Minggu, 06 April 2014

KULI PERKEBUNAN DI SUMATERA TIMUR MASA KOLONIAL BELANDA






A. Latar Belakang Perkebunan Di Sumatera Timur
Perkebunan di Sumatera Timur telah muncul sejak paruh kedua abad XIX. Sumatera Timur merupakan daerah perkebunan Tembakau, Karet, Kelapa Sawit). Daerah Sumatera Timur merupakan daerah pertama yang mengalami pertumbuhan perkebunan sejak J. Nienhuys membuka perkebunan Tembakau disana, tahun 1864. Tembakau Deli yang menjadi komoditas ekspor sehingga menjadi terkenal di pasaran Eropa. Perkebunan di Sumatera Timur yang begitu luas membuat kekuarangan tenaga kerja.
Perkebunan besar (onderneming) di Sumatra Timur yang dirintis oleh Nienhuys, membawa tanaman Tembakau dan menanamnya di lahan Sumatra Timur melalui kontrak tanah dengan Sultan Deli pada tahun 1863 selama 75 tahun.[1] Keberhasilan yang diperoleh Nienhuys dengan keuntungan besar yang diperoleh telah menarik perhatian para pengusaha perkebunan asing Eropa untuk berlomba-lomba melakukan investasi di sektor agrobisnis Sumatra Timur. Prioritas komoditi yang mereka tanam adalah Tembakau yang sangat terkenal di pasaran Tembakau Amsterdam, kemudian menyusul karet dan kelapa sawit.
Perkembangan yang didukung dan disertai dengan penegakan kekuasaan kolonial Belanda di Sumatra Timur semakin dipicu oleh keluarnya Agrarische Wet tahun 1870 yang mengatur tentang kepemilikan tanah. Meskipun pada mulanya ditujukan bagi Jawa dan Madura, namun kemudian Undang-Undang ini diterapkan juga dengan peraturan lokal di Sumatra Timur. Kemudahan diperoleh setelah adanya kejelasan tentang status kepemilikan tanah oleh penduduk yang memperlancar persewaan lahan.
Dalam waktu yang singkat maka Sumatera Timur menjadi perkebunan yang besar. tahun 1916 tercatat 320 perusahaan besar ( tidak termasuk cabang) yang beroperasi didareah Deli Serdang sekitar 120 perusahaan, Langkat 67 perusahan, simelungun 51 perusahaan dan Asahan 82 perusahaan. Begitu pentingnya arti Sumatera Timur bagi Belanda sehingga di semboyankan ”Molken Is Het Verleden, Java is Het Heden en Sumatra is de Toekomst”, artinya Maluku adalah masa lalu, Jawa adalah masa sekarang dan Sumatera adalah masa datang. [2]
Di Sumatra Timur sendiri berlaku dua macam sistem kepemilikan tanah. Yang pertama adalah sistem Vorstdomein. Menurut sistem ini raja selaku kepala negara dianggap sebagai pemilik dari semua tanah dan menyerahkan kepada para kawulanya untuk digarap. Rakyat yang menggarap tanah-tanah tersebut wajib menyetorkannya kepada raja sebagian besar hasilnya sebagai upeti, sedangkan sisanya digunakan mereka untuk memenuhi kebutuhan sendiri. Dalam hal ini raja atau sultan mempunyai hak untuk membagi-bagikan hak garap dan hak pakainya, namun tetap menguasai hak milik sepenuhnya atas tanah.
Di sisi lain, berlaku juga prinsip Volksdomein. Menurut prinsip ini tanah merupakan hak milik dari individu yang membuka dan menggarapnya secara rutin. Selama dia menghuni dan mengerjakan tanah tersebut, maka dia masih memegang kepemilikannya yang diakui secara komunal oleh masyarakatnya. Perkembangan lebih lanjut menjadikan tanah-tanah semacam ini sebagai tanah bersama (tanah komunal) dan diakui sebagai tanah adat dengan hak ulayat yang berlaku. Penggunaan tanah tersebut disahkan selama kepentingan adat menuntutnya dan tidak ada pelanggaran atas aturan adat.
Para pengusaha perkebunan besar hanya mengakui raja sebagai kepala negara atau penguasa tanah semuanya. Oleh karena itu negosiasi dan kontrak dibuat dengan raja/ sultan yang akan menyerahkan lahan wewenangnya dieksploitasi. Mengingat di wilayah Kesultanan Melayu berlaku juga prinsip vorstdomein maka kontrak sewa yang dibuat oleh sultan dengan para pengusaha perkebunan dianggap sah. Para pengusaha perkebunan berhak juga melakukan pengusiran dan penggusuran terhadap penduduk yang menggarap dan menghuni tanah-tanah yang ditunjuk oleh sultan untuk disewakan. Sebagai gantinya pengusaha perkebunan menggunakan lahan tersebut untuk kepentingan pemukiman kolonisasi kuli kontrak yang didatangkannya dari Jawa sebagai tenaga kerja perkebunan.
B. Kondisi Buruh Perkebunan di Sumatera Timur
Berkembangnya perkebunan besar di Sumatera Timur pada pertengahan abad XIX telah menarik penguasaha-penguasa prkebunana untuk menanamkan modalnya disana. Orang-orang kulit putih datang kesana untuk membuka dan menjadi penguasaha perkebunan, orang Cina, Jawa india datang sebagai buruh dan orang minagkabau dan Mandailing merantau untuk berdagang. Hidup mereka tergantung pada imbalan yang diterima dari hasil kerja yang hanya pas-pasan. Semua gaji yang diterima habis untuk kebutuhan mereka sehari-hari. Digambarkan bahwa upaha yang diterima oleh buruh sebanyak 35 sen sehari. Apabila seorang buruh hanya bekerja selama 28 hari dalam satu bulan maka dia akan menerima upah sebasar 9, 80 gulden itu pun masih harus di potong dengan membayar uang panjar ( Vorschoot) sehingga sisanya hanya senilai 2,40 gulden saja. Namun pada kenyataannya para buruh tidaka dapat menabung sisa uangnya, kebanyakan sisa uang tersebut digunakan untuk menonton pertunjukan wayang, berjudi dan bersenang-senang.[3]
Berikut ini adalah rincian biaya hidup rata-rata dalam satu bulan yang di habiskan oleh para buruh perkebunan :
Tabel. Kebutuhan Hidup Para Buruh Perkebunan di Sumatera Timur
Jenis Pengeluaran
Biaya Hidup/Bulan
Korek api
f. 0,10
Garam
f. 0,11
Beras 45 kati
f. 2,22
Ikan asin 5 kati
f. 0,90
Minak makan 2 botol
f. 0,40
Sayur
f. 0,60
Tembakau
f. 0,50
Minyak tanah 5 botol
f. 0,50
Jumlah pengeluaran
f. 5,36
Sisa
f. 2,14
Sumber: Sjarfi Sairin. Majalah Prisma 4 April 1991. hlm.30.
C. Permasalahan Dalam Ketenagakerjaan Perkebunan dan dampaknya Di Sumatera Bagian Timur
Masalah yang timbul pada masa perkebunan di Sumatera Timur adalah kelangkaan tenaga kerja perkebunan. Jumlah tenaga kerja yang kecil sedangkan lahan yang luas menimbulkan keengganan penduduk setempat untuk bekerja sebagai buruh pertanian. Kekurangan tenaga kerja mendorong untuk menarik para pekerja dari luar daerah. Tenaga kerja di ambil dari Cina, Jawa dan daerah yang lainnnya seperti semananjung Melayu (Malaysia dan Singapura ) melalui Broker atau Werver (orang Jawa sering menyebut Werek). Kepentingan para pengusaha untuk memperoleh tenaga kerja kemudian di lindungi oleh pasal 2 No. 27 dari Politiestrafrglemet voor Inlander.[4] Pada tahun 1871 sekitar 3000 orang Cina bekerja di perkebunan Tembakau Deli.[5] Komposisi tenaga kerja asing di Sumatera Timur oleh Dr. Thee Kian Wie :
Tabel. Jumlah Tenaga Kerja Di Sumatera Timur
Tahun
Cina
Jawa
India
1884
21.136
1.771
1.528
1900
58.516
25.224
2.460
1916
43.689
150.392
-
1920
23.900
212.400
2.000
1925
26.800
168.400
1.500
1929
25.934
239.281
1.019
Sumber: R.Z. Leissera, dkk. 1996.
Sistem perantara yang digunakan dalam pencarian tenaga kerja banyak menimbulkan masalah dan penyelewengan yang dilakukan oleh para Broker/ Werver. Tidak jarang terjadi penculikan dan pembujukan dengan janji-janji yang menyenangkan dengan iming-iming upah yang tinggi. Karena kesulitan dalam menacari tenaga kerja maka pencaraian kerja diserahkan kepada perhimpunan pengasaha perkebunan ( Deli Planters Vereninging). Pada tahun 1888 perhimpunan ini mendirikan biro imigrasi yang mengurus secara langsung selaksi calon pekerja di negeri Cina, pengangkutan tenaga kerja ke Sumatera Timur dan mengurusi masalah keuangan. Namun pada kenyataannnya para werek tidak menyeleksi para pekerja, melainkan siapa yang mau bahkan melalui bujuk rayu kepada calon pekerja. Pada tahun 1888 terdapat kurang lebih 1.152 tenaga kerja Cina, tahun 1889 sebanyak 5.167, dan tahun 14890 sampai 6666 tenaga kerja.[6]
Hal yang mendorong orang Jawa untuk menjadi buruh perkebunan di Sumatera Timur adalah :
1. Menjelang akhir abad ke XIX Jawa telah dijadikan perkebunan tebu. Sehingga pajak bumi.
2. Awal tanah garapan pertani kecil diambil oleh pengusaha-penguasaha perkebunan.
3. Dihapusnya abad ke XX Hindia Belanda sudah kekuarangan beras sehingga terpaksa harus mengimport beras keluar, terutama ke Birma yang menyebabkan harga beras menjadi mahal.
Untuk keperluan Hindia Belanda maka tahun 1888 di bentuk suatu peraturan untuk para buruh perkebunan. Mereka diikat dengan suatu kontrak dengan para pengusaha, namun kontrak tersebut tidak bisa di akhiri dengan buruh. Apabila buruh terserbut melarikan diri maka mereka akan dikenakan hukuman yang dikenal dengan sebutan Poenale Santic. Suatu hukuman yang kejam yang bisa berupa hukuman cambuk untuk buruh laki-laki hingga di bunuh. Dalam tulisan Jan Breman dikatakan bahwa J. Nienhuys, pernah menghukum cambuk pekerja perkebunan sebanyak 7 buruh sampai meninggal. Hal ini yang membuat Nienhuys pergi keluar Sumatera Timur. Kasus lain menimpa pada seorang buruh perempuan yang diikat pada Bungalow tuan kebun dan kemaluannnya digosok dengan lada. Para pemilik perkebunan memiliki otonomi yang begitu luas sehingga perkebunan itu diibaratkan sebagai Negara dalam Negara.[7]
Dengan menandatangani kontrak tersebut secara tidak langsung telah menjerat pekerja perkebunan dengan jaringan hutan-pihutang. Dalam sehari para buruh hanya bisa istirahat 1/20 dari waktu kerjanya. Buruh kontrak dikenakan aturan Ordonantie Koeli maksimum bekerja 12 jam, tapi kenyataannya mereka harus bekerja 13 jam dengan rincian 5 jam menyadap karet, 3 jam menguruh pohon Karet muda, 5 jam mengolah Lateks menjadi Karet mentah.
Poenale Santie sangat melewati batas kewajaran, sehingga timbul protes dari luar perkebunan melalui mass media atau masyarakat Hindia Belanda maupun negeri induk untuk meghapus Peonale santie. Berita itu akhirnya sampai ke Den Haag, sehingga Ratu Belanda memerintahkan kepada gubernur jendaeral untuk melarang tinadakan main hakim sendiri. Sejak itu maka pengadilan hanya dilakukan oleh pemerintah. Begitu gencarnya protes tentang kekejaman tuan kebun di Deli-Serdang membuat pemerintah mengganti peraturan peonale santi dengan koeli ordonansi 1880. Namun koeli ordonansi pada kenyataannya sama dengan peonale santie, para buruh tetap mengalami penderitaan dari siksaan tuan kebunnya. Koeli ordonansi baru dihapus seiring dengan datangnya bangsa Jepang tahun 1941.[8]
1. Konflik Penguasa Dengan Rakyat
Pengusiran penduduk pribumi yang sering disebut dengan istilah rakyat penunggu dari daerah pemukimannya dan larangan mereka untuk menggarap tanah tersebut segera menimbulkan persoalan sengketa. Rakyat merasa bahwa tanah itu adalah milik sultan mereka dan menjadi hak mereka untuk menggarapnya sebagai sumber kehidupan. Persoalan semakin bertambah ketika dalam kontrak sewa tersebut diikutkan juga tanah-tanah ulayat yang diakui secara adat sebagai milik komunal penduduk. Dari tanah-tanah ulayat yang disewa perkebunan, rakyat juga tidak diperkenankan untuk menggarapnya.
Sebagai akibat dari kondisi ini kehidupan rakyat pribumi menjadi tidak menentu, mengingat sumber penghasilan mereka yang diperoleh dari penggarapan tanah tidak lagi ada. Meskipun sebagian dari mereka ada yang berangkat ke kota-kota untuk bekerja sebagai tenaga buruh atau profesional lainnya, namun sebagian besar dan terutama yang tidak mempunyai keahlian tidak bisa meninggalkan kampung halamannya. Mereka hanya bisa mengharapkan bisa kembali menggarap tanah-tanah tersebut dengan berbagai cara
Kondisi pengangguran agraria ini tentu saja menciptakan kerawanan situasi dalam kehidupan. Beberapa tindakan kejahatan sosial muncul sebagai jalan alternatif untuk mencari cara menyelesaikan kebutuhan hidupnya. Dalam laporan para pejabat lokal Belanda yang ditempatkan di wilayah Sumatra Timur tercatat adanya kenaikan prosentase kejahatan di daerah perkebunan dalam perempatan pertama abad XX. Meskipun ada juga yang dilakukan oleh para kuli pendatang, namun keterlibatan oleh penduduk pribumi setempat tidak bisa dihindari.
2. Usaha Penyelesaian
Untuk mencegah kenaikan dan perluasan kriminalitas sosial tersebut, pemerintah Belanda mencoba mencari jalan keluar bersama Sultan dan pengusaha perkebunan. Beberapa cara ditempuh untuk memberi rakyat penunggu ini lahan yang bisa digarap oleh mereka dan dipetik hasilnya. Pertama-tama dari pihak pemerintah ada tekanan kepada pengusaha perkebunan untuk memberikan tanah jaluran yang kosong setelah selesainya panen Tembakau. Tanah-tanah kosong itu sebelum ditanami kembali dengan benih Tembakau bisa digunakan oleh rakyat penunggu untuk ditanami tanaman pangan. Akan tetapi tingkat kesuburan tanah setelah panen Tembakau dan kebutuhan akan air bagi tanaman pangan tidak memenuhi persyaratan. Sebagai akibatnya beberapa kali kegagalan panen terjadi.
Alternatif kedua yang dipilih untuk menyelesaikan perkara ini adalah pemberian karunia Sultan (grant Sultan) dalam bentuk tanah-tanah kosong yang tidak disewakan. Dengan pemberian tanah-tanah tersebut diharapkan agar rakyat penunggu bisa menggunakannya. Meskipun di atas kertas semua terlihat baik dan berjalan lancar, namun dalam pelaksanaannya semua tidak berhasil. Hal ini disebabkan oleh adanya eksploitasi yang dilakukan para kepala adat pribumi sebagai orang-orang yang ditunjuk Sultan untuk mengatur pembagian tanah tersebut. Para kepala adat ini sering melakukan pemerasan dalam bentuk tuntutan penyetoran hasil tanah secara berlebihan dari penduduk penggarapnya. Akibatnya hasil yang diterima oleh penduduk tidak bisa mencukupi bagi kebutuhan hidupnya.
Kondisi tersebut memberi alasan bagi pemerintah kolonial Belanda untuk mengambil alih wewenang pengaturan agraria dari tangan Sultan. Setelah adanya persetujuan yang disepakati, Kontrolir sebagai pejabat tingkat bawah kolonial menggantikan Sultan dalam menangani kasus tersebut. Untuk itu dia mengeluarkan hak garap atas tanah-tanah yang disebut grant Controleur (karunia Kontrolir). Seperti halnya grant Sultan, tipe tanah-tanah ini mengalami kendala dalam pelaksanaan penggarapannya. Hal itu disebabkan oleh peraturan yang dikeluarkan pemerintah kolonial bahwa barang siapa yang menerima tanah itu untuk digarap harus melakukan kerja wajib dalam jangka waktu tertentu bagi kepentingan pemerintah Belanda. Selain itu mereka juga harus menyetorkan sebagian hasil produksinya kepada pemerintah Belanda. Akibatnya penduduk tidak lagi mempunyai waktu untuk bekerja secara maksimal dalam menggarap lahan tersebut.
3. Kolusi Pengusaha-Penguasa
Berbagai macam langkah yang ditempuh baik oleh pengusaha perkebunan, penguasa kolonial maupun penguasa pribumi tradisional tidak bisa mengatasi persoalan rakyat penunggu ini. Pada pihak pengusaha perkebunan berbagai macam kecurangan dilakukan. Mereka tidak lagi mematuhi ketentuan tentang tanah jaluran yang sudah disepakati. Untuk memaksimalkan hasil dan memulihkan biaya sewa kepada para penguasa pribumi, para pengusaha ini lebih suka menyewakan tanah-tanah jaluran kepada bekas kuli kontrak yang sudah menyelesaikan ikatan kerjanya dan tetap bermukim di tempat itu. Hal ini digunakan untuk mengikat juga tenaga kerja yang siap pakai bagi kebutuhan perkebunan. Selain itu sering perluasan tanah-tanah jaluran ini memakan lahan tanah milik penduduk setempat tanpa persetujuan lebih dahulu. Dengan alasan bahwa pengusaha telah membayarkan pajak penduduk kepada Sultan, pengusaha merasa berhak diberi prioritas dalam kebutuhan lahannya dari pada pribumi.

Dalam kasus grant Sultan, banyak terjadi pemerasan dan penipuan yang bersifat eksploitatif dilakukan oleh para bangsawan dan kepala adat seperti penghulu. Mereka meminta quota produksi hasil tanah yang berlebihan dan sering tidak membagikan ganti rugi yang diterima dari pengusaha kepada penduduk. Sikap korup yang digunakan oleh para kepala adat itu menjadi beban bagi penduduk yang tidak lagi bisa mempercayai mereka sebagai jalan keluar permasalahannya.
Tanah-tanah yang ditetapkan menurut Grant Controleur juga tidak bisa digunakan karena batas-batas tanah yang ditunjuknya tidak jelas. Akibatnya sering terjadi sengketa di antara para penggarap dan tidak bisa diputuskan lewat musyawarah. Karena baik Kontrolir maupun Sultan juga tidak mampu menanganinya, tanah-tanah tersebut akhirnya jatuh ke tangan para penyewa Cina bekas kuli kontrak untuk digarap setelah membayar uang sewa kepada kontrolir.

Daftar Pustaka
Bambang Purwanto. 1996. Migrasi dan Kesempatan Kerja: Persoalan Dalam Perkebunan Karet Rakyat. Kongres Nasional Sejarah 1996 Subtema Dinamika Sosial Ekonomi. Jakarta. depdikbud.
Budi Agustono. 1996. Badan Perjuangan Rakyat Penunggu Indonesia dan Sengketa Agraria di Sumatera Utara. Kongres Nasional Sejarah 1996 Subtema Dinamika Sosial Ekonomi. Jakarta. depdikbud.
Burger, D.H. 1962. Sejarah Ekonomi Sosiologis Indonesia. Jakarta. Pradnyaparamita.
Daliman,A. 2001. Sejarah Indonesia Abad XIX-Awal Abad XX : Sistem Politik Kolonial dan Administrasi Pemerintahan Hindia-Belanda. FISE-UNY
Darmiati. 1996. Perpindahan Penduduk Dari Kolonisasi/Emigrasi Hingga Transmigarsi. Kongres Nasional Sejarah 1996 Subtema Dinamika Sosial Ekonomi. Jakarta. depdikbud.
Fauzi, Noer. 1999. Petani dan Penguasa, Dinamika Perjalanan Politik Agraria Indonesia. Yogyakarta. Pustaka Pelajar.
Leiressa, RZ. 1996. Sejarah Ekonomi Indonesia. Jakarta. Depdikbud.
Pelzer J., Karl. Toean Keboen dan Petani : Politik Kolonial dan Perjuangan Agraria. Jakarta. Sinar Harapan.
Rafiz.1991. Penguasaan Tenaga Kerja dan Perkebunan Besar di Sumatera timur: Tinjauan Historis. Majalah Prisma. Cetakan 4 April 1991.
Sjarfi Sairin. Tingkat Upah Buruh Perkebunan di Sumatera Utara. Majalah Prisma. 4 April 1991.
Soegiri DS., Edi Cahyono. 2003. Gerakan Serikat Buruh, Jaman Kolonial Hindia Belanda Hingga Orde Baru. Jakarta. Hasta Mitra.
Suwidji Kartonagoro. 1975. Belajar Membaca Sejarah. Surabaya. Depdikbud.
Zaiyardam ubir. 1996. Eksploitasi Buruh Tambang Batubara Ombilin Sawah Lunto Sumatera Barat. Kongres Nasional Sejarah 1996 Subtema Dinamika Sosial Ekonomi. Jakarta. Depdikbud.


[1] Penyewaan tanah jangka panjang, selama 75 tahun disebut Erpacht. ( Karl J. Pelzer, Toean Keboen dan Petani : Politik Kolonial dan Perjuangan Agraria. Jakarta. Sinar Harapan. 1978. ).
[2] Darmiati. Perpindahan Penduduk Dari Kolonisasi/Emigrasi Hingga Transmigarsi. Kongres Nasional Sejarah 1996 Subtema Dinamika Sosial Ekonomi. Jakarta. depdikbud. 1996. hlm. 20-21.
[3] Sjarfi Sairin. Tingkat Upah Buruh Perkebunan di Sumatera Utara. Majalah Prisma. 4 April 1991. hlm. 29-31.
[4] A. Daliman. Sejarah Indonesia Abad XIX-Awal Abad XX : Sistem Politik Kolonial dan Administrasi Pemerintahan Hindia-Belanda. FISE-UNY. 2001. hlm. 63.
[5] Leiressa, RZ.Sejarah Ekonomi Indonesia. Jakarta. Depdikbud. 1996. hlm
[6] Suwidji Kartonagoro. Belajar Membaca Sejarah. Surabaya. Depdikbud. 1975. hlm. 336-338.
[7] Soegiri D.S, dkk. Gerakan Serikat Buruh Jaman Hindia Belanda Hingga Orde Baru. Jakarta. Hasta Mitra. 2003. Hlm.112-113.
[8] Darmiati. Op.cit. hlm 22

ttp://www.benyuleander.co.cc/2007/12/kuli-kontrak.html









PERKEBUNAN DELI: PASANG SURUT KULI KONTRAK PERKBUNAN

ipie3 Sejarah
PERKEBUNAN DELI:
PASANG SURUT KULI KONTRAK PERKBUNAN

Sebelum masuknya pengusaha Belanda di Sumatra (Timur) East Coast of Sumatra, tercatat bahwa telah ada peneliti asing yang benar-benar melakukan penelitian (research) ataupun orang asing yang melakukan misi perjalanan dan niaga.
Orang yang patut dicatat tersebut adalah William Marsden (1770) dengan bukunya ”The History of Sumatra” (Sejarah Sumatra) yang di publikasikan tahun 1772 di Batavia. Penguasa Inggris di Bengkulu yakni Thomas S. Rafles menyebut buku tersebut sebagai ”Cahaya Penerang Sumatra”. Berdasar pada buku tersebut pula, Rafles menulis buku yang relatif sama bentuknya yakni ”The History of Java” (Sejarah Jawa). Kemudian yang patut dicatat adalah John Anderson yang melakukan perjalanan di Pantai Timur Sumatra pada tahun 1823 dengan bukunya yang sangat terkenal yakni ”Mission To The East Coast of Sumatra” (Misi Perjalanan ke Pantai Timur Sumatra). Sementara itu, pada tahun 1935, Edwin M. Loeb menulis buku “Sumatra, Its History and People” (Sejarah Sumatra dan Masyarakatnya).
Tiga buku yang disebut pertama merupakan risalah penelitian yang mendalam yang tidak sekedar mengungkap kondisi dan kekayaan serta potensi alam, folktale, keadaan geografi, kebudayaan tetapi juga cirri-ciri dan karakter masyarakatnya. Dalam kedua buku tersebut ditemukan kawasan-kawasan atau teritori Sumatra yang memiliki kekayaan alam yang besar seperti Angkola, Bangka, Belitung, Brandan, dan lain sebagainya. Kondisi ini tidak mengherankan apabila dikemudian hari Sumatra menjadi daerah yang diperebutkan oleh dua penguasa eropa yakni Belanda dan Inggris.
Disamping buku tersebut, ada juga yang menuliskan tentang keadaan Sumatra (Timur) seperti Tomme Pires dalam bukunya “Summa Oriental” yang banyak melukiskan dan menuliskan keadaan ARU Delitua ataupun Barus. Buku-buku tersebut kiranya telah menjadi inspirasi bahwa Sumatra (Timur) adalah suatu kawasan dagang internasional yang sibuk. Komoditas utama pada saat itu adalah seperti Kemenyan, Kopra, Kapur Barus, Lada ataupun Pala.
Belanda tercatat pertama kali masuk di Deli tahun 1641, ketika sebuah kapal yang dipimpin Arent Patter merapat untuk mengambil budak. Selanjutnya, hubungan Deli dengan Belanda semakin mulus. Tahun 1863 Kapal Josephine yang membawa orang perkebunan tembakau dari Jawa Timur, salah satunya Jacobus Nienhuijs, dari Firma Van Den Arend Surabaya mendarat di Kesultanan Deli. Oleh Sultan Deli, ia diberi tanah 4.000 bau untuk kebun tembakau, dan mendapat konsesi 20 tahun.
Kota Administratif Medan dibentuk melalui lembaga bernama “Komisi Pengelola Dana Kotamadya”, yang dikenal dengan sebutan Negorijraad. Berdasarkan “Decentralisatie Wet Stbl 1903 No 329″, lembaga lain dibentuk yaitu “Afdeelingsraad Van Deli” (Deli Division Council) yang berjalan bersama Negorijraad sampai dihapuskan tanggal 1 April 1909, ketika “Cultuuraad” (Cultivation Council) dibentuk untuk daerah di luar kota . Maka, tanggal 1 April 1909 ini sempat dijadikan tanggal lahir Kota Medan sampai dengan tahun 1975. Pimpinan Medan Municipal Board saat didirikan tanggal 1 April 1909 (Stblt 1909 No 180) adalah EP Th Maier, yang menjabat sebagai pembantu Residen Deli Serdang. Namun, sejak 26 Maret 1975, lewat Keputusan DPRD No 4/ DPRD/1975 yang didasari banyak pertimbangan, ditetapkan bahwa hari lahir Kota Medan adalah 1 Juli 1590.
Sejarah perkebunan Deli dimulai ketika langkah kerja Jacobus Nienhuys dan para pionir pengusaha perkebunan yang pertama kali menggarap atau membuka wilayah perkebunan di Sumatera Utara. Sejak awal dimulainya perkebunan ini menunjukkan kemajuan dan perkembangan yang sangat pesat dilihat dari hasil perkebunan tersersebut yang pada saat itu menghasilkan tanaman tembakau ditanah Deli yang dirintis oleh Jacobus Niensuys dan terbukti pada saat itu tembakau yang dihasilkan merupakan produk yang sangat menguntungkan di pasar perdagangan di Eropa yang kemudian menjadikan Deli penghasil termasyhur di dunia kawasan produksi daun pembungkus cerutu. Usaha Jacobus Nienhuys terus berkembang mulai pada saat hasil perkebunan yang dibukanya sudah mulai menampakkan hasil dan tidak banyak telah masuk kepasaran perdaganan Eropa yang dibuktikan sejak pada1 November 1869 Jacobus Nienhuys mendirikan perusahaan Deli Maatschappij yaitu suatu perseroan terbatas yang beroperasi di Hindia Belanda (Breman 26:1997) dan pada tahun 1870 Deli Matschapaij memindahkan kantornya dari Medan Labuhan ke Medan tepatnya di Jalan Tembakau Deli Sekarang. Selanjutnya, Tahun 1871, Jacobus Nienhuys meninggalkan Medan. Empat tahun setelah kepulangan Nienhuys itu, telah terdapat sebanyak 40 saham kesertaan orang Eropa di perkebunan Deli serta terdapat 15 proposal yang menyatakan ikut bergabung. Komoditas yang mereka tanam tidak saja hanya Tembakau tetapi telah merembes ke sektor lain seperti Karet, Kopi dan Lada maupun Pala dan bahkan Kelapa Sawit. Pada tahun 1930, perusahaan perkebunan banyak yang mengalami kebangkrutan seiring dengan krisis keuangan (malaise) yang terjadi pada saat itu. Sehingga hal ini berdampak pada pemutusan hubungan kerja, dipulangkan ke negeri asal atau sebagian memilih bertahan dan menetap di Sumatra Timur.
Perkembangan Tembakau Deli yang sangat pesat, menjadi daya tarik tersendiri bagi pihak lain yang berkeinginan menanamkan modalnya di Deli. Jumlah pengusaha perkebunan di Deli tercatat pada tahun 1891 yakni sebanyak 169 perusahaan. Sedangkan pada tahun 1904 yang tersisa hanyalah 114 perusahaan. Adapun jumlah pengusaha perkebunan di Sumatra Timur hingga tahun 1904 adalah sebagaimana yang dicatat oleh Breman (1997:1), yakni:
Pasang Surut Jumlah Perkebunan di Sumatra Timur (1864-1904)
Tahun       Jumlah Perkebunan             Tahun     Jumlah Perkebunan
1864                        1                                      1887                114
1873                     13                                      1888                 141
1874                    23                                       1889                 153
1876                    40                                       1891                 169
1881                    67                                       1892                 135
1883                    74                                      1893                  124
1884                    76                                     1894                   111
1885                    88                                     1900                   139
1886                  104                                     1904                  114
Tidak salah apabila dalam bukunya, Tan Malaka (1937) yang pernah menjadi guru di perkebunan Senembah Tanjung Morawa pernah melukiskan keadaan Sumatra Timur yakni: “Goudland, tanah emas, surga buat kaum kapitalis. Tetapi tanah keringat air mata maut, neraka buat kaum proletar…Disana berlaku pertentangan yang tajam antara modal dan tenaga kerja, serta antara penjajah dan terjajah.. “.
Seperti yang telah disebut diawal bahwa Sumatra Timur merupakan lahan yang baik untuk perkebunan. Hal awal telah diingatkan oleh Anderson dalam buku setebal 416 halaman tersebut. Hal ini telah mengilhami pengusaha Eropa untuk merogoh keuntungan yang luar biasa besar di Sumatra Timur. Dampak dari pada pembukaan perkebunan tersebut adalah meningkatnya dan dibutuhkannya tenaga kerja yang luar biasa banyak. Diawal perintisannya, Nienhuys mencoba menarik kuli dari Singapura, Swatow maupun India Selatan. Sementara dari dalam negeri, diutamakan dari Bagelans, Semarang dan Surabaya. Anthony Reid (1987:81) mencatat bahwa perkebunan-perkebunan kopi yang dibuka pada tahun-tahun 1890-an, dan perkebunan-perkebunan karet, teh, kelapa sawit yang berkembang cepat sesudah tahun 1900, bergantung sepenuhnya pada pekerja-pekerja Jawa. Dibawah ini diperlihatkan jumlah pekerja (kuli kontrak di Sumatra Timur hingga kurun waktu 1929 yang diambil dari Anthony Reid (1987), yaitu:
Kuli Kontrak di Sumatra Timur
Tahun                       1884       1900            1916           1920          1925           1929
Cina                          21.136    58.516      43.689        23.900     26.800     25.934
Jawa                          1.771    25.224     150.392     212.400  168.400   239.281
India
dan lain-lain           1.528     2.460              -                 2.000           1.500       1.019
Laju pertambahan jumlah tersebut mempercepat proses peralihan daerah kasar dan rawan (Sumatra Timur) menjadi koloni Belanda, sebab dengan datangnya makin banyak orang Jawa melibatkan Pemerintah Hindia Belanda dalam masalah-masalah jaminan hukum dan peraturan bagi kuli, dan mencegah mereka yang tidak berdaya melakukan tindakan nekad.
Syarat-sysrat kerja sebagaimana yang telah dituangkan dalam Koeli Ordonansi 1880, yang menetapkan masa kontrak selama tiga tahun dan setelah masa kontrak tersebut si kuli harus dikembalikan ke tempat asalnya. Ketiadaan jaminan yang cukup dalam pelaksanaan prakteknya telah ditunjukkan secara dramatis sekali oleh Van den Brand dalam brosurnya de Millionen uit van Deli (Harta Jutaan dari Deli) pada tahun 1902. Apa yang membuat kuli kontrak tetap menjalankan tugas kerjanya adalah dengan keluarnya Poenale Sangtie, yankni suatu ketentuan yang menjadi bagian dari kuli ordonansi tahun 1880 yang mengikat kuli dalam kontrak. Isinya ialah bahwa setiap kuli kontrak yang meninggalkan pekerjaanya, yang lari dan yang mengabaikan kewajiban kerjanya bisa didenda atau dihukum penjara. Sidik jari kuli telah dibuat Belanda untuk mengejar pada saat kuli melarikan diri.
Dibawah ini adalah keadaan Kuli di Sumatra Timur sebagaimana yang disalin kembali oleh Reid (1987:83), yaitu:
Keadaan Tenaga Kerja Perkebunan di Sumatra Timur
Akhir Tahun-Kuli Kontrak dengan Poenale Sanctie Buruh -Bebas dibawah kontrak 1911 -Buruh Lepas- Jumlah
1928 –247.769 –30.909 –17.781 –296.456
1929 –266.234 –35.478 –18.790 –320.502
1930 –236.747– 40.304– 13.959 –294.010
1931 –137.083 –84.386 –17.005 –238.474
1932 –37.338 –140.259 –8.546 —176.143
1933– 11.699 –152.774– 6.125 –170.598
1934 –6.029 –152.080 –8.677 –166.766
1936– 6.396 –159.949– 15.136 –181.479
1938 –4.670 –185.360 –18.376– 208.406
Keadaan kehidupan Buruh di Perkebunan Deli tidaklah secerah reputasi Tembakau Deli di pasaran Eropa. Kehidupan para buruh kebun ini sangat memprihatinkan. Kemelaratan kuli yang bekerja dalam perkebunan ini merupakan bagian yang seringkali diangkat guna memberikan pandangan mengenai kekejaman sistem Poenale sanctie yang diterapkan kepada kuli kontrak tersebut. kehidupan yang serba melarat itu diakibatkan oleh tiga hal yakni: i) tingkat upah yang rendah, ii) fasilitas perumahan dan kesehatan yang minim dan iii) ketergantungan kepada kontrak.
Keadaan dimana buruh yang sangat melarat, seringkali memicu terjadinya penyerangan terhadap tuan kebun (planters). Anthony Reid (1987: 84) menuliskan penyerangan-penyerangan terhadap asisten Kebun Belanda oleh buruh di Sumatra Timur.
Serangan terhadap asisten Kebun Belanda oleh buruh di Sumatra Timur
Tahun 1924-1933
Tahun ——————–1924- 25 -26 -27- 28 -29- 30- 31- 32- 33
Penyerangan terhadap
asisten kebun ————–19 -28 -27 -17 -43 -68 -61- 17- 16- 8
Jumlah yang mati    ——-1 —3 —0– 1 —-2— 5 –2 - 0—0 -0

















Menjinakan sang kuli dengan UANG PERKEBUNAN
Buku Menjinakan Sang Kuli – Politik Kolonial, Tuan Kebun, dan Kuli Di Sumatra Timur pada awal Abad ke-20 ( Jan Bremen, Grafiti, Jakarta 1997 ) mungkin satu dari sedikit pustaka dalam bahasa Indonesia yang bisa bercerita tentang Uang Swasta yang kita kenal sebagai Uang Perkebunan.
Nama (karesidenan) Sumatra Timur masih dipakai hingga awal kemerdekaan, meliputi kurang lebih Propinsi Sumatra Utara sekarang. Di Eropa daerah ini lebih dikenal dengan nama Deli, nama salah satu kerajaan disana. Tak lain karena hasil budidaya tembakaunya yang laku dijual f. 1,50 /pon dibanding tembakau asal Jawa yang hanya 50C / pon. Berbeda dengan rempah-rempah yang asli Nusantara, Tembakau ( nicotiana tabacum ) dan karet ( Hevea brasiliensis ) adalah warisan lokal.
Kekuasaan Pemerintahan Hindia-Belanda di Sumatra berubah seiring dengan Perjanjian antara Belanda dan Inggris, atau lebih tepat perebutan pengaruh Belanda dan Inggris atas kerajaan-kerajaan di kedua sisi Selat Malaka. Traktat London 1824 misalnya, menukar Bengkulu-nya Inggris dengan Malaka-nya Belanda.
Pada kedua sisi Selat Malaka berdiri kerajaan-kerajaan Melayu yang saling bersaing. Kerajaan-kerajaan di pesisir Sumatra timur itu juga berusaha meluaskan pengaruhnya ke pedalaman yang dihuni suku Batak. Namun kerajaan-kerajaan itu juga menjadi ajang rebutan pengaruh Kerajaan Aceh di Utara dan Kerajaan Siak di Selatan.
Tahun 1745 Kerajaan Johor menyerahkan Siak kepada VOC, namun tidak terurus karena tidak menguntungkan secara ekonomi. Tahun 1858 Siak sekali lagi mangakui kedaulatan Belanda, disusul Deli (1862), lalu Serdang dan Asahan (1865). Perang Aceh yang pertama kali meletus tahun 1873 kiranya perlu pula dicatat.
Undang-undang Agraria tahun 1870 secara resmi mengakhiri masa Tanam Paksa yang agaknya hanya di Kawa. Patut kiranya dicatat bahwa tema besar dunia Barat ketika itu adalah penghapusan perbudakan. Pembebasan 776.000 budak di perkebunan-perkebunan Karibia-nya Inggris pada 31 Juli 1834 bisa menjadi salah satu contoh nyata. Selain perang Saudara di Amerika (1861-5) dan “Emancipation Proclamation” ( Pernyataan Emansipasi )-nya Abraham Lincoln pada 1 January 1863, buku “Manifest der Komunistischen Partei” ( Manifesto Partai Komunis )-nya Karl Marx dan Fredrich Engels yang terbit di London tahun 1848 patut dicatat sebagai warisan masa-masa itu.
Banyak sebab yang terkait dengan masalah ini. Penemuan mesin ( yang dikenal dengan revolusi Industri ) membutuhkan lebih sedikit buruh dibanding budak-budak yang dipekerjakan di kebun-kebun para tuan tanah, namun di sisi lain membutuhkan lebih banyak pembeli ( pasar), termasuk para budak. Jumlah budak yang terus bertambah juga mengganggu keseimbangan ras. Simak saja kutipan berikut : “Around 1800 about half the population of Brazil consisted of slaves, but that percentage declined......after the shutting off of imports around 1850 combined with free immigration to raise the proportion of Europeans”.
Konon, “The Dutch emancipated their slaves in 1863”. Tak jelas bagi kami apa dampaknya di Hindia . Anda mungkin perlu merenungkan apa maknanya dari Budak menjadi buruh. Kata Kuli ( Koelie – nya Belanda; Coolie-nya Inggris ) berasal dari bahasa Cina yang artinya “tenaga kasar”. Kelompok pertama para kuli kontrak di Sumatra Timur memang dikuasai orang-orang Cina yang dikerahkan lewat perantara di Penang dan Singapura, kemudian langsung dari Cina. Namun kelompok berikutnya lebih banyak dari Jawa. Konon, orang Melayu ( suku Penguasa ) menolak kerja upahan dan orang Batak ( pribumi yang masih berpola gotong-royong sesuku) menganggapnya tak layak. Kiranya patut direnungkan bahwa para budak di Amerika adalah orang Negro Afrika, bukan Indian.
Menurut penilaian mereka, kuli Cina lebih disukai karena ketrampilan dan ketekunanya, tapi orang Jawa lebih penurut. Juga, kuli Jawa biasanya datang bersama keluarga, yang bisa dimanfaatkan tuan kebun sebagai tenaga tambahan pada musim sibuk. Tuan kebun agaknya kurang suka pada perempuan Cina yang cenderung menghasut suaminya agar meninggalkan perkebunan setelah kontrak selesai dan menetap di tempat lain sebagai petani sayur atau tukang.
Dengan traktat Sumatra 1871 mulai nampak bagaimana pembagian wilayah antara Malaka-nya Inggris dan Hindia-nya Belanda di kedua sisi Selat Malaka. Namun agaknya tak mudah mengabaikan ikatan perdagangan antara Sumatra Timur dan Penang, Singapura, Malaka ( yang disebut Straits Settlements – Hunian Selat ) dengan Jaringan perdagangan Cina-nya.
Upah dibayar dalam dollar, mula-mula Dollar Meksiko ( Marinus & van der laan ( 1829 ) juga menyebutkan Dollar Jepang ) kemudian Dollar Straits, atau setidaknya dinyatakan dengan mata uang itu. Hingga 1890 Dollar Meksiko setara dengan 2,,2 Gulden Hindia. Tahun-tahun berikutnya nilai tukarnya turun menjadi 1.25 Gulden Belanda.
Konon Kuli Jawa merasa tertipu karena para calo menyebutkan upah dalam dollar dan uang panjar mereka pun dihitung dengan nilai tukar ( 2 Gulde Hindia ! ). Nyataya menurut Endt ( 1919 ), nilainya nyaris sama dengan Gulden Hindia. Konon pula karena kata Jawa untuk Dollar adalah ringgit.
Melongok “World Coins”, Gulden Belanda adalah Perak 94,5 % ( diturunkan 72% sejak 1922) seberat 10 gram. Dollar Republik Meksiko yang 8-Real ( dicetak hingga 1897 ) yang selanjutnya ditulis 1 Peso ( sejak 1869 ) adalah Perak 90,3% seberat 27.07 gram ( dalam tara perak = 2,59 Gulden ), kemudian menjadi 18,13 gram Perak 80 % tahun 1918-9 ( = 1,53 Gulden ) dan 16,66 gram Perak 72 % sejak 1920 ( = 1,27 Gulden ). Yen atau Dollar Jepang adalah 26,9568 gram Perak 90 % ( = 2,57 Gulden ), namun sejak 1897 lebih dinilai sebagai Perak daripada Uang. Begitu pula Dolar Inggris yang dicetak di India ( 26,9568 gram Perak 90 % dengan tanda tahun 1895-1935 ).
Untuk memahami nilai tukar kala itu, berikut kami data Dolar Straits Settlements dan Gulden Hindia / Belanda :
  • Pada katalog tertulis 90,0 % yang kami ragukan. Angka 2,28 – 1,92 – 1,17 jelas mengacu pada nilai tukar Dolar Straits yang menurut kutipan diatas setara 2,25 – 2 – 1,25 Gulden. Kembali kita melihat, telaah sosial politik tanpa pendalaman numismatik hanyalah omongkosong. Dan kita tentunya tahu bahwa gejolak tata perak masa itu terjadi sebagai dampak Perang Dunia I di Eropa.
Menurut para tuan kebun, mereka mengeluarkan alat tukar perusahaan ( Uang Perkebunan ) karena ada kekurangan mata uang kecil di Sumatra Timur. Bentuk penipuan lain yang dilakukan tuan kebun ialah kuli tidak diberi kebebasan membelanjakan upahnya........ Banyak perkebunan menggaji kulinya sebagian dengan uang buatan sendiri berupa kertas bon atau keping logam yang hanya dapat dibelanjakan di kedai perkebunan. Menurut para tuan kebun, mereka mengeluarkan alat tukar perusahaan karena ada kekurangan mata uang kecil di Sumatra Timur. Konon, Satu Dollar terdiri atas 100 “kupang” atau 1.000 “Duit”, dan keduanya itu disebut juga “Duit”
“Pernah terjadi, untuk mencegah ledakan ketidaksabaran, seorang majikan menggunting kaleng biskuit menjadi keping-keping bulat pipih, menuliskan angka-angka diatasnya, dan membayarkanya kepada para kuli Cina. Ia mengatakan, para kuli bisa menukarkan kepingan itu di Malaka. Kuli-kuli pun menyebrang ke Malaka tetapi beberapa hari kemudian datang kembali dengan kecewa. Tetapi, muslihat majikan sudah berhasil, yakni mendapatkan dolar dan mata uang logam yang diperlukanya ( Broersma 1919 )”.
Tetapi maksud pokok mengeluarkan uang sendiri adalah memaksa kuli berbenlanja. Tuan kebun memborongkan hak berdagang di perkebunan kepada seorang pelamar, biasa seorang ( kepala ) pengawas, yang kemudian mengusahakan kepada istrinya atau sanaknya yang lain. Para kuli hanya dapat berbelanja disitu untuk keperluan mereka sehari-hari.
Praktek ini juga berlaku untuk bon beras- sebagian dari upah biasanya dibayar dengan bon tersebut. Majikan berdalih bahwa mereka melakukanya untuk mencegah kuli menjudikan atau membelanjakan penghasilanya untuk membeli madat. Majikanpun mengaku membeli beras dengan harga lebih tinggi dari harga jualnya kepada kuli.....
Pemilik kedai dengan mudah memberi kredit untuk beberapa macam barang, dan mereka memberi harga yang lebih tinggi dari harga di kota terdekat. Kuli dapat menukarkan bon atau keping logamnya di kedai perkebunan, tetapi mereka menerima uang yang nilainya jauh lebih rendah. Sering penukaran demikian merupakan satu-satunya cara untuk memperoleh uang kontan.
Kedai perkebunan hanyalah satu dari mata rantai jaringan hutang yang memerangkap kuli, dan rasa tak puas kadang-kadang meluap juga. Pada 1902, kuli disebuah perkebunan menyerang administratur karena dia membayar hanya dengan uang kedai, tidak seperti biasanya, sebagian dengan mata uang perak atau tembaga dan sebagian lagi dengan kertas bon....... Serangan para kuli terhadap kedai perkebunan selalu saja terjadi. Desakan dari pemerintah agar perkebunan membayar upah dengan mata uang yang berlaku tidak dihiraukan oleh para majikan. Dengan mengeluarkan bon kedai atau bon “estate” ( perkebunan ) mereka memperkokoh cengkeraman atas para kuli. Maka belanja paksa pun berjalan terus ( Van der Brand 1907 ).
Upah tak boleh dibayarkan lewat pengawas, tetapi orang ini selalu hadir hingga dia langsung dapat menagih piutangnya. Tetapi, majikanlah yang pertama-tama menyita sebagian daari upah kuli....... Potongan terpenting tiap bulan dalam rekening kuli ialah angsuran untuk melunasi uang muka yang pernah diterimanya sewaktu dikontrak.......... Banyak kuli yang hampir tak bisa membebaskan diri dari hutang selama masa kontrak yang berlaku tiga tahun itu....
Pustaka lain kami tentang Uang Perkebunan adalah Scholten “( bab 9 – Particuliere Munten van Ondernemingen in Nederlandsch-Indie )”. ; Sayang hanya yang berupa Uang logam. Uang swasta ini ternyata tak hanya dipakai di Sumatra ( Asahan, Batu Bara, Deli, Langkat, Padang-Bedagei, Serdang ), tetapi juga di Kalimantan, Maluku ( Bacan ), dan Jawa ( Priangan, Pasuruhan ). Jadi semestinya dianggap cukup berhasil, walau dari uraian diatas merugikan para kuli.
Ada hikmah yang bisa dipetik. Uang yang tidak bernilai penuh menyebabkan adanya ikatan antara si pemegang dan si pembuat. Ikatan itu menjadi keterikatan apabila si pemegang berada di pihak yang lemah dan tak ada payung hukum yang memadai.
Scholten mendata sejumlah 51 pembuat dan 195 mata uang, yang rasanya juga bukan daftar yang lengkap. Bila berminat anda dapat menghimpunya dalam sebuah koleksi khusus. Terkait dengan uang logam Swasta yang didata Scholten, rasanya Uang NHM ( Nederlandsche Handel – Maatschappij, sub-agentschap Medan yang didata KUKI 1996 adalah Uang Kertas Swasta, walau dari nilai pecahanya : 1 – 2,50 – 5 – 10 – 25 – 50 – 100 dolla [ s ] sulit disebut uang para kuli. Kita mungkin bisa menelusurinya lewat tiga bahasa lain yang tersedia disana : ( menurut penyusunnya ) Cina, Tamil, dan Arab.
Adanya Uang Perkebunan dan Uang NHM Medan yang bernilai Dolar seharusnya menyadarkan kita tentang kawasan edar UK De Javasche Bank pada koleksi kita. Seperti namanya yang Bank Jawa, mungkin peredaranya semula hanya terpusat di Jawa. Juga melihat nilainya yang 5 Gulden keatas, boleh jadi bukan uang rakyat ( jelata ).
Berikut Uang Perkebunan yang sempat dihimpun Scholten : ( S. Scholten : De Munten van de Nederlanfsche Gebiedsdeelen Overzee 1601-1948, J. Schulman, Amsterdam 1951, bab 9 )
  • 1. Aer Kesoengei ( Asahan, Sumatra )
    • 1. 1Dollar, geel koper ( kuningan )
    • 2. 50 cents, nikkel ( nikel )
    • 3. 20 cents, kuningan
    • 4. 10 cents, koper ( tembaga )
    • 5. 5 cents, nikel
  • 2. Amsterdam-Borneo Tabak Mij. – Marienburg ( Borneo )
    • 6. 1 Dollar, kuningan
    • 7. 50 cents, nikel
    • 8. 20 cents, kuningan
    • 9. 10 cents, tembaga
    • 10. 5 cents, tembaga
  • 3. Argasari, thee-onderneming ( perkebunan teh ) ( Preanger, Java )
    • 11. ½ Arbeidsloon ( upah kerja ), kuningan : Nederlandsche en Javaansche opschrift en waarde-aanduilding. Twee gekruitse houweelen. Vierkant gat in het midden. Tulisan Jawa dan Belanda dan nilainya. Dua cangkul saling silang. Lubang segi-4 di tengah
    • 12. 20 centen, blik ( kaleng )
    • 13. Zonder waarde-aanduiding ( tanpa nilai ), kaleng
  • 4. 1 Gulden, nikel
  • 5. Bandar Poeloe ( Asahan Sumatra )
    • 15. 1 Dollar, kuningan
    • 16. 50 cents, nikel
    • 17. 20 cents, kuningan
    • 18. 10 cents, tembaga
    • 19. 5 cents, nikel
  • 6. Bedagei ( Padang-Bedagei – Sumatra ) Van Angelbeek & Brijner
    • 20. 1 Dollar, tin (?) ( Timah )
    • 21. 20 cents, timah (?)
    • 22. 5 cents, kuningan
  • 7. Begerpang Estate, Societe des tabacs de Deli ( Perkumpulan Perkebunan Tembakau Deli ) ( Serdang, Sumatra ).
    • 23. 1 Dollar, kuningan
    • 24. 50 cents, kuningan
    • 25. 20 cents, kuningan
    • 26. 10 cents, kuningan
    • 27. 5 cents, kuningan
  • 8. Binjei ( Asahan, Sumatra )
    • 28. 1 Dollar 1890, nikel
    • 29. 1/2 Dollar 1890, nikel
    • 30. 20 cents 1890, nikel
    • 31. 10 cents 1890, nikel
    • 32. 1 Dollar Reis 1890, kuningan : De waarde-aanduilding 1 Dollar Reis = 1 Dollar rijst ( beras ). Met centraal vierkant gat ( lubang segi-4 di tengah )
  • 9. Blimbing ( Batoe Bahra, Sumatra )
    • 33. 1 Dollar, kuningan
    • 34. 50 cents, tembaga
    • 35. 20 cents, tembaga
    • 36. 10 cents, kuningan
    • 37. 5 cents, timah
    • 38. 1 cents, tembaga
  • 10. Deli-Bedagei Tobacco Plantation Ld ( ltd ) ( Sumatra )
    • 39. 1 Dollar, timah
    • 40. 50 cents, timah
    • 41. 20 cents, timah
    • 42. 10 cents, kuningan
    • 43. 5 cents, kuningan
  • 11. Dolok Estate ( Batoe Bahra Sumatra )
    • 44. 1 Dollar, kuningan
    • 45. 1 Dollar, nikel : Ook aan Borneo toegeschreven ( dipakai di Borneo ? )
  • 12. Galang Exploitarie Maatschappij. Thee-onderneming ( Java )
    • 46. 5 (centen), kuningan : Waarde-cijger waarop driemaal G E M, omschrift ( naan ). Kz. G.E.M. boven drie theebladjes. Centraal doorboring. Angka nilai dikelilingi tulisan G E M 3-kali. Sisi balik : tulisan G.E.M. diatas 3-daun teh. Berlubang bulat ditengah.
  • 13. Gallia ( Serdang, Sumatra )
    • 47. 1 Dollar, kuningan
    • 48. 50 cents, kuningan
    • 49. 20 cents, kuningan
    • 50. 5 cents, kuningan
  • 14. Goerach Batoe ( Asahan, Sumatra )
    • 51. 1 Dollar 1890, nikel
    • 52. 1/2 Dollar 1890, nikel
    • 53. 20 cents 1890, nikel
    • 54. 10 cents 1890, nikel
    • 55. 1 Dollar Reis 18900, kuningan : vierkant ( segi-4 )
  • 15. Hessa ( Asahan, Sumatra )
    • 56. 1 Dollar 1888, nikel
    • 57. 1/2 Dollar 1888, nikel
    • 58. 20 cents 1888, nikel
    • 59. 10 cents 1888, nikel
    • 60. 1 Dollar reis 1888. Tembaga
    • 61. 1 Dollar 1890, nikel
    • 62. 1/2 Dollar 1890, nikel
    • 63. 20 cents 1890, nikel
    • 64. 10 cents, nikel
    • 65. 1 Dollar Reis 1890, nikel : Vijfhoekig ( segi-5 ). Duitsch opschrift ( tulisan Jerman )
============================== PIC_03==========
  • 16. Huttenbach & Co. ( Langkat, Sumatra )
    • 66. 1 Dollar, kuningan
    • 67. 50 cents, timah
    • 68. 20 cents, kuningan
    • 69. 10 cents, tembaga
    • 70. 5 cents, timah
  • 17. Jeloek Dalem ( Asahan, Sumatra )
    • 71. 1 Dollar, nikel
    • 72. 50 cents, tembaga
    • 73. 20 cents, kuningan
    • 74. 10 cents, nikel
    • 75. 5 cents, tembaga
  • 18. Kisaran ( Unternehmung ) ( Deli, Sumatra )
    • 76. 1 Dollar 1888, vernikkeld koper ( tembaga lapis nikel ) : Tulisan Jerman ; Gut Fur 1 Dollar.
  • 19. Kwala-begoemit ( Langkat, Sumatra )
    • 77. 1 Dollar bras, kuningan. Segi-4 : Tulisan Jerman : Gut fur 1 Dollar
    • 78. 50 cents, kuningan
    • 79. 20 cents, kuningan
    • 80. 10 cents, kuningan
    • 81. 5 cents, kuningan
  • 20. Lima Poeloe ( Batoe Bahra, Sumatra) Deli Batavia Maatschappij
    • 82. 500 Duiten, kaleng
    • 100 Duiten, kaleng
    • 50 Duiten, kaleng
  • 21. Lingga ( Langkat, Sumatra )
    • 85. 1 Dollar, kuningan
    • 86. 50 cents, kuningan
    • 87. 20 cents, kuningan
    • 88. 10 cents, kuningan
  • 22. Netherlands India Sumatra Tobacco Comp. ( The ) Lim
    • 89. 50 cents, kuningan
    • 90. 25 cents, timah
    • 91. 10 cents, tembaga
  • 23. Parakan Salak, thee-onderneming ( Preanger, Java )
    • 92. 10 centen, kuningan
    • 93. 5 centen, kuningan
    • 94. 2 ½ centen, kuningan : Met holle letters ( huruf Cekung ) 10 en ‘ PARAJAN SALAK ( melingkar )
    • 1 cents. Als voren ( sama seperti di atas ) met P 1 S
    • . 1/2 cent. Als voren met P ½ S
  • 24. Poeloe Radja ( Asahan, Sumatra )
    • 97. 1 Dollar 1890, nikel
    • 98. ½ Dollar 1890, nikel
    • 99. 20 cents 1890, nikel
    • 100. 10 cents 1890, nikel
    • 101. 1 Dollar Reis 1890, kuningan ( lubang bulat ditengah-tulisan Jerman
  • 25. Poeloe Samboe : Tengevolge van den Wereldoorlog 1914-18 ontstond op dit Nederlandsche Petroleum-eiland. Ongev. 10 mijl van Singapore, groot gebrek aan klein geld om de koelies te betalen. De verdere uitgifte werd spoedig door het Gouvernement verboden. Kurang lebih : Akibat Perang Dunia 1914-18 menyebabkan pulau minyak sekita 10 mil dari Singapore ini mengalami kelangkaan uang kecil. Kebijakan ini berlangsung singkat karena dilarang pemerintah.
    • 102. 1 cent, timah : Waarde-aanduiding 1 in een cirkel ( dalam lingkaran ), rondom ( melingkar ) _. SAMBOE Eenzijdig ( satu sisi ). A. Variant met P. SAMBOE (huruf ] sebagai 0 )
    • 103. 1/2 cent. Groote S ( S besar ) in een cirkel
  • 26. Rimboen ( Deli, Sumatra )
    • 104. 1 Gulden, tembaga
    • 105. 50 centen, tembaga
    • 106. 20 centen, tembaga
    • 107. 10 centen, tembaga
  • 27. Roema-kinangkong ( Deli, Sumatra)
    • 108. 1 Dollar, nikel-zink ( nikel-seng )
    • 109. 50 centen, nikel-seng
    • 20 centen, nikel-seng
    • 10 centen, nikel-seng
  • 28. Rotterdam-Borneo Maatschappij
    • 112. 1 Dollar, nikel
    • 113. 1/2 Dollar, nikel
  • 29. Saentis –Estate ( Deli, Sumatra )
    • 114. 1 Dollar (Reismarke ), kuningan : Reismarke = Teeken voor rijst ( tanda untuk beras )
  • 30. Semaian Rotterdam Estate. San Chong Hong ( Deli, Sumatra )
    • 115. 5 cents 1889, timah
    • 116. 1 cents 1889, timah
  • 31. Silau ( Asahan, Sumatra ) Asahan Tabak Maatschapppij
    • 117. 1 Dollar, nikel
    • . 1/2 Dollar, nikel
    • 119. 1/5 Dollar, nikel
    • 120. 1/10 Dollar, nikel
Tulisan Belanda dan Cina
  • 32. Simpang-tiga ( Asahan, Sumatra )
    • 121. 1 Dollar, kuningan
    • 122. 50 cents, nikel
    • 123. 20 cents, tembaga
    • 124. 10 cents, tembaga
    • 125. 5 cents, nikel
Tulisan Cina
·          
    • 126. 1 Dollar, nikel
    • 127. 50 cents, nikel
    • 128. 20 cent, nikel
    • 129. 10 cent, nikel
    • 130. 5 cent, nikel
Maleisch opschrift ( Tulisan Melayu )
  • 33. Soember-Doeren ( Pasoeroehan, Java )
131. 50 cents, tembaga
·          
    • 132. 25 cents, tembaga
    • 133. 10 cents, tembaga
Ook aan Borneo toegeschreven ( Dipakai di Borneo ? )
  • 34. Soember-Redjo ( Pasoeroehan, Java )
    • 134. 50 cents, tembaga
    • 135. 25 cents, tembaga
    • 136. 10 cents, tembaga
Ook aan Borneo toegeschreven ( Dipakai di Borneo ? )
  • 35. Soember-Soeka ( Pasoeroehan, Java )
    • 137. 50 cents, tembaga
    • 138. 25 cents, tembaga
    • 139. 10 cents, tembaga
Ook aan Borneo toegeschreven ( Dipakai di Borneo ? )
  • 36. Soember-Tangkep ( Pasoeroehan, Java )
    • 140. 50 cents, tembaga
    • 141. 25 cents, tembaga
    • 142. 10 cents, tembaga
    • 143. 5 cents, tembaga
Ook aan Borneo toegeschreven ( Dipakai di Borneo ? )
  • 37. Soember-Tempoer ( Pasoeroehan, Java )
    • 144. 50 cents, tembaga
    • 145. 25 cents, tembaga
Ook aan Borneo toegeschreven ( Dipakai di Borneo ? )
  • 38. Soengei Bamban ( Pasoeroehan, Java )
    • 146. 50 cents, timah ( alumunium ? )
    • 147. 10 cents, timah ( alumunium ? )
    • 148. 5 cents, timah ( alumunium? )
  • 39. Soengei Boenoet ( Asahan, Sumatra )
    • 149. 1 Dollar 1891, kuningan
    • 150. 50 cents 1891, nikel
    • 151. 20 cents 1891, tembaga
    • 152. 10 cents 1891, kuningan
    • 153. 5 cents 1891, nike;
  • 40. Soengei Sidkie ( Deli, Sumatra )
    • 154. 1 Dollar, tembaga
    • 155. 50 cents, tembaga
    • 156. 25 cents, tembaga
  • 41. Soengei Sikambing, Gambir Namoe Soeran & Soengei Poetih ( Deli, Sumatra )
    • 157. 4 Gantang brass, kuningan
    • 158. 3 Gantang bras, kuningan
    • 159. 2 Gantang bras, kuningan
De Guigne Freres. Met eenige Chineesche letterteekkens. 1 Gantang bras = kurang lebih 8,5 liter gepelde reijst
  • 42. Tabo ( Borneo ) Handelsonderneming “Amsterdam” Tabakonderneming
    • 160. 10 cents, kuningan
  • 43. Tanah Radja ( Asahan, Sumatra )
    • 161. 1 Dollar 1890, nikel
    • 162. 1/2 Dollar 1890, nikel
    • 163. 20 cents 1890, nikel
    • 164. 10 cents 1890, nikel
    • 165. 1 Dollar Reis 1890, nikel
Tulisan Jerman. Driehoekig ( segi-3 )
  • 44. Tandem Estate. Deli Batavia Maatschappij ( Deli, Sumatra )
    • 166. 500 Duiten ( 1/2 Dollar ), Kaleng
    • 167. 100 Duiten ( 1/10 Dollar ), kaleng
    • 168. 50 Duiten ( 1/20 Dollar ), kaleng
  • 45. Tandjong Kuba ( Padang & Bedagei, Sumatra )
    • 169. 100, nikel
    • 170. 50, kuningan
    • 171. 20, nikel
    • 172. 10, kuningan
  • 46. Tandjoeng Kasau ( Batoe Bahra, Sumatra )
    • 173. 1 Dollar, nikel
    • 174. 50 centen, nikel
    • 175. 25 centen, nikel
    • 176. 10 centen, nikel
    • 177. 5 centen, nikel
  • 47. Titian-oerat ( Serdang, Sumatra )
    • 178. 1 Mark, kuningan
    • 179. 50 ( Pfennige ), kuningan
    • 180. 25 ( Pfennige ), kuningan
    • 181. 10 ( Pfennige ), kuningan
  • 48 Tjinta-Radja ( Langkat, Sumatra )
    • 182. 20 cents, tembaga, brons ( perunggu )
    • 183. 10 cents, tembaga, perunggu
    • 184. 5 cents, tembaga, perunggu
    • 185. 3 cents, tembaga, perunggu
  • 49. Toentoengan, Eong Hong ( Deli, Sumatra )
    • 186. 20 cents, kuningan
    • 187. 10 cents, kuningan
    • 188. 5 cents, kuningan
  • 50. Wampoe ( Langkat, Sumatra )
    • 189. 1 Dollar, kuningan
    • 190. 50 cents, kuningan
    • 191. 20 cents, kuningan
    • 192. 10 cents, kuningan
GOED VOOR EEN DOLLAR ez. ( dan sebagainya ) en waarde in Chineesche lettereeken ( nilai dalam aksara Cina )
  • 51. Waspada, thee-en kina onderneming ( Preanger, Java )
    • 193. 10 cent, tembaga
    • 194. 5 cent, tembaga
    • 195. 1 cent, tembaga
“Waspada” vier (empat) javaansche letters en waarde-aan-duiding. Langwerpig ( persegi panjang )
Sekilas tampak bahwa daftar ini tak dapat dikatakan lengkap. Kita juga melihat satuan Dollar, Gulden, bahkan Mark, lalu cent, centen, dan duiten. Uang Perkebunan dengan jelas menggambarkan betapa rumitnya dunia numismatika tanah air yang luas ini.
Pembuat “Seing Huat Kedei” ( 38 ) jelas bukan pihak perkebunan tapi pemilik kedai (Melayu-nya “toko” yang kala itu mungkin masih bahasa asing ( Cina ); warung-nya Jawa ). Paling tidak ada 3 nama Cina ( 30, 38, 49 ); semuanya di Deli.
Mereka kiranya bisa dipastikan para pemilik toko, bukan tuan kebun, karena Jan Breman mencatat : Persaingan dari pihak Cina tidak dikehendaki oleh para tuan kebun Eropa. Merekapun menekan pemerintahan Kolonial dan dalam waktu singkat berhasil menutup kemungkinan pengusaha Cina untuk berusaha di bidang tanaman niaga ( Bool 1903 ).
Yang cukup menonjol dan mungkin mengejutkan kita adalah peran perkebunan Jerman. Ada beras yang Reis ( 8, 14, 15, 24, 29, 43 ), ada Duitsche opschrift ( 15, 18, 24, 43 ), malah ada yang dalam satuan Mark yang 100 Pfennige yang uang Jerman ( 47 ). Jan Breman memang mencatat, tahun 1884 warga Eropa di Sumatra Timur terdiri atas 390 orang Belanda, 123 orang Jerman, 88 orang Inggris, dari jumlah 512 orang.
Dari sebagian yang mencantumkan tahun ( 8, 14, 15, 18, 24, 30, 39, 43 ) tercatat paling awal bertahun 1888 ( 15, 18 ) dan terakhir tahun 1891 ( 39 ). Amati bahwa kelompok yang paling rajin mencantumkan tahun adalah pemakai Duitsche opschrift. Kelompok ini pula rupanya yang suka memberi Kupon Beras ( lihat Reis; 19 Dolar Bras; 41 Gantang Bras ).
Menilik tahunya yang 1888, sungguh mirip dengan Uang NHM Medan yang didata KUKI 1996 ( Medan, 14 Agustus 1888 – 14 Augustus 1890 ).Mestinya, alasan kelangkaan alat tukar ada benarnya. Yang masih tak jelas adalah penyebabnya.
Buku Scholten jelas tidak termasuk pustaka acuan Jan Breman. Dan sekali lagi kita melihat pakar Sejarah Sosial-Politik salah mengambil kesimpulan. Beras amat penting sebagai sumber tenaga para kuli, dan perlu dicukupi kebutuhanya. Pahami pula jatah beras bagi pegawai negri Indonesia.
Kelompok Jerman agaknya lebih biasa dengan ½ Dollar dari pada 50 cents. Nomor 39 Soengei Boenoet amat menarik, selain termasuk kelompok yang bertahun dan yang terakhir ( 1891 ), juga memakai 50 cents, tidak lagi 1/2 Dollar.
Selain Dollar, yang juga berbau Inggris adalah nilai 20, bukan 25 cents yang khas Belanda. Perkebunan di Jawa timur ( Pasuruhan ) memakai 25 cents. Perkebunan di Sumatra Timur rata-rata memakai 2 cents, kecuali soengei Diskie ( 40 ) dan Tandjoeng Kasau ( 46 centen ). Yang jelas memakai Gulden hanya Maluku ( 4 Batjan ) dan di Sumatera Timur hanya Rimboen ( 26 ); disana dipakai centen ( bukan cent ). Tak jelas apakah pemakaian centen menandai peralihan dari Dollar ke Gulden.
Jan Breman mencatat : Pada 1888 Chartered Bank membuka kantornya di Medan, dan tahun 1892 disusul oleh kantor Nederlandsche Handel-Maatschappij ( terbalik ? ). Penang sebagai pusat keuangan memang semakin berkurang artinya, tapi melepaskan diri dari hubungan lalu lintas keuangan dengan Straits Settlements belum dapat dilakukan. Baru pada 1908 Gulden Hindia Menggantikan Dolar sebagai satu-satunya alat pembayaran yang sah. Namun ini tidak berarti akhir dari Uang Perkebunan. Tengok saja Perkebunan di Jawa Timur yang juga menggunakanya ( untuk Borneo ? ).
Ada 2 Perkebunan ( 20, 44 ), mungkin 3 ( 45 ), yang memakai satuan Duit. Menurut Jan Breman : 1 Dollar = 100 cent = 1.000 Duit. Dari catatan pada nomer 44, memang 1 cent = 1- duit. Namun menurut R. Broersma ( 00stkust van Sumatra ), jilid 1 : De ontluiking van Deli, Batavia 1919, hal 16 ) : Als munten waren in gebruik Spaansche dollar en duiten van de Engelsche ).I.C ( 1 dollar = 20 cepongs = 240 duiten ). Untuk memahami satuan dalam Gantang Beras, Broersma mengutip Kol. Verslag 1882 dan 1885, mencatat harga : 20 tot 22 dollar de 100 gantang rijst ( hal. 116 ).
Maraknya Uang Perkebunan menunjukan berputarnya roda ekonomi di Sumatra Timur, dan orang yang disebut sebagai pionir adalah J. Nienhuys, yang tiba di Deli pada 1863. Bersama sejumlah rekan dan ditunjang oleh NHM, pada 1869 Nienhuys mendirikan Deli Maatschappij, maskapai pertama yang beroperasi di Hindia-Belanda. Pada 1873 Deli, yang berada dibawah Siak, mendapat aisten residen yang semula berada di Labuan, tapi sejak 1879 pindah ke Medan. Pada awal 1880-an di Medan terdapat tak kurang dari 60 toko, kebanyakan milik orang Cina. Pada 1883 Medan mendapat kantor pos sendiri. Koran pertama di Deli terbit pada 1885. Trayek pertama Deli Spoorweg-Maatschappij ( Perusahaan Kereta Api Deli ) dibuka pada 1886. Pada 1887 Medan ditetapkan sebagai ibukota karesidenan baru Sumatra Timur. Pindahnya Sultan Deli ( dari Labuan ) membuat Medan juga menjadi tempat pemerintahan pribumi.
Demikianlah yang dapat kami dongengkan tentang Uang Perkebunan. Buku Scholten hanya menyajikan 10 contoh Uang Logam saja, yang walau mungkin tidak lengkap, telah berjasa memperkaya catatan Dunia Numismatika Indonesia. Kami tak tahu apakah ada kolektor Uang Perkebunan di Tanah Air, atau museum di tanah air yang menyimpan contohnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar