1. Kultur Gebudenheit
Tidak dapat dipungkiri bahwa setiap
zaman “mengharuskan” sejarawan menuliskan kembali sejarahnya. Oleh karena itu,
dapat dikatakan bahwa sejarawan adalah wakil dari kebudayaannya, wakil zamannya.
Bentuk, isi dan fungsi historiografi yang ditulis menjadi beraneka ragam. Hal
ini disebabkan oleh adanya Kultur Gebundenheit (ikatan budaya) antara si
penulis sejarah dengan kebudayaan masyarakat dimana sejarawan dan karyanya
dilahirkan dan juga karena adanya Zeitgeist (jiwa jaman) yang mengikat si
penulissejarah dengan zamannya (Karl Mannheim dalam Kartodirjo,1988:244)
Setiap karya sejarah
tidak terlepas dari lingkungan kebudayaannya. Sartono Kartodirdjo(1992:64)
mendefinisikannya: “Sebagai subyektivitas
kultural, yakni sikap atau pandangan penulis sejarah itu berhubungan dengan
konteks kebudayaan masyarakatnya. Individu sejarawan sebagai anggota masyarakat
akan lebur dalam proses sosialisasi, sehingga seluruh pikiran, perasaan, dan
kemauannya terpola menurut struktur etis, estetis, dan filosofis yang berlaku
dalam masyarakat”.
Subyektivitas kultural itu tercakup pula
subyektivitas waktu, karena kebudayaan tumbuh dan berkembang dalam waktu
tertentu.
Telah menjadi istilah umum di kalangan ahli sejarah,
seorang sejarawan merupakan anak zamannya dan bersama dengan orang sezaman,
tetapi iapun menerima nilai-nilai yang dianut pada zamannya itu (Ankersmit
dalam Dudung Abdurrahman, 1999:7). Disinyalir subyektivitas waktu akan terasa
lebih sulit untuk diatasi.
Berdasarkan tinjauan mengenai subyektivitas sejarah
diatas, dapat disebutkan bahwa setiap hasil penulisan sejarah tidak seluruhnya
relatif, karena dalam karya seperti itu dapat pula diperoleh pula hal-hal yang
absolut, yakni fakta-fakta yang tidak diragukan lagi kesahihannya. Penunjukkan
fakta keras atau fakta yang telah menjadi kebenaran umum dan tidak diragukan
lagi kebenarannya.
Bila kecenderungan pribadi pangkal terjadinya
subyektivitas, sebenarnya tidak selalu merupakan penghalang bagi obyektivitas,
sebab sejarawanpun akan mampu mengetahui perasaan-perasaan subyektif dalam
dirinya dan ia akan selalu berusaha untuk berhati-hati agar tidak terjerumus
kedalam subyektivitas tersebut (Walsh dalam Dudung Abdurrahman, 1999: 8 ).
Pengetahuan sejarah yang obyektif itu justru timbul bila terdapat beberapa
pendapat antara para sejarawan. Pernyataan mereka yang berbeda mengenai
peristiwa sejarah yang sama, belumlah merupakan perbedaan pendapat, sebab
peristiwa sejarah bisa dilihat dari berbagai perspektif.
2. Tijd Gebundenheit
Historiografi
juga di pengaruhi oleh ikatan waktu atau zaman. Historiografi
yang dipandang sebagai usaha untuk menghadirkan realitas dan fakta masa lalu ke
masa kini menurut Sartono memerlukan sebuah metode untuk membuat tulisan tersebut
tidak terjerumus pada masalah yang sering dialami oleh sejarawan, yaitu masalah
subjektivitas. Ini terutama dipengaruhi oleh mitologisasi, sebab penulisan
sejarah tidak lepas dari proses mitologisasi, sebab tak dipungkiri bahwa
unsur-unsur dan sifat-sifat masa lalu dari masyarakat atau budaya yang ditulis
tentunya akan terbawa dan mempengaruhi penulisan sejarah.
Sehingga
pada tataran ini, Sartono menekankan bahwa tugas sejarawan haruslah kritis
dalam melihat dan membantu agar penulisan sejarah tidak terlalu jauh masuk ke
dalam lubang subjektivitas, dan tetap bersifat objektif.
Ikatan
zaman juga sangat berfungsi dalam menyusun rentetan dan perbandingan dalam
historiografi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar