Minggu, 06 April 2014

UNSUR-UNSUR YANG MEMPENGARUHI HISTORIOGRAFI





1. Kultur Gebudenheit
Tidak dapat dipungkiri bahwa setiap zaman “mengharuskan” sejarawan menuliskan kembali sejarahnya. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa sejarawan adalah wakil dari kebudayaannya, wakil zamannya. Bentuk, isi dan fungsi historiografi yang ditulis menjadi beraneka ragam. Hal ini disebabkan oleh adanya Kultur Gebundenheit (ikatan budaya) antara si penulis sejarah dengan kebudayaan masyarakat dimana sejarawan dan karyanya dilahirkan dan juga karena adanya Zeitgeist (jiwa jaman) yang mengikat si penulissejarah dengan zamannya (Karl Mannheim dalam Kartodirjo,1988:244)

Setiap karya sejarah tidak terlepas dari lingkungan kebudayaannya. Sartono Kartodirdjo(1992:64) mendefinisikannya:  “Sebagai subyektivitas kultural, yakni sikap atau pandangan penulis sejarah itu berhubungan dengan konteks kebudayaan masyarakatnya. Individu sejarawan sebagai anggota masyarakat akan lebur dalam proses sosialisasi, sehingga seluruh pikiran, perasaan, dan kemauannya terpola menurut struktur etis, estetis, dan filosofis yang berlaku dalam masyarakat”.

Subyektivitas kultural itu tercakup pula subyektivitas waktu, karena kebudayaan tumbuh dan berkembang dalam waktu tertentu.
Telah menjadi istilah umum di kalangan ahli sejarah, seorang sejarawan merupakan anak zamannya dan bersama dengan orang sezaman, tetapi iapun menerima nilai-nilai yang dianut pada zamannya itu (Ankersmit dalam Dudung Abdurrahman, 1999:7). Disinyalir subyektivitas waktu akan terasa lebih sulit untuk diatasi.
Berdasarkan tinjauan mengenai subyektivitas sejarah diatas, dapat disebutkan bahwa setiap hasil penulisan sejarah tidak seluruhnya relatif, karena dalam karya seperti itu dapat pula diperoleh pula hal-hal yang absolut, yakni fakta-fakta yang tidak diragukan lagi kesahihannya. Penunjukkan fakta keras atau fakta yang telah menjadi kebenaran umum dan tidak diragukan lagi kebenarannya.
Bila kecenderungan pribadi pangkal terjadinya subyektivitas, sebenarnya tidak selalu merupakan penghalang bagi obyektivitas, sebab sejarawanpun akan mampu mengetahui perasaan-perasaan subyektif dalam dirinya dan ia akan selalu berusaha untuk berhati-hati agar tidak terjerumus kedalam subyektivitas tersebut (Walsh dalam Dudung Abdurrahman, 1999: 8 ). Pengetahuan sejarah yang obyektif itu justru timbul bila terdapat beberapa pendapat antara para sejarawan. Pernyataan mereka yang berbeda mengenai peristiwa sejarah yang sama, belumlah merupakan perbedaan pendapat, sebab peristiwa sejarah bisa dilihat dari berbagai perspektif.
2.  Tijd Gebundenheit

Historiografi juga di pengaruhi oleh ikatan waktu atau zaman. Historiografi yang dipandang sebagai usaha untuk menghadirkan realitas dan fakta masa lalu ke masa kini menurut Sartono memerlukan sebuah metode untuk membuat tulisan tersebut tidak terjerumus pada masalah yang sering dialami oleh sejarawan, yaitu masalah subjektivitas. Ini terutama dipengaruhi oleh mitologisasi, sebab penulisan sejarah tidak lepas dari proses mitologisasi, sebab tak dipungkiri bahwa unsur-unsur dan sifat-sifat masa lalu dari masyarakat atau budaya yang ditulis tentunya akan terbawa dan mempengaruhi penulisan sejarah.

Sehingga pada tataran ini, Sartono menekankan bahwa tugas sejarawan haruslah kritis dalam melihat dan membantu agar penulisan sejarah tidak terlalu jauh masuk ke dalam lubang subjektivitas, dan tetap bersifat objektif.

Ikatan zaman juga sangat berfungsi dalam menyusun rentetan dan perbandingan dalam historiografi. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar