Minggu, 06 April 2014

Ringkasan / kesimpulan buku Sengketa Agraria



SENGKETA AGRARIA
Pengusaha Perkebunan Melawan Petani
Oleh Karl J.Pelzer

            Pasukan Belanda di Sumatera dan Jawa mengawali aksi militernya secara menyeluruh terhadap Indonesia pada tanggal 21 Juli 1947. Para pasukan bersenjata lengkap bergerak dari Medan yang merupakan pangkalan terdepan, dengan maksud mengawasi daerah perkebunan Sumatera Timur yang sangat berharga itu dan dengan demikian memberikan peluang bagi para pengusaha perkebunan yang tidak kurang dari dua puluh dua bulan sesudah Jepang menyerah dengan tidak sabar menantikan kesempatan untuk menguasai kembali perkebunan mereka.
            Semua persoalan lain yang diwarisi pemerintahan yang baru diperkeruh oleh kekacauan agraria. Keadaan ini menjadi sangat rumit oleh kenyataan bahwa perang tidak hanya mengganggu masalah perpabrikan, melainkan juga menyebabkan ekonomi perkebunan terhenti sama sekali. Ketika para pengusaha perkebunan kembali, mereka hampir tidak dapat mengenal tanah miliknya. Selain karena ditelantarkan bertahun-tahun, semua perkebunan digerogoti oleh penanam tanaman selama perang. Orang-orang Belanda seperti Neinhuys, Cremer, dan Janssen adalah orang-orang yang mengubah hutan belukar dan rawa-rawa Sumatera Timur menjadi suatu daerah yang mempunyai kemampuan ekonomi yang sangat besar. Dengan sendirinya apologi hukum ekonomi perkebunan ini, karena apa yang Mansur tunjukkan pada tempat lain dari artikelnya sebagai “angsa bertelur emas”- dapat membangkitkan suatu gelombang optimisme yang nyata dikalangan usahawan, namun ada faktor-faktor lain yang perlu dipertimbangkan. Suatu petunjuk akan keseimbangan penting yang harus dipertahankan oleh seorang pemimpin politik-antara tekanan ekonomi dan tekanan sosial. Pemerintah dan juga para pengusaha perkebunan mengakui dilema yang ditimbulkan oleh para penghuni liar itu. Pendudukan mereka atas lahan perkebunan memiliki dasar hukum yang semu, sebagian besar dapat menyebut Ordonansi Penanaman wajib tahun 1939, bermacam-macam dekrit pemerintah, militer Jepang, atau perintah Residen kepala dinas pertanian Republik tanggal 1 Mei 1947.
            Akhirnya, pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan suatu Ordonansi yang mengatur pendudukan tanah pada tanggal 8 Juni 1948 dan Negara Sumatera Timur, yang sementara itu mulai berpuasa, mengumumkan ordonansi tersebut berlaku di Sumatera Timur. Undang-undang baru ini bertindak sebagai penangkal, yang kalau dilanggar oleh para penghuni liar baru, mereka akan menjadi sasaran pengusiran segera dan dikenakan penjara selama 3 bulan atau denda sebesar lima ratus juta rupiah. Para penghuni liar sebelum tanggal 8 Juni 1948 memperoleh ijin resmi untuk tinggal dilahan yang mereka duduki sampai persiapan pemukiman kembali yang mereka memuaskan untuk mereka dapat diadakan.
            Pada tahun 1848 asisten presiden Simalungun mengajukan permintaan pada negara Sumatera Timur untuk mengadakan penyelidikan  terhadap masalah penduduk liar diperkebunan Marihat dekat siantar, sebuah perkebunan bekas milik orang Jerman yang disita pada tahun 1940 sebagai tanah milik musuh asing. Permintaan ini mengakibatkan diadakannya penelitian yang dilakukan oleh balai perancang tata bumi, yang mengisyaratkan situasi berbahaya yang dihadapi banyak pengusaha perkebunan di Sumatera Timur sesudah perang. Konsesi semula berjumlah 5200ha , yang dikenal sebagai konsesi Bah kasinde, diberikan pada tanggal 18 maret 1908 oleh raja tanah jawa dan pertuhan huta bayu merubun. Dari ketiga kampung yang terdapat di dalam daerah konsesi tersebut saat itu, jawa dolok dan marihat jandi sudah dikeluarkan, dan enam keluarga dari kampung ketiga, nagori asih, diberikan 26,5ha lahan dan dibiarkan untuk tetap tinggal sebagai daerah kantong di dalam perkebunan tersebut. Situasinya sama sekali berubah pada tahun 1948. Dikampung-kampung itu, pertambahan penduduk alamiah diperbesar ( pada tahun 1930an) oleh aruh buruh perkebunan asal jawa yang menganggur. Keadaan mereka yang menyedihkan selama jaman meleseh itu telah menyebabkan keprihatinan umum dan pemerintah Hindia Belanda yang melihat usul pengulangan mereka ke Jawa hanya merupakan pemecahan sebagian, menekan para Raja Simalungun untuk mengizinkan para buruh itu bermukim di kampung-kampung Simalungun.
Pada tahun 1947, profesor soepomo mengusulkan agar dalam merumuskan undang-undang agraria indonesia dapat belajar dari uni soviet. Akan tetapi, dalambab 3undang-undang dasar sementara 1950 sama sekali tidak ada petunjuk yang menyatakan bahwa usul soepomo diikuti. Memang soepomo sendiri menafsirkan bahwa yang sama bahwa negara dapat mengatur hak agraria atas lahan yang sudah digarap. Yang disebut belakangan ini akan membuat tidak ada gunanya lagi praktek mengumumkan tanah kosong berada di bawah penguasaan negara, suatu praktek yang tadinya biasa dibawah pemerintahan hindia-belanda. Bukti lebih lanjut bahwa usul soepomo di tolak dalam rekomendasi mereka bahwa setiap petani diberi sebidang lahan tanah yang akan menjamin suatu kehidupan yang layak bagi dirinya dan keluarganya, suatu perbedaan mendasar dari undang-undang agraria uni-soviet.
            Pada bulan juli 1949 pemerintah republik memerintahkan pengembalian perkebunan kepada pemiliknya yang sah. Namun dangan ketentuan agar hak agrariaanya diselaraskan dengan kebijaksanaan ekonomi pemerintah yang baru. Itu berarti hanya lahan perkebunan yang membutuhkan penanaman modal atau pengetahuan dan manajemen asing yang kan dikembalikan kepada pengusaha perkebunan. Lagi pula, program nasional yang dicanangkan bulan juli 1949 menandaskan bahwa pemegang hak sewa jangka panjang diharapkan mengakui dan menghormati sasaran baru pemerintah sehubungan dengan kesejahteraan sosial para buruh; bahwa pengusaha barat,dalam mengambil keuntungan dari banyakkesempatan untuk penanaman modalnya, hatus yakin bahwa kegiatannya tidak dijalankan dengan megorbankan rakyat atau negara.
           

1 komentar: