Minggu, 06 April 2014

PEMAHAMAN NASIONALISME INDONESIA DAN MARHAENISME PEMAHAMAN IR. SOEKARNO



BAB I
PENDAHULUAN
Ideologi secara harafiah diartika sebagai “a system of ideas”, suatu rangkaian ide yang terangkum menjadi satu. Dalam bukunya, Antonio Gramsi menjelaskan idiologi disamping merupakan konkrit dan memberi kerangka orientasi bagi tindakan. Atas landasan ini manusia bergerak dan memperoleh kesadaran akan kedudukannya dan perjuangannya akan masyarakat, dengan kata lain, idiologi menciptakan manusia sebagai pelaku sejarah bukan ditentukan sejarah.
      Dalam penggunaan praktisnya, istilah ini dipakai secara khas dalam bidang politik untuk menunjukkan seperangkat nilai-nilai yang terpadu berkenaan dengan hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, ditata secara sistematis menjadi satu kesatuan yang utuh.
      Adanya idiologi merupakan suatu langkah yang sangat penting untuk menghubungkan filsafat dengan kehidupan bernegara. Sementara filsafat sendiri merupakan hasil pemikiran manusia yang paling tinggi, yang timbul dalam upaya mencari kebenaran yang paling mendasar. Kebenaran dicari karena kecintaan kepada kebenaran itu sendiri (philos : cinta, sophia: kebenaran). Pemikiran filsafat yang sudah mencapai kematangan cenderung untuk dikristalisasikan menjadi suatu sistem filsafat. Dengan demikian kebenaran-kebenaran yang dikandungnya dapat dipelajari serta dimasyarakatkan.
      Filsafat dapat bertumpu pada pemikiran seorang filsuf, yang melahirkan aliran-aliran filsafat; dapat juga merupakan kristalisasi pemikiran terdalam suatu bangsa seperti misalnya filsafat Yunani, India maupun Cina.
      Jika ini bukan hanya sekedar tahu, tetapi juga untuk melakukan kebenarkan yang dikandung oleh filsafat secara taat azas, maka kita harus memasuki kategori pemikiran lain; IDEOLOGI. Indeologi juga merupakan komitmen untuk melakukan suatu ajaran filsafat; akan mensistematiskan segala pemikiran mengenai kehidupan, dan melengkapinya dengan sarana , serta kebijakan dan strategi, dengan tujuan menyesuaikan keadaan nyata dengan nilai-nilai yang terkandung dalam filsafat yang menjadi induknya.
      Menurut Edwars Shils jika manusia sudah menjadi suatu taraf perkembangan intelektual tertentu, maka manusia tersebut cenderung untuk menyusun ideologi merupakan ciri dasar kemanusiaan. Dengan perkataan lain, semakin cerdas dan terdidik warga masyarakat, semakin meningkat wawasan akan ideologinya.
      Alrian mengungkapkan, suatu ideologiperlu mengadung tiga dimensi penting dalam dirinya agar dapat memelihara relevansinya tinggi/kuat terhadap aspirasi perkembangan masyarakat dan tuntutan perkembangan jaman. Ketiga dimensi tersebut saling berkaitan, saling mengisi dan saling memperkuat, yang membuatnya menjadi suatu idiologi yang tahan uji dari masa ke masa. Ketiga dimensi itu adalah : (1) Dimensi Realita, (2) Dimensi Idealisme, (3) Dimensi Fleksibilitas (pengembangan).
      Dari segi dimensi realita, idiologi mengandung makna bahwa nilai-nilai yang terkandung di dalam diri nya bersumber dari nilai-nilai yang hidup dalam masyarakatnya, terutama saat idiologi tersebut lahir. Sehingga mereka benar-benar merasakan dan menghayatinya bahwa nilai-nilai tersebut adalah milik mereka bersama. Dengan demikian nilai-nilai dasar idiologi itu harus trtanam dalam masyarakat.
      Dilihat dari segi dimensi idealisme, suatu idiologi perlu mengandung cita-cita yang ingin dicapai dalam berbagai bidang kehidupan masyarakat, berbangsa dan bernegara. Melalui idealisme dan cita-cita yang terkandung dalam idiologi yang dihayati;  Suatu masyarakat atau bangsa mengetahui kearah mana mereka ingin membangun kehidupan bersama mereka.Idealisme atau cita-cita tersebut seyogyanya berisi harapan-harapan yang masuk akal, bukan lambungan angan-angan yang sama sekali tidak mungkin terealisasi. Karena itu dalam idiologi yang tangguh biasanya terjalin perkaitan saling mengisi dan saling memperkuat antara dimensi realita  dengan dimensi idealisme yang terkandung di dalamnya. Dengan begitu idiologi tersebut akan berhasil menjadikan dirinya sebagai landasan atau dasar (melalui dimensi realita). Dan sekaligus menjadi tujuan (melalui dimensi idealisme) dalam membangun berbagai bidang kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
      Perkembangan kehidupan masyarakat yang berjalan dengan cepat dapat memunculkan realita-realita yang baru, yang bisa saja menyimpang dari idealisme yang terkandung dalam idiologi.jika hal yang demikian itu terjadi, maka dengan berpedoman pada nilai-nilai dasar idiologi, realita-realita yang menyimpang itu akan dapat diperbaiki atau dibetulkan.
      Akan tetapi masalah yang kerap terjadi bukan karena realitas-realitas baru itu menyimpang dari nilai-nilai dasar idiologi, melainkan karena pengembangan, pemikiran masyarakat berjalan lebih lamban dan laju proses pembangunan diri mereka, sehingga menyulitkan mereka untuk memperoleh makan yang secara idiologis relevan dengan realita-realita yang baru mereka hadapi dari waktu ke waktu. Disinilah terlihat adanya kebutuhan bagi idiologi dimensi ketiga, yakni dimensi-fleksibel atau dimensi pengembangan yang memungkinkan berkembangnya pemikiran baru tentang idiologi tanpa menghilangkan hakekat yang terkandung dalam idiologi tersebut. Melalui pengembangan pemikiran-pemikiran baru itum idiologi tersebut akan dapag memelihara makna dan relevansi nya tanpa kehilangan hakekatnya, sehingga dengan idiologi tersebut nilai-nilai nya tetap memasyarakat dan tetap menzaman.















BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Sejarah Nasionalisme di Dunia
Para ahli sejarah boleh dikatakan sependapat bahwa perasaan kebangsaan yang pertama-tama menampakkan diri secara kongkrit adalah perasaan orang Romawi. Artintya, bahwa seorang yang menamakan diri sebagai “romance burger” diseluruh Kerajaan Romawi baik wilayah asli maupun wilayah takhlukkan mendapat jaminan dan perlindungan hukum. Untuk itu diperlukan pernyataan daripada dirinya, yang terkenal berbunyi, “Aku adalah orang Romawi”.
 Selanjutnya paham Nasionalisme modern mulai bersemi pada abad XVII di Eropa, tepatnya di Inggris. Abad itu untuk pertama kali melihat Inggris sebagai bangsa yang memiliki kedudukan memimpin bangsa Eropa. Pemimpinnya, Oliver Cronwell melalui revolusi Puritan menggambarkan Nasionalisme sebagai “Kemerdekaan hatri Nurani dan kemerdekaan warga negara adalah 2 hal yang mulia yang harus kita terima dengan hati puas sebagai anugrah Tuhan”. Dengan pernyataannya “Gereja Merdeka” mengkehendaki “Negara Merdeka”. Jadi, Nasinalisme mempertahankan corak aslinya dengan corak keagamaan.
Sedangkan di Asia, Nasionalisme itu  sudah lama ada dalam bentuk suatu kepribadian sendiri-sendiri. Kepribadian tersebut dapat dilihat pada adanya imoeriumpan Asia Pertama didirikan oleh Bangsa Mongol, dengan anggapan dari penduduk Tiongkok, bahwa Tiongkok sama denga dunia dan peradaban.
Kemajuan Barat dan kelemahan peradaban Timur memungkingkan Eropa memperluas kekuasaannya di seluruh pelosok dunia dalam abad XVIII dan ke XIX. Bersamaan dengan datangnya orang-orang Eropa, datangnya cara-=cara barat mengenai pengaruh tersebut dapat dimanfaatkan oleh Jepang dengan kemenangan atas Rusia pada tahun 1905, yang membuktikan bahwa Bangsa “terbelakang” dengan menggunakan tekhnik-tekhnik cara lain dan organisasi barat dan menundukkan imperium kulit “putih”. Sehingga kemenangan Jepang tersebut menghasratkan perubahan yang merajalela yang diingkan di Asia oleh pergerakan Nasionalisme.
Ada beberapa perbedaan Nasionalisme di Eropa dan di Asia.
1. Nasionalisme di Asia lahir sebagai aksi terhadap sistem imprealisme di Eropa, Nasionalisme di Eropa lahir atas perubahan sistem feodal ke sistem kapital.
2. Nasionalisme di Asia lahir dengan mengandung kebenarak terhadap Ras kulit putih hal mana yang tidak dapat dikatakan untuk Eropa.
3. Nasionalisme di Asia lahir mengandung rasa solider dengan bangsa-bangsa lainnya diseluruh benua Asia hal mana tidak boleh dikatakan untuk Eropa.

2.2 Sejarah Nasionalisme di Indonesia
Kapan dimulainya Nasionalisme di Indonesia? Tidak dapat disebutkan atau diperkirakan secara tepat. Ini merupakan fase yang baru mulai disebut dengan jelas dan terorganisir pada dasawarsa kedua abad kedua puluh, namun unsur pokoknya yang penting sudah ada jauh sebelumnya,mungkin bahwa beberapa sudah ada pada periode takkala dampak pemerintahan nasionalisme laten yang bersifat embrio, telah ada dalam masing – masing inti di Indonesia, dan adanya kepemimpinan. Bahkan para bangsawan tradisonal yang mereka junjung menolak untuk disebut nasionalis karena mendukung orang belanda dengan maksud agar kepentingan pribadi mereka benar terpenuhi. Hampir setiap kali ada kesempatan bisa benar-benar melawan belanda, bangsa indonesia segera mendapat dukungan kuat dari kalangan tani Indonesia. Akan tetapi struktur masyarakat kolonial adalah sedemikian rupa sehingga tanpa bimbingan seorang elite pribumi, kaum tani biasanya tidak mampu memahami hubungan antara posisinya yang direndahkan dari kekuasaan Belanda. Maka pada saat itu diperlukan kepemimpinan terutama dari seorang elit pribumi.
            Nasionalisme secara modern di Indonesia bisa dikatakan baru mulai tumbuh secara sangat perlahan pada tahun 1908 tepatnya pada tanggal 20 mei yaitu pada saat terbentuknya budi utomo yang didirikan oleh pelajar Dr.Wahidin Sudiro Husodo dan sutomo serta kawan-kawanya.Gerakan Nasionalisme Budi Utomo ini bukan lah Nasionalisme yang secara frontal untuk melakukan pertentangan terhadap kolonialisme belanda dalam perjuangan kemerdekaan Negara Indonesia. Karena gerakan ini hanya bermula pada kesadaran kebangsaan yang timbul dengan tujuan pada perbaikan pendidikan rakyat, yang pada saat itu terbatas pada lingkungan rakyat dimana mereka berada, yaitu di jawa . sementara orang-orang itu yang pertama kali merundingkan dan memulai aktivitasnya di Budi Utomo ini memang hanya meliputi  dari daerah Jawa,sunda,dan Madura, Pelajar-pelajar lain yang berasal dari Ambon,Manado dan Sumatera. Ketakutan Soetomo nantinya mereka menolak ajakan Soetomo dan justu memperolok ide Soetomo tersebut karena diantara mereka sudah merasa bahagia mendapat persamaan hak dengan orang belanda dalam memperoleh pendidikan di Sekolah Kedokteran STOVIA dari pemerintah Hindia – Belanda.
Nilai esensial dari Gerakan Nasionalisme Budi Utomo ini  terletak pada kesadaran memperjuangkan kemajuan pendidikan rakyat, kesadaran yang timbul akibat kesenjangan yang ditimbulkan oleh Pemerintah Hinda – Belanda antara orang kulit putih dengan rakyat yang miskin.
            Proses perkembangan Nasionalisme di Indonesia selanjutnya pada Pencetusan ikrar Sumpah Pemuda pada tahun 1928 dengan ikrarnya, mengakui bertanah tumpah darah yang satu,tanah air indonesia, mengakui berbangsa satu, bangsa indonesia, menjungjung bahasa persatuan, bahasa indonesia. Ikrar ini merupakan hasil kongres Pemuda Indonesia, Yang sebelumnya dilakukan penggalangan persatuan gerakan politik pada tanggal 17 desember 1927 dengan pembentukan Pemufakatan Perhimpun politik kebangsaaan indonesia (PPPKI) dengan inisiatif dari Soekarno. Yang termasuk didalamnya  adalah Partai Nasionalis Indonesia, PSI , Budi Utomo , Pasudan , Perkumpulan Kaum Betawi. Indonesiche Studi Club dan Sumatranen Bond. Barisan ini tidak saja diarahkan keluar tetapi juga kedalam, tidak saja karena diserang tetapi tetap menghimpun kekuatan walaupun tidak diserang, dan kalau perlu tidak memprotes, tetapi menangkis atau mendesak.
            Esensi dari nasionalisme pemuda dalam Sumpah Pemuda pada tahun 1928 ini, bahwa pemuda Indonesia menuju pada arah kesatuan kebangsaan yang diinginkan didalam koridor Indonesia, dengan pernyataan ikrarnya yang menghantam secara langsung dan tegas kepada pemerintah Kolonialis Hindia – Belanda.
            Dan puncak dari gerakan nasionalisme Indonesia dalam melakukan penetangan terhadap penjajahan imprelialisme dan kolonialisme terjadi pada tanggal 17 Agustus 1945 pada saat dibacakan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia oleh Soekarno – Hatta . Pernyataan Proklamasi Kemerdekaan ini merupakan pendobrak terhadap keseluruhan nilai – nilai kolonial yang diterapkan oleh pemerintah penjajahan baik dari negara manapun dan juga sekaligus usaha untuk menentukan perwujudan dari bangsa dan negara Indonesia terhadap diri sendiri serta terhadap bangsa dan negara lain.Nilai esensi dari proklamasi Kemerdekaan Indonesia adalah kebulatan tekad dari rakyat indonesia terutama pemuda  Indonesia untuk menentukan cita – cita, idiologi dan arah tujuan bangsa dan negara indonesia.
            Dalam hal pergerakan nasionalisme Indonesia, Penulis hanya memunculkan tiga kejadian sejarah dengan alasan karena pada tiga kejadian tersebut mempunyai nilai nilai esensial yang berhubungan satu sama lain mengalami peningkatan untuk menuju ke satu tujuan dan nilai  tersebut masih juga dapat menjadi pedoman didalam mewujudkan Nasionalisme di era sekarang maupun yang akan datang (era globalisai).

2.3 Nasionalisme Indonesia dewasa Ini Menuju Era Globalisasi
            John Naisbitt memperkirakan bahwa saat ini maupun yang akan datang paham kebangsaan itu akan berakhir dan negara di dunia akan berkembang menjadi seribu negara. Karena masing masing unsur dari suatu negara akan membentuk negara baru demi perusahaan kecil. Perkiraan John Naisbitt tersebut bisa dimaklumi apalagi dengan kondisi di era generasi yang menggandrungi diidologisasi dan menggangap bahwa nasionalisme merupakan suatu pembicaraan yang bersifat nostalgia dan romantisme tentang kepahitan perjuangan. Mereka ragu dan bertanya tanya nasionalisme itu masih hidup? Jika ya, dalam bentuk apa dan bagaimana nasionalsme itu hidup?
            Di dalam era perjuangan dan era Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, nasionalime sebagai idiologi dihadapkan pada tantangan yang bergerak secara perlahan dala kesadaran kedaerahan,kerukunan dan lantas mencapai tingkat kesadaran kebangsaan sehingga berkembang menjadi kesadaran untuk mengusir penjajah dan mencapai kemerdekaan bangsa dan negara. Dalam hal ini historis nasionalisme tidak dapat dilihat terlepas dari lingkungan sosial politik tersebut, dengan arti kata bahwa nasionalisme adalah idiologi penantang.
            Sedangkan di era sesudah kemerdekan, nasionalisme itu sendiri berusaha untuk mewujudkan dirinya dalam usaha untuk melepaskan diri dari cengkraman ekonomi kolonial, digantikan dengan suatu sistem ekonomi nasionalis. Namun untuk merombak sistem ekonomi kolonial pada waktu itu tidak terbuka jalan lain daripada secara selektif/seluruhnya menyita modal asing dan perusahaan asing terutama milik belanda.
            Pada kehidupa dewasa ini, jarang terdengar/terbetik berita yang mencantumkan kata nasionalisme diucapkan/didengar, maka orang tersebut sudah menjadi seorang nasionalis. Namun nasionalisme merupakan bukan sebuah produk akhir akan tetapi proses dalam wujud apapun tetap diperlukan dan dijabarkan dalam menjawab tantangan didalam kehidupan sosial politik bangsa kita. Seperti yang diungkapkan soekarno yang menyataakan bahwa nasionalisme itu merupakan sebuah itikad, suatu keinsyafan rakyat, bahwa rakyat itu adalah satu golongan, satu bangsa dan diperlukan rasa nasionalistis ini untuk menimbulkan suatu rasa percaya akan diri sendiri, rasa yang mana adalah perlu sekali untuk mempertahankan diri didalam perjuangan menempuh keadaan yang mau mengalahkan kita.
            Semua idiologi didunia modern sama sekali tidak dapat dipahami tanpa nasionalisme.Dewasa ini banyak konflik diantara negara dan nasionalisme hampir selalu merupakan bagian dari konflik ini . oleh karena itu untuk memahami konflik tersebut kita harus memahami nasionalisme.
            Rasa nasionalisme ini menjadi suatu perasaan memiliki (Feeling of belonging) dengan melalui pengakuan terhadap simbol – simbol atau lambang nasionalistis seperti bendera dan lagu kebangsaan nasional. Kita memberikan respon secara emosional; kita tidak berfikir mengenai betapa jeleknya sebuah lagu nasional/ bahwa bendera adalah potongan kain berwarna yang dijahit. Kita melihat dan merasakan di dalamnya suatu emosi yang membentuk kita menjadi satu di dalam suatu komunitas.
            Berpijak atas situasi sekarang kita harus mampu memperkirakan kecenderungan perkembangan masa depan dan mempersiapkan diri memanfaatkan perkembangan yang terjadi bagi kepentingan bangsa kita. Permasalahan yang terjadi pada situasi sekarang juga merupakan dampak dari tujuan kearah globalisasi. Perkataan globalisasi ini sebenarnya bukan istilah yang baru sama sekali serta suatu kejutan yang istimewa. Karena sebelumnya sudah lama ada yang dikenal dengan istilah “Internasionalisme”, istilah ini disampaikan oleh Bung karno pada pidatonya tanggal 1 Juni 1945 menanggapi pertanyaan dari KRT. Radjiman Widiodiningrat ( Ketua Badan Penyelidik Usaha-usaha Kemerdekaan ) : “apa dasar Negara Indonesia Merdeka?”
Dasar negara Indonesia merdeka adalah Pancasila dengan rumusan dan urutannya:
a. Kebangsaan indonesia
b. Internasionalisme/Perikemanusiaan.
c. Mufakat/Demokrasi
d. Kesejahteraan sosial.
e. Ketuhanan yang maha esa
jadi istilah internasional lebih dititik beratkan kepada rasa kemanusiaan atau “humanisme”.
            Globalisasi mengandung arti suatu dan kondisi yang dinamis ; sedangkan globalisasi mengandung arti aktivitas kearah globalisme itu. Sebagian besar pendapat orang menyatakan bahwa globalisme merupakan proses Neo-Kolonialisme, Neo-kapitalisme, Neo-Feodalisme, Neo-Borjuisme, yang mengutamakan eksploitasi dunia berkembang/dunia ketiga untuk kepentingan dunia industri maju dan juga mengutamakan suatu hubungan ketergantungan dunia berkembang/dunia ketiga dalam segala bidang terhadap dunia industri maju.
Dalam kaitan inilah kita teringat pada apa yang pernah popular tempo hari di tanah air kita tentang adanya Neo-Kolonialisme dan Imperialisme yang oleh Bung Karno disebut Nekolim.
Globalisasi walaupun menonjol di bidang ekonomi tetapi juga menyangkut bidang politik, militer, idiologi, informasi, IPTEK, social budaya termasuk gaya hidup dan bidang lainnya. Karena semua bidang itu satu sama lainnya berkaitan.
Di bidang ekonomi, Globalisasi terpancar gerakannya menjadi pengaruh ke seluruh global adalah Amerika, Eropa Barat, dan Jepang. Diperkirakan bahwa dewasa ini bahwa tiga kutub dunia menguasai sekitar 70% menguasai sumber IPTEK, sumber finek, dan sumber tenaga profesional. Arah mereka kepada negara-negara berkembang khususnya Asia, Afrika, dan Amerika latin. Dengan tujuan untuk memperoleh bahan-bahan mentah, tempat pemasaran yang luas bagi hasil industri mereka serta tenaga kerja yang melimpah dan murah untuk penanaman modal mereka.
Di bidang politik, sudah sejak lama dunia Barat mendominasi kehidupan politik non-barat. Di bidang militerisasi, sampai dewasa ini,   persenjataan modern barat menyebar ke-dunia ketiga, di bidang ekologi, sudah lama pencemaran oleh industri barat terhadap lingkungan beralih ke dunia ketiga. Di bidang informasi, makin mudahnya menangkap pemberitaan dunia melalui  media massa dan media elektronika. Di bidang social budaya penyebaran nilai-nilai budaya barat beserta gaya hidupnya banyak merambah Dunia Ketiga, serta globalisasi dalam bidang lainnya.
Melihat perkembangan globalisasi diatas, maka diperlukan suatu counter terhadap globalisasi tersebut dalam bentuk Nasionalisme yang mandiri. Menyadari bahwa globalisasi yang digetarkan dan digerakkan oleh Dunia Barat dan jepang yang dewasa ini, sukar untuk dipatahkan maka Nasionalisme Dunia Ketiga tidak ada jalan lain selain menyesuaikan kelangsungan hidupnya dengan realita. Menyesuaikan itu tidak mengandung arti menyerah tetapi menghadapinya sambil mau dan mampu menoper yang positif dan menolak yang negatif.
Dalam hal ini tidak diperlukan Nasinalisme yang baru, karena nasionalisme yang disampaikan oleh para “Founding Fathers” Republik Indonesia adalah modern, tidak kuno. Nasionalisme yang dulu didengung-dengungkan oleh bung Karno bukan Nasionalisme yang keningratan; nasionalisme yang seolah-olah menjadi “pohon beringin” untuk melindungi rakyat, namun kesetiannya tetap terhadap pertuaan dan kaum diatas. Tetapi Nasionalisme yang dicetuskan Bung Karno adalah Nasionalisme yang berperikemanusiaan, nasionalisme yang berdemokrasi dan berkeadilan sosial atau yang disebut dengan sosio nasionalisme dan sosio demokrasi. Dan segala sesuatunya dengan meminta ridho dari Tuhan sehingga nasionalisme itu juga merupakan Nasionalisme yang religius.
Konsep nasionalisme tersebut merupakan konsep yang identik dengan Marhaenisme dengan Pancasila yang ditawarkan bung Karno. Sedangkan dengan konsep Pancasil sekarang, tidak ada pertentangan karena melalui pidato Bung karno pada tanggal 1 Juni 1945, telah ditetapkan oleh “Panitia Lima” M. Hatta, ahmad Soebarjo,Djojoadisurjo, A.A. Maramis, A.G. Pringgodigdo, bahwa Bung Karno-lah yang merupakan penggali Pancasila, bukan M.Yamin. maka penjabaran nasionalisme Indonesia dilandaskan pada idiologi Pancasila dengan konsep sekarang adalah sebagai berikut:
a. Paham kebangsaan yang memiliki landasan spiritual, modal dan etik dengan berdasarkan kepada Ketuhanan Yang Maha Esa. Karena rasa Nasionalisme itu merupakan suatu wahyu dari Tuhan Yang Maha Esa. Sehingga manusia Indonesia secara sosiologhis mempunyai keyakinan Ketuhanan, maka melaksanakan rasa itu menjadi suatu bakti.
b. Paham kebangsaan yang menentang bentuk exploitasion I’homme par I’homme maupun exploitasion de I’nation par I’ nation yaitu bentuk penindasan baik yang dilakukan oleh manusia terhadap manusia lain maupun penindnasan paham kebangsaanasan bangsa terhadap bangsa lain. Karena paham kebangsaan ini mengajarkan untuk menghormati harkat dan martabat manusia dan menjamin hak-hak asasi manusia serta yang diinginkan bukan nasionalistis yanbg chauvinistis,namun nasionalisme yang juga diuraikan oleh Mahatma Ghandi bahwa cintanya pada tanah air termasuk cintanya pada segala manusia.
c. paham kebangsaan yang mengharapkanu untuk tetap menjaga suatu koridor persatuan dan kesatuan didalam kehidupan berbangsa, namun dengan tidak menghilangkan kebhinekaan yang ada baik secara kedaerahan maupun keagamaan yang justru harus dijaga dan dilestarikan nilai-nilai luhur budaya dan agama tersebut.
d. paham kebangsaan yang berakar pada azaz bahwa kedaulatan berada ditangan rakyatserta menantang segala bentuk fedoalisme, totaliter dan kediktatoran oleh mayoritas maupun minoritas karena kebijaksanaan rakyat yang diambil berdasarkan pada musyawarah mufakat dengan nilai-nilai demokratis.
e. paham kebangsaan yang jugamencita-citakan perwujudan suatu masyarakat yang adil dan makmur yang tidak hanya diartikan daidalam arti material, tetapi juga dalam arti pengetahuan dan batiniah seperti amanat dalam Soekarno bahwa untuk mencapai masyarakat adil danm makmur itu diperlukan minimal :
Ø  Semangat yang berkobar-kobar dan pantang menyerah
Ø  Ilmu pengetahuan yang terus-menerus ditingkatkan sesuai dengan tuntutan zaman
Ø  Pengabdian yang tanpa pamrih untuk kepentingan umum.











2.4 Lahirnya Marhaenisme
         Untuk memahami marhaenis sebagai suatu ideology,tidak bisa tidak kita harus memepelajari sejarah, asalusul teori ini di ungkapkap kan oleh penggagasnya. Bung karno menggagaskan bahwa marhaennisme itu adalah suatu gagasan ide untuk bangsa indonesia mencapai kemerdekaan yang di cita-cita kan. Cuma seperti tadi di atas bahwa idelogi mengandung dimensi fleksibel/pengembangan, bung karno sudah memprediksi bahwa ketika indonesi sudah merdeka,musuh bukan lantas hilang melainkan berubah wujud, yang terus di hadapi dari kolonialisme/kapitalisme menjadi neokolonialisme dan neo kapitalisme.
        Asal usu; ide itu sendiri di temukan oleh bung karno,ketika beliau dalam perjalanan ke cigalerang,bandung selatan,soekarno(muda) betemu denngan seorang petani bernama marhaen. Kehidupan marhaen begitu miskin mekipun dia memepunyai faktor-faktor produksi seperti tanah,gubuk dan perlatan untuk mengolah tanah.apa yang di jumpai bung karno pada masa itu adalah kodisi ril sebagian besar masyarakat indonesia(masa koloni Belanda).
            Melalui perenungannya, Bung Karno sampai pada suatu pemikiran bahwa si petani ( masyarakat Indonesia umunya ) miskin karena sistem kapitalisme-imprealisme yang terjadi pada masa penjajahan; kesimpulan yang diambil oleh Bung Karno yaitu bahwa si petani miskin karena dimiskinkan oleh sistem, yaitu sistem kapitalisme. Untuk menghapuskan sistem yang tidak manusiawi tersebut, bung Karno merumuskan satu ideologi perlawanan yang kemudian disebut MARHAENISME. Dan untuk selanjutnya teori perjuangan tersebut dirumuskan oleh Bung Karno melalui pemahaman realitas yang dialami oleh sebagian besar rakyat Indonesia pada masa itu.
            Untuk memudahkan kita dalam memahami pengertian Marhaen, Marhaenis dan Marhaenisme, berikut dikutip keputusan Kongres Partindo (Partai yang menganut Azas Marhaenisme) tahap 1933 :
-          Marhaen yaitu kaum proletar Indonesia, kaum tani Indonesia yang melarat dan kaum melarat Indonesia lainnya.
-          Marhaenisme adalah azas yang mengkehendaki susunan masyarakat dan susunan negeri yang demikian itu, yang oleh karenanya harus suatu cara perjuangan yang revolusioner. Jadi Marhaenisme adalah cara perjuangan dan azas yang mengkehendaki hilangnya kapitalisme dan imperialisme.
-          Marhaenisme adalah tiap-tiap orang Bangsa Indonesia yang berjuang sesuai dengan Marhaenisme dan yang menjalani Marhaenisme.

2.5 Marhaenisme Sebagai Suatu Azas Kehidupan Berbangsa dan Bernegara
            Untuk memahami marhaenisme sebagai suatu azas dalam kehidupan berbangsa dan bernegara kita harus pula menelaah sejarah perjuangan nasional dan sejarah lahirnya PANCASILA. Pancasila merupakan kristalisasi pemikiran kita sebagai bangsa yang tumbuh dari sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia di abad ke-20 yang bermuara pada sidang-sidang “para Pendiri bangsa” dalam BPUPKI dan PPKI.
            Dalam sidang BPUPKI, penting dicatat peran Bung Karno sebagai penggali Pancasila. Pada pidato di depan sidang BPUPKI hari ketiga ( 1 Juni 1945 ) Bung karno mengusulkan Pancasila sebagai dasar negara untuk menanggapi pertanyaan kedua BPUPKI tentang apa dasar negara Indonesia merdeka. Kelak dikemudian hari pidato tersebut dikenal sebagai pidato lahirnya Pancasila dan tanggal 1 Juni 1945 dikenang sebagai lahirnya Pancasila (baca Pidato Lahirnya Pancasila).
            Dalam pidato tersebut, Bung Karno mengusulkan Pancasila sebagai dasar negara yang diformulasikan beliau pertama sekali sebagai:
a. Kebangsaan Indonesia
b. Internasionalisme atau Perikemanusiaan
c. Mufakat atau Demokrasi
d. Kesejahteraan Sosial
e. Ketuhanan Yang Maha Esa
            Dalam pidato Bung Karno tanggal ! Juni tersebut, beliau menyebutkan Trisila dan Ekasila.
...Kalau barangkali ada saudara-saudara yang tidak suka bilang lima itu? Berpuluh-puluh tahun sudah saya pikirkan dia, ialah dasar-dasar Indonesia Merdeka, Weltanschauung kit. Dua dasar pertama kebangsaan dan internasionalisme, Kebangsaan dan Perikemanusiaan, yang diperas menjadi satu; itulah yang dahulu saya namakan Sosio Nasionalisme, dan demokrasi yang bukan demokrasi barat, tetapi politieke-ekonomishe demokratie, yaitu politieke-demokratie dengan social rechvaardigheid, demokrasi dengan kesejahteraan, saya peraskan pula menjadi satu; inilah yang dulu saya namakan SOSIO DEMOKRATIE. Tinggal lahi KETUHANAN yang menghormati satu sama lain.
            Jadi yang aslinya lima itu telah menjadi tiga yaitu Sosio Nationalisme, Sisio Demokratie dan Ketuhanan. Kalau tuan-tuan senang dengan simbolik tiga ambillah yang tiga ini. Tetapi barang kali tidak semua tua-tuan senang dengan trisila ini dan minta satu dasar saja? Baiklah saya jadikan satu, saya kumpulkan lagi , menjadi satu , apakah yang satu itu ? sebagai tadi saya katakan, kita mendirikan bangsa indonesia yang semua harus mendukungnya. Semua buat semua ! bukan kristen untuk indonesia, bukan golongan islam untuk indonesia, bukan hadikusumo untuk indonesia . semua buat semua ! Jika saya peras yang lima menjadi tiga dan tiga menjadi satu, maka dapatlah perkataan indonesia tulen yaitu “gotong royong “ Negara indonesia yang kita dirikan haruslah gotong royong. Alangkah hebatnya! Negara Gotong royong.
            Dalam Pidato tersebut, BK menyebutkan Sosio-Nationalisme.Dengan Sosio-nationalisme, masyarakat tercakup tujuan meperbaiki keadaan di dalam masyarakat sehingga tidak ada lagi kaum yang tertindas, tidak ada ketimpangan, tidak ada kaum papa sengasara. Oleh karena Sosio-Nasionalisme menolak tindakan borjuisme yang menyebabkan kepincangan masyarakat.
            Sementara Sosio-Democratie diartikan BK sebagai demokrasi yang mencari keberesan politik dan keberesan ekonomi, keberesan negara dan keberesan rezeki. Demokrasi politik dan demokrasi ekonomi. Dari kedua sila tersebut didukung landasan moral ketuhanan.

2.6 Marhaenisme Azas Perjuangan
            Dari uraian-uraian di atas, bahwa marhaenisme dan pancasila memiliki cita-cita sosial yang sama. Dan dengan demikian kaum marhaenis yang menganut ajaran Marhaenisme haruslah mempunyai visi dan misi sebagai berikut :
Visi
Mewujudkan masyarakat adil dan makmur berdasarkan pancasila.
-          Adil dalam pengertian tidak ada penindasan manusia atas manusia, bangsa atas bangsa
-          Makmur berarti sesuai dengan tuntutan budi nurani kemanusiaan yang terus berkembang.
Misi
Dalam  rangka mewujudkan visi tersebut sebagai kaum marhaenis haruslah menjalankan misi pendidikan rakyat menjadi sadar dan radikal.
-          Sadar dalam pengertian memahami permasalahan yang menghambat perkembangan budi nurani kemanusiaan.
-          Radikal dalam pengertian kesadaran tersebut akan membawa kepada sikap menyingkirkan hambatan bagi berkembangnya budi nurani kemanusiaan secara menyeluruh.
Dalam Prakteknya, hendaknya misi tersebut dimanivestasikan dalam wujud :
A. Misi Pencerahan (Matchvorming dan Match Undewending)
      Kegelapan masih menyelimuti peradan dan kebudayaan dunia. Semangat perbudakan pembodohan, penggunaan kekerasan yang tidak manusiawi serta upaya memanipulasi nilai nilai kebenaran yang masih merajalela. Kegelapan peradaban dan kebudayaan serta kemerosotan moral adalah tantangan perjuangan yang harus dilenyapkan untuk terciptanya masyarakat yang adil dan makmur, sejahtera sentosa, aman dan damai beradab.
B. Misi Pembebasan (Massa Aksi dan Aksi Massa)
      Proses kemiskinan struktural dengan cara terorganisir dan didukung oleh sistem yang masih menindas masih berjalan di lapangan politik, ekonomi dan sosial budaya. Oleh karena itu adanya perbudakan antara manusia dengan manusia, perbudakan bangsa atas bangsa lainnya masih merajalela. Untuk menghapuskan keadaan yang tidak adil tersebut segenap korban ketidakadilan harus dibangkitkan dengan penuh kesadaran untuk berjuang melenyapkan ketidakadilan.
C. Misi Pembelaan atau Pemberdayaan
      Kaum tertindas selalu lemah berhadapan dengan penindasnya. Kaum tertindas seringkali tidak dapat melakukan perlawanan untuk membebaskan diri dari kenyataan yang membelenggunya disebabkan oleh rendahnya semangat dari perlawanan dan juga disebabkan tidak memiliki pengetahuan untuk pembebasan (Perlawanan). Agar kaum yang menjadi korban ketidakadilan dapat bangkit dan bersatu melakukan massa aksi diperlukan pembelaan dan pemberdayaan kekuatan rakyat.
Dengan pemahaman visi dan misi yang sama dari seluruh kader marhaenis, niscaya setiap langkah, gerak maupun program yang akan dilaksanakan tidak akan mengenal kompromi (Non kooperatif) terhadap pihak-pihak lawan yang menimbulkan penderitaan rakyat.
















BAB III
KESIMPULAN

Qu’est ce qu’ nation?” atau “Apakah bangsa itu”. Itu adalah judul termahsyur yang diucapkan oleh Ernast Renan, seorang pujangga Perancis, Pada tanggal 11 Maret 1882 di Universitas Sorbonee. Paris.
Dipaparkannya, bahwa tidak cukup faktor ras, bahasa, kepentingan,persamaan, agama, keadaan geografis dan keperluan militer untuk menempah suatu bangsa. Bangsa itu merupakan nyawa, azas akal, kesadaran diri kebersamaan dan solidaritas rakyat dalam menjalani suatu riwayat serta mempunyai keinginan dan kemauan untuk hidup menjadi satu.
Dan yang membentuk jiwa bangsa itu adalah :
-          Kemuliaan-kemuliaan bersama dan penderitaan-penderitaan bersama di masa lampau
-          Keinginan untuk hidup bersama serta kesediaan untuk rela berkorban dalam waktu sekarang dan dalam masa depan.

Demikian beberapa pokok pendapat Ernast Renan; yang hingga sekarang masih
dipandang sebagai suatu defenisi yang sangat tinggi dan mendalam pengaruhnya.

Sedangkan mengenai nasionalisme berdasarkan arti katanya berarti suatu paham kebangsaan, paham dengan dasar kemauan untuk hidup yang nyata oleh suatu bangsa yang merupakan sumber daripada semua tenaga kebudayaan kreatif.

Walaupun factor-factor persamaan keturunan, bahasa, daerah, kesatuan politik, adat istiadat, dan tradisi ataun persamaan agama merupakan faktor-faktor objektif tertentu yang penting yang membuat mereka berbeda dengan bangsa-bangsa lainnya, namun factor kemauan untuk hidup bersama di dalam kesatuan itulah merupakan factor terpenting. Dahulu kesetiaan orang tidak ditujukan kepada negara kebangsaan, melainkan kepada berbagai bentuk kekuasaan sosial, organisasi politik/raja feodal, kerajaan dinasti, gereja atau golongan keagamaan. Namun perkembangan sejarah bangsa-bangsa yang selalu bergelombang dan tak pernah membeku menuju ke suatu kesimpulan bahwa negara kebangsaan adalah  cita dan satu-satunya bentuk sah dari organisasi besar secara umum.

























Tidak ada komentar:

Posting Komentar