SENGKETA
AGRARIA
Pengusaha
Perkebunan Melawan Petani
Oleh
Karl J.Pelzer
Pasukan Belanda di Sumatera dan Jawa
mengawali aksi militernya secara menyeluruh terhadap Indonesia pada tanggal 21
Juli 1947. Para pasukan bersenjata lengkap bergerak dari Medan yang merupakan
pangkalan terdepan, dengan maksud mengawasi daerah perkebunan Sumatera Timur
yang sangat berharga itu dan dengan demikian memberikan peluang bagi para
pengusaha perkebunan yang tidak kurang dari dua puluh dua bulan sesudah Jepang
menyerah dengan tidak sabar menantikan kesempatan untuk menguasai kembali
perkebunan mereka.
Semua persoalan lain yang diwarisi
pemerintahan yang baru diperkeruh oleh kekacauan agraria. Keadaan ini menjadi
sangat rumit oleh kenyataan bahwa perang tidak hanya mengganggu masalah
perpabrikan, melainkan juga menyebabkan ekonomi perkebunan terhenti sama
sekali. Ketika para pengusaha perkebunan kembali, mereka hampir tidak dapat
mengenal tanah miliknya. Selain karena ditelantarkan bertahun-tahun, semua
perkebunan digerogoti oleh penanam tanaman selama perang. Orang-orang Belanda
seperti Neinhuys, Cremer, dan Janssen adalah orang-orang yang mengubah hutan
belukar dan rawa-rawa Sumatera Timur menjadi suatu daerah yang mempunyai
kemampuan ekonomi yang sangat besar. Dengan sendirinya apologi hukum ekonomi
perkebunan ini, karena apa yang Mansur tunjukkan pada tempat lain dari
artikelnya sebagai “angsa bertelur emas”- dapat membangkitkan suatu gelombang
optimisme yang nyata dikalangan usahawan, namun ada faktor-faktor lain yang
perlu dipertimbangkan. Suatu petunjuk akan keseimbangan penting yang harus
dipertahankan oleh seorang pemimpin politik-antara tekanan ekonomi dan tekanan
sosial. Pemerintah dan juga para pengusaha perkebunan mengakui dilema yang
ditimbulkan oleh para penghuni liar itu. Pendudukan mereka atas lahan
perkebunan memiliki dasar hukum yang semu, sebagian besar dapat menyebut
Ordonansi Penanaman wajib tahun 1939, bermacam-macam dekrit pemerintah, militer
Jepang, atau perintah Residen kepala dinas pertanian Republik tanggal 1 Mei
1947.
Akhirnya, pemerintah Hindia Belanda
mengeluarkan suatu Ordonansi yang mengatur pendudukan tanah pada tanggal 8 Juni
1948 dan Negara Sumatera Timur, yang sementara itu mulai berpuasa, mengumumkan
ordonansi tersebut berlaku di Sumatera Timur. Undang-undang baru ini bertindak
sebagai penangkal, yang kalau dilanggar oleh para penghuni liar baru, mereka
akan menjadi sasaran pengusiran segera dan dikenakan penjara selama 3 bulan
atau denda sebesar lima ratus juta rupiah. Para penghuni liar sebelum tanggal 8
Juni 1948 memperoleh ijin resmi untuk tinggal dilahan yang mereka duduki sampai
persiapan pemukiman kembali yang mereka memuaskan untuk mereka dapat diadakan.
Pada tahun 1848 asisten presiden
Simalungun mengajukan permintaan pada negara Sumatera Timur untuk mengadakan
penyelidikan terhadap masalah penduduk
liar diperkebunan Marihat dekat siantar, sebuah perkebunan bekas milik orang
Jerman yang disita pada tahun 1940 sebagai tanah milik musuh asing. Permintaan
ini mengakibatkan diadakannya penelitian yang dilakukan oleh balai perancang
tata bumi, yang mengisyaratkan situasi berbahaya yang dihadapi banyak pengusaha
perkebunan di Sumatera Timur sesudah perang. Konsesi semula berjumlah 5200ha ,
yang dikenal sebagai konsesi Bah kasinde, diberikan pada tanggal 18 maret 1908
oleh raja tanah jawa dan pertuhan huta bayu merubun. Dari ketiga kampung yang
terdapat di dalam daerah konsesi tersebut saat itu, jawa dolok dan marihat
jandi sudah dikeluarkan, dan enam keluarga dari kampung ketiga, nagori asih,
diberikan 26,5ha lahan dan dibiarkan untuk tetap tinggal sebagai daerah kantong
di dalam perkebunan tersebut. Situasinya sama sekali berubah pada tahun 1948.
Dikampung-kampung itu, pertambahan penduduk alamiah diperbesar ( pada tahun
1930an) oleh aruh buruh perkebunan asal jawa yang menganggur. Keadaan mereka
yang menyedihkan selama jaman meleseh itu telah menyebabkan keprihatinan umum dan
pemerintah Hindia Belanda yang melihat usul pengulangan mereka ke Jawa hanya
merupakan pemecahan sebagian, menekan para Raja Simalungun untuk mengizinkan
para buruh itu bermukim di kampung-kampung Simalungun.
Pada
tahun 1947, profesor soepomo mengusulkan agar dalam merumuskan undang-undang
agraria indonesia dapat belajar dari uni soviet. Akan tetapi, dalambab
3undang-undang dasar sementara 1950 sama sekali tidak ada petunjuk yang menyatakan
bahwa usul soepomo diikuti. Memang soepomo sendiri menafsirkan bahwa yang sama
bahwa negara dapat mengatur hak agraria atas lahan yang sudah digarap. Yang
disebut belakangan ini akan membuat tidak ada gunanya lagi praktek mengumumkan
tanah kosong berada di bawah penguasaan negara, suatu praktek yang tadinya
biasa dibawah pemerintahan hindia-belanda. Bukti lebih lanjut bahwa usul
soepomo di tolak dalam rekomendasi mereka bahwa setiap petani diberi sebidang
lahan tanah yang akan menjamin suatu kehidupan yang layak bagi dirinya dan
keluarganya, suatu perbedaan mendasar dari undang-undang agraria uni-soviet.
Pada bulan juli 1949 pemerintah
republik memerintahkan pengembalian perkebunan kepada pemiliknya yang sah.
Namun dangan ketentuan agar hak agrariaanya diselaraskan dengan kebijaksanaan
ekonomi pemerintah yang baru. Itu berarti hanya lahan perkebunan yang
membutuhkan penanaman modal atau pengetahuan dan manajemen asing yang kan
dikembalikan kepada pengusaha perkebunan. Lagi pula, program nasional yang
dicanangkan bulan juli 1949 menandaskan bahwa pemegang hak sewa jangka panjang
diharapkan mengakui dan menghormati sasaran baru pemerintah sehubungan dengan
kesejahteraan sosial para buruh; bahwa pengusaha barat,dalam mengambil
keuntungan dari banyakkesempatan untuk penanaman modalnya, hatus yakin bahwa
kegiatannya tidak dijalankan dengan megorbankan rakyat atau negara.
Bang, bisa pinjam bukunya? Soalnya perlu buat skripsi
BalasHapus