BAB I
Pendahuluan
Perkebunan merupakan aspek terpenting dalam pemandangan ekonomi di
Indonesia pada masa kolonial sampai sekarang. Usaha perkebunan yang semula
diadakan di Jawa itu, menjelang akhir abad ke-19 mulai dikembangkan dan meluas
di luar pulau Jawa, khususnya Sumatera. Perluasan usaha perkebunan itu
nampaknya sejalan dengan proses ekspansi dan pasifikasi kekuasaan kolonial
Belanda di wilayah nusantara dalam rangka menerapkan kebijakan politik Pax
Neerlandica-nya yang sukses.
Dengan dibukanya perkebunan yang ada
di Sumatera ini maka dibuka pula lapangan kerja baru yang ada di Sumatera.
Wilayah Sumatera yang sangat luas dengan penduduk yang sedikit ini memicu para
pengusaha perkebunan untuk mendapatkan tenaga kerja dari luar pulau Sumatera.
Para pengusaha mendatangkan tenaga kerja dari luar Sumatera dengan bantuan
agen-agen penyalur tenaga kerja (buruh), AVROS merupakan salah satu agen yang
menyalurkan tenaga kerja dari luar Sumatera ke perkebunan-perkeunan yang ada di
Sumatera.
Gerakan protes buruh perkebunan sering terjadi seiring
dengan lajunya perkembangan pembangunan dan proses industrialisasi serta
meningkatnya jumlah angkatan kerja, maka masalah perselisihan perburuhan yang
timbul antara pekerja/ buruh dengan perusahaan/majikan merupakan suatu kejadian
yang tidak dapat dihindarkan lagi, mengingat berbagai tipe manusia yang
bekerja diperusahaan/ perkebunan selalu akan berhadapan dengan kebijaksanaan
pengusaha/ majikan. Disatu fihak kebijaksanaan tersebut dirasakan sebagai
aktivitas yang sangat memuaskan tetapi di lain fihak dirasakan sebagai
aktivitas yang kurang menyenangkan. Meski bagaimana baiknya suatu hubungan
kerja yang telah diperjanjikan dan disepakati bersama oleh pekerja/buruh dengan
perusahaan/majikan, tetapi masalah perselisihan antara ke duanya akan selalu
ada dan bahkan sulit untuk dihindarkan.
Ciri penting kontrak tenaga kerja pendatang di Sumatera
ialah bahwa kontrak yang mereka tanda tangani sewaktu berangkat dari tanah
asalnya tidak dapat dibatalkan. Penguasa kolonial memberikan
ketentuan-ketentuan hukum yang dapat memaksa kuli melaksanakan kewajibannya.
Ordonansi kuli dan sanksi hukuman menjadi dasar aturan kerja yang dilakukan
diperkebunan-perkebunan di Luar Jawa.
Dipertahankannya asas paksaan sebagai dasar pengerahan
tenaga kerja dalam industri perkebunan di Sumatera ini menunjukkan bahwa tidak
ada perubahan yang hakiki di dalam hubungan antara tuan kebun dan kuli. Sekitar
seratus ribu kuli yang berkerja di daerah sekitar Medan ternyata tak mempunyai
hak untuk melepaskan diri dari kontrak kerja yang dibuatnya dengan perkebunan
sebelum berangkat ke Deli. Kalaupun mereka berani menghentikan pekerjaan maka
hukuman yang bisa dikenakan menurut peraturan penale sanctie (sanksi
hukuman) sangat berat.
AVROS merupakan Perhimpunan Pengusaha Perkebunan Karet di
Pantai Timur Sumatra yang didirikan oleh pengusaha perkebunan karet di Sumatera
Timur pada awal abad ke-20 (tepatnya 1909). Organisasi ini didirikan karena
pemodal perkebunan karet di Sumatera, seperti Horisson and Crosfield (masuk
1904) dan Goodyear Rubber Company (masuk 1909) memerlukan tenaga kerja dalam
jumlah yang besar. Pencarian dilakukan melalui agen-agen ke Jawa sebab tenaga
kerja dari pulau Jawa dinilai tekun.
Dalam ketimpangan hubungan antara pengusaha dan rakyat
setempat, AVROS juga berperan menjadi penghubung para pengusaha dengan
pemerintah kolonial, tenaga kerja, maupun dengan institusi tradisional
setempat. Kegiatan pokok yang dilakukan oleh AVROS adalah menyediakan tenaga
kerja perkebunan, membuat peraturan perekrutan serta mengadakan pengawasan
dengan kuli-kuli kontrak seandainya melarikan diri perkebunan yang satu dengan
perkebunan yang lainnya. Dengan adanya organisasi penghubung seperti AVROS
pengusaha sangat terbantu mengingat tajamnya harga karet. Para pengusaha
perkebunan mampu mengendalikan biaya produksi yang mencakup upah kuli kontrak.
Perselisihan perburuhan terhadap pekerja dan
perusahaan/majikan memang sulit untuk dihindari. Walaupun ke dua belah pihak
telah membuat suatu peraturan tertulis baik yang dibuat oleh Serikat
Pekerja/buruh.
Penyelesaian Perselisihan Perburuhan pada dasarnya diatur
dalam undang-undang No.22 tahun 1957 serta peraturan pemerintah lainnya
(Peraturan Menteri dan Keputusan Menteri Tenaga Kerja). Namun pada dasarnya
undang-undang dan peraturan tersebut tidak dapat dilaksanakan secara maksimal.
Dewasa ini tidak sedikit buruh, baik secara langsung maupun
tidak langsung mengadukan masalahnya kepada lembaga-lembaga yang sebenarnya
berdasarkan peraturan perundang-undangan yang tidak berwanang dengan penanganan
perselisihan perburuhan. Akan tetapi seharusnya para buruh mengadukannya kepada
Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan, karena lembaga inilah yang akan
menengahi permasalahan perselisihan antara buruh dan perusahaan.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Perkebunan Sumatera
Sumatera
Timur sampai pertengahan abad ke-19 didiami oleh kelompok etnis Melayu, Batak
Karo, dan Batak Simalungun. Mereka inilah yang dikenal sebagai penduduk asli
Sumatera Timur. Etnis Melayu Pesisir Sumatera Timur mendiami daerah Pantai
Sumatera Timur yang membentang dari perbatasan Aceh (Tamiang) sampai ke
Kerajaan Siak. Yang dimaksud dengan etnis Melayu adalah golongan bangsa yang
menyatukan dirinya dalam pembauran ikatan perkawinan antar-etnis serta memakai
adat Resam dan Melayu secara sadar dan terus-menerus. Etnis Melayu mayoritas
beragama Islam, sehingga dikenal istilah “masuk Melayu sama dengan masuk
Islam”.
Sampai pada pertengahan abad ke 19,
di Sumatra Timur terdapat se-jumlah kerajaan kecil di daerah pesisir dan
terdapat lebih banyak di daerah pedalaman. Wilayah kerajaan-kerajaan ini
menjadi rebutan dan pengaruh antara Aceh di Utara dan Johor di Malaya.
Memasuki abad ke-20, pemerintah
Belanda mulai menaklukkan wilayah Simalungun dan Tanah Karo, Batak Toba dan
Dairi. Antara tahun 1870-1942 wilayah dan penduduk dari 41 kerajaan di Sumatera
Timur telah digabungkan ke dalam jaringan birokrasi pemerintah Kolonial Hindia
Belanda. Semua kontrak politik yang ditandatangani antara kedua belah pihak,
akhirnya telah mereduksi jumlah kerajaan itu menjadi 34 kerajaan.
Kerajaan-kerajaan itu telah diberi batas-batas wilayah tertentu dan secara
bersama-sama digabungkan sebagai Residensi Sumatera Timur. Pada tahun 1915,
Residensi Sumatera Timur dinaikkan statusnya menjadi Propinsi Sumatera Timur
yang membawahi lima afdeling, yaitu Deli en Serdang, ibukotanya
Medan, Langkat ibukotanya Binjai, Simalungun ibukotanya Siantar, Asahan
ibukotanya Tanjung Balai, dan Bengkalis ibukotanya Bengkalis.
Dengan adanya penataan wilayah
kerajaan Sumatera Timur, maka Belanda secara otomatis telah memasukkan daerah
Sumatera Timur ke dalam struktur birokrasi kolonial yang berpusat di Batavia.
Hal ini artinya Belanda telah berhasil menyatukan wilayah kerajaan yang belum
pernah memiliki kesatuan politik dan administratif. Belanda pun secara tidak
langsung telah memberi indentitas baru kepada daerah pesisir Sumatera Timur dan
menghubungkan daerah itu dengan Jawa.
Perkebunan merupakan
aspek terpenting dalam pemandangan ekonomi di Indonesia pada masa kolonial
sampai sekarang. Usaha perkebunan yang semula diadakan di Jawa itu, menjelang
akhir abad ke-19 mulai dikembangkan dan meluas di luar pulau Jawa, khususnya
Sumatera. Perluasan usaha perkebunan itu nampaknya sejalan dengan proses
ekspansi dan pasifikasi kekuasaan kolonial Belanda di wilayah nusantara dalam
rangka menerapkan kebijakan politik Pax Neerlandica-nya yang sukses.
Orang pertama yang pantas disebut
dalam pembicaraan tentang sejarah perkebunan di Sumatera Timur adalah J.
Nienhuys. Ia datang ke Deli tahun 1863 untuk menetap sebagai pengusaha dan
menjadi peletak dasar budidaya tembakau yang mengantarkan Sumatera Timur
terkenal ke seluruh dunia. Sejak datangnya Nienhuys sampai 1890 adalah masa
berkembangnya perkebunan tembakau di Sumatera Timur. Pada tahun 1872, lima
belas perkebunan tembakau telah berdiri di Sumatera Timur; 13 di Deli, 1 di
Langkat dan 1 di Serdang. Investasi modal Eropa berkembang pesat. Dalam satu
tahun antara 1869-1870 produksi tembakau telah meningkat dua kali lipat dari
1381 sampai 2868 bal. Dalam sepuluh tahun antara tahun 1873-1883 hasil tembakau
meningkat 10 kali lipat dari 9238 menjadi 93.532 bal. Penghasilan perkebunan
juga meningkat dari f. 2.500.000 menjadi f. 19.150.000 . Sampai tahun 1884 ada
sejumlah 76 perkebunan, 44 di Deli, 20 di Langkat, 9 di Serdang, 2 di Bedagai
dan 1 di Padang. Hanya dalam waktu 25 tahun setelah Nienhuys, daerah rawa
Sumatera setelah Nienhuys, daerah rawa Sumatera Timur telah berubah menjadi
kawasan perkebunan besar.
Era perkebunan tembakau kemudian
digantikan dengan tanaman keras seperti karet, sawit, dan teh. Perkebunan karet
pertama didirikan di Serdang tahun 1902. Usaha perkebunan di Sumatera Timur
dirintis pertama kali oleh Jacobus Nienhuys, seorang pengusaha Belanda, yang
berkesimpulan bahwa tanah di daerah itu sangat cocok untuk usaha perkebunan,
selain itu juga tanaman tersebut memiliki prospek yang sangat menguntungkan
dalam pasaran dunia. Pada tahun 1863, Nienhuys memperoleh tanah seluas 4.000 bau
(bouw) dari Sultan Mahmud, penguasa Deli, untuk membuka usaha
perkebunan tembakau. Usaha Nienhuys itu ternyata berhasil, karena lahan di
daerah tersebut mampu menghasilkan daun tembakau pembungkus cerutu yang halus
dan mahal harganya di pasaran dunia.
Melihat usaha yang menguntungkan
dari Nienhuys itu, maka kemudian banyak pengusaha perkebunan Eropa lainnya,
seperti Inggris, Perancis, Amerika Serikat, dan Swiss, yang tertarik untuk
menanamkan investasi dan mengambil keuntungan dalam bidang perkebunan di daerah
Sumatera Timur. Pemerintah kolonial Belanda sendiri, tentu saja, mendorong dan
membuka pintu lebar-lebar bagi masuknya investasi dan modal asing swasta itu
sesuai dengan politik liberalnya. Ditambah lagi oleh suatu kenyataan bahwa
ketergantungan pemerintah kolonial pada pajak tanah dan pajak perorangan,
semakin lama semakin berkurang. Sehingga sekarang lebih mengandalkan pada pajak
keuntungan dari sektor usaha perkebunan.
Keberhasilan usaha perkebunan di
Sumatera Timur, sebenarnya tidak bisa dilepaskan juga dari keberhasilan
perusahaan-perusahaan Belanda dalam melakukan negosiasi dan mempengaruhi para
penguasa lokal di daerah itu seperti Sultan Deli, Serdang, dan Langkat
agar mau mengadakan perjanjian dan menandatangani kontrak jangka panjang untuk
menyediakan lahan perkebunan yang luas. Seperti telah disebutkan bahwa Nienhuys
mula-mula berhasil memperoleh tanah seluas 4.000 bau itu dengan masa
sewa selama 20 tahun dan biaya sewa yang sangat murah. Usaha itu kemudian diikuti
oleh para pengusaha perkebunan Eropa lainnya, sehingga wilayah di Sumatera
Timur itu telah menjadi “lautan perkebunan” yang luas.
Dengan beralihnya perkebunan
tembakau ke perkebunan karet, maka tenaga kerja beralih dari kuli kontrak Cina
ke kuli kontrak Jawa. Hal ini menunjukkan bahwa kuli kontrak Jawa sangat
menguntungkan berdasarkan kondisi objektif (orang Jawa juga terkenal memiliki
tenaga yang kuat, gigih dalam bekerja, tidak mudah protes dan mudah di
intervensi) maupun geografis (orang Jawa telah terbiasa menanam tanaman keras,
sejak masa cultuurstesel, hal ini sangat menguntungkan karena orang Jawa
sudah mamahami tentang tanaman keras). Walaupun indusri karet mempekerjakan
kuli-kuli kontrak Jawa namun penguasaan kuli-kuli kontrak Jawa oleh pengusaha
perkebunan karet pada tahun 1914 telah mului dihapuskan. Padahal koeli
ordonantie (1915) menyatakan pelaksanaan Poenale Sanctie dapat
dihapuskan dengan kemauan atau pemakluman Gubernur Jenderal.
2.2 Masalahan Perburuhan
Perkembangan perusahaan-perusahaan asing di Sumatera Timur
sangat memerlukan tenaga kerja manusia. Pembukaan hutan dan penebangan
pohon-pohon besar, pembuatan saluran air, pengelolaan tanah penanaman tembakau
dan sebagainya sangat memerlukan tenaga manusia. Sulitnya mencari tenaga kerja
sudah diketahui sejak semula. Para pengusaha perkebunan mengetahui penduduk
asli tidak bersedia bekerja di perkebunan dengan syarat-syarat yang telah
ditetapkan. Penduduk setempat Sumatera Timur tidak diambil sebagai pekerja di
perkebunan, baik karena jumlah mereka yang tidak cukup besar maupun karena
psikologis mereka itu tidak senang bekerja diperkebunan. Akhirnya mereka
tergantung pada buruh yang didatangkan dari luar, berawal dari buruh Cina lalu
buruh Jawa.
Keberhasilan mereka mengeksploitasi lahan adalah
apabila tersedianya tenaga manusia. Sumatera yang mempunyai lahan yang luas
sedangkan penduduknya sedikit menjadi masalah tersendiri. Rakyat Sumatera
pada umumnya memiliki tanah yang luas. Dalam masalah ekonomi mereka bukanlah
termasuk ekonomi lemah. Mereka lebih suka bekerja di lahannya sendiri.
Pertumbuhan perusahaan-perusahaan
perkebunan di Sumatera Timur berjalan dengan sangat pesat. Perkembangan dan
perluasan daerah-daerah perkebunan, diikuti pula oleh kebutuhan tenaga buruh
yang semakin meningkat. Hal ini menyebabkan terjadinya persaingan dalam usaha
mendapatkan tenaga buruh. Pada awalnya para perantara ini mengambil tenaga
buruh yang rajin dan terampil, tetapi setelah permintaan jumlah tenaga buruh
makin meningkat, mereka tidak lagi memilih buruh yang akan dibawa. Untuk itu
dibangunlah AVROS sebagai perekrut tenaga kerja.
Dengan demiklan, pada hakekatnya
AVROS sangat memegang peranan panting dalam membantu meringankan beban
anggotanya untuk mengatasi kakurangan tenaga kerja dan lahan yang diperlukan
untuk kemajuan perkebunan. Sesungguhnya organisasi perkebunan didirikan tidak
terlepas dari kebijaksanaan sistem liberal pemerintah kolonial Belanda terhadap
sumber daya manusia yang harus diatur.
Peranan AVROS sebagai organisasi
penyalur tenaga kerja di perkebunan dalam menunjang hubungan tenaga kerja,
pengusaha dan pemerintah di Sumatera Timur. AVROS sebagai organisasi penyalur
tenaga kerja di perkebunan diharapkan mampu menjelaskan hubungan perkebunan
dengan tenaga kerja tembakau dalam mengatasi kekurangan tenaga kerja, hubungan
perkebunan dengan pengusaha untuk memberi lahan dan bibit yang dibutuhkan serta
hubungan perkebunan dengan pemerintah (pengusaha) untuk membantu usaha-usaha
mendapatkan konsesi tanah perkebunan.
Berbagai peristiwa yang menyedihkan
terjadi dalam masyarakat perkebunan setelah jumlah tenaga buruh semakin ramai.
Sejak permulaan Nienhuys membuka usaha perkebunannya, ia sudah melakukan
tindakan-tindakan sesuka hati. Perkara yang paling penting bagi Tuan Kebun
ialah keinginan untuk memperoleh hasil yang tinggi. Mereka tidak mengenal arti
sabar.
Selain itu timbul pula masalah buruh
dari semenanjung yang sudah diberi uang panjar, tetapi tidak sampai di
perkebunan tempat bekerja. Ada yang sudah sampai tetapi malas bekerja dan
sering pula terjadi perkelahian antara sesama buruh, lari dan sebagainya.
Perkara-perkara yang timbul akibat lari, kurang kuat bekerja, perkelahian dan
sebagainya itu membuat mereka harus diadili. Dalam hal ini Tuan-Tuan Kebun
sangat berat hati mengirim mereka untuk diadili di Mahkamah Sultan. Dasar
pemikiran mereka ialah, semua buruh harus ada di perkebunan dan bekerja untuk
meningkatkan produksi setinggi mungkin. Apapun yang terjadi di luar perkebunan
asal tidak mengganggu kelancaran produksi, mereka tidak peduli.
Sultan memberi kelonggaran bagi
Tuan-Tuan Kebun untuk mengadakan semacam pengadilan dan hakim sendiri.
Diputuskan bahwa semua orang yang bekerja di perkebunan, asal etnik apapun yang
bukan warga asli Raja-raja setempat, berdasarkan kelahiran mereka di Sumatera
Timur, dikeluarkan dari yurisdiksi atau pengadilan penguasa lokal dan
ditempatkan di bawah yurisdiksi dan administrasi langsung pemerintahan Hindia
Belanda.
Praktek negara dalam negara
itu berjalan sejak Nienhuys dan Tuan-Tuan Kebun menganggap “fasilitas” itu
sudah cukup serasi. Bila ada buruh yang malas bekerja Tuan Kebun bisa
memberikan hukuman penjara. Oleh karena hukuman penjara itu memboroskan waktu
dan tenaga buruh menjadi mubazir, maka kebiasaan bagi Tuan Kebun main tendang
dan pukul saja dan selepas itu mereka disuruh bekerja kembali.
Pihak perkebunan merasa puas dengan
adanya kebebasan mengadili sendiri semua peristiwa ringan maupun berat yang
terjadi dalam “wilayah” perkebunan. Akan tetapi status orang-orang Belanda yang
berada di perkebunan adalah warga pemerintahan Hindia Belanda maka mereka harus
mempunyai hukum yang sah menurut undang-undang.
2.3 Hubungan Buruh Majikan
Majikan dan buruh adalah dua
pihak yang saling membutuhkan dan saling tergantung satu dengan yang lain.
Majikan membutuhkan buruh untuk mengerjakan produksi dan menghasilkan
barang/produk untuk kepentingan usaha/pabriknya. Sementara buruh membutuhkan
majikannya untuk mendapatkan upah atas tenaga yang diberikannya kepada
kepentingan produksi barang sang majikan. Jadi kedua pihak tersebut, baik buruh
maupun majikan sebenarnya saling membutuhkan.
Namun, yang lebih sering terjadi
pada hubungan antar kedua belah pihak tersebut adalah sang buruh seringkali
berada pada posisi yang lebih lemah daripada sang majikan. Buruh dianggap
bukanlah mitra yang sejajar bagi majikan. Buruh hanyalah sebuah obyek bagi
majikan untuk melaksanakan kepentingan mereka. Buruh sering diperas majikan
dengan upah yang relatif kecil. Secara sosiologis buruh itu tidak bebas sebagai
orang yang tidak mempunyai bekal hidup yang lain kecuali tenaganya dan
kadang-kadang terpaksa untuk menerima hubungan kerja dengan majikan meskipun
memberatkan bagi buruh itu sendiri.
Terbukanya perkebunan-perkebunan
besar tidak lepas dari peranan para buruh. Keberhasilan perusahaan
perkebunan-perkebunan besar di Sumatera Timur ini dapat berjalan lancar apabila
tidak tersedia tenaga kerja manusia. Sumatera memiliki tanah yang sangat luas
sedangkan penduduknya sedikit, hal ini menjadi masalah tersendiri bagi
perkebunan-perkebunan yang ada. Perkebunan memerlukan banyak tenaga kerja untuk
menglakukan eksploitasi hutan-hutan yang lebat di Sumatera yang akan dijadikan
perkebunan-perkebunan.
Dengan berjalannya politik pintu
terbuka, maka kekuasaan-kekuasaan modal semakin banyak, pemodal-pemodal baik
asing maupun lokal berlomba-lomba untuk menanamkan modal dan mempercepat
perputaran modalnya secara cepat dan melakukan penghisapan (eksploitasi)
terhadap kelas buruh secara brutal. Kelas buruh dipaksa untuk menyetujui
perjanjian kontrak kerja atas dasar aturan main perusahaan/perkebunan.
Kerja kontrak nampaknya menjadi
strategi pengusaha untuk lepas tangan dari berbagai kesulitan. Paling tidak
dengan cara ini suatu perusahaan/perkebunan dapat menentukan berbagai peraturan
secara sepihak. Pengusaha bisa menjadi sosok penguasa dengan hak-hak feodal.
Kerja kontrak seperti ini lekat dengan bentuk hubungan ke masyarakat budak
maupun feodal.
Dalam hubungan produksi sosial kerja
kontrak, kaum buruh meghadapi disiplin dan jam kerja yang ketat dan pembagian
kerja yang rumit. Konkritnya mereka harus bekerja lebih dari jam yang telah
ditentukan, mendengarkan kata-kata kasar dari mandor dan tuan kebun,
memperbaharui kontrak kerja mereka setiap tahunnya.
Rekrutmen yang dilakukan oleh
organisasi yang bertugas untuk menyalurkan tenaga kerja kurang baik karena
kebanyakan buruh tidak bisa melakukan baca tulis (buta huruf), akan tetapi
mereka harus dihadapkan dengan kontrak kerja, yang mengharuskan mereka untuk
membacanya, akan tetapi sudah jelas mereka tidak bisa membaca kontrak kerja
tersebut.
Sebagai akibat dari sistem rekrutmen
buruh yang tidak sehat itu, maka jumlah buruh yang bekerja di Sumatera Timur
terus berkembang dari waktu ke waktu. Kalaupun ada buruh dari Jawa yang ingin
bekerja secara sukarela di perkebunan, jumlahnya tidak banyak dan hal itu
terutama berkaitan erat dengan usaha untuk meningkatkan taraf kehidupan
ekonominya.
BAB III
KESIMPULAN
Gerakan protes buruh perkebunan
sering terjadi seiring dengan lajunya perkembangan pembangunan dan proses
industrialisasi serta meningkatnya jumlah angkatan kerja, maka masalah
perselisihan perburuhan yang timbul antara pekerja/ buruh dengan perusahaan/majikan
merupakan suatu kejadian yang tidak dapat dihindarkan lagi, mengingat
berbagai tipe manusia yang bekerja diperusahaan/ perkebunan selalu akan
berhadapan dengan kebijaksanaan pengusaha/ majikan. Disatu fihak kebijaksanaan
tersebut dirasakan sebagai aktivitas yang sangat memuaskan tetapi di lain fihak
dirasakan sebagai aktivitas yang kurang menyenangkan. Meski bagaimana baiknya
suatu hubungan kerja yang telah diperjanjikan dan disepakati bersama oleh
pekerja/buruh dengan perusahaan/majikan, tetapi masalah perselisihan antara ke
duanya akan selalu ada dan bahkan sulit untuk dihindarkan.
Berbagai bentuk protes dilakukan
oleh buruh diperkebunan antara lain: melakukan pencurian terhadap perkebunan
agar perkebunan mengalami kerugian, mogok kerja, melakukan kekerasan atau
bahkan pengeroyokan terhadap Asisten Perkebunan dan tidak sedikit pula buruh
yang melakukan pembunuhan terhadap Asisten kebun, tidak mau bekerja, tidak
memenuhi target yang telah ditentukan oleh perkebunan, dan lain sebagainya. Hal
ini disebabkan karena adanya rasa tidak puas yang dirasakan oleh pihak buruh
terhadap kebijaksanaan dari perkebunan. buruh seringkali berada pada posisi
yang lebih lemah daripada sang majikan. Buruh dianggap bukanlah mitra yang
sejajar bagi majikan. Buruh hanyalah sebuah obyek bagi majikan untuk
melaksanakan kepentingan mereka. Buruh sering diperas majikan dengan upah yang
relatif kecil. Secara sosiologis buruh itu tidak bebas sebagai orang yang tidak
mempunyai bekal hidup yang lain kecuali tenaganya dan kadang-kadang terpaksa
untuk menerima hubungan kerja dengan majikan meskipun memberatkan bagi buruh
itu sendiri.
Seiring dengan berjalannya waktu, pihak buruh mulai
memikirkan tentang kesejahteraan mereka terima dari pihak perkebunan yang telah
mereka ikuti selama bertahun-tahun. Pihak buruh mengeluhkan tentang
fasilitas-fasilitas yang selama ini mereka terima dari perkebunan. Fasilitas
yang mereka terima saat ini dirasa masih sangat jauh dari kata layak.
Fasilitas yang maereka keluhkan antara lain: pengadaan peruhan bagi tiap kepala
keluarga, kendaraan ataupun uang untuk naik kendaraan umum bagi para buruh yang
rumahnya jauh dari perkebunan, fasilitas kesehatan seperti berobat kedokter
jika mereka ataupun keluarga mereka sakit, fasilitas pendidikan, tambahan tenaga
pendidik (guru) bagi anak-anak buruh, tempat pengasuhan bagi anak-anak buruh
jika mereka ditinggal oleh orang tuanya untuk bekerja diperkebunan, dan
fasilitas fasilitas pendukung lainnya yang belum mereka terima.
Penyelesaian perselisihan pada dasarnya diatur dalam
undang-undang No.22 tahun 1957 serta peraturan pemerintah lainnya (Peraturan
Menteri dan Keputusan Menteri Tenaga Kerja). Penyelesaian Perselisihan
Perburuhan pada tahap awal mensyaratkan perselisihan diselesaikan secara
musyawarah untuk mencapai mufakat yang dilaksanakan oleh para pihak yang
berselisih. Apabila tidak dicapai perdamaian antara pihak yang berselisih
setelah dicari upaya penyelesaian oleh para pihak, maka baru diusahakan
penyelesaiannya oleh Badan Penyelesaian Perselisihan Perburuhan. Badan ini juga
dalam mencari penyelesaian harus tetap berpedoman pada asas musyawarah untuk
mencapai mufakat serta harus pula memberi kesempatan kepada para pihak yang
berselisih sebelum mengambil keputusan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar