BAB
I
PENDAHULUAN
Ideologi
secara harafiah diartika sebagai “a system of ideas”, suatu rangkaian
ide yang terangkum menjadi satu. Dalam bukunya, Antonio Gramsi menjelaskan
idiologi disamping merupakan konkrit dan memberi kerangka orientasi bagi tindakan.
Atas landasan ini manusia bergerak dan memperoleh kesadaran akan kedudukannya
dan perjuangannya akan masyarakat, dengan kata lain, idiologi menciptakan
manusia sebagai pelaku sejarah bukan ditentukan sejarah.
Dalam penggunaan praktisnya, istilah ini
dipakai secara khas dalam bidang politik untuk menunjukkan seperangkat
nilai-nilai yang terpadu berkenaan dengan hidup bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara, ditata secara sistematis menjadi satu kesatuan yang utuh.
Adanya idiologi merupakan suatu langkah
yang sangat penting untuk menghubungkan filsafat dengan kehidupan bernegara.
Sementara filsafat sendiri merupakan hasil pemikiran manusia yang paling
tinggi, yang timbul dalam upaya mencari kebenaran yang paling mendasar.
Kebenaran dicari karena kecintaan kepada kebenaran itu sendiri (philos : cinta,
sophia: kebenaran). Pemikiran filsafat yang sudah mencapai kematangan cenderung
untuk dikristalisasikan menjadi suatu sistem filsafat. Dengan demikian
kebenaran-kebenaran yang dikandungnya dapat dipelajari serta dimasyarakatkan.
Filsafat dapat bertumpu pada pemikiran
seorang filsuf, yang melahirkan aliran-aliran filsafat; dapat juga merupakan
kristalisasi pemikiran terdalam suatu bangsa seperti misalnya filsafat Yunani,
India maupun Cina.
Jika ini bukan hanya sekedar tahu, tetapi
juga untuk melakukan kebenarkan yang dikandung oleh filsafat secara taat azas,
maka kita harus memasuki kategori pemikiran lain; IDEOLOGI. Indeologi juga
merupakan komitmen untuk melakukan suatu ajaran filsafat; akan mensistematiskan
segala pemikiran mengenai kehidupan, dan melengkapinya dengan sarana , serta
kebijakan dan strategi, dengan tujuan menyesuaikan keadaan nyata dengan
nilai-nilai yang terkandung dalam filsafat yang menjadi induknya.
Menurut Edwars Shils jika manusia sudah menjadi suatu taraf perkembangan
intelektual tertentu, maka manusia tersebut cenderung untuk menyusun ideologi
merupakan ciri dasar kemanusiaan. Dengan perkataan lain, semakin cerdas dan
terdidik warga masyarakat, semakin meningkat wawasan akan ideologinya.
Alrian
mengungkapkan, suatu ideologiperlu mengadung tiga dimensi penting dalam dirinya
agar dapat memelihara relevansinya tinggi/kuat terhadap aspirasi perkembangan
masyarakat dan tuntutan perkembangan jaman. Ketiga dimensi tersebut saling
berkaitan, saling mengisi dan saling memperkuat, yang membuatnya menjadi suatu
idiologi yang tahan uji dari masa ke masa. Ketiga dimensi itu adalah : (1)
Dimensi Realita, (2) Dimensi Idealisme, (3) Dimensi Fleksibilitas
(pengembangan).
Dari segi dimensi realita, idiologi
mengandung makna bahwa nilai-nilai yang terkandung di dalam diri nya bersumber
dari nilai-nilai yang hidup dalam masyarakatnya, terutama saat idiologi
tersebut lahir. Sehingga mereka benar-benar merasakan dan menghayatinya bahwa
nilai-nilai tersebut adalah milik mereka bersama. Dengan demikian nilai-nilai
dasar idiologi itu harus trtanam dalam masyarakat.
Dilihat dari segi dimensi idealisme, suatu
idiologi perlu mengandung cita-cita yang ingin dicapai dalam berbagai bidang
kehidupan masyarakat, berbangsa dan bernegara. Melalui idealisme dan cita-cita
yang terkandung dalam idiologi yang dihayati;
Suatu masyarakat atau bangsa mengetahui kearah mana mereka ingin
membangun kehidupan bersama mereka.Idealisme atau cita-cita tersebut seyogyanya
berisi harapan-harapan yang masuk akal, bukan lambungan angan-angan yang sama
sekali tidak mungkin terealisasi. Karena itu dalam idiologi yang tangguh
biasanya terjalin perkaitan saling mengisi dan saling memperkuat antara dimensi
realita dengan dimensi idealisme yang
terkandung di dalamnya. Dengan begitu idiologi tersebut akan berhasil
menjadikan dirinya sebagai landasan atau dasar (melalui dimensi realita). Dan
sekaligus menjadi tujuan (melalui dimensi idealisme) dalam membangun berbagai
bidang kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Perkembangan kehidupan masyarakat yang
berjalan dengan cepat dapat memunculkan realita-realita yang baru, yang bisa
saja menyimpang dari idealisme yang terkandung dalam idiologi.jika hal yang
demikian itu terjadi, maka dengan berpedoman pada nilai-nilai dasar idiologi,
realita-realita yang menyimpang itu akan dapat diperbaiki atau dibetulkan.
Akan tetapi masalah yang kerap terjadi
bukan karena realitas-realitas baru itu menyimpang dari nilai-nilai dasar
idiologi, melainkan karena pengembangan, pemikiran masyarakat berjalan lebih
lamban dan laju proses pembangunan diri mereka, sehingga menyulitkan mereka
untuk memperoleh makan yang secara idiologis relevan dengan realita-realita
yang baru mereka hadapi dari waktu ke waktu. Disinilah terlihat adanya
kebutuhan bagi idiologi dimensi ketiga, yakni dimensi-fleksibel atau dimensi
pengembangan yang memungkinkan berkembangnya pemikiran baru tentang idiologi
tanpa menghilangkan hakekat yang terkandung dalam idiologi tersebut. Melalui pengembangan
pemikiran-pemikiran baru itum idiologi tersebut akan dapag memelihara makna dan
relevansi nya tanpa kehilangan hakekatnya, sehingga dengan idiologi tersebut
nilai-nilai nya tetap memasyarakat dan tetap menzaman.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Sejarah Nasionalisme di Dunia
Para
ahli sejarah boleh dikatakan sependapat bahwa perasaan kebangsaan yang
pertama-tama menampakkan diri secara kongkrit adalah perasaan orang Romawi.
Artintya, bahwa seorang yang menamakan diri sebagai “romance burger” diseluruh Kerajaan Romawi baik wilayah asli maupun
wilayah takhlukkan mendapat jaminan dan perlindungan hukum. Untuk itu
diperlukan pernyataan daripada dirinya, yang terkenal berbunyi, “Aku adalah
orang Romawi”.
Selanjutnya paham Nasionalisme modern mulai
bersemi pada abad XVII di Eropa, tepatnya di Inggris. Abad itu untuk pertama
kali melihat Inggris sebagai bangsa yang memiliki kedudukan memimpin bangsa
Eropa. Pemimpinnya, Oliver Cronwell
melalui revolusi Puritan menggambarkan Nasionalisme sebagai “Kemerdekaan hatri
Nurani dan kemerdekaan warga negara adalah 2 hal yang mulia yang harus kita
terima dengan hati puas sebagai anugrah Tuhan”. Dengan pernyataannya “Gereja
Merdeka” mengkehendaki “Negara Merdeka”. Jadi, Nasinalisme mempertahankan corak
aslinya dengan corak keagamaan.
Sedangkan
di Asia, Nasionalisme itu sudah lama ada
dalam bentuk suatu kepribadian sendiri-sendiri. Kepribadian tersebut dapat
dilihat pada adanya imoeriumpan Asia Pertama didirikan oleh Bangsa Mongol,
dengan anggapan dari penduduk Tiongkok, bahwa Tiongkok sama denga dunia dan
peradaban.
Kemajuan
Barat dan kelemahan peradaban Timur memungkingkan Eropa memperluas kekuasaannya
di seluruh pelosok dunia dalam abad XVIII dan ke XIX. Bersamaan dengan
datangnya orang-orang Eropa, datangnya cara-=cara barat mengenai pengaruh
tersebut dapat dimanfaatkan oleh Jepang dengan kemenangan atas Rusia pada tahun
1905, yang membuktikan bahwa Bangsa “terbelakang” dengan menggunakan
tekhnik-tekhnik cara lain dan organisasi barat dan menundukkan imperium kulit
“putih”. Sehingga kemenangan Jepang tersebut menghasratkan perubahan yang
merajalela yang diingkan di Asia oleh pergerakan Nasionalisme.
Ada
beberapa perbedaan Nasionalisme di Eropa dan di Asia.
1.
Nasionalisme di Asia lahir sebagai aksi terhadap sistem imprealisme di Eropa,
Nasionalisme di Eropa lahir atas perubahan sistem feodal ke sistem kapital.
2.
Nasionalisme di Asia lahir dengan mengandung kebenarak terhadap Ras kulit putih
hal mana yang tidak dapat dikatakan untuk Eropa.
3.
Nasionalisme di Asia lahir mengandung rasa solider dengan bangsa-bangsa lainnya
diseluruh benua Asia hal mana tidak boleh dikatakan untuk Eropa.
2.2 Sejarah Nasionalisme di
Indonesia
Kapan
dimulainya Nasionalisme di Indonesia? Tidak dapat disebutkan atau diperkirakan
secara tepat. Ini merupakan fase yang baru mulai disebut dengan jelas dan
terorganisir pada dasawarsa kedua abad kedua puluh, namun unsur pokoknya yang
penting sudah ada jauh sebelumnya,mungkin bahwa beberapa sudah ada pada periode
takkala dampak pemerintahan nasionalisme laten yang bersifat embrio, telah ada
dalam masing – masing inti di Indonesia, dan adanya kepemimpinan. Bahkan para
bangsawan tradisonal yang mereka junjung menolak untuk disebut nasionalis
karena mendukung orang belanda dengan maksud agar kepentingan pribadi mereka
benar terpenuhi. Hampir setiap kali ada kesempatan bisa benar-benar melawan
belanda, bangsa indonesia segera mendapat dukungan kuat dari kalangan tani
Indonesia. Akan tetapi struktur masyarakat kolonial adalah sedemikian rupa
sehingga tanpa bimbingan seorang elite pribumi, kaum tani biasanya tidak mampu
memahami hubungan antara posisinya yang direndahkan dari kekuasaan Belanda.
Maka pada saat itu diperlukan kepemimpinan terutama dari seorang elit pribumi.
Nasionalisme secara modern di
Indonesia bisa dikatakan baru mulai tumbuh secara sangat perlahan pada tahun
1908 tepatnya pada tanggal 20 mei yaitu pada saat terbentuknya budi utomo yang
didirikan oleh pelajar Dr.Wahidin Sudiro Husodo dan sutomo serta
kawan-kawanya.Gerakan Nasionalisme Budi Utomo ini bukan lah Nasionalisme yang
secara frontal untuk melakukan pertentangan terhadap kolonialisme belanda dalam
perjuangan kemerdekaan Negara Indonesia. Karena gerakan ini hanya bermula pada
kesadaran kebangsaan yang timbul dengan tujuan pada perbaikan pendidikan
rakyat, yang pada saat itu terbatas pada lingkungan rakyat dimana mereka
berada, yaitu di jawa . sementara orang-orang itu yang pertama kali merundingkan
dan memulai aktivitasnya di Budi Utomo ini memang hanya meliputi dari daerah Jawa,sunda,dan Madura,
Pelajar-pelajar lain yang berasal dari Ambon,Manado dan Sumatera. Ketakutan
Soetomo nantinya mereka menolak ajakan Soetomo dan justu memperolok ide Soetomo
tersebut karena diantara mereka sudah merasa bahagia mendapat persamaan hak
dengan orang belanda dalam memperoleh pendidikan di Sekolah Kedokteran STOVIA
dari pemerintah Hindia – Belanda.
Nilai
esensial dari Gerakan Nasionalisme Budi Utomo ini terletak pada kesadaran memperjuangkan
kemajuan pendidikan rakyat, kesadaran yang timbul akibat kesenjangan yang
ditimbulkan oleh Pemerintah Hinda – Belanda antara orang kulit putih dengan
rakyat yang miskin.
Proses perkembangan Nasionalisme di
Indonesia selanjutnya pada Pencetusan ikrar Sumpah Pemuda pada tahun 1928
dengan ikrarnya, mengakui bertanah tumpah darah yang satu,tanah air indonesia,
mengakui berbangsa satu, bangsa indonesia, menjungjung bahasa persatuan, bahasa
indonesia. Ikrar ini merupakan hasil kongres Pemuda Indonesia, Yang sebelumnya
dilakukan penggalangan persatuan gerakan politik pada tanggal 17 desember 1927
dengan pembentukan Pemufakatan Perhimpun politik kebangsaaan indonesia (PPPKI)
dengan inisiatif dari Soekarno. Yang termasuk didalamnya adalah Partai Nasionalis Indonesia, PSI ,
Budi Utomo , Pasudan , Perkumpulan Kaum Betawi. Indonesiche Studi Club dan
Sumatranen Bond. Barisan ini tidak saja diarahkan keluar tetapi juga kedalam,
tidak saja karena diserang tetapi tetap menghimpun kekuatan walaupun tidak
diserang, dan kalau perlu tidak memprotes, tetapi menangkis atau mendesak.
Esensi dari nasionalisme pemuda
dalam Sumpah Pemuda pada tahun 1928 ini, bahwa pemuda Indonesia menuju pada
arah kesatuan kebangsaan yang diinginkan didalam koridor Indonesia, dengan
pernyataan ikrarnya yang menghantam secara langsung dan tegas kepada pemerintah
Kolonialis Hindia – Belanda.
Dan puncak dari gerakan nasionalisme
Indonesia dalam melakukan penetangan terhadap penjajahan imprelialisme dan
kolonialisme terjadi pada tanggal 17 Agustus 1945 pada saat dibacakan
Proklamasi Kemerdekaan Indonesia oleh Soekarno – Hatta . Pernyataan Proklamasi
Kemerdekaan ini merupakan pendobrak terhadap keseluruhan nilai – nilai kolonial
yang diterapkan oleh pemerintah penjajahan baik dari negara manapun dan juga
sekaligus usaha untuk menentukan perwujudan dari bangsa dan negara Indonesia
terhadap diri sendiri serta terhadap bangsa dan negara lain.Nilai esensi dari
proklamasi Kemerdekaan Indonesia adalah kebulatan tekad dari rakyat indonesia
terutama pemuda Indonesia untuk
menentukan cita – cita, idiologi dan arah tujuan bangsa dan negara indonesia.
Dalam hal pergerakan nasionalisme
Indonesia, Penulis hanya memunculkan tiga kejadian sejarah dengan alasan karena
pada tiga kejadian tersebut mempunyai nilai nilai esensial yang berhubungan
satu sama lain mengalami peningkatan untuk menuju ke satu tujuan dan nilai tersebut masih juga dapat menjadi pedoman
didalam mewujudkan Nasionalisme di era sekarang maupun yang akan datang (era globalisai).
2.3 Nasionalisme Indonesia dewasa
Ini Menuju Era Globalisasi
John
Naisbitt memperkirakan bahwa saat ini maupun yang akan datang paham
kebangsaan itu akan berakhir dan negara di dunia akan berkembang menjadi seribu
negara. Karena masing masing unsur dari suatu negara akan membentuk negara baru
demi perusahaan kecil. Perkiraan John Naisbitt tersebut bisa dimaklumi apalagi
dengan kondisi di era generasi yang menggandrungi diidologisasi dan menggangap
bahwa nasionalisme merupakan suatu pembicaraan yang bersifat nostalgia dan
romantisme tentang kepahitan perjuangan. Mereka ragu dan bertanya tanya
nasionalisme itu masih hidup? Jika ya, dalam bentuk apa dan bagaimana
nasionalsme itu hidup?
Di dalam era perjuangan dan era
Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, nasionalime sebagai idiologi dihadapkan pada
tantangan yang bergerak secara perlahan dala kesadaran kedaerahan,kerukunan dan
lantas mencapai tingkat kesadaran kebangsaan sehingga berkembang menjadi
kesadaran untuk mengusir penjajah dan mencapai kemerdekaan bangsa dan negara.
Dalam hal ini historis nasionalisme tidak dapat dilihat terlepas dari
lingkungan sosial politik tersebut, dengan arti kata bahwa nasionalisme adalah
idiologi penantang.
Sedangkan di era sesudah kemerdekan,
nasionalisme itu sendiri berusaha untuk mewujudkan dirinya dalam usaha untuk
melepaskan diri dari cengkraman ekonomi kolonial, digantikan dengan suatu
sistem ekonomi nasionalis. Namun untuk merombak sistem ekonomi kolonial pada
waktu itu tidak terbuka jalan lain daripada secara selektif/seluruhnya menyita
modal asing dan perusahaan asing terutama milik belanda.
Pada kehidupa dewasa ini, jarang
terdengar/terbetik berita yang mencantumkan kata nasionalisme
diucapkan/didengar, maka orang tersebut sudah menjadi seorang nasionalis. Namun
nasionalisme merupakan bukan sebuah produk akhir akan tetapi proses dalam wujud
apapun tetap diperlukan dan dijabarkan dalam menjawab tantangan didalam
kehidupan sosial politik bangsa kita. Seperti yang diungkapkan soekarno yang
menyataakan bahwa nasionalisme itu merupakan sebuah itikad, suatu keinsyafan
rakyat, bahwa rakyat itu adalah satu golongan, satu bangsa dan diperlukan rasa
nasionalistis ini untuk menimbulkan suatu rasa percaya akan diri sendiri, rasa
yang mana adalah perlu sekali untuk mempertahankan diri didalam perjuangan
menempuh keadaan yang mau mengalahkan kita.
Semua idiologi didunia modern sama
sekali tidak dapat dipahami tanpa nasionalisme.Dewasa ini banyak konflik
diantara negara dan nasionalisme hampir selalu merupakan bagian dari konflik
ini . oleh karena itu untuk memahami konflik tersebut kita harus memahami nasionalisme.
Rasa nasionalisme ini menjadi suatu
perasaan memiliki (Feeling of belonging) dengan melalui pengakuan terhadap
simbol – simbol atau lambang nasionalistis seperti bendera dan lagu kebangsaan
nasional. Kita memberikan respon secara emosional; kita tidak berfikir mengenai
betapa jeleknya sebuah lagu nasional/ bahwa bendera adalah potongan kain
berwarna yang dijahit. Kita melihat dan merasakan di dalamnya suatu emosi yang
membentuk kita menjadi satu di dalam suatu komunitas.
Berpijak atas situasi sekarang kita
harus mampu memperkirakan kecenderungan perkembangan masa depan dan
mempersiapkan diri memanfaatkan perkembangan yang terjadi bagi kepentingan
bangsa kita. Permasalahan yang terjadi pada situasi sekarang juga merupakan
dampak dari tujuan kearah globalisasi. Perkataan globalisasi ini sebenarnya
bukan istilah yang baru sama sekali serta suatu kejutan yang istimewa. Karena
sebelumnya sudah lama ada yang dikenal dengan istilah “Internasionalisme”,
istilah ini disampaikan oleh Bung karno pada pidatonya tanggal 1 Juni 1945
menanggapi pertanyaan dari KRT. Radjiman Widiodiningrat ( Ketua Badan
Penyelidik Usaha-usaha Kemerdekaan ) : “apa dasar Negara Indonesia Merdeka?”
Dasar
negara Indonesia merdeka adalah Pancasila dengan rumusan dan urutannya:
a.
Kebangsaan indonesia
b. Internasionalisme/Perikemanusiaan.
c. Mufakat/Demokrasi
d. Kesejahteraan sosial.
e. Ketuhanan yang maha esa
b. Internasionalisme/Perikemanusiaan.
c. Mufakat/Demokrasi
d. Kesejahteraan sosial.
e. Ketuhanan yang maha esa
jadi
istilah internasional lebih dititik beratkan kepada rasa kemanusiaan atau
“humanisme”.
Globalisasi mengandung arti suatu dan kondisi yang dinamis ; sedangkan globalisasi mengandung arti aktivitas kearah globalisme itu. Sebagian besar pendapat orang menyatakan bahwa globalisme merupakan proses Neo-Kolonialisme, Neo-kapitalisme, Neo-Feodalisme, Neo-Borjuisme, yang mengutamakan eksploitasi dunia berkembang/dunia ketiga untuk kepentingan dunia industri maju dan juga mengutamakan suatu hubungan ketergantungan dunia berkembang/dunia ketiga dalam segala bidang terhadap dunia industri maju.
Globalisasi mengandung arti suatu dan kondisi yang dinamis ; sedangkan globalisasi mengandung arti aktivitas kearah globalisme itu. Sebagian besar pendapat orang menyatakan bahwa globalisme merupakan proses Neo-Kolonialisme, Neo-kapitalisme, Neo-Feodalisme, Neo-Borjuisme, yang mengutamakan eksploitasi dunia berkembang/dunia ketiga untuk kepentingan dunia industri maju dan juga mengutamakan suatu hubungan ketergantungan dunia berkembang/dunia ketiga dalam segala bidang terhadap dunia industri maju.
Dalam
kaitan inilah kita teringat pada apa yang pernah popular tempo hari di tanah
air kita tentang adanya Neo-Kolonialisme dan Imperialisme yang oleh Bung Karno
disebut Nekolim.
Globalisasi
walaupun menonjol di bidang ekonomi tetapi juga menyangkut bidang politik,
militer, idiologi, informasi, IPTEK, social budaya termasuk gaya hidup dan
bidang lainnya. Karena semua bidang itu satu sama lainnya berkaitan.
Di
bidang ekonomi, Globalisasi terpancar gerakannya menjadi pengaruh ke seluruh
global adalah Amerika, Eropa Barat, dan Jepang. Diperkirakan bahwa dewasa ini
bahwa tiga kutub dunia menguasai sekitar 70% menguasai sumber IPTEK, sumber
finek, dan sumber tenaga profesional. Arah mereka kepada negara-negara
berkembang khususnya Asia, Afrika, dan Amerika latin. Dengan tujuan untuk
memperoleh bahan-bahan mentah, tempat pemasaran yang luas bagi hasil industri
mereka serta tenaga kerja yang melimpah dan murah untuk penanaman modal mereka.
Di
bidang politik, sudah sejak lama dunia Barat mendominasi kehidupan politik
non-barat. Di bidang militerisasi, sampai dewasa ini, persenjataan modern barat menyebar ke-dunia
ketiga, di bidang ekologi, sudah lama pencemaran oleh industri barat terhadap
lingkungan beralih ke dunia ketiga. Di bidang informasi, makin mudahnya
menangkap pemberitaan dunia melalui
media massa dan media elektronika. Di bidang social budaya penyebaran
nilai-nilai budaya barat beserta gaya hidupnya banyak merambah Dunia Ketiga,
serta globalisasi dalam bidang lainnya.
Melihat
perkembangan globalisasi diatas, maka diperlukan suatu counter terhadap globalisasi
tersebut dalam bentuk Nasionalisme yang mandiri. Menyadari bahwa globalisasi
yang digetarkan dan digerakkan oleh Dunia Barat dan jepang yang dewasa ini,
sukar untuk dipatahkan maka Nasionalisme Dunia Ketiga tidak ada jalan lain
selain menyesuaikan kelangsungan hidupnya dengan realita. Menyesuaikan itu
tidak mengandung arti menyerah tetapi menghadapinya sambil mau dan mampu
menoper yang positif dan menolak yang negatif.
Dalam
hal ini tidak diperlukan Nasinalisme yang baru, karena nasionalisme yang disampaikan
oleh para “Founding Fathers” Republik Indonesia adalah modern, tidak kuno.
Nasionalisme yang dulu didengung-dengungkan oleh bung Karno bukan Nasionalisme
yang keningratan; nasionalisme yang seolah-olah menjadi “pohon beringin” untuk
melindungi rakyat, namun kesetiannya tetap terhadap pertuaan dan kaum diatas.
Tetapi Nasionalisme yang dicetuskan Bung Karno adalah Nasionalisme yang
berperikemanusiaan, nasionalisme yang berdemokrasi dan berkeadilan sosial atau
yang disebut dengan sosio nasionalisme dan sosio demokrasi. Dan segala
sesuatunya dengan meminta ridho dari Tuhan sehingga nasionalisme itu juga
merupakan Nasionalisme yang religius.
Konsep
nasionalisme tersebut merupakan konsep yang identik dengan Marhaenisme dengan
Pancasila yang ditawarkan bung Karno. Sedangkan dengan konsep Pancasil
sekarang, tidak ada pertentangan karena melalui pidato Bung karno pada tanggal
1 Juni 1945, telah ditetapkan oleh “Panitia Lima” M. Hatta, ahmad
Soebarjo,Djojoadisurjo, A.A. Maramis, A.G. Pringgodigdo, bahwa Bung Karno-lah
yang merupakan penggali Pancasila, bukan M.Yamin. maka penjabaran nasionalisme
Indonesia dilandaskan pada idiologi Pancasila dengan konsep sekarang adalah
sebagai berikut:
a.
Paham kebangsaan yang memiliki landasan spiritual, modal dan etik dengan
berdasarkan kepada Ketuhanan Yang Maha Esa. Karena rasa Nasionalisme itu
merupakan suatu wahyu dari Tuhan Yang Maha Esa. Sehingga manusia Indonesia
secara sosiologhis mempunyai keyakinan Ketuhanan, maka melaksanakan rasa itu
menjadi suatu bakti.
b.
Paham kebangsaan yang menentang bentuk exploitasion I’homme par I’homme maupun
exploitasion de I’nation par I’ nation yaitu bentuk penindasan baik yang
dilakukan oleh manusia terhadap manusia lain maupun penindnasan paham
kebangsaanasan bangsa terhadap bangsa lain. Karena paham kebangsaan ini
mengajarkan untuk menghormati harkat dan martabat manusia dan menjamin hak-hak
asasi manusia serta yang diinginkan bukan nasionalistis yanbg
chauvinistis,namun nasionalisme yang juga diuraikan oleh Mahatma Ghandi bahwa cintanya
pada tanah air termasuk cintanya pada segala manusia.
c.
paham kebangsaan yang mengharapkanu untuk tetap menjaga suatu koridor persatuan
dan kesatuan didalam kehidupan berbangsa, namun dengan tidak menghilangkan
kebhinekaan yang ada baik secara kedaerahan maupun keagamaan yang justru harus
dijaga dan dilestarikan nilai-nilai luhur budaya dan agama tersebut.
d.
paham kebangsaan yang berakar pada azaz bahwa kedaulatan berada ditangan
rakyatserta menantang segala bentuk fedoalisme, totaliter dan kediktatoran oleh
mayoritas maupun minoritas karena kebijaksanaan rakyat yang diambil berdasarkan
pada musyawarah mufakat dengan nilai-nilai demokratis.
e.
paham kebangsaan yang jugamencita-citakan perwujudan suatu masyarakat yang adil
dan makmur yang tidak hanya diartikan daidalam arti material, tetapi juga dalam
arti pengetahuan dan batiniah seperti amanat dalam Soekarno bahwa untuk
mencapai masyarakat adil danm makmur itu diperlukan minimal :
Ø Semangat
yang berkobar-kobar dan pantang menyerah
Ø Ilmu
pengetahuan yang terus-menerus ditingkatkan sesuai dengan tuntutan zaman
Ø Pengabdian
yang tanpa pamrih untuk kepentingan umum.
2.4 Lahirnya Marhaenisme
Untuk memahami marhaenis sebagai suatu
ideology,tidak bisa tidak kita harus memepelajari sejarah, asalusul teori ini
di ungkapkap kan oleh penggagasnya. Bung karno menggagaskan bahwa marhaennisme
itu adalah suatu gagasan ide untuk bangsa indonesia mencapai kemerdekaan yang
di cita-cita kan. Cuma seperti tadi di atas bahwa idelogi mengandung dimensi fleksibel/pengembangan,
bung karno sudah memprediksi bahwa ketika indonesi sudah merdeka,musuh bukan
lantas hilang melainkan berubah wujud, yang terus di hadapi dari
kolonialisme/kapitalisme menjadi neokolonialisme dan neo kapitalisme.
Asal usu; ide itu sendiri di temukan
oleh bung karno,ketika beliau dalam perjalanan ke cigalerang,bandung
selatan,soekarno(muda) betemu denngan seorang petani bernama marhaen. Kehidupan
marhaen begitu miskin mekipun dia memepunyai faktor-faktor produksi seperti
tanah,gubuk dan perlatan untuk mengolah tanah.apa yang di jumpai bung karno
pada masa itu adalah kodisi ril sebagian besar masyarakat indonesia(masa koloni
Belanda).
Melalui perenungannya, Bung Karno
sampai pada suatu pemikiran bahwa si petani ( masyarakat Indonesia umunya )
miskin karena sistem kapitalisme-imprealisme yang terjadi pada masa penjajahan;
kesimpulan yang diambil oleh Bung Karno yaitu bahwa si petani miskin karena
dimiskinkan oleh sistem, yaitu sistem kapitalisme. Untuk menghapuskan sistem
yang tidak manusiawi tersebut, bung Karno merumuskan satu ideologi perlawanan
yang kemudian disebut MARHAENISME. Dan untuk selanjutnya teori perjuangan
tersebut dirumuskan oleh Bung Karno melalui pemahaman realitas yang dialami
oleh sebagian besar rakyat Indonesia pada masa itu.
Untuk memudahkan kita dalam memahami
pengertian Marhaen, Marhaenis dan Marhaenisme, berikut dikutip keputusan
Kongres Partindo (Partai yang menganut Azas Marhaenisme) tahap 1933 :
-
Marhaen yaitu kaum proletar Indonesia,
kaum tani Indonesia yang melarat dan kaum melarat Indonesia lainnya.
-
Marhaenisme adalah azas yang
mengkehendaki susunan masyarakat dan susunan negeri yang demikian itu, yang
oleh karenanya harus suatu cara perjuangan yang revolusioner. Jadi Marhaenisme
adalah cara perjuangan dan azas yang mengkehendaki hilangnya kapitalisme dan
imperialisme.
-
Marhaenisme adalah tiap-tiap orang
Bangsa Indonesia yang berjuang sesuai dengan Marhaenisme dan yang menjalani
Marhaenisme.
2.5
Marhaenisme Sebagai Suatu Azas Kehidupan Berbangsa dan Bernegara
Untuk memahami marhaenisme sebagai
suatu azas dalam kehidupan berbangsa dan bernegara kita harus pula menelaah
sejarah perjuangan nasional dan sejarah lahirnya PANCASILA. Pancasila merupakan
kristalisasi pemikiran kita sebagai bangsa yang tumbuh dari sejarah perjuangan
kemerdekaan Indonesia di abad ke-20 yang bermuara pada sidang-sidang “para
Pendiri bangsa” dalam BPUPKI dan PPKI.
Dalam sidang BPUPKI, penting dicatat peran Bung Karno sebagai penggali Pancasila. Pada pidato di depan sidang BPUPKI hari ketiga ( 1 Juni 1945 ) Bung karno mengusulkan Pancasila sebagai dasar negara untuk menanggapi pertanyaan kedua BPUPKI tentang apa dasar negara Indonesia merdeka. Kelak dikemudian hari pidato tersebut dikenal sebagai pidato lahirnya Pancasila dan tanggal 1 Juni 1945 dikenang sebagai lahirnya Pancasila (baca Pidato Lahirnya Pancasila).
Dalam sidang BPUPKI, penting dicatat peran Bung Karno sebagai penggali Pancasila. Pada pidato di depan sidang BPUPKI hari ketiga ( 1 Juni 1945 ) Bung karno mengusulkan Pancasila sebagai dasar negara untuk menanggapi pertanyaan kedua BPUPKI tentang apa dasar negara Indonesia merdeka. Kelak dikemudian hari pidato tersebut dikenal sebagai pidato lahirnya Pancasila dan tanggal 1 Juni 1945 dikenang sebagai lahirnya Pancasila (baca Pidato Lahirnya Pancasila).
Dalam pidato tersebut, Bung Karno
mengusulkan Pancasila sebagai dasar negara yang diformulasikan beliau pertama
sekali sebagai:
a.
Kebangsaan Indonesia
b.
Internasionalisme atau Perikemanusiaan
c.
Mufakat atau Demokrasi
d.
Kesejahteraan Sosial
e.
Ketuhanan Yang Maha Esa
Dalam pidato Bung Karno tanggal !
Juni tersebut, beliau menyebutkan Trisila dan Ekasila.
...Kalau barangkali ada
saudara-saudara yang tidak suka bilang lima itu? Berpuluh-puluh tahun sudah
saya pikirkan dia, ialah dasar-dasar Indonesia Merdeka, Weltanschauung kit. Dua
dasar pertama kebangsaan dan internasionalisme, Kebangsaan dan Perikemanusiaan,
yang diperas menjadi satu; itulah yang dahulu saya namakan Sosio Nasionalisme,
dan demokrasi yang bukan demokrasi barat, tetapi politieke-ekonomishe
demokratie, yaitu politieke-demokratie dengan social rechvaardigheid, demokrasi
dengan kesejahteraan, saya peraskan pula menjadi satu; inilah yang dulu saya
namakan SOSIO DEMOKRATIE. Tinggal lahi KETUHANAN yang menghormati satu sama
lain.
Jadi
yang aslinya lima itu telah menjadi tiga yaitu Sosio Nationalisme, Sisio
Demokratie dan Ketuhanan. Kalau tuan-tuan senang dengan simbolik tiga ambillah
yang tiga ini. Tetapi barang kali tidak semua tua-tuan senang dengan trisila
ini dan minta satu dasar saja? Baiklah saya jadikan satu, saya kumpulkan lagi ,
menjadi satu , apakah yang satu itu ? sebagai tadi saya katakan, kita
mendirikan bangsa indonesia yang semua harus mendukungnya. Semua buat semua !
bukan kristen untuk indonesia, bukan golongan islam untuk indonesia, bukan
hadikusumo untuk indonesia . semua buat semua ! Jika saya peras yang lima
menjadi tiga dan tiga menjadi satu, maka dapatlah perkataan indonesia tulen
yaitu “gotong royong “ Negara indonesia yang kita dirikan haruslah gotong
royong. Alangkah hebatnya! Negara Gotong royong.
Dalam Pidato tersebut, BK
menyebutkan Sosio-Nationalisme.Dengan Sosio-nationalisme, masyarakat tercakup
tujuan meperbaiki keadaan di dalam masyarakat sehingga tidak ada lagi kaum yang
tertindas, tidak ada ketimpangan, tidak ada kaum papa sengasara. Oleh karena
Sosio-Nasionalisme menolak tindakan borjuisme yang menyebabkan kepincangan
masyarakat.
Sementara Sosio-Democratie diartikan
BK sebagai demokrasi yang mencari keberesan politik dan keberesan ekonomi,
keberesan negara dan keberesan rezeki. Demokrasi politik dan demokrasi ekonomi.
Dari kedua sila tersebut didukung landasan moral ketuhanan.
2.6 Marhaenisme Azas Perjuangan
Dari uraian-uraian di atas, bahwa
marhaenisme dan pancasila memiliki cita-cita sosial yang sama. Dan dengan
demikian kaum marhaenis yang menganut ajaran Marhaenisme haruslah mempunyai
visi dan misi sebagai berikut :
Visi
Mewujudkan
masyarakat adil dan makmur berdasarkan pancasila.
-
Adil dalam pengertian tidak ada
penindasan manusia atas manusia, bangsa atas bangsa
-
Makmur berarti sesuai dengan tuntutan
budi nurani kemanusiaan yang terus berkembang.
Misi
Dalam
rangka mewujudkan visi tersebut sebagai
kaum marhaenis haruslah menjalankan misi pendidikan rakyat menjadi sadar dan
radikal.
-
Sadar dalam pengertian memahami
permasalahan yang menghambat perkembangan budi nurani kemanusiaan.
-
Radikal dalam pengertian kesadaran
tersebut akan membawa kepada sikap menyingkirkan hambatan bagi berkembangnya
budi nurani kemanusiaan secara menyeluruh.
Dalam
Prakteknya, hendaknya misi tersebut dimanivestasikan dalam wujud :
A.
Misi Pencerahan (Matchvorming dan Match Undewending)
Kegelapan masih menyelimuti peradan dan
kebudayaan dunia. Semangat perbudakan pembodohan, penggunaan kekerasan yang
tidak manusiawi serta upaya memanipulasi nilai nilai kebenaran yang masih
merajalela. Kegelapan peradaban dan kebudayaan serta kemerosotan moral adalah
tantangan perjuangan yang harus dilenyapkan untuk terciptanya masyarakat yang
adil dan makmur, sejahtera sentosa, aman dan damai beradab.
B.
Misi Pembebasan (Massa Aksi dan Aksi Massa)
Proses kemiskinan struktural dengan cara
terorganisir dan didukung oleh sistem yang masih menindas masih berjalan di
lapangan politik, ekonomi dan sosial budaya. Oleh karena itu adanya perbudakan
antara manusia dengan manusia, perbudakan bangsa atas bangsa lainnya masih
merajalela. Untuk menghapuskan keadaan yang tidak adil tersebut segenap korban
ketidakadilan harus dibangkitkan dengan penuh kesadaran untuk berjuang
melenyapkan ketidakadilan.
C.
Misi Pembelaan atau Pemberdayaan
Kaum tertindas selalu lemah berhadapan
dengan penindasnya. Kaum tertindas seringkali tidak dapat melakukan perlawanan
untuk membebaskan diri dari kenyataan yang membelenggunya disebabkan oleh
rendahnya semangat dari perlawanan dan juga disebabkan tidak memiliki
pengetahuan untuk pembebasan (Perlawanan). Agar kaum yang menjadi korban
ketidakadilan dapat bangkit dan bersatu melakukan massa aksi diperlukan
pembelaan dan pemberdayaan kekuatan rakyat.
Dengan pemahaman visi dan misi yang sama
dari seluruh kader marhaenis, niscaya setiap langkah, gerak maupun program yang
akan dilaksanakan tidak akan mengenal kompromi (Non kooperatif) terhadap pihak-pihak
lawan yang menimbulkan penderitaan rakyat.
BAB
III
KESIMPULAN
“Qu’est
ce qu’ nation?” atau “Apakah bangsa itu”. Itu adalah judul termahsyur yang
diucapkan oleh Ernast Renan, seorang pujangga Perancis, Pada tanggal 11 Maret
1882 di Universitas Sorbonee. Paris.
Dipaparkannya, bahwa tidak cukup faktor
ras, bahasa, kepentingan,persamaan, agama, keadaan geografis dan keperluan
militer untuk menempah suatu bangsa. Bangsa itu merupakan nyawa, azas akal,
kesadaran diri kebersamaan dan solidaritas rakyat dalam menjalani suatu riwayat
serta mempunyai keinginan dan kemauan untuk hidup menjadi satu.
Dan yang membentuk jiwa bangsa itu
adalah :
-
Kemuliaan-kemuliaan bersama dan
penderitaan-penderitaan bersama di masa lampau
-
Keinginan untuk hidup bersama serta
kesediaan untuk rela berkorban dalam waktu sekarang dan dalam masa depan.
Demikian
beberapa pokok pendapat Ernast Renan; yang hingga sekarang masih
dipandang sebagai suatu
defenisi yang sangat tinggi dan mendalam pengaruhnya.
Sedangkan
mengenai nasionalisme berdasarkan arti katanya berarti suatu paham kebangsaan,
paham dengan dasar kemauan untuk hidup yang nyata oleh suatu bangsa yang
merupakan sumber daripada semua tenaga kebudayaan kreatif.
Walaupun
factor-factor persamaan keturunan, bahasa, daerah, kesatuan politik, adat
istiadat, dan tradisi ataun persamaan agama merupakan faktor-faktor objektif
tertentu yang penting yang membuat mereka berbeda dengan bangsa-bangsa lainnya,
namun factor kemauan untuk hidup bersama di dalam kesatuan itulah merupakan
factor terpenting. Dahulu kesetiaan orang tidak ditujukan kepada negara
kebangsaan, melainkan kepada berbagai bentuk kekuasaan sosial, organisasi
politik/raja feodal, kerajaan dinasti, gereja atau golongan keagamaan. Namun
perkembangan sejarah bangsa-bangsa yang selalu bergelombang dan tak pernah
membeku menuju ke suatu kesimpulan bahwa negara kebangsaan adalah cita dan satu-satunya bentuk sah dari
organisasi besar secara umum.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar