyebabkan terjadinya persaingan dalam usaha mendapatkan tenaga buruh. Pada awalnya para perantara ini mengambil tenaga buruh yang rajin dan terampil, tetapi setelah permintaan jumlah tenaga buruh makin meningkat, mereka tidak lagi memilih buruh yang akan dibawa. Untuk itu dibangunlah AVROS sebagai perekrut tenaga kerja.

Dengan demiklan, pada hakekatnya AVROS sangat memegang peranan panting dalam membantu meringankan beban anggotanya untuk mengatasi kakurangan tenaga kerja dan lahan yang diperlukan untuk kemajuan perkebunan. Sesungguhnya organisasi perkebunan didirikan tidak terlepas dari kebijaksanaan sistem liberal pemerintah kolonial Belanda terhadap sumber daya manusia yang harus diatur.

Peranan AVROS sebagai organisasi penyalur tenaga kerja di perkebunan dalam menunjang hubungan tenaga kerja, pengusaha dan pemerintah di Sumatera Timur. AVROS sebagai organisasi penyalur tenaga kerja di perkebunan diharapkan mampu menjelaskan hubungan perkebunan dengan tenaga kerja tembakau dalam mengatasi kekurangan tenaga kerja, hubungan perkebunan dengan pengusaha untuk memberi lahan dan bibit yang dibutuhkan serta hubungan perkebunan dengan pemerintah (pengusaha) untuk membantu usaha-usaha mendapatkan konsesi tanah perkebunan.

Berbagai peristiwa yang menyedihkan terjadi dalam masyarakat perkebunan setelah jumlah tenaga buruh semakin ramai. Sejak permulaan Nienhuys membuka usaha perkebunannya, ia sudah melakukan tindakan-tindakan sesuka hati. Perkara yang paling penting bagi Tuan Kebun ialah keinginan untuk memperoleh hasil yang tinggi. Mereka tidak mengenal arti sabar.

Selain itu timbul pula masalah buruh dari semenanjung yang sudah diberi uang panjar, tetapi tidak sampai di perkebunan tempat bekerja. Ada yang sudah sampai tetapi malas bekerja dan sering pula terjadi perkelahian antara sesama buruh, lari dan sebagainya. Perkara-perkara yang timbul akibat lari, kurang kuat bekerja, perkelahian dan sebagainya itu membuat mereka harus diadili. Dalam hal ini Tuan-Tuan Kebun sangat berat hati mengirim mereka untuk diadili di Mahkamah Sultan. Dasar pemikiran mereka ialah, semua buruh harus ada di perkebunan dan bekerja untuk meningkatkan produksi setinggi mungkin. Apapun yang terjadi di luar perkebunan asal tidak mengganggu kelancaran produksi, mereka tidak peduli.
Sultan memberi kelonggaran bagi Tuan-Tuan Kebun untuk mengadakan semacam pengadilan dan hakim sendiri. Diputuskan bahwa semua orang yang bekerja di perkebunan, asal etnik apapun yang bukan warga asli Raja-raja setempat, berdasarkan kelahiran mereka di Sumatera Timur, dikeluarkan dari yurisdiksi atau pengadilan penguasa lokal dan ditempatkan di bawah yurisdiksi dan administrasi langsung pemerintahan Hindia Belanda.

 Praktek negara dalam negara itu berjalan sejak Nienhuys dan Tuan-Tuan Kebun menganggap “fasilitas” itu sudah cukup serasi. Bila ada buruh yang malas bekerja Tuan Kebun bisa memberikan hukuman penjara. Oleh karena hukuman penjara itu memboroskan waktu dan tenaga buruh menjadi mubazir, maka kebiasaan bagi Tuan Kebun main tendang dan pukul saja dan selepas itu mereka disuruh bekerja kembali.

Pihak perkebunan merasa puas dengan adanya kebebasan mengadili sendiri semua peristiwa ringan maupun berat yang terjadi dalam “wilayah” perkebunan. Akan tetapi status orang-orang Belanda yang berada di perkebunan adalah warga pemerintahan Hindia Belanda maka mereka harus mempunyai hukum yang sah menurut undang-undang.

2.3 Hubungan Buruh Majikan
Majikan dan buruh adalah dua pihak yang saling membutuhkan dan saling tergantung satu dengan yang lain. Majikan membutuhkan buruh untuk mengerjakan produksi dan menghasilkan barang/produk untuk kepentingan usaha/pabriknya. Sementara buruh membutuhkan majikannya untuk mendapatkan upah atas tenaga yang diberikannya kepada kepentingan produksi barang sang majikan. Jadi kedua pihak tersebut, baik buruh maupun majikan sebenarnya saling membutuhkan.

Namun, yang lebih sering terjadi pada hubungan antar kedua belah pihak tersebut adalah sang buruh seringkali berada pada posisi yang lebih lemah daripada sang majikan. Buruh dianggap bukanlah mitra yang sejajar bagi majikan. Buruh hanyalah sebuah obyek bagi majikan untuk melaksanakan kepentingan mereka. Buruh sering diperas majikan dengan upah yang relatif kecil. Secara sosiologis buruh itu tidak bebas sebagai orang yang tidak mempunyai bekal hidup yang lain kecuali tenaganya dan kadang-kadang terpaksa untuk menerima hubungan kerja dengan majikan meskipun memberatkan bagi buruh itu sendiri.

Terbukanya perkebunan-perkebunan besar tidak lepas dari peranan para buruh. Keberhasilan perusahaan perkebunan-perkebunan besar di Sumatera Timur ini dapat berjalan lancar apabila tidak tersedia tenaga kerja manusia. Sumatera memiliki tanah yang sangat luas sedangkan penduduknya sedikit, hal ini menjadi masalah tersendiri bagi perkebunan-perkebunan yang ada. Perkebunan memerlukan banyak tenaga kerja untuk menglakukan eksploitasi hutan-hutan yang lebat di Sumatera yang akan dijadikan perkebunan-perkebunan.

Dengan berjalannya politik pintu terbuka, maka kekuasaan-kekuasaan modal semakin banyak, pemodal-pemodal baik asing maupun lokal berlomba-lomba untuk menanamkan modal dan mempercepat perputaran modalnya secara cepat dan melakukan penghisapan (eksploitasi) terhadap kelas buruh secara brutal. Kelas buruh dipaksa untuk menyetujui perjanjian kontrak kerja atas dasar aturan main perusahaan/perkebunan.

Kerja kontrak nampaknya menjadi strategi pengusaha untuk lepas tangan dari berbagai kesulitan. Paling tidak dengan cara ini suatu perusahaan/perkebunan dapat menentukan berbagai peraturan secara sepihak. Pengusaha bisa menjadi sosok penguasa dengan hak-hak feodal. Kerja kontrak seperti ini lekat dengan bentuk hubungan ke masyarakat budak maupun feodal.

Dalam hubungan produksi sosial kerja kontrak, kaum buruh meghadapi disiplin dan jam kerja yang ketat dan pembagian kerja yang rumit. Konkritnya mereka harus bekerja lebih dari jam yang telah ditentukan, mendengarkan kata-kata kasar dari mandor dan tuan kebun, memperbaharui kontrak kerja mereka setiap tahunnya.

Rekrutmen yang dilakukan oleh organisasi yang bertugas untuk menyalurkan tenaga kerja kurang baik karena kebanyakan buruh tidak bisa melakukan baca tulis (buta huruf), akan tetapi mereka harus dihadapkan dengan kontrak kerja, yang mengharuskan mereka untuk membacanya, akan tetapi sudah jelas mereka tidak bisa membaca kontrak kerja tersebut. 

Sebagai akibat dari sistem rekrutmen buruh yang tidak sehat itu, maka jumlah buruh yang bekerja di Sumatera Timur terus berkembang dari waktu ke waktu. Kalaupun ada buruh dari Jawa yang ingin bekerja secara sukarela di perkebunan, jumlahnya tidak banyak dan hal itu terutama berkaitan erat dengan usaha untuk meningkatkan taraf kehidupan ekonominya.






BAB III
KESIMPULAN

Gerakan protes buruh perkebunan sering terjadi seiring dengan lajunya perkembangan pembangunan dan proses industrialisasi serta meningkatnya jumlah angkatan kerja, maka masalah perselisihan perburuhan yang timbul antara pekerja/ buruh dengan perusahaan/majikan merupakan suatu kejadian yang tidak  dapat dihindarkan lagi, mengingat berbagai tipe manusia yang bekerja diperusahaan/ perkebunan selalu akan berhadapan dengan kebijaksanaan pengusaha/ majikan. Disatu fihak kebijaksanaan tersebut dirasakan sebagai aktivitas yang sangat memuaskan tetapi di lain fihak dirasakan sebagai aktivitas yang kurang menyenangkan. Meski bagaimana baiknya suatu hubungan kerja yang telah diperjanjikan dan disepakati bersama oleh pekerja/buruh dengan perusahaan/majikan, tetapi masalah perselisihan antara ke duanya akan selalu ada dan bahkan sulit untuk dihindarkan.

Berbagai bentuk protes dilakukan oleh buruh diperkebunan antara lain: melakukan pencurian terhadap perkebunan agar perkebunan mengalami kerugian, mogok kerja,  melakukan kekerasan atau bahkan pengeroyokan terhadap Asisten Perkebunan dan tidak sedikit pula buruh yang melakukan pembunuhan terhadap Asisten kebun, tidak mau bekerja, tidak memenuhi target yang telah ditentukan oleh perkebunan, dan lain sebagainya. Hal ini disebabkan karena adanya rasa tidak puas yang dirasakan oleh pihak buruh terhadap kebijaksanaan dari perkebunan. buruh seringkali berada pada posisi yang lebih lemah daripada sang majikan. Buruh dianggap bukanlah mitra yang sejajar bagi majikan. Buruh hanyalah sebuah obyek bagi majikan untuk melaksanakan kepentingan mereka. Buruh sering diperas majikan dengan upah yang relatif kecil. Secara sosiologis buruh itu tidak bebas sebagai orang yang tidak mempunyai bekal hidup yang lain kecuali tenaganya dan kadang-kadang terpaksa untuk menerima hubungan kerja dengan majikan meskipun memberatkan bagi buruh itu sendiri.

Seiring dengan berjalannya waktu, pihak buruh mulai memikirkan tentang kesejahteraan mereka terima dari pihak perkebunan yang telah mereka ikuti selama bertahun-tahun. Pihak buruh mengeluhkan tentang fasilitas-fasilitas yang selama ini mereka terima dari perkebunan. Fasilitas yang mereka terima saat ini dirasa masih sangat jauh dari kata layak.  Fasilitas yang maereka keluhkan antara lain: pengadaan peruhan bagi tiap kepala keluarga, kendaraan ataupun uang untuk naik kendaraan umum bagi para buruh yang rumahnya jauh dari perkebunan, fasilitas kesehatan seperti berobat kedokter jika mereka ataupun keluarga mereka sakit, fasilitas pendidikan, tambahan tenaga pendidik (guru) bagi anak-anak buruh, tempat pengasuhan bagi anak-anak buruh jika mereka ditinggal oleh orang tuanya untuk bekerja diperkebunan, dan fasilitas fasilitas pendukung lainnya yang belum mereka terima.

Penyelesaian perselisihan pada dasarnya diatur dalam undang-undang No.22 tahun 1957 serta peraturan pemerintah lainnya (Peraturan Menteri dan Keputusan Menteri Tenaga Kerja). Penyelesaian Perselisihan Perburuhan pada tahap awal mensyaratkan perselisihan diselesaikan secara musyawarah untuk mencapai mufakat yang dilaksanakan oleh para pihak yang berselisih. Apabila tidak dicapai perdamaian antara pihak yang berselisih setelah dicari upaya penyelesaian oleh para pihak, maka baru diusahakan penyelesaiannya oleh Badan Penyelesaian Perselisihan Perburuhan. Badan ini juga dalam mencari penyelesaian harus tetap berpedoman pada asas musyawarah untuk mencapai mufakat serta harus pula memberi kesempatan kepada para pihak yang berselisih sebelum mengambil keputusan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar