PERNYATAAN KELOMPOK CIPAYUNG
01. Evaluasi 10 Januari 1972, 10 Januari 1972, Jakarta.
02. Kesepakatan Cipayung, 22 Januari 1972, Cipayung/Jawa Barat.
03. Kesimpulan Umum Cipayung II tentang Perencanaan Masyarakat dan
Tanggung Jawab Generasi Muda, 16 April 1972, Cipayung/Jawa Barat.
04. Garis Besar Program Kerja dan Pengelolaan Pertemuan Cipayung, 3 Mei 1972, Jakarta.
05. Pokok-pokok Pikiran Kelompok Cipayung III, 25 Januari 1976.
06. Penjelasan tentang Kerja Sama Kelompok Cipayung, 5 Agustus 1876, Jakarta.
07. Pernyataan Kelompok Cipayung tentang Tatanan Nasional dalam Menyongsong Masa Depan Bangsa, 15 Juni 1977, Jakarta.
08. Resolusi Kelompok Cipayung Sehubungan dengan Sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat, 6 Oktober 1977, Jakarta.
09. Kesepakatan Cipayung IV Bagi Usaha-usaha Pengembangan Generasi Muda
dalam Rangka Pembangunan Bangsa Seutuhnya, 24 September 1978,
Gadok/Ciawi/Jawa Barat.
10. Keterangan Pers Kelompok Cipayung (dalam Rangka Menyambut) Hari
Sumpah Pemuda Ke-50 dan Kongres KNPI II, 27 Oktober 1978, Jakarta.
11. Pokok-pokok Pikiran Kelompok Cipayung (PB HMI – PP GMKI – PB PMII –
PP PMKRI – Presidium GMNI) tentang Penataan Kembali Lembaga
Penyelenggara Kedaulatan Rakyat dan Kekuatan-kekuatan Sosial-Politik, 26
Mei 1980, Jakarta.
12. Garis-garis Besar Program dan Pengelola Pertemuan Cipayung, 13 Juni 1980, Jakarta.
13. Kesimpulan Pertemuan Kelompok Cipayung V 12-13 Juni 1980, di
Jakarta tentang Penataan Kembali Sistem Sosial Menunjang Kewarganegaraan
yang Demokratis dan Bertanggung Jawab, 14 Juni 1980, Jakarta.
14. Refungsionalisasi Pranata-pranata Sosial dan Reorientasi Sistem
Sosial – Pengantar Dialog Kelompok Cipayung dengan Pemimpin DPR Tanggal
3 Desember 1980, 3 Desember 1980, Jakarta.
15. Indonesia dalam Perspektif Masa Depan (Evaluasi Akhir Tahun Kelompok Cipayung) Tahun 1980, 30 Desember 1980, Jakarta.
16. Pemerataan Pembangunan demi Terwujudnya Demokrasi Indonesia, 8 Januari 1981, Jakarta.
17. Meninjau Kembali Hubungan Indonesia-Jepang, 11 Januari 1981, Jakarta.
18. Pokok-pokok Pikirkan Kelompok Cipayung tentang Pembangunan Ekonomi Setelah 36 Merdeka, 14 Agustus 1981, Jakarta.
19. Mengkaji Ulang Peranan dalam Sejarah – Peringatan Sumpah Pemuda 53 Tahun oleh Kelompok Cipayung, 27 Oktober 1981, Jakarta.
20. Sumbangan Pikiran Kelompok Cipayung Kepada Menteri Muda Urusan
Pemuda mengenai Kemungkinan Pembentukan Suatu Forum Komunikasi
Antargenerasi Muda, 31 Oktober 1981, Jakarta.
21. Evaluasi Akhir Tahun Kelompok Cipayung – Kedaulatan Rakyat dalam
Sistem dan Struktur Politik Dewasa ini, 24 Desember 1981, Jakarta.
22. Keterangan Pers Pemimpin Kelompok Cipayung tentang
Pembatalan Diskusi ‘Kelompok Cipayung dalam Penilaian’, 23 Januari 1982, Jakarta.
23. Pokok-pokok Pikiran Kelompok Cipayung tentang Pembentukan Suatu
Forum Komunikasi Antargenerasi Muda, 27 Februari 1982, Jakarta.
24. Pesan Kelompok Cipayung kepada Rakyat Indonesia dalam Mengakhiri Masa Kampanye Pemilu ‘82, 26 April 1982, Jakarta.
25. Pendapat Kelompok Cipayung mengenai Pengembangan Generasi Muda pada Dasawarsa Mendatang, 23 Desember 1985, Jakarta.
26. Pokok-pokok Pikiran Akhir Tahun 1982 Kelompok Cipayung Pembangunan Bangsa Manusia Seutuhnya, 28 Desember 1982, Jakarta.
27. Resume Studi Cipayung VI tentang Pembangunan Swadaya Masyarakat 22 Januari 1983, Jakarta.
28. Lampiran II – Hentikan Penindasan terhadap Hak-hak Asasi Manusia dan
Demokrasi – Pernyataan Bela Sungkawa Atas Pembunuhan terhadap Benigno
S. Aguino Jr., 24 Agustus 1983, Jakarta.
29. Pokok-pokok Pikiran Kelompok Cipayung dalam Memperingati Hari Sumpah
Pemuda Ke- 55 28 Oktober 1983 – Hakikat Kepeloporan Generasi Muda dalam
Mewujudkan Indonesia yang Kita Cita-citakan, 26 Oktober 1983, Jakarta.
30. Evaluasi Akhir Tahun 1983 Kelompok Cipayung – Sentralisasi Kekuasaan
dan Kritis Moral Bangsa dalam Pembangunan, 29 Desember 1983, Jakarta.
31. Pokok-pokok Pikiran Kelompok Cipayung tentang Undang-Undang Organisasi Kemasyarakatan, 24 Februari 1984, Jakarta.
32. Pokok-pokok Pikiran Kelompok Cipayung dalam Rangka Hari Kemerdekaan Republik Indonesia Ke-41, 13 Agustus
1986, Jakarta.
33. Refleksi Kritis Kelompok Cipayung Menghadapi Pemilu 1987, 19 Maret 1987, Jakarta.
34. Antara Keprihatinan dan Indonesia yang Dicita-citakan: Gugatan
Kelompok Cipayung dalam Peringatan HUT Ke-17, 8 Januari 1989, Jakarta.
35. Catatan Kritis Kelompok Cipayung – Menjelang Munas Golkar V dan
Tragedi Waduk Nipah (GMKI, GMNI, HMI, PMII, PMKRI) – Golkar: Cermin
Kegagalan Politik Orde Baru?, 15 Oktober 1993, Jakarta.
36. Pernyataan Sikap Kelompok Cipayung, 7 Mei 1996, Jakarta.
37. Refleksi Akhir Tahun 1997 Kelompok Cipayung (PB HMI, PP PMKRI, PP GMKI, Presidium GMNI, PB PMII).
EVALUASI 10 JANUARI 1972
Setelah mengikuti secara seksama kemajuan pembangunan dan perkembangan
terakhir perjuangan mahasiswa dalam memberi pendapat tentang proyek
miniatur Indonesia Indonesia Indah yang diprakarsai oleh Yayasan Harapan
Kita yang dipimpin oleh Ibu Tien Soeharto dihubungkan dengan reaksi
spontan masyarakat dan kalangan generasi muda, serta dihubungkan dengan
reaksi yang datang dari pemerintah, dan terakhir dari Presiden Soeharto
dalam peresmian rumah sakit Pertamina yang baru lalu, maka kami
organisasi mahasiswa yang tergabung dalam Himpunan Mahasiswa Islam
(HMI), Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI), Perhimpunan
Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI), dan Gerakan Mahasiswa
Kristen Indonesia (GMKI) merasa perlu memberikan pendapat dalam rangka
tanggung jawab kami untuk masa kini dan masa datang sebagai berikut:
1. Tentang perjuangan mahasiswa dan kalangan generasi muda kini dalam
menanggapi persoalan perguruan tinggi, masyarakat dan persoalan negara
tetap positif dan konstruktif. Ini sebagai bukti bahwa mahasiswa dan
generasi muda masih mempunyai kesadaran yang tinggi, dan mempunyai rasa
tanggung jawab yang besar bagi generasi ini dan generasi yang akan
datang biar pun melalui tantangan-tantangan yang cukup besar. Kesadaran
ini, bertitik tolak dari perjuangan Orde Baru menegakkan Pancasila dan
UUD 1945. Ini bukti bahwa generasi muda masih tetap mencintai demokrasi
yang memang diajarkan oleh Orde Baru. Dalam rangka inilah kami
berpendapat bahwa gerakan-gerakan mahasiswa selama ini, tetap dalam
perjuangan meneruskan Orde Baru.
2. Dalam rangka inilah mahasiswa dan generasi muda memberikan pendapat
terhadap proyek miniatur Indonesia Indah. Biar bagaimanapun proyek
’sulit’ dibedakan antara pemerintah dan swasta, dan ini semakin jelas
dari ’kesibukan’ aparat pemerintah memberikan ’penjelasan’ dari proyek
ini. Di samping masalah campur tangan aparatur pemerintah ini, kita
melihat kebutuhan akan proyek ini masih belum dapat disesuaikan dengan
strategi pembangunan sebagaimana kita sudah tetapkan sebagai bangsa dan
mencetuskan Orde Baru dan menggantikan Orde Lama.
3. Memang pengisian Orde Baru belum selesai. Kehidupan konstitusional
masih banyak yang harus diperjuangkan. Banyak lembaga
ekstra-konsitutisional yang masih dipertahankan dalam rangka menampung
masa transisi ke Orde Baru yang sebaik-baiknya. Dalam hal ini, secara
khusus lembaga pengawasan atau lembaga kontrol yang sebagaimana
mestinya. Bukti undang-undang yang mengatur pengawasan ini masih banyak
hasil Orde lama, dan kalau ada undang-undangnya hanya di diatur oleh
peraturan pemerintah. Dalam tidak rangka memperjuangkan ini, mahasiswa
dan generasi muda sewajarnya tidak akan berhenti dan tidak akan
mematikan perjuangannya.
4. Kami menyadari dan meyakini bahwa problema-problema dasar yang ada
dalam masyarakat hanya dapat dipecahkan melalui pembangunan. Kami
mengakui dan menghargai bahwa pembangunan yang disepakati bersama dan
sedang berjalan di bawah pimpinan Presiden Soeharto adalah usaha yang
sungguh-sungguh serta memperlihatkan beberapa hasil yang positif,
walaupun belum seperti apa yang kita harapkan. Kami melihat bahwa proses
pembangunan masih mengalami hambatan-hambatan baik dari struktural dan
konstitusional maupun hambatan karena sikap mental, yang dapat
menggagalkan tujuan jangka panjang agar hasil pembangunan dapat
dinikmiati oleh seluruh masyarakat. Dalam rangka inilah mahasiswa dan
generasi muda dalam proses pembangunan adalah mutlak perlu.
5. Dalam kerangka pikiran kami mengikuti makna dari pidato Presiden
Soeharto pada peresmian rumah sakit Pertamina pada tanggal 6 Januari
1972 yang lalu, yang menganggap bahwa gerakan itu mendiskreditkan Pak
Harto dan pemerintah dengan jujur kita nyatakan bahwa data yang
menyatakan demikian tidak ada pada kami, mahasiswa dan generasi muda.
Yang ada pada kami adalah idealisme sejarah, idealisme Orde Baru,
idealisme Pancasila dan UUD 1945, idealisme konstuitusional yang
cita-citakan. Motivasi kami tidak lain tidak bukan adalah memperkuat
pemerintah yang dipimpin oleh Presiden Soeharto, sebagai hasil proses
perjuangan bersama Orde Baru. Tidak mungkin kami mendiskreditkan
pemerintah Orde Baru. Namun, setiap usaha yang akan membawa wibawa
pemerintah Orde Baru ke cara-cara Orde Lama sudah pasti kita akan
menentang dengan segala kemampuan yang ada pada kami.
Untuk menyelesaikan yang tidak jelas diperlukan dialog yang jujur. Dalam
rangka ini, kami masih memerlukan dialog dari semua pihak yang tepat
dapat memberi jawaban yang pasti,yaitu Bappenas, DPR, dan Presiden.
Kepada mahasiswa dan generasi muda, kami serukan untuk
tetap meneruskan perjuangan dalam rangka cita-cita perjuangan Orde Baru.
Jakarta, 10 Januari 1972
PP GMNI Soerjadi, Ketua Umum; PB HMI Akbar Tandjung, Ketua Umum; PP
PMKRI Christ Siner Key Timu Ketua Presidium; PP GMKI Binsar Sianipar,
Ketua Umum.
KESEPAKATAN CIPAYUNG
Kami, generasi muda bangsa sebagai penerus dan pewaris bangsa di masa
depan belajar dari sejarah masa lampau, bahwa disorientasi selalu
terjadi dalam perjalanan sejarah perjuangan bangsa, selalu akan
menghambat kemajuan bangsa. Oleh karenanya kesatuan perjuangan generasi
muda untuk membangun negeri ini adalah merupakan tuntutan bangsa secara
mutlak.
Kecintaan terhadap negara dan bangsa yang tumbuh dari generasi ini,
adalah manifestasi dari kecintaan akan Indonesia di masa depan, oleh
karena itu generasi ini merindukan Indonesia yang Kita Cita-citakan
sebagai berikut:
1. Bahwa Indonesia yang kita cita-citakan adalah Indonesia yang
digambarkan dalam pembukaan UUD 1945 yaitu, masyarakat adil dan makmur,
spiritual dan material berdasarkan Pancasila.
2. Bahwa Indonesia yang kita cita-citakan adalah Indonesia yang kuat
bersatu, Indonesia yang cerdas dan modern, Indonesia yang demokratis dan
adil, Indonesia yang menjunjung tinggi martabat manusia dan wibawa
hukum, Indonesia yang sehat dan makmur, Indonesia yang bebas dari
ketakutan dan penindasan, Indonesia yang berperanan dalam pergaulan
bangsa-bangsa di dunia, Indonesia yang layak bagi tempat dan kehidupan
manusia selaku makhluk Tuhan.
3. Bahwa Indonesia yang kita cita-citakan hanya mungkin dicapai dari
pembangunan ke pembangunan dengan bekerja keras, jujur, hemat, yang
dilandasi semangat pioner melalui pengorbanan.
4. Indonesia yang kita cita-citakan hanya dapat dibangun atas pikiran
dan tekad bersama, yang erat dan terarah dari generasi ke generasi
bangsa Indonesia dengan tidak mengenal perbedaan agama, suku, daerah,
umur, dan golongan, karena tekad pikiran yang demikian inilah yang
mencetuskan Sumpah Pemuda 1928, Proklamasi 1945 dan Orde Baru kita
sekarang ini.
5. Dalam rangka membangun masa depan dalam Indonesia yang kita
cita-citakan, maka pembentukan dan pembinaan generasi pembangunan
selaku generasi penerus adalah mutlak. Kita bercita-cita membangun masa
depan yang lebih baik dari masa kini dan masa kemarin, karena itu
generasi pembangun memerlukan keberanian melihat dan menilai dasar-dasar
pembangunan masa depan dan meninggalkan pola-pola lama, ikatan-ikatan
lama, yang menghalangi usaha pembangunan masa depan yang baru. Generasi
pembangun itu mempunyai ciri-ciri khas, yaitu bebas dan terbuka,
positif, kritis, dinamis, jujur, berdedikasi, dan radikal. Ciri-ciri
khas itu merupakan unsur dalam melihat masa depan, serta menilai masa
kini dan masa lampau.
6. Generasi pembangun mutlak turut menentukan isi, bentuk, corak, dan
watak dari Indonesia yang kita cita-citakan, dengan memberikan
kemungkinan dan kesempatan untuk menyampaikan pikiran-pikiran,
pendapat-pendapat dan tenaga melalui kebebasan yang bertanggung jawab,
yang dijamin atas dasar hukum, dan untuk itu pembinaan generasi
pembangun menjadi kewajiban bersama.
6. Generasi pembangun ini, akan mempunyai peranan bila dalam generasi
pembangun itu sendiri ada inisiatif untuk mengubah dan mempersiapkan
diri menerima dan memikul tanggung jawab masa depan dalam mencapai
Indonesia yang kita cita-citakan itu. Inisiatif itu berbentuk usaha
membuka diri dalam memahami pada artinya anugerah Tuhan untuk kita hidup
di Indonesia, mempergunakan ilmu dan teknologi dalam memecahkan
persoalan-persoalan masyarakat, menerima pikiran-pikiran yang beraneka
ragam dari berbagai golongan generasi muda dalam masyarakat, dan
kesediaan mempersiapkan diri mengabdi kepada masyarakat, bangsa, dan
negara.
Disepakati dan diteguhkan bersama dengan menyanyikan 'Padamu Negeri'
hari Sabtu tanggal 22 Januari 1972, jam 24.00 WIB. Atas nama peserta
konsultasi Indonesia yang Kita Cita-citakan.
Akbar Tandjung, Ketua Umum PB HMI;
Soerjadi, Ketua Umum DPP GMNI;
Chris Siner Key Timu, Ketua Presidium PP PMKRI;
Binsar Sianipar, Ketua Umum PP GMKI.
GARIS BESAR PROGRAM KERJA DAN PENGELOLAAN PERTEMUAN CIPAYUNG
Pengantar
A. Di dalam rapat yang diadakan pada tanggal 23 April 1972
bertempat di Jalan Sam Ratulangi 1 Jakarta, Komite Kerja Pertemuan
Cipayung berkesimpulan bahwa untuk dapat merealisasikan secara konkrit
hasil-hasil dan kesimpulan dari pertemuan Cipayung I dan II perlu
disusun secara konkrit dan sistematis dua hal:
a. Garis Besar Program Kerja dari Kelompok Cipayung
b. Garis Besar Tata kerja dan Pengelolaan dari Komite Kerja dan Kelompok Cipayung
B. Agar supaya dapat dilaksanakan secara efektif dan efisien,
garis-garis besar program kerja, tata kerja, dan pengelolaan dari Komite
Kerja dan Kelompok Cipayung perlu diperinci serta disistematisasi
terlebih jauh secara konkrit dan riil.
Garis Besar Program Kerja Kelompok Cipayung
A. Dasar : Seluruh dokumen dan kesimpulan pertemuan Cipayung.
B. Tujuan : Mewujudkan secara konkrit, efektif dan efisien seluruh
kesimpulan dari pertemuan-pertemuan Cipayung, sehingga dapat
ditingkatkan integrasi sesama generasi dan antargenerasi, dalam rangka
peningkatan partisipasinya di dalam usaha memajukan masyarakat menuju
‘Indonesia yang Kita cita-citakan’.
C. Program :
a. Bidang pemikiran/ aspirasi:
1. Membina komunikasi baik di tingkat pusat maupun di daerah tidak
hanya antara sesama generasi muda, tetapi juga antara generasi muda
dengan pemerintah dan masyarakat;
2. Mengusahakan perluasan area of agreement antara sesama generasi muda
maupun generasi sebelumnya, baik sipil maupun militer di dalam
pemikiran-pemikiran aspirasi dasar mengenai kehidupan bermasyarakat dari
Indonesia yang sekarang dan yang kita cita-citakan, mengenai dunia
perguruan tinggi dan dunia kemahasiswaan di Indonesia sekarang dan masa
datang, tidak saja di tingkat pusat tetapi juga di tingkat daerah
sehingga integrasi dan partisipasi mahasiswa di dalam memajukan
masyarakat Indonesia menjadi semakin nyata efektif dan efisien;
3. Area of agreement dan komunikasi ini dicapai melalui:
3.1. Pertemuan-pertemuan periodik di tingkat nasional dan lokal misalnya
pertemuan-pertemuan Cipayung dan pertemuan-pertemuan di daerah,
3.2. Pertemuan-pertemuan kontinyu formal maupun informal untuk membahas
follow-up dan implementasi dari pertemuan-pertemuan di atas,
3.3. Hasil dari pertemuan-pertemuan ini hendaknya disampaikan dari
pusat ke daerah dan sebaliknya, serta antardaerah yang lain untuk
dijadikan pedoman dan bahan informasi.
b. Bidang kegiatan:
1. Kegiatan kemahasiswaan di pusat dan di daerah dalam bentuk:
1.1. Kegiatan-kegiata rekreatif/ olahraga, misalnya Malam Rendevouz
Cultural. Kegiatan-kegiatan rekreatif ini merupakan saran yang efektif
di dalam membina rasa persahabatan yang human di antara anggota,
1.2. Kegiatan penerangan: diusahakan untuk menerbitkan sebuah bulletin bersama untuk seluruh Indonesia,
1.3. Kegiatan pendidikan studi, misalnya research, kursus-kursus, dan diskusi-diskusi ilmiah,
1.4. Gedung pertemuan yang representative; mengusahakan
adanya tempat pertemuan yang representatif sebagai pusat kegiatan.
2. Kegiatan-kegiatan kemasyarakatan, di pusat dan di daerah (rural development):
2.1. Mengintroduksi, memperkembangkan, dan memperluas nilai-nilai pembaruan ke dalam masyarakat
2.2. Membantu masyarakat dengan ikut serta di dalam
pembangunan fisik ekonomi, misalnya bidang survai tentang pembuatan
jembatan, pendidikan kursus berorganisasi/ manajemen, dan sebagainya
yang sesuai dengan kemampuan sebagai mahasiswa;
3. Kegiatan internasional; mengusahakan kontak dan hubungan
dengan mahasiswa di negara-negara lain, dan bentuk student exchange
program comparetive study, tukar pikiran, dan kerja sama lainnya.
Garis Besar Tata Kerja dan Pengelolaan Komite Kerja dan Forum Cipayung
A. Nama:
a. Komite Kerja, orang-orang ditunjuk dengan mandat penuh dari
organisasi-organisasi mahasiswa; pemrakarsa sebanyak 8 (delapan) orang,
masing-masing setiap organisasi 2 (dua) orang.
c. Forum Cipayung, terdiri atas Komite Kerja dan individu-
individu/perorangan:
1. Senior-senior, yaitu orang-orang yang secara otomatis menjadi anggota
Forum Cipayung karena partisipasinya secara langsung dan efektif dalam
pertemuan-pertemuan Cipayung sebelumnya,
2. Orang-orang yang ditunjuk oleh masing-masing organisasi pemraksa,
3. Orang-orang yang ditetapkan oleh Komite Kerja yang kriteria dan produsernnya akan ditetapkan kemudian.
B. Fungsi Komite Kerja:
a. Mempersiapkan, melaksanakan, dan mengarahkan pertemuan- pertemuan Cipayung.
b. Mengkoordinasi pelaksanaan program-program yang disepakati oleh Forum Cipayung.
C. Anggota Komite Kerja: Untuk pertama kali Komite Kerja terdiri dari
Ridwan Saidi, Gambar Anom, Soerjadi, Theo L. Sambuaga, Natigor Siagian,
Janes Hutagalung, Chris Siner Key Timu, dan Eko Tjokrodjojo.
D. Panitia Ad-hoc: Komite Kerja membentuk panitia Ad-hoc yang bertugas
untuk mempersiapkan bahan-bahan, pemikiran-pemikiran/
rancangan-rancangan konsepsi di bidang pendidikan, ekonomi, budaya,
hukum, pertahanan keamanan, internasional, sosial-politik, dan
lain-lain. Panitia-panitia Ad-hoc ini bertangung jawab kepada Komite
Kerja.
Peralihan
Hal-hal yang belum diatur di sini, akan diatur kemudian oleh Komite
Kerja sesuai dengan dasar, tujuan, dan fungsi dari Forum Cipayung dan
Komite Kerja.
Jakarta, 3 Mei 1972
KOMITE KERJA: 1. Ridwan Saidi, 2. Gambar Anom, 3. Soerjadi, 4. Theo L.
Sambuaga, 5. Ir. Natigor Siagian, 6. Janes Hutagalung, 7. Chris Siner
Key Timu, 8. Eko Tjokrodjojo.
Kesimpulan Umum Cipayung II Tentang
PERENCANAAN MASYARAKAT DAN TANGGUNG JAWAB GENERASI MUDA
Latar Belakang
Kecenderungan yang paling nyata pada dekade 70 adalah adanya hasrat yang
kuat terhadap pembangunan untuk mewujudkan Indonesia yang kita
cita-citakan dan adanya minat yang besar dari semua pihak terhadap
persoalan-persoalan generasi muda, aneka pikiran dan pendapat tentang
mereka yang akhirnya mempunyai tujuan yang sama: pembinaan generasi muda
adalah penting.
Pentingnya pembinaan ini adalah selain karena semua pihak ingin
menghindari terjadinya kerenggangan antargenerasi, bahkan lebih dari itu
bagaimana generasi muda mengambil peranan bersama-sama dengan generasi
sebelum dan sesudahnya di dalam proses pembaharuan dan pembangunan
masyarakat dapat dijabarkan.
GMNI, HMI, GMKI, PMKRI, dan PMII adalah organisasi-organisasi yang
secara sosiokultural datang dari kelompok sosial yang berbeda-beda, kali
ini mensponsori kembali pertemuan Cipayung II yang juga dihadiri oleh
eksponen generasi muda lainnya. Dengan pertemuan Cipayung yang hendak
dikaji, selain tema yang berhubungan dengan generasi muda dan
pembangunan, juga hendaknya dibuktikan kepada masyarakat adanya usaha
untuk menjalin pertemuan kultural dari aneka kelompok sosial yang
berbeda dan yang pada masa terdahulu pernah saling bertentangan.
Disadari bahwa pertentangan antarkelompok sosial bukan saja tidak
menguntungkan pihak-pihak yang bersangkutan, tetapi lebih jauh dari itu
merugikan bangsa secara keseluruhan. Di dalam rangka itu, perencanaan
masyarakat dan tanggung jawab generasi muda adalah masalah pokok kita
dewasa ini.
Perencanaan Masyarakat
Tuntutan pokok dari suatu bangsa yang merdeka dan berdaulat adalah
kemampuan merencanakan masyarakatnya yang akan dibangun. Demikian juga
bangsa Indonesia harus mampu merencanakan masyarakat berdasarkan
potensi-potensi, serta kemampuan yang ada dalam masyarakat dengan
menghayati jalannya sejarah bangsa Indonesia dan umat manusia di seluruh
dunia ini.
Bagi Indonesia kini dan pada masa yang akan datang perencanaan
masyarakat itu adalah menetapkan strategi, prioritas, serta menggariskan
langkah-langkah kebijaksanaan melalui pembaharuan dan pembangunan
masyarakat yang diperlakukan. Perencanaan masyarakat tersebut dapat
dibayangkan dan diperhitungkan secara jelas dan matang oleh semua
lapisan masyarakat, generasi demi generasi dalam mencapai tujuan bangsa
Indonesia yang termaktub dalam Mukadimah UUD 1945 serta keseluruhan
bulat UUD 1945 berdasarkan Pancasila.
Ini dimulai dalam berbagai rencana pembangunan bangsa kita pada masa
lalu, kini dan terus berjalan pada masa yang akan datang, atas kasih dan
anugerah, serta perkenan Tuhan Yang Maha Esa.
Kini dalam rangka lingkup perencanaan masyarakat perlu dipertegas
strategi yang jelas dalam pembangunan maupun rencana pembaruan struktur
masyarakat, yang diperlukan dalam strategi keadilan sosial. Strategi
keadilan sosial perlu mendapat pertimbangan baru dalam pembangunan
ekonomi untuk mempercepat ketahanan dan kemampuan kita berdiri di atas
kaki sendiri sebagai bangsa yang merdeka dan berdaulat.
Di dalam pelaksanaan strategi keadilan sosial hendaknya perhatian yang
lebih besar diberikan kepada generasi muda sebagai lapisan masyarakat
yang terbesar dewasa ini. Hal ini perlu ditegaskan karena Indonesia di
masa datang akan menghadapi persoalan-persoalan keadilan sosial yang
mungkin lebih besar dibandingkan dengan dewasa ini. Persoalan sekarang
adalah:
(1) kesempatan turut serta dan menentukan pembangunan itu
(2) pendidikan dan latihan untuk berpikir dan bekerja,
(3) tersedianya lapangan kerja seluas mungkin.
Sewajarnya masalah ini menjadi kriteria-kriteria yang berwibawa dan
menentukan prioritas, serta menetapkan kebijaksanaan-kebijaksanaan yang
diperlukan untuk mencapai strategi keadilan sosial itu. Wadah-wadah
pengambilan keputusan dalam negara dan masyarakat seyogyanya
memperhatikan strategi dan prioritas ini.
Tanggung Jawab Generasi Muda
Manusia sebagai tujuan dari perencanaan masyarakat, sekaligus sebagai
pelaksana yang amat menentukan hasil perencanaan pembangunan masyarakat
itu sendiri. Karenanya menjadi faktor penghambat utama dari proses
pembangunan, apabila moralitas dan sistem nilai, mentalitas serta
intelektualitasnya tidak memenuhi syarat, di samping faktor penghambat
lainnya, yaitu struktur, pranata, sistem, dan metode dalam mana para
pelaksana itu bekerja.
Perencanaan masyarakat ditujukan untuk membangun masa depan. Masa depan
ini tanggung jawab dan kepemimpinannya akan dipegang oleh generasi muda
masa kini, karenanya ia harus berani menilai faktor-faktor dasar
pembangunan tersebut. Adalah tugas dan tanggung jawab generasi
muda untuk berpartisipasi
secara kreatif di dalam pembangunan, kini dan masa datang.
Untuk itu, sesuai dengan tuntutan dasar pembangunan, salah satu tugas
pokok generasi muda adalah membina dirinya secara intensif, baik dalam
pembinaan mental spiritual dan intelektualitasnya maupun dalam melatih
keterampilan sosial dan teknisnya, agar kepemimpinan dan partisipasinya
di masa depan berhasil.
Hal ini hanyalah mungkin apabila ia mendapat kesempatan untuk belajar
dan berlatih secara intensif dalam perguruan tinggi dan lembaga-lembaga
pendidikan lainnya yang bermutu. Organisasi mahasiswa sebagai bagian
dari generasi muda, berkewajiban membantu perguruan tinggi menjalankan
tugas ini. Tugas pembinaan kepribadian generasi muda secara paripurna
menuntut pula perhatian dari pihak pemerintah dan generasi terdahulu,
karena perkembangan masyarakat dan pembinaan generasi adalah suatu
proses yang kontinyu. Di dalam pembangunan masyarakat negara-negara yang
sedang berkembang seperti Indonesia, penyimpangan-penyimpangan sering
terjadi, bahkan mungkin terjadi deviasi-deviasi keadilan sosial dan
demokrasi yang merupakan nilai-nilai asasi kemanusiaan yang harus
dijunjung tinggi. Di sini generasi muda bertugas dan bertanggung jawab
untuk selalu berpartisipasi dengan melaksanakan sosial kontrol dan
koreksi terhadap penyimpangan-penyimpangan yang terjadi dalam
pembangunan.
Dia harus mengingatkan masyarakat dan pemerintah agar jangan sampai
meninggalkan tujuan, motivasi dan orientasi pembangunan yaitu, manusia
dan nilai-nilai kemanusiaannya. Untuk itu generasi muda harus mendalami
masalah-masalah yang ada. Karenanya mutlak perlu untuk selalu
berkomunikasi dengan semua pihak yang terlibat dalam proses pembangunan
agar dapat ditemukan jalan keluarnya. Generasi muda adalah product in
process dalam masyarakat, oleh karenanya generasi muda berpartisipasi
sesuai dengan fungsi, kapasitas, dan watak
alamiahnya.
Demikianlah generasi muda harus betul-betul tampil sebagai kekuatan moral dan intelektual dalam proses pembangunan bangsa ini.
Cipayung, 16 April 1972
STEERING-COMMITTEE PERTEMUAN CIPAYUNG II
1. Ridwan Saidi 2. Gambar Anom 3. Soerjadi 4. Budihardjono 5. Natigor
Siagian 6. Janes Hutagalung 7. Chris Siner Key Timu 8. Eko Tjokrodjojo
POKOK-POKOK PIKIRAN
KELOMPOK CIPAYUNG III
Pendahuluan
Belajar dari sejarah perjuangan bangsa dan negara, serta didasari bahwa
Indonesia yang dicita-citakan hanya dapat dibangun dengan tekad dan
usaha bersama dari generasi ke generasi. Menyadari pentingnya persatuan
dan kesatuan sebagai syarat terselenggaranya upaya nyata menuju bangsa
dan negara yang dicita-citakan, masyarakat yang adil dan makmur
berdasarkan Pancasila, maka HMI, PMII, PMKRI, GMKI, dan GMNI sebagai
generasi muda bangsa dengan keikhlasan dan rasa kebersamaan merasa perlu
untuk meningkatkan partisipasi dalam proses pembangunan dengan
menghayati dan mendalami, serta mengembangkan Kesepakatan Cipayung.
Berdasar pada keyakinan bahwa perjuangan merebut kemerdekaan bangsa
adalah perjuangan bersama segenap rakyat Indonesia dan bahwa
kemerdekaan, serta negara kesatuan Republik Indonesia adalah milik
bersama segenap rakyat, maka usaha terwujudnya Indonesia yang kita
cita-citakan merupakan tugas dan tanggung jawab bersama. Dalam proses
pencapaian cita-cita itu melalui bentuk aktivitas pembangunan,
penghayatan yang mendasar akan makna kebersamaan adalah penting. Yakni
kebersamaan dalam pengertian perencanaan, pelaksanaan maupun pemerataan
hasil pembangunan, sekaligus kebersamaan dalam berbagai segi dalam
pembangunan sesuai dengan Pancasila, UUD 1945, dan Garis-garis Besar
Haluan Negara.
Sebagian dari aktivitas pembangunan masyarakat dan manusia seutuhnya,
salah satu dimensinya berupa upaya menyiapkan generasi muda menjadi
warga negara yang bertangung jawab atas masa depan negara dan bangsa.
Generasi muda yang dimaksudkan adalah generasi muda yang tidak hanya
memiliki keterampilan serta menguasai ilmu dan teknologi, tetapi
sekaligus harus memiliki kepribadian manusia Indonesia.
Menyadari bahwa masalah pembangunan generasi muda adalah masalah yang
kompleks, membutuhkan pemikiran serius, kejelasan dan ketetapan pola
konsepsi, ketekunan yang terus-menerus serta sarana yang memadai, maka
dalam hal ini perlu adanya pemahaman bersama terhadap sistem dan sarana
pembinaan dalam pengertian melihat generasi muda sebagai individu maupun
makhluk sosial. Pada dasarnya, tuntutan pokok dari suatu masyarakat
yang berdaulat adalah kemampuan merencanakan masyarakat yang akan
dibangun. Demikian juga, bangsa Indonesia harus mampu merencanakan
berdasarkan potensi-potensi serta kemampuan yang ada di dalam
masyarakat, dengan menghayati jalannya sejarah bangsa Indonesia dan umat
manusia di seluruh dunia. Dalam pada itu, pelaksanaan dari pembangunan
memerlukan pengawasan sosial yang tidak terlambat, khususnya dari
aparat-aparat yang berwenang.
Pembinaan Generasi Muda
1. Pada dasarnya pembinaan generasi muda itu menjadi tanggung jawab
generasi muda sendiri, sebab secara psikopedagogis akan menumbuhkan satu
generasi bangsa yang mampu berdiri sendiri. 2. Dasar umum tentang
pembinaan generasi muda telah ditetapkan dalam GBHN. Dalam hubungannya
dengan pelaksanaan GBHN, hendaknya pemerintah lebih mengutamakan
penciptaan iklim tumbuh dan berkembangnya kreativitas serta kepribadian
generasi muda yang sesuai dengan proses aktualisasi dirinya dengan
segala hasrat dan aspirasinya. 3. Secara faktual, keanekaragaman dalam
masyarakat adalah merupakan kelaziman kultural, dan hal ini tercermin
juga dalam kehidupan generasi muda Indonesia. Agar kelaziman itu
berjalan secara dinamis dan kondusif untuk pembangunan, maka diperlukan
komunikasi secara terbuka dan setaraf antara unsur-unsur generasi muda
yang ada. Dalam hubungannya dengan pembinaan generasi muda, maka
pendekatan yang dilakukannya pembinaan secara comprehensive dalam
pengertian seluruh unsur dalam masyarakat merupakan subyek pembinaan.
Oleh sebab itu, generasi sebelumnya hendaknya memberikan teladan yang
benar dan baik, juga generasi tua, khususnya pemuka-pemuka masyarakat
harus melaksanakan hidup yang bersifat kerakyatan.
Umum
A. Untuk peningkatan kebersamaan dalam pembangunan, maka perlu
terciptanya suatu sistem pemerintahan yang sehat, efektif dan bersih
dalam melaksanakam political commitment dari semua pihak. B. Dalam
hubungan dengan pelaksanaan di atas, maka usaha-usaha pengembangan dan
pembinaan demokrasi politik dan demokrasi ekonomi harus dilakukan secara
sungguh-sungguh dan terus-menerus. Oleh karenanya perlu melakukan
hal-hal sebagai berikut:
a. Pelaksanaan kebebasan pers hendaknya dihargai oleh semua pihak,
termasuk pemerintah dan masyarakat, serta kepada pers sendiri diharapkan
untuk melaksanakan fungsinya secara bertanggung jawab. Ancaman berupa
apapun, baik fisik maupun pemberangusan tidak pantas diperdengarkan
apalagi dilaksanakan.
b. Sikap responsif dari pemerintah dalam menanggapi koreksi-koreksi
yang timbul dalam masyarakat, diperlukan dalam rangka membina tatanan
yang mampu menyalurkan rasa tanggung jawab seluruh rakyat. Untuk itu,
tatanan politik nasional harus memiliki kemampuan dan kemauan untuk
melaksanakan perbaikan secara terus-menerus, agar tatanan
sungguh-sungguh berfungsi.
c. Dalam menunjang tatanan politik di atas yang dibarengi oleh proses
pergeseran nilai budaya, sistem hukum, pranata-pranata sosial/
identitas, maka diperlukan suatu kebijaksanaan yang pasti dan mantap
sehingga memungkinkan terlaksananya rencana-rencana pembangunan.
d. Di lain pihak, pembangunan ini perlu menyelesaikan persoalan-persoalan yang menyangkut keadilan sosial antara lain:
1. Menyehatkan aparat pelaksana perpajakan,
2. Menghentikan proses perpindahan kekayaan desa ke kota, dan kekayaan bangsa ke luar negeri,
3. Melaksanakan land reform dan bagi hasil secara konsekuen sesuai dengan undang-undang yang berlaku.
Cipayung, 25 Januari 1976
Kelompok Cipayung
Pengurus Besar HMI Ridwan Saidi, Ketua Umum, Saleh Elwaini, Sekretaris
Jenderal; Pengurus Pusat GMKI Ir. Natigor Siagian, Ketua Umum, Shirato
Syaifei, Sekretaris Jenderal; Pengurus Besar PMII Drs. H.M. Abduh
Paddare, Ketua Umum, Ahmad Bagdja, Sekretaris Jenderal; Dewan Pengurus
Pusat GMNI Drs. Soerjadi, Ketua Umum, Dien M. Amin, Sekretaris Jenderal;
Pengurus Pusat PMKRI Drs. Chris Siner Key Timu, Ketua Presidium, Herman
Karundeng, Sekretaris Jenderal.
PENJELASAN TENTANG KERJA SAMA KELOMPOK CIPAYUNG
HMI, GMNI, PMKRI, GMKI, PMII adalah organisasi mahasiswa sebagai penerus
dan pewaris bangsa di masa depan yang secara sosial kultural datang
dari kelompok sosial yang berbeda-beda, namun telah berangkat untuk
menyelenggarakan forum dialog/ komunikasi bersama dalam suatu pertemuan
di Cipayung, untuk menghindari disintegrasi yang terjadi pada masa
lampau. Dalam pertemuan-pertemuan Kelompok Cipayung, yang hendak dikaji
selain tema yang berhubungan dengan generasi muda dan pembangunan, juga
hendak dibuktikan kepada masyarakat adanya usaha untuk menjalin
pertemuan kultural dari aneka kelompok sosial yang berbeda dan yang pada
masa terdahulu pernah saling bertentangan.
Disadari bahwa pertentangan antarkelompok sosial bukan saja tidak
menguntungkan pihak-pihak yang bersangkutan, tetapi lebih jauh dari itu
yakni, merugikan cita-cita bangsa secara keseluruhan. Lahirnya Kelompok
Cipayung merupakan suatu manifestasi dari penghayatan bersama terhadap
masalah di atas. Menyadari akan pentingnya persatuan dan kesatuan,
syarat terselenggaranya upaya nyata menuju bangsa dan negara yang
dicita-citakan, masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila;
HMI-PMII-PMKRI-GMKI, dan GMNI sebagai generasi muda bangsa dengan
kesadaran dan rasa kebersamaan merasa perlu untuk meningkatkan
partisipasi dalam proses pembangunan.
Dalam perjalanannya, Kelompok Cipayung telah menyelesaikan pertemuan-pertemuan yang menghasilkan:
A. Pertemuan I, Januari 1972, 'Indonesia Yang Kita Cita-citakan
sebagai suatu pemahaman dan perwujudan bersama terhadap Indonesia yang
kita warisi untuk masa mendatang. B. Pertemuan II, April 1972,
'Perencanaan Masyarakat dan Tanggung Jawab Generasi Muda' sebagai
suatupemahaman dan pentingnya keterlibatan generasi muda dalam
perencanaan masyarakat menuju Indonesia yang kita cita-citakan. C.
Pertemuan III, Januari 1976, 'Meningkatkan Kebersamaan Menuju
Indonesia yang Kita Cita-citakan' dan ‘Pembinaan Generasi Muda yang
Berkepribadian' sebagai suatu pemahaman tentang perlunya diperluas
keterlibatan masyarakat dalam proses pembangunan.
Selain dari pada itu, dalam merealisasikan ide Kelompok Cipayung di
tingkat pusat telah pula diwujudkan sarana-sarana operasional dalam
bentuk, antara lain Komite Kerja Kelompok Cipayung, dan bulletin
Cipayung. Dengan menyadari bahwa ide kebersamaan ini adalah milik kita
bersama, dan merupakan suatu hakikat yang telah ada di tengah-tengah,
oleh karena itu, dalam pertemuan III Kelompok Cipayung dirasakan
perlunya kebersamaan ini dapat ditingkatkan dan diwujudkan di daerah
Saudara-saudara.
Demikianlah penjelasan ini, kami sampaikan untuk menjadi perhatian Saudara-saudara.
Jakarta, 5 Agustus 1976
Pengurus Besar HMI Ridwan Saidi, Ketua Umum, Chumaidi Sjarif Romas,
Ketua I; Pengurus Besar PMII H. Madjidie Syah, Ketua, Ahmad Bagdja,
Sekretaris Jenderal; Pengurus Pusat PMKRI Chris Siner Key Timu, Ketua
Presidium, Herman Karundeng, Sekretaris Jenderal; Pengurus Pusat GMKI
Shirato Syafei S. Th., Ketua Umum, Tony Waworuntu, Sekretaris Jenderal;
Presidium GMNI F. As. Alwie, Ketua II, M. Dien Amin, Wakil Sekretaris
Jenderal.
Pernyataan Kelompok Cipayung Tentang
TATANAN KEHIDUPAN NASIONALDALAM MENYONGSONG MASA DEPAN BANGSA
Menyadari sepenuhnya akan tugas dan tanggung jawab selaku bagian dari
generasi muda bangsa dan negara Republik Indonesia, dalam melihat
kenyataan kehidupan dan menegaranya bangsa Indonesia sekaligus untuk
menyongsong hari depan bangsa sebagaimana yang kita cita-citakan dalam
Pancasila dan UUD 1945, maka kami, Kelompok Cipayung (PP GMKI, Presidium
GMNI, PB HMI, PB PMII, dan PP PMKRI) menyatakan sikap dan pemikiran
sebagai berikut:
a. Bahwa falsafah negara Pancasila yang merupakan landasan moral dan
landasan politik harus dilaksanakan secara jujur, murni, konsekuen, dan
bertanggung jawab.
b. Citra dan cita kebudayaan Indonesia yang berdasarkan
Pancasila adalah bersifat dan bercita-cita kerukunan hidup secara
kekeluargaan, hormat-menghormati, harga-menghargai dalam kehidupan
sehari-hari, baik sebara pribadi maupun kelompok, karena itu kekuasaan
negara yang berdasarkan Pancasila harus tumbuh dari bawah menurut
kehendak aspirasi rakyat serta digunakan bagi kepentingan rakyat.
c. Bahwa pengalaman hidup menegaranya bangsa Indonesia selama
11 tahun Orde Baru ini, menunjukkan adanya indikasi-indikasi sebagai
berikut:
1. Masih terasa dominannya cara berpikir dan pola budaya yang feodalistis dan paternalistis,
2. Bahwa pelaksanaan demokrasi Pancasila belum
sepenuhnya mencerminkan kehidupan demokrasi yang memberikan tempat bagi
terselenggaranya suatu sistem pemerintahan/kekuasaan yang sepenuhnya
didasarkan kepada kehendak dan aspirasi rakyat,
3. Pembangunan yang tengah dilaksanakan dewasa ini memberikan peluang
kepada timbulnya kapitalisme baru seperti tercermin pada kenyataan yang
ada saat ini misalnya, makin melebarnya jurang antara si kaya dan si
miskin, menumpuk modal/ kekayaan pada sekelompok masyarakat tertentu dan
penyelewengan berupa korupsi, manipulasi, komersialisasi jabatan
semakin merajalela,
4. Bahwa sistem dan struktur kekuasaan yang ada saat ini, diberlakukan
atau bertendensi ke arah sistem yang monolitis sifatnya, dan cenderung
mempertahankan status quo dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat,
5. Sendi-sendi hukum dan kebebasan seringkali dikorbankan demi stabilitas nasional.
d. Pada dasarnya hakikat kehidupan bernegara untuk membentuk suatu
pemerintahan negara Republik Indonesia yang melindungi segenap bangsa
Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, serta untuk memajukan
kesejahteraan umum, mencerdaskan kehiduan bangsa berdasarkan Pancasila.
Maka tatanan kehidupan nasional yang kita cita-citakan adalah sebagai
berikut:
1. Sistem dan struktur kekuasaan yang didasarkan kepada kemerdekaan
berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan,
dan sebagainya sesuai dengan pasal 28 UUD 1945,
2. Sistem dan struktur kekuatan politik/ kepartaian yang ada harus
ditata kembali dengan tujuan otonomisasi dari kekuatan politik/
kepartaian,
3. Dalam meningkatkan partisipasi penuh dari masyarakat,
aspirasi yang tumbuh dari unsur-unsuratmpok-kelompok kemasyarakatan harus mendapatkan tempat yang sewajarnya;
4. Dilaksanakannya pasal 33 UUD 1945 secara konsekuen dengan didasarkan
adanya kemauan dan keputusan politik yang berorientasi kepada
terbentuknya suatu kontrol yang demokratis.
Sebagai akibat dari terselenggaranya sistem politik/ kekuasaaan selama
ini, sistem dan pola kehidupan perguruan tinggi tidak menunjang
berfungsinya perguruan tinggi sesuai dengan Tri Dharma Perguruan Tinggi.
Terdapat kecenderungan untuk menjadikan segenap unsur perguruan tinggi
sebagai subordinat dari struktur yang berkuasa, sehingga menyebabkan
lemahnya peranan perguruan tinggi khususnya mahasiswa dalam fungsi
sosial kontrol, dan menjadikan perguruan tinggi umumnya dan mahasiswa
pada khususnya mahasiswa dalam fungsi sosial kontrol, dan menjadikan
perguruan tinggi umumnya dan mahasiswa pada khususnya hanya sebagai alat
pragmatis belaka dari pembangunan dan miskin akan idealisme.
Untuk mengembalikan fungsi dan peranan perguruan tinggi sesuai dengan Tri Dharma Perguruan Tinggi, maka:
a. Otonomisasi perguruan tinggi dan kehidupan demokrasi di perguruan tinggi harus dijamin dan dihormati.
b. Kebebasan mimbar/ilmiah sebagai attribute dasar perguruan tinggi,
tidak hanya terbatas pada ruang lingkup kampus tetapi harus mempunyai
refleksi kemasyarakatan sesuai dengan Tri Dharma Perguruan Tinggi.
c. Otonomisasi lembaga-lembaga kemahasiswaan di dalam kehidupan
perguruan tinggi dalam aktivitas kemahasiswaan haruslah mendapat
jaminan yang tercermin di dalan statuta perguruan tinggi.
Jakarta, 15 Juni 1977
Pengurus Pusat GMKI Shirato Syafei S.Th., Ketua Umum, Tony Waworuntu,
Sekretaris Jenderal; Presidium GMNI Hadi Siswanto, Ketua; Karyanto W.,
Sekretaris Jenderal; Pengurus Besar HMI Erwin Syahril, Ketua F.
Shalahudin, Wakil Sekretaris Jenderal; Pengurus Besar PMII H. M. Abduh
Paddare, Ketua Umum, Ahmad Bagdja, Sekretaris Jenderal; Pengurus Pusat
PMKRI Chris Siner Key Timu, Ketua Presidium, Herman Karundeng,
Sekretaris Jenderal.
Resolusi Kelompok Cipayung
SEHUBUNGAN DENGAN SIDANG MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT
Kami, yang bergabung dalam Kelompok Cipayung, yaitu PB HMI, PP GMKI,
Presidium GMNI, PP PMKRI dan PB PMII, sebagai bagian dari generasi muda
Indonesia yang turut bertanggung jawab akan masa depan bangsa yang
dicita-citakan dalam Pancasila dan UUD 1945, dengan ini menyampaikan
pendapat:
Pemilihan Pimpinan DPR dan MPR 1977
A. Kami merasa prihatin atas cara pemilihan pimpinan DPR dan MPR tahun 1977.
B. Atas dasar kenyataan tersebut di atas, jelas terlihat gambaran suram
nilai demokrasi Pancasila karena adanya tirani politik, yang
meninggalkan asas musyawarah-mufakat.
C. Fungsi dan peranan lembaga demokrasi telah dikebiri dan diintervensi
demi kepentingan tertentu/ penguasa. Sebagai akibatnya, DPR dan MPR
telah melanggar tata tertib yang telah ditetapkan dalam sistem
ketatanegaraan UUD 1945. Hal ini merupakan precedent politik yang dapat
menghambat perkembangan kehidupan demokrasi di masa depan.
D. Bagi parpol, Golkar, dan mereka yang diangkat menjadi anggota
DPR dan MPR, agar lebih berani dalam membela harkat, wibawa, dan
integritas sebagai alat demokrasi yang telah diakui oleh undang-undang.
E. Menurut pandangan kami, pimpinan DPR dan MPR sekarang ini, secara moral belum mewakili aspirasi fraksi-fraksinya yang ada.
F. Cara pengambilan keputusan seperti tersebut di atas, pada hakikatnya
bertentangan dengan asas musyawarah-mufakat, yang mengundang hadirnya
kultur oposisi dalam kehidupan demokrasi Pancasila.
Penyusunan GBHN
Bahwa ketetapan MPR tentang GBHN adalah masalah-masalah yang prinsipil
dalam rangka penataan kehidupan bernegara. Sehubungan dengan itu, kami
berpendapat:
A. Pada dasarnya penyusunan rancangan GBHN dilahirkan oleh MPR itu
sendiri, atas prasangka fraksi-fraksi yang ada. Bahwa dalam rangka
menyusun GBHN dan ketetapan lain, rancangan-rancangan yang masuk
ditempatkan sebagai suatu kesatuan rancangan.
B. Pada dasarnya isi GBHN adalah pokok-pokok penataan kehidupan
bernegara, dan bukan hal-hal yang bersifat operasional dan teknis,
misalnya pembinaan KNPI, dewan mahasiswa, Kelompok CIpayung, pramuka,
pembinaan menteri-menteri, dan seterusnya.
Pembinaan Generasi muda
A. Dalam pembinaan generasi muda kami berpendapat bahwa, proses
pembinaan generasi muda hendaknya diserahkan kepada generasi muda itu
sendiri. Sebab, secara sosiopsikologis dapat menumbuhkan generasi yang
kreatif, percaya pada diri sendiri, dan bertanggung jawab untuk mencapai
cita-cita bersama dengan landasan kebhinnekatunggalikaan.
B. Bertolak dari kebhinekatunggalikaan itu, maka pembinaan generasi muda
hendaknya tidak berdiri monolitis yang menuju kepada sistem kehidupan
totaliter.
C. Pembinaan generasi muda hendaknya menjamin pertumbuhan idealisme
generasi muda, dan menghindari asas pragmatisme yang dipakai selama ini.
D. Sehubungan dengan rancangan GBHN yang merupakan
lampiran pidato Presiden Soeharto pada sidang penyumpahan
anggota-anggota DPR dan MPR hasil Pemilu 1977, dalam bidang pembinaan
generasi muda dengan mencantumkan nama organisasi KNPI maka dengan ini
kami berpendapat:
a. Pencantuman itu terlalu bersifat teknis dan operasional dan bukan menggambarkan sebagai Garis Besar Haluan Negara.
b. Bahwa KNPI bukan satu-satunya wadah dan forum komunikasi pembinaan
generasi muda yang dapat menjamin tersalurnya aspirasi generasi muda
Indonesia.
c. Bahwa KNPI seharusnya kembali pada Deklarasi Pemuda Indonesia, Juli
1973 yang ditandatangani oleh eksponen-eksponen generasi muda Indonesia
yang bergabung dalam organisasi-organisasi pemuda dan mahasiswa di
Indonesia, khususnya Kelompok Cipayung.
Jakarta, 6 Oktober 1977
Kelompok Cipayung
Pengurus Besar HMI Chumaidi S.R.Ketua Umum, Abdullah Hemamahua,
Sekretaris Jenderal; Presidium GMNI Soedaryanto, Presidium Karyanto W.,
Sekretaris Jenderal; Pengurus Pusat GMKI Shirota Syafei S.Th., Ketua
Umum, Tony Waworuntu, Sekretaris Jenderal; Pengurus Pusat PMKRI
Polycarius D.L., Presidium Herman Karundeng, Sekretaris Jenderal;
Pengurus Besar PMII M. Madjidie Sjah, Ketua Umum, Ahmad Bagdja,
Sekretaris. Jenderal.
Kesepakatan Cipayung IV
BAGI USAHA-USAHA PENGEMBANGAN GENERASI MUDA DALAM RANGKA PEMBANGUNAN BANGSA SEUTUHNYA
Pada tanggal 22 September 1978 hingga 24 September 1978, Kelompok
Cipayung yang terdiri dari HMI, GMKI, PMII, PMKRI, dan GMNI, telah
menyelenggarakan suatu forum studi bersama dengan organisasi-organisasi
pemuda lainnya di bawah tema ”Penghayatan Arti Sumpah Pemuda dalam
Mewujudkan Indonesia yang Dicita-citakan”.
Pertemuan ini didasari pada keyakinan bahwa, perjuangan untuk merebut
kemerdekaan bangsa adalah perjuangan segenap rakyat Indonesia, di mana
peranan dan pengorbanan generasi muda merupakan bagian yang tak
terpisahkan dari keseluruhan perjuangan menuju Indonesia merdeka.
Setelah mengadakan studi bersama yang mendalam, yang meliputi
aspek-aspek sejarah, pendidikan, kepemudaan, ketahanan nasional, dan
kebudayaan, maka Pertemuan Cipayung IV mengungkapkan hasrat dan tekadnya
untuk terus-menerus berusaha mewujudkan Indonesia yang dicita-citakan
dengan mengambil kesepakatan sebagai berikut:
A. Perwujudan suatu bangsa adalah hasil proses sejarah dalam usaha
mencapai cita-cita bangsa itu dengan daya cipta, karya, dan karsa
manusia-manusianya. Perjalanan sejarah bangsa tidak bisa dilepaskan dari
kualitas manusianya, di mana kreativitas, dedikasi, pengabdian,
keikhlasan dan kejujuran, serta konsistensi terhadap cita-cita bangsa
akan selalu mewarnainya.
B. Kebulatan tekad dan patriotisme generasi muda Indonesia 50
tahun yang lalu, yang mencetuskan Sumpah Pemuda dan menentukan corak
Indonesia yang dicita-citakan. Pengalaman kesejarahan bangsa Indonesia
tersebut, membuktikan bahwa semangat kebersamaan generasi muda disertai
watak dan kepribadian yang utuh dengan kreativitas dan sifat-sifat
independensinya, merupakan modal dasar dan tulang punggung bagi
suksesnya cita-cita bersama menuju masyarakat adil dan sejahtera
berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.
C. Perwujudan generasi muda tidak lepas dari cita dan citra masyarakat,
serta budaya bangsa Indonesia dengan segala kebhinnekaannya.
Pengembangan generasi muda yang berkaitan, dan merupakan bagian dari
pendidikan bangsa serta tidak lepas dari keseluruhan cita-cita nasional,
harus ditujukan pada usaha menumbuhkan generasi muda yang secara
sosiopedagogis dapat berdiri sendiri (mandiri), dan mengaktualisasikan
dirinya dalam tantangan lingkungan yang senantiasa berkembang. Karenanya
pengembangan generasi muda harus menghindari perdekatan struktural,
yang mengarah pada pewadahan tunggal, serta usaha-usaha penyederhanaan
dalam apapun sebab hal ini akan menjurus pada rezimentasi generasi muda,
dan bertentangan dengan fitrah generasi muda Indonesia serta
nilai-nilai demokrasi. Untuk itu keberadaan generasi muda Indonesia
dengan segala fitrahnya harus terus-menerus dipelihara dan dikembangkan
melalui iklim kemasyarakatan yang sehat.
D. Upaya pengembangan generasi muda harus berangkat dari hakikat dan
fitrah generasi muda dengan mengembangkan kreativitas, kebebasan
berserikat, dan menjalin komunikasi yang terbuka dalam upaya mendewasan
diri secara terus-menerus untuk mewujudkan masa depan yang
dicita-citakan. Untuk menghindari disintegrasi nasional, serta kerawanan
yang luas diperlukan kebijaksanaan yang sesuai serta saling pengertian
antara pemerintah dengan seluruh unsur generasi muda dalam melaksanakan
tanggung jawab kemasyarakatannya.
E. Upaya pengembangan generasi muda harus menjamin bertumbuh suburnya
ideologi yang mendasari keberadaan generasi muda Indonesia, hal ini
diperlukan sebagai pegangan dasar dan peneguh kepribadian yang sangat
berguna dalam menghadapi situasi masyarakat, yang senantiasa berubah dan
merupakan unsur penting dalam menumbuhkan ketahanan nasional yang
berlandaskan Pancasila.
E. Untuk melaksanakan tanggung jawab di atas, tetap bertekad melakukan
dialog-dialog dan studi bersama dalam meningkatkan pengabdian untuk
menanamkan kesadaran bernegara dan bermasyarakat menuju kesejahteraan
dan kemakmuran lahir dan batin.
Disepakati dan diteguhkan bersama dengan menyanyikan lagu, Satu Nusa,
Satu Bangsa dan lagu Padamu Negeri. Di Gadok, Ciawi, hari Minggu,
tanggal 24 September 1978, jam 20.02 WIB.
Kelompok Cipayung
Pengurus Besar HMI Chumaidi Syarief Romas, Ketua umum, Abdullah
Hehamahua, Sekretaris Jenderal; Pengurus Pusat GMKI Tony Waworuntu,
Ketua Umum, Frans Allorerung, Sekretaris Jenderal; Pengurus Besar PMII
Ahmad Bagdja, Ketua Umum, Muhyiddin Arubusman, Sekretaris Jenderal;
Pengurus Pusat PMKRI Wem Kaunang, Ketua Presidium, Josef Lalu Timu,
Sekretaris Jenderal; Presidium GMNI Rasjhandi Rasyad, Ketua Presidium,
Karyanto W., Sekretaris Jenderal.
Keterangan Pers Kelompok Cipayung
DALAM RANGKA MENYAMBUT HARI SUMPAH PEMUDA KE-50 DAN KONGRES KNPI II
Didorong oleh rasa tanggung jawab terhadap masa depan bangsa dan negara,
serta menyadari sepenuhnya akan fungsi dan peranan generasi muda dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara, Kelompok Cipayung yang terdiri dari
HMI, PMKRI, PMII, GMKI, dan GMNI setelah mengikuti, memahami, dan
menilai situasi kepemudaan dewasa ini, mengemukakan catatan sebagai
berikut:
a. Keberadaan generasi muda Indonesia dalam berbagai sifat dan
manifestasinya merupakan cermin dari cita dan citra masyarakat, serta
budaya bangsa, harus merupakan jaminan kelangsungan cita-cita perjuangan
bangsa seperti yang diisyaratkan oleh Sumpah Pemuda 1928, dan
Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945. Untuk itu, diperlukan persatuan
dan kesatuan, serta pendayagunaan seluruh kemampuan dan potensi generasi
muda akan keterlibatan dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
b. Usaha pendayagunaan potensi generasi muda dalam rangka kesinambungan
cita-cita bangsa, harus bertolak dari kondisi obyektif kehidupan
generasi muda itu sendiri dengan mengindahkan nilai-nilai demokrasi,
serta tetap meletakkan generasi muda sebagai subyek. Hal ini sesuai
dengan pidato Presiden Soeharto pada pembukaan lokakarya pembinaan
generasi muda pada tanggal 4 Oktober 1978. Ini berarti, memberikan
peranan kepada generasi muda secara positif dalam usaha mengembangkan
diri dengan segala dinamika, kreativitas, dan kesadarannya akan masa
depan bangsa dan negara.
c. Usaha-usaha yang selama ini dilakukan dalam rangka mengembangkan
generasi muda untuk kepentingan masa depan bangsa dan negara, telah
mendapat perhatian yang semestinya dari generasi muda. Partisipasi dan
rasa tanggung jawab generasi muda dengan segala itikad baiknya telah
terbukti dalam usaha-usaha yang dilakukan pemerintah misalnya, dalam
lokakarya pembinaan generasi muda yang berlangsung pada tanggal 4
Oktober 1978. Semestinya kesadaran dan bentuk partisipasi generasi muda
dalam usaha-usaha semacam itu dapat ditanggapi dan diletakkan dalam
posisi subyek seperti yang diamanatkan Presiden tersebut di atas, tetapi
ternyata hasil lokakarya belum mencerminkan kehendak sebagian besar
generasi muda Indonesia, dan ini sekaligus akan mengambat usaha-usaha
untuk menciptakan iklim kepemudaan yang sehat dan menunjang pembangunan.
d. Dalam kaitannya dengan akan berlangsungnya kongres KNPI yang bukan
kongres pemuda, kami berharap agar dapat menghasilkan rumusan-rumusan
yang berguna bagi kehidupan bangsa dan negara, dan sekaligus dapat
mencerminkan sikap keterbukaan dan kedewasaannya dalam memahami situasi
kepemudaan dewasa ini. Ini berarti, KNPI akan mampu menemukan fitrahnya
sendiri seperti yang diisyaratkan oleh Deklarasi Pemuda 23 Juni 1973.
Kelompok Cipayung yang eksponen-eksponennya merupakan sebagian dari
pencetus Deklarasi Pemuda 23 Juni 1973 (bukan sebagai organisasi
pendukung), menganggap KNPI dalam posisinya dewasa ini tetap merupakan
sebagai sesama generasi muda yang kiranya dapat menjalin kerja sama
sebaik-baiknya untuk kepentingan masa depan bangsa dan negara.
Jakarta, 27 Oktober 1978
Kelompok Cipayung
Pengurus Besar HMI Abdullah Hehamahua, Ketua Umum; Pengurus Pusat PMKRI
Wem Kaunang, Ketua Presidium; Pengurus Besar PMII Ahmad Bagdja, Ketua
Umum Pengurus Pusat GMKI Tony Waworuntu, Ketua Umum; Presidium GMNI
Rasjhandi Rasjad, Ketua Presidium
Pokok-Pokok Pikiran Kelompok Cipayung (PB HMI-PP GMKI-PB PMII- PP PMKRI-PRESIDIUM GMNI)Tentang
PENATAAN KEMBALI LEMBAGA PENYELENGGARAAN KEDAULATAN RAKYAT DAN KEKUATAN-KEKUATAN SOSIAL-POLITIK
Pendahuluan
A. Di Indonesia dewasa ini dirasakan bahwa ketertiban di bidang
hukum, keadilan, kebenaran, serta nilai-nilai universal lainnya
merupakan taruhan bagi berbagai kepentingan politik dari semua institusi
kemasyarakatan yang ada, sehingga lembaga sosial kontrol sangat penting
dalam mengawasi terjadinya pelanggaran hukum di berbagai bidang
tersebut. Ini berarti, DPR sebagai lembaga legislatif yang antara lain
berfungsi mengontrol eksekutif, tidak hanya memiliki tanggung jawab
konstitusional tetapi juga bertanggung jawab kemanusiaan. Karena suatu
undang-undang produk DPR yang keliru dapat merontokkan pilar-pilar nilai
universal dalam masyarakat, begitu juga akibat kurang kontrolnya
terhadap kebijaksanaan-kebijaksanaan pemerintah membawa bencana bagi
rakyat kecil. Fungsi DPR menjadi lebih penting manakala diperhatikan
bahwa kedaulatan rakyat dan keadilan sosial belum terselenggara sebagai
mestinya.
B. Negara-bangsa yang dilahirkan oleh Proklamasi 17 Agustus 1945, dalam
proses perkembangannya telah mengalami krisis-krisis politik.
Krisis-krisis politik demikian itu, karena berbagai kondisi yang ada,
telah memaksa ABRI campur tangan di bidang politik. Secara lebih jauh
campur tangan di bidang politik itu telah berkembang ke bidang ekonomi,
budaya, dan bahkan pendidikan. Peranan ABRI di bidang-bidang politik,
ekonomi, budaya, dan pendidikan itu semakin kokoh dengan lahirnya
doktrin 'Dwi fungsi ABRI'. Pada proses selanjutnya pelaksanaan 'Dwi
fungsi ABRI' menjurus pada pemihakan satu golongan. Sikap dan perilaku
ABRI yang demikian itu telah menjauhkan ABRI dan asal kelahirannya,
yaitu rakyat. Keadaan demikain akan mendapat membahayakan ketahanan
nasional dan merupakan penghalang terbesar dalam menciptakan
kemanunggalan ABRI dengan rakyat yang merupakan kunci keberhasilan
perjuangan bangsa Indonesia.
C. Dalam Negara-Bangsa Indonesia yang berlandaskan pada Pancasila dan
UUD 1945, adanya institusi sosial-politik seperti partai-partai politik
menjadi keharusan. Institusi sosial-politik yang berupa partai politik
itu, tidak saja berfungsi sebagai penyalur aspirasi masyarakat
pendukungnya tetapi juga sebagai sarana pendidikan politik bagi bangsa
secara keseluruhan. Fungsi dan peranan partai-partai politik menjadi
sangat penting, manakala diingat bahwa hak-hak civic warga negara belum
terselenggara sebagaimana mestinya, sedangkan kedaulatan rakyat masih
jauh dari apa yang diisyaratkan oleh Pancasila dan UUD 1945. Oleh karena
itu, dalam upaya lebih memfungsikan peran DPR, ABRI, dan partai politik
termasuk Golongan Karya, dalam menegakkan kedaulatan rakyat dan
keadilan sosial, Kelompok Cipayung yang terdiri dari PB HMI, PB PMII, PP
GMKI, PP PMKRI, dan Presidium GMNI menyampaikan pokok-pokok pikiran
sebagai berikut:
Mekanisme Perwakilan dan Aturan Permainan
a. Agar setiap produk DPR sejiwa dengan aspirasi rakyat, hendaknya DPR
senantiasa berkomunikasi langsung dengan rakyat untuk menimba keinginan
dasar yang sebenarnya langsung dari rakyat itu sendiri. Berarti, tidak
hanya anggota masyarakat yang meminta bertemu dengan DPR tetapi
mengundang masyarakat untuk bertukar pikiran di samping senantiasa
mendatangi langsung rakyat tanpa pesan dan cara-cara seremonial.
b. Agar setiap produk DPR dapat mengimbangi konsepsi-konsepsi yang
berasal dari pemerintah, hendaknya pengambilan keputusan melalui suatu
proses kualitatif oleh anggta-anggota DPR yang berbobot. Berarti, DPR
harus memiliki staf ahli di berbagai bidang, sehingga tidak hanya
terjadi proses mendikte secara sepihak dari pikiran eksekutif.
c. Agar terhindarnya masyarakat dari keresahan dan penderitaan yang tak
menentu, diperlukan kepekaan yang tinggi dari anggota DPR untuk lebih
tanggap dan peka dalam mencegah lahirnya suatu kebijakan pemerintah,
seperti kenaikan harga BBM baru-baru ini.
d. Dalam hubungan ini, integritas setiap anggota DPR menjadi taruhan,
serta harus terjamin dalam suatu mekanisme tata tertib DPR yang
proporsional. Oleh karena itu, diperlukan perubahan dan penyempurnaan
terhadap tata tertib dan mekanisme kerja dari DPR yang ada sekarang
sebagai berikut:
1. Dalam melaksanakan fungsinya sebagai wakil rakyat, maka anggota
DPR secara individual seharusnya memiliki kekuatan untuk berbicara dan
memperjuangkan kepentingan rakyat yang diwakilinya, bukan semata-mata
atas keinginan fraksi atau partainya. Kekuatan ini diberikan di atas
landasan hukum yang bebas dari kepentingan-kepentingan, atau
keterikatan-keterikatan terhadap kekuasaan di dalam negara,
2. Angota DPR harus benar-benar berbobot, terpilih melalui suatu proses
seleksi yang dapat dipertanggungjawabkan kualitasnya, yang untuk itu
persyaratan-persyaratan bagi angota DPR seperti yang ada sekarang perlu
ditinjau kembali,
3. Pada prinsipnya, undang-undang pelaksanaan pemilihan umum hingga
saat ini, dan undang-undang kepartaian yang ada menampakkan bahwa rakyat
belum lagi diberi kesempatan memilih wakil-wakilnya secara langsung.
Sebagai konsekuensinya, lembaga DPR lebih nampak sebagai lembaga
perwakilan partai belaka,
4. Di pihak lain, mekanisme yang diberikan selama ini hanyalah
memungkinkan dipertahankannya status quo kekuasaan eksekutif dari pada
berkembangya alternatif-alternatif terhadap sistem dan struktur yang
ada. Ini dapat dilihat dari perbandingan anggota-anggota lembaga yang
diangkat dan dipilih melalui proses pemilihan,
5. Kedudukan DPR disetarafkan dengan kedudukan Kepala Negara menurut
perundang-undangan yang berlaku, tetapi dalam prakteknya di bawah DPR
sering dikesampingkan, baik oleh sikap politik eksekutif maupun anggota
lembaga itu sendiri. Hal mana sering tampak dalam sikap politik DPR
sebagai suatu lembaga, untuk bertindak mewakili pihak eksekutif terhadap
masyarakat,
6. MPR, sebagai lembaga tertinggi dalam negara, dirasakan kurang sekali
melaksanakan fungsinya. MPR hanya bersidang satu kali dalam lima tahun,
untuk menyusun GBHN dan mengangkat Kepala Negara.
Seharusnya MPR pun dapat bersidang atau diminta bersidang, untuk:
(a) Melakukan suatu evaluasi atas pelaksanaan GBHN dalam masa yang sedang berjalan;
(b) Mencegah dan mencabut kembali, suatu kebijaksanaan
pemerintah yang dianggap bertentangan dengan kepentingan umum, atau yang
sifatnya melanggar hak-hak asasi manusia.
Peranan dan Posisi ABRI, Parpol dan Golkar sebagai Kekuatan Sosial-Politik
a. Dalam sejarah negara-bangsa Indonesia kunci keberhasilan
perjuangan terletak pada menyatunya ABRI dan rakyat, karena ABRI menurut
pemahaman bangsa Indonesia yang berlandaskan Pancasila dan UUD 1945
adalah ABRI yang mempunyai citra dan naluri yang merakyat. Untuk
kelanjutan perjuangan bangsa, dan kelangsungan pembangunan mencapai
kesejahteraan masyarakat Indonesia lahir batin, tiba saatnya ABRI harus
kembali pada citra dan nalurinya sendiri, yaitu rakyat. Untuk itu
rumusan kemanunggalan ABRI dengan rakyat, dan pengertian tentang ABRI
berdiri bagi seluruh kepentingan rakyat harus dipahami dan diterapkan
sesuai dengan aspirasi dan kehendak rakyat, bukan atas kehendak dari
ABRI sendiri, atau pemegang kekuasaan negara.
b. Sebagai kekuatan politik yang berlandaskan Sapta Marga dan Sumpah
Prajurit, ABRI harus senantiasa mengabdi kepada kepentingan rakyat
dengan menjauhkan diri dari kehendak individu-individu atau golongan,
serta hanya sekedar berfungsi sebagai alat kekuasaan belaka. ABRI harus
memberikan perhatian sama besar terhadap sesama kekuatan politik yang
ada. Seyogyanya peranan ABRI di bidang sosial-politik, harus merupakan
bagian tak terpisahkan dari sistem Hankamnas kita, yang perundangannya
harus segera diselesaikan.
c. Dilihat dari sudut kemampuan untuk melakukan tindakan-tindakan
politik yang sesuai dengan mekanisme kostitusi yang berlaku, dewasa ini
ABRI mempunyai peranan menonjol, sementara itu Golkar, PPP, dan PDI
senantiasa mengalami kesulitan dalam menerjemahkan kedudukan dan peranan
ABRI secara proporsional. Terasa lebih sulit lagi jika diingat belum
ada rumusan dan pengertian yang jelas dari apa yang disebut demokrasi
Pancasila. Keadaan demikian menyebabkan pelaksanaan demokrasi berada
dalam kondisi yang terus-menerus dipertanyakan. Mekanisme kehidupan
demokrasi di Indonesia hanya dapat bertumbuh dan berkembang apabila
seluruh komponen politik yang ada (termasuk ABRI) mempunyai kedudukan
dan peranan yang setara ('berdiri sama tinggi, duduk sama rendah'),
dalam harkat dan martabat politik yang dijunjung tinggi secara
bersama-sama.
d. Untuk dapat meningkatkan peran fungsi partai-partai politik termasuk
Golongan Karya dalam menyalurkan aspirasi masyarakat diperlukan usaha
terus-menerus menciptakan kondisi organisasi yang sehat, dan
kepemimpinan yang berorientasi kepada kepentingan rakyat. Dalam upaya
menciptakan kondisi yang sehat, harus diartikan juga upaya memperluas
basis dan memperlebar jalur bagi terselenggaranya kegiatan politik
masyarakat, agar kemacetan penyaluran aspirasi masyarakat yang selama
ini ada dapat ditiadakan.
Penutup
Kesemuanya pokok-pokok pikiran di atas adalah merupakan manifestasi hati
nurani yang tulus dan murni dalam rangka memberikan dorongan kepada
lembaga perwakilan rakyat, ABRI, Parpol, dan Golkar agar dapat berfungsi
sesuai dengan cita-cita Proklamasi 17 Agustus 1945. Sikap ini juga
merupakan bagian tugas dan tanggung jawab kehidupan berbangsa dan
bernegara, di mana kita semuanya terpanggil untuk senantiasa
memperjuangkan kehendak dan aspirasi rakyat Indonesia. Adalah lebih
baik saat ini untuk mengadakan instropeksi dan mawas diri, daripada
membutakan mata dan memekakkan telinga terhadap jeritan dan gejolak
rakyat yang begitu besar penderitaannya. Agar pembangunan yang bertujuan
untuk mensejahterakan dan mengangkat taraf hidup rakyat itu tidak
menambah beban dan derita rakyat disebabkan strategi pembangunan yang
keliru, diperlukan keterbukaan dan kejujuran dari semua pihak dalam
memperbaiki keadaan saat ini.
Untuk itu, Kelompok Cipayung senantiasa dan berusaha memberikan yang terbaik bagi bangsa dan negara Republik Indonesia.
Jakarta, 26 Mei 1980
Kelompok Cipayung
Pengurus Besar HMI Abdullah Hehamahua, Ketua Umum, Ahmad Zacky Siradj,
Sekretaris Jenderal; Pengurus Pusat GMKI Tony Waworuntu, Ketua Umum,
Frans Allorerung Sekretaris Jenderal; Pengurus Besar PMII Ahmad Bagdja,
Ketua Umum, Muhyiddin Arubusman, Sekretaris Jenderal; Pengurus Pusat
PMKRI Wem Kaunang, Ketua Presidium, Josef Lalu Timu, Sekretaris
Jenderal; Presidium GMNI Daryatmo, Ketua Presidium, Sutoro Sb,
Sekretaris Jenderal.
GARIS-GARIS BESAR PROGRAM DAN PENGELOLA PERTEMUAN CIPAYUNG
Pendahuluan
A. Pertemuan Cipayung V yang diselenggarakan di Jakarta pada
tanggal 12-13 Juni 1980, berkesimpulan bahwa untuk dapat mewujudkan
hasil-hasil kesepakatan yang dicapai, perlu disusun:
a. Program kerja Kelompok Cipayung,
b. Tata kerja dan pengelolaan Kelompok Kerja, serta Forum Cipayung.
B. Garis-garis Besar Program dan Pengelolaan Pertemuan Cipayung
ini merupakan kesinambungan dari hasil rumusan Pertemuan Cipayung
sebelumnya.
C. Agar dapat dilaksanakan secara efektif dan efisien Program Kerja
Kelompok Cipayung, pengelolaan Kelompok Kerja, serta Forum Cipayung,
perlu dijabarkan secara terperinci dan sistematis oleh Kelompok Cipayung
tersebut.
Garis-garis Besar Kelompok Cipayung
A. Dasar: Seluruh dokumen Kelompok Cipayung, baik yang berupa statemen,
pokok-pokok pikiran maupun bahan-bahan referensi dan lain-lain, yang
merupakan kesepakatan bersama.
B. Tujuan:
a. Mewujudkan secara konkrit, efektif, dan efisien seluruh
kesimpulan dari pertemuan-pertemuan Cipayung, sehingga dapat
ditingkatkan integrasi sesama generasi dan antargenerasi, dalam rangka
peningkatan partisipasi di dalam usaha memajukan masyarakat menuju
Indonesia
yang kita cita-citakan,
b. Membina komunikasi, baik di tinggat pusat maupun di daerah, tidak
hanya sesama generasi muda, tetapi juga antargenerasi muda dengan
pemerintah dan masyarakat,
c. Mengusahakan perluasan area of agreement antarsesama generasi muda
maupun dengan generasi sebelumnya, baik sipil maupun dengan militer di
dalam pemikiran/ aspirasi dasar mengenai kehidupan bermasyarakat dari
Indonesia yang sekarang dan yang kita cita-citakan, mengenai perguruan
tinggi dan dunia kemahasiswaan di Indonesia sekarang dan masa datang,
tidak saja di tingkat pusat tetapi juga di tinggat daerah, sehingga
integrasi dan partisipasi mahasiswa di dalam memajukan masyarakat
Indonesia menjadi semakin nyata efektif dan efisien.
C. Program Studi:
a. Menyelenggarakan diskusi-diskusi, lokakarya-lokakarya,
seminar-seminar yang berkaitan dengan kepentingan mahasiswa pada
khususnya dan bangsa Indonesia pada umumnya,
b. Menyelenggarakan secara rutin forum studi/ kajian,
c. Pendidikan kader bersama.
D. Program Aksi:
Mengintrondusir, memperluas, dan memperkembangkan nilai-nilai perbaharuan di dalam masyarakat,
Membantu masyarakat dengan ikut serta di dalam pembangunan fisik
ekonomi, politik, kebudayan sesuai dengan kemampuannya sebagai
mahasiswa.
E. Program Komunikasi: Menerbitkan bulletin Kelompok Cipayung yang pengelolannya ditangani oleh Kelompok Kerja.
F. Program Rekreatif/ Olahraga: Kelompok Cipayung membina atau
menyelengarakan kegiatan-kegiatan rekreatif atau olahraga.
Kegiatan-kegiatan rekreatif ini merupakan sarana efektif di dalam
membina rasa persaudaran di antara anggota.
G. Yayasan Dharma Mahasiswa Indonesia:
a. Mengaktifkan kembali Yayasan Dharma Mahasiswa Indonesia dengan memfungsionalkan kepengurusan yayasan,
b. Pengurus yayasan terdiri dari senior-senior Kelompok Cipayung.
Tata Kerja dan Pengelolaan Kelompok Kerja Cipayung dan Forum Cipayung
A. Nama: Kelompok Kerja.
B. Fungsi dan tugas:
a. Mempersiapkan pertemuan-pertemuan Kelompok Cipayung.
b.
Mengkoordinasikan kegiatan Kelompok Cipayung,
c. Mengelola penerbitan bulletin Kelompok Cipayung.
C. Keanggotaan:
a. Terdiri dari unsur-unsur organisasi dalam Kelompok Cipayung,
masing-masing 2 (dua) orang, dan diberi mandat oleh masing-masing
organisasi,
b. Keanggotaan Kelompok Kerja ini dapat mengalami pergantian sesuai dengan organisasi masing-masing.
D. Tata Kerja:
a. Tempat: Sekretariat Kelompok Kerja adalah pada sekretariat tiap-tiap
organisasi yang difungsikan secara bergilir, dengan waktu satu bulan
tiap-tiap organisasi, dengan urutan secara alfabetis.
b. Waktu: Masa Kerja Anggota Kelompok Kerja adalah sama dengan masa kerja masing-masing organisasi yang bersangkutan.
E. Nama:
Forum Cipayung, terdiri dari (a) pertemuan rutin yang
diadakan oleh setiap organisasi secara alfabetis, (b) Pertemuan Cipayung.
F. Keanggotaan:
a. Pertemuan rutin dari Kelompok Kerja dan pemimpin-pemimpin/ penanggung jawab organisasi anggota.
b. Pertemuan Cipayung terdiri dari (a) Komite Kerja, dan (b)
individu-individu/ perorangan: senior-senior, yaitu orang-orang yang
secara otomatis menjadi anggota Forum Cipayung, karena partisipasinya
secara langsung dan efektif dalam pertemuan-pertemuan Cipayung
sebelumnya, orang-orang yang ditunjuk oleh masing-masing organisasi
anggota, orang-orang yang ditetapkan oleh Kelompok Kerja yang kriteria
dan prosedurnya akan ditetapkan kemudian.
G. Fungsi dan Tugas:
a. Pertemuan rutin; mengadakan studi-studi yang aktual dengan input
dari Kelompok Kerja, memberikan informasi timbal-balik antarorganisasi
anggota, dan membuat kebijaksanaan-kebijaksanaan Kelompok Cipayung
bilamana perlu;
b. Pertemuan Cipayung; mengadakan studi-studi dengan forum yang lebih
luas daripada pertemuan rutin, membuat pokok-pokok pikiran bagi
kehidupan bangsa dan negara.
Penutup
Hal-hal yang belum diatur di sini, akan diatur kemudian oleh Kelompok
Cipayung sesuai dengan dasar, tujuan, dan fungsi dari Kelompok Cipayung.
Jakarta, 13 Juni 1980
KOMISI A PERTEMUAN CIPAYUNG V
Lukman Hakim A.S., Agus Pribadi, Harry Azhar Azis, Stefanus Farok N,.
Sahar L. Hassan, Heri Priyono, Maxie Boboy, Suko Waluyo M.R.
Kelompok Cipayung
Pengurus Pusat GMKI Tony Waworuntu, Ketua Umum, Frans Allorerung,
Sekretaris Jenderal; Presidium GMNI Soedaryanto, Ketua, Sutoro Sb.
Sekretaris Jenderal; Pengurus Besar HMI Abdullah Hehamahua, Ketua Umum,
Ahmad Zacky Siradj, Sekretaris Jenderal; Pengurus Pusat PMKRI Wem
Kaunang, Ketua Presidium.Josef Lalu Timu, Sekretaris Jenderal; Pengurus
Besar PMII Ahmad Bagdja, Ketua Umum; Muhyiddin Arubusman, Sekretaris
Jenderal.
Kesimpulan Pertemuan Kelompok Cipayung V 12-13 JUNI 1980 di Jakarta tentang
PENATAAN KEMBALI SISTEM SOSIAL GUNA MENUNJANG KEWARGANEGARAAN YANG DEMOKRATIS DAN BERTANGGUNG JAWAB
Setelah mengadakan studi intensif dan mendalam melalui pertemuan yang ke
V pada tanggal 12 dan 13 Juni di Jakarta, maka Kelompok Cipayung
merumuskan kesimpulan pertemuan sebagai berikut:
Pendahuluan
Hakikat sewindu perjalanan sejarah Kelompok Cipayung adalah ungkapan
dari persatuan dan kebersamaan yang dilandasi oleh rasa persahabatan dan
persaudaraan generasi muda Indonesia. Keseluruhan peristiwa yang
terjadi selama ini, adalah karena motivasi dan kesetiaan kepada
perjuangan yang dasarnya telah diletakkan bersama, yakni Indonesia yang
Kita Cita-citakan, seperti yang dimaksudkan dalam Pancasila dan UUD
1945.
GMKI, GMNI, HMI, PMII dan PMKRI dalam kesadaran tersebut, senantiasa
menempatkan Pancasila sebagai suatu dasar yang dinamis dan menjadi
ayoman bagi keanekaragaman kultural dan kelompok sosial di dalam
masyarakat. Untuk perwujudan cita-cita dan tanggung jawab sosial
tersebut, maka Kelompok Cipayung tidak dapat tidak harus menata ulang
dirinya secara lebih proporsial, intence dan kontinyu dan serentak
dengan itu bertekad untuk meningkatkan partisipasinya terhadap
pembangunan negara dan perhatiannya terhadap kehidupan rakyat yang
tertindas dan miskin.
Pokok-pokok Permasalahan
Peri kehidupan negara dan bangsa yang seharusnya diatur melalui sistem
sosial yang demokratis dan bertanggung jawab kehidupan masyarakat telah
mengalami penyimpangan dari kaidah-kaidah sosial yang diatur dalam
Pancasila dan UUD 1945, sehingga hal ini perlu diluruskan kembali sesuai
dengan kehendak dan aspirasi rakyat Indonesia secara menyeluruh.
Pembangunan negara dan bangsa adalah pembangunan manusia Indonesia
seutuhnya, untuk mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia. Secara strategis pembangunan harus menempatkan manusia
Indonesia sebagai titik sentral dan subyek, sekaligus tujuan dari
pembangunan itu sendiri. Hal ini berarti semua pranata dalam sistem
sosial kehidupan masyarakat Indonesia harus menjamin perluasan hak dan
kesempatan rakyat, sehingga terbentuk iklim yang menunjang kehidupan
kewarganegaraan yang demokratis dan bertanggung jawab.
Dalam dekade pembangunan, baik yang sudah kita lalui maupun yang sedang
berlangsung dewasa ini, kita melihat masalah-masalah yang timbul sebagai
akibat dari strategi pembangunan yang keliru yakni, masalah-masalah
seperti sulitnya lapangan kerja, kesempatan memperoleh pendidikan yang
layak, disintegrasi ikatan-ikatan, atau hubungan-hubungan tradisional,
persaingan yang keras di mana kesemua masalah ini telah mengakibatkan
rasa insecured social yang semakin meluas dan Individualisme semakin
menonjol dalam kehidupan bernegara dan berbangsa. Untuk mengatasi
masalah tersebut, kehidupan politik harus memberikan peluang bagi
ter-laksananya pikiran-pikiran dan gagasan-gagasan yang maju, untuk
me-luruskan kembali strategi pembangunan, sehingga kesalahan yang selama
ini terjadi dapat diakhiri. Selama ini dirasakan bahwa kemauan dan
tuntutan politik yang tumbuh dari bawah, tidak memperoleh saluran yang
semestinya karena tersekat oleh struktur kelembagaan politik yang
monolitik dan birokratis.
Di bidang ekonomi, kita menjumpai adanya akumulasi modal dan kesempatan
pada sekelompok kecil dari masyarakat, dan tidak terlepas dari jaringan
kepitalisme internasional yang mengakibatkan timbulnya kemiskinan
struktural yang berlangsung secara sistematis, sehingga hal ini makin
memperlebar jurang di antara si kaya dengan si miskin. Di samping
masalah politik dan ekonomi, maka masalah etika sosial yang bersumber
pada Pancasila dan UUD 1945 yang mengatur hubungan normatif dan
fungsional di antara kelompok-kelompok masyarakat dan mengatur
penggunaan kekuasaan yang ada, telah pula mengalami penyimpangan.
Penyimpangan itu, lebih terasa dengan adanya pemusatan kekuasaan dan
sistem sosial yang melemahkan fungsi kontrol sosial masyarakat, sehingga
etika sosial yang harus diberlakukan tidak dapat terwujud.Hal ini kalau
terus-menerus berlangsung akan berakibat terjadinya kekosongan moral
yang dapat membawa petaka bagi negara dan bangsa.
Penetapan Kembali Sistem Sosial Guna Menunjang Kewarganegaraan yang Demokratis dan Bertanggung Jawab
Sebagai upaya untuk mengatasi masalah-masalah yang dikemukakan di atas, maka dibutuhkan adanya langkah-langkah sebagai berikut:
a. Pembaharuan sistem dan struktur penyelenggaraan kekuasaan secara
menyeluruh dan terpadu. Lembaga-lembaga pengawasan umum seperti DPR,
pers, partai-partai politik, perguruan tinggi, dan lembaga-lembaga
kemasyarakatan lainnya, harus berfungsi secara efektif dan konstruktif.
b. Pelaksanaan pendidikan politik secara kongkrit bagi segenap lapisan masyarakat.
c. Pelaksanaan sistem ekonomi yang demokratis dan merakyat
dalam mencapai cita-cita keadilan sosial yang sesuai dengan jiwa pasal
33 UUD 1945 menggantikan sistem ekonomi yang kapitalis yang berlaku
hingga saat ini.
d. Pengaturan kembali kepemilikan, penguasaan, dan pemanfaatan
tanah, alat-alat produksi, dan sumber-sumber produksi untuk kepentingan
dan kesejahteraan rakyat, khususnya kaum tani, buruh, dan nelayan.
e. Pelaksanaan secara benar adalah nilai-nilai etika sosial yang
bersumber pada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 dalam hidup
bermasyarakat dan bernegara.
f. Pelaksanaan sistem pendidikan nasional yang comprehensive
meliputi aspek otak, watak, dan rasa secara utuh dan terpadu, dalam
rangka melahirkan generasi yang kreatif, demokratis, dan bertanggung
jawab. Lembaga-lembaga pendidikan harus memiliki otoritas dan otonomi
sebagaimana mestinya, sehingga memungkinkan berkembangnya kebebasan
mimbar dan kebebasan ilmiah secara wajar dan bertanggung jawab.
g. Derezimentasi generasi muda dalam rangka penyehatan iklim
kehidupan generasi muda, sehingga dapat berkembang secara mandiri sesuai
dengan fitrahnya.
Pengembangan Kebersamaan Kelompok Cipayung
Untuk meningkatkan peranan Kelompok Cipayung dalam kehidupan berbangsa
dan bernegara, maka ditempuh langkah-langkah sebagai berikut:
a. Meningkatkan konsolidasi intern organisasi-organisasi dalam Kelompok
Cipayung, dalam rangka mengembangkan usaha dan tugas kebersamaan. Dengan
demikian, proses kaderisasi harus dijalankan dalam tiap-tiap organisasi
dengan memperbaiki sistem, isi, dan metode pengkaderan. Proses itu
sekaligus untuk mengembangkan nilai-nilai alternatif yang dapat
menumbuhkan integritas, kepercayaan pada diri sendiri dan motivasi
perjuangan yang kuat.
b. Menamankan nilai-nilai persatuan, kebersamaan, persahabatan, dan
persaudaraan di dalam Kelompok Cipayung dan kemudian memasyarakatnya
secara luas.
c. Memperkokoh dan memperluas basis kebersamaan Kelompok Cipayung dengan langkah-langkah:
1. Selalu berikhtiar untuk mencapai kebersamaan pandangan dan sikap tentang jalannya perkembangan masyarakat dan strukturnya,
2. Selalu berikhtiar untuk meyakini secara sungguh-sungguh makna
kebersamaan, dan kemudian menyempurnakan mekanisme kebersamaan itu.
e. Memperkokoh dan memperkembangkan hakikat independensi baik
sendiri-sendiri maupun bersama-sama, dalam pengertian bukan suatu
netralitas melainkan tindakan aktif untuk mencapai tujuan perjuangan di
atas prinsip percaya diri sendiri.
Disepakati di Jakarta dengan menyanyikan lagu Bagimu Negeri pada tanggal 14 Juni 1980, jam 08.00
Kelompok Cipayung
Pengurus Pusat GMKI Tony Waworuntu, Ketua Umum, Frans Allorerung,
Sekretaris Jenderal; Presidium GMNI Soedaryanto, Ketua Komite Politik,
Sutoro Sb, Sekretaris Jenderal; Pengurus Besar HMI Abdullah Hehamahua,
Ketua Umum, Ahmad Zacky Siradj, Sekretaris Jenderal; Pengurus Besar PMII
Ahmad Bagdja, ketua Umum; Muhyiddin Arubusman, Sekretaris Jenderal;
Pengurus Pusat PMKRI Wem Kaunang, Ketua Presidium, Josef Lalu Timu,
Sekretaris Jenderal.
REFUNGSIONALISASI PRANATA-PRANATA SOSIAL DAN REORIENTASI SISTEM SOSIAL
Pengantar Dialog Kelompok Cipayung dengan Pemimpin DPR RI Tanggal 3 Desember 1980
A. Perjuangan kemerdekaan bangsa Indonesia dengan Proklamasi 17 Agustus
1945, bukan sekedar dimaksudkan untuk mengambil alih kekuasaan dari
tangan penjajah ke tangan bangsa sendiri, tetapi perjuangan kemerdekaan
itu mempunyai pesan suci berupa cita-cita seluruh bangsa Indonesia.
Cita-cita itu antara lain: melindungi segenap bangsa Indonesia dan
seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum serta
mencerdaskan kehidupan bangsa, dan untuk mewujudkan keadilan sosial bagi
seluruh rakyat Indonesia. Untuk mencapai cita-cita itu upaya-upaya
pembangunan dilakukan yang di dalamnya terkandung proses perubahan dan
pertumbuhan. Proses perubahan dan pertumbuhan yang terus-menerus itu
melahirkan masalah-masalah serta tantangan-tantangan yang makin
kompleks, sesuai dengan tuntutan masyarakat dan laju pembangunan itu
sendiri. Oleh karena masalah dan tantangan yang dihadapi tak pernah
selesai, maka diperlukan usaha yang secara terus-menerus meningkatkan
ketahanan dan kemampuan Bangsa Indonesia dengan melibatkan seluruh
potensi bangsa dan golongan-golongan masyarakat, melalui pelbagai
kesempatan dalam menjalankan peranan dan partisipasi sosialnya.
Keterlibatan tersebut sangat ditentukan oleh sistem politik yang
diberlakukan oleh pihak penyelenggara kekuasaan melalui persepsi dan
caranya mengelola potensi masyarakat dan golongan-golongan yang ada di
dalamnya, dan cara pengelolaan kehidupan generasi muda.
B. Kasus-kasus peledakan sosial selama ini menunjukkan bahwa kondisi
kehidupan mayoritas masyarakat jauh dari tingkat kelayakan berada dalam
cengkeraman kebodohan dan kemiskinan massal, sehingga mengakitbatkan
timbulnya keresahan umum yang makin meluas, makin melebar, dan
mendalamnya jurang pemisah antara si kaya dan si miskin, tipisnya rasa
keadilan, kesewenang-wenangan pihak yang kuat dan yang berkuasa,
birokratisasi kehidupan umum dalam tujuan sentralisasi kewibawaan,
peranan dan kekuasaan yang menghambat pertumbuhan demokrasi baik
kalangan masyarakat pada umumnya maupun pranata-pranata sosial yang ada.
Tindakan-tindakan perusakan yang menjurus ke arah situasi anarki dan
rasialistis seperti yang terjadi di Jawa Tengah dan Jawa Timur,
menunjukkan pula adanya titik lemah yang rawan dalam jalinan rantai
kehidupan masyarakat. Pengangguran karena kekurangan lapangan kerja,
kehilangan pekerjaan akibat kesewenang-wenangan para majikan, tiadanya
lagi kepemilikan alat-alat produksi akibat persaingan-persaingan saling
mematikan atau tekanan-tekanan dari atas, rendahnya nilai tukar
hasil-hasil produksi para petani, perbedaan-perbedaan kontradiktif di
antara kelompok-kelompok sosial dan latar belakang tingkat kemakmuran
individu maupun kelompok, kaburnya kepastian hukum, dominasi ekonomi
oleh segolongan kecil anggota masyarakat, adanya kolaborasi antara
kekuatan-kekuatan ekonomi dengan politik, telah menumpuk rasa tidak puas
dan sentimen sosial di kalangan masyarakat.
Hal-hal tersebut dimungkinkan oleh tiadanya atau lemahnya pengawasan
umum terhadap proses pengambilan keputusan dan penetapan kebijaksanaan
nasional akibat dilumpuhkannya pranata-pranata sosial untuk melaksanakan
fungsi-fungsinya. Oleh karenanya pula arus informasi tersumbat
bersamaan dengan mandeknya aspirasi sosial di dalam batasan-batasan
sempit yang diberlakukan terhadap seluruh kehidupan, dalam hal
menumbuhkan sikap kritis dan korektif menanggapi permasalahan hidupnya.
Kreativitas lumpuh, ketahanan nasional menjadi rapuh.
Maka untuk mencegah meluasnya keresahan umum, meniadakan
kemungkinan-kemungkinan ditunggangi rakyat oleh kepentingan-kepentingan
bersifat merusak, atau jatuhnya korban lebih lanjut akibat
tindakan-tindakan keamanan terhadap massa rakyat, perlu adanya
refungsionalisasi pranata-pranata sosial dan reorientasi keseluruhan
sistem sosial. Refungsionalisasi tersebut dimaksudkan agar segenap unsur
masyarakat lebih dilibatkan ke dalam pelbagai kegiatan nasional,
dimulai dari proses pengambilan keputusan sampai kepada menikmati hasil
pelaksanaan kebijaksanaan-kebijaksanaan nasional yang merata, adil, dan
nyata. Refungsionalisasi ini juga dimaksudkan agar masyarakat semakin
mampu berdiri di atas kaki sendiri dan memperjelas tujuan strategi
pembangunan yang diterapkan. Di dalam prosesnya, refungsionalisasi ini
akan semakin lebih mengefektifkan pengawasan umum dan disiplin nasional
seluruh unsur serta fungsi sosial, sehingga lebih menjamin adanya
keterlibatan umum yang kreatif dalam seluruh usaha menyempurnakan
kehidupan masyarakat.
Refungsionalisasi pranata-pranata sosial tidak saja harus bebas dari
kepentingan-kepentingan yang menjurus kepada etatisme, tetapi juga harus
mampu mengangkat kembali peranan dan wibawa demokrasi yang akan
menyertakan seluruh manusia Indonesia ke dalam mobilitas sosial menuju
masyarakat yang sejahtera. Maka, agar refungsionalisasi tersebut
terselenggara, perlu dilakukan reorientasi sistem sosial, dalam
perubahan mendasar yang ditujukan bagi pemenuhan kebutuhan dan
kepentingan rakyat banyak sehingga dengan demikian pula memperkokoh
landasan-landasan kepentingan negara. Reorientasi tersebut menuntut
adanya perombakan-perombakan bersifat struktural dalam mekanisme
pengaturan dan pengelolaan kehidupan bangsa dan negara, sehingga dengan
demikian pelbagai ketimpangan sosial dapat ditiadakan dan dengan
demikian mengangkat martabat bangsa dan negara, manusia-manusia
Indonesia, semakin ditumbuhkan dan dihormati.
Demikian pokok-pokok pikiran kami, Kelompok Cipayung yang terdiri dari
unsur-unsur PP GMKI, Presidium GMNI, PB HMI, PB PMII, dan PP PMKRI
berupa rangkuman seluruh studi dan analisa yang telah diselenggarakan
selama ini.
Besar harapan kami pokok-pokok pikiran ini mendapatkan tanggapan dari
segenap warga negara yang cinta kepada bangsa dan negara, demi
perbaikan-perbaikan menyeluruh menuju Indonesia yang dicita-citakan.
Jakarta, 3 Desember 1980
Kelompok Cipayung
Pengurus Pusat GMKI Frans Allorerung, Ketua Umum, Togi R. Simatupang,
Sekretaris Umum; Pengurus Besar PMII Ahmad Bagdja, Ketua Umum, Muhyiddin
Arubusman, Sekretaris Jenderal; Presidium GMNI Daryatmo, Ketua,
Kristiya Kartika, Sekretaris Jenderal; Pengurus Besar HMI Abdullah
Hehamahua, Ketua Umum, Sahar L. Hasan, Wakil Sekretaris Jenderal;
Pengurus Pusat PMKRI Wem Kaunang, Ketua Presidium; Paulus Andi,
Sekretaris.
INDONESIA DALAM PERSPEKTIF MASA DEPAN
(Evaluasi Akhir Tahun Kelompok Cipayung)Tahun 1980
Setelah 35 tahun merdeka di mana rakyat Indonesia terus-menerus
bergumul, berjerih-payah dan berjuang bersama, maka sebagai bangsa perlu
secara bersama-sama, terus-menerus tanpa jemu-jemu, membuat perenungan
ulang, sebagai suatu evaluasi bersama tentang seberapa jauh keberhasilan
yang telah dicapai dan apa yang belum dicapai dalam usaha besar
pembangunan dan modernisasi bangsa.
Dengan jujur, ikhlas dan jiwa besar untuk melihat semua kegagalan dan
kekurangan untuk diperbaiki bersama, yang mengangkut seluruh aspek
kehidupan bangsa dan negara tercinta, karena bangsa yang besar adalah
bangsa yang berani menilai kehidupannya sendiri.
Belajar dari sejarah masa lampau, kenyataan hari ini, dan cita-cita di
masa depan di dalam kesadaran bahwa tanggung jawab membangun bangsa
menuju terwujudnya suatu masyarakat sejahtera, adil, makmur, tangguh,
dan lestari merupakan tanggung jawab bersama, maka Kelompok Cipayung
menyampaikan pokok-pokok pikiran yang bertolak dari evaluasi perjalanan
bangsa selama ini dan meliputi 5 (lima) bidang kehidupan bangsa, yaitu:
bidang politik, bidang ekonomi, bidang pendidikan, bidang hukum, dan
bidang generasi muda.
Pokok-pokok pikiran ini merupakan wujud tanggung jawab generasi muda
bangsa yang tergabung dalam Kelompok Cipayung, sebagai usaha untuk
membuka perspektif-perspektif baru guna meluruskan perjalanan
sejarah menuju masa depan
sesuai dengan cita-cita bangsa sebagaimana tercantum Pancasila dan UUD 1945.
Bidang Politik
Modernisasi-teknokratis yang berorientasi mengejar pertumbuhan ekonomi
setinggi-tingginya sebagai model kebijaksanan pembangunan yang dipilih
telah gagal memperlakukan manusia sesuai dengan harkat kemanusiaannya.
Kebijaksanaan pembangunan yang demikian tadi, telah mencampakkan manusia
semata-mata sebagai alat untuk mencapai tujuan-tujuan yang dikendalikan
melalui pusat-pusat kekuasaan politik dan ekonomi.
Dengan demikian, rakyat yang seharusnya menjadi subyek pembangunan dalam
proses modernisasi-teknokratis itu tadi, kini telah menjadi obyek
pembangunan dan tidak mungkin berdaya lagi untuk berdiri di luarnya.
Rakyat telah terperangkap ke dalam syarat-syarat politik yang memberikan
peluang dan melicinkan jalan bagi terpenuhinya kepentingan-kepentingan
ekonomi yang bercorak kapitalistis.
Maka dibangunlah jaringan dan rumah-rumah politik dengan ciri-ciri sebagai berikut:
1. Memperbesar dan memperluas kekuasaan birokrasi pemerintahan dengan ABRI sebagai tulang punggungnya.
2. Mengebiri peranan dan mekanisme lembaga-lembaga perwakilan rakyat
melalui proses pemilihan umum yang tidak adil, dan pengaturan kehidupan
kepartaian yang memberangus peranan langsung massa politik (massa
mengambang), sehingga memudahkan intervensi kekuasaan untuk ikut serta
mengendalikan proses kepemimpinan partai-partai yang ada.
3. Tidak memberikan tempat untuk melakukan kegiatan-kegiatan politik bagi mereka yang terlibat aktif dalam
proses produksi (buruh, petani, dan nelayan).
4. Menciutkan dan mengisolasi peranan kekuatan-kekuatan moral yang
muncul, melalui organisasi-organisasi maupun kegiatan-kegiatan pemuda
dan mahasiswa.
5. Menciptakan iklim apatisme politik melalui jaringan kebudayaan dan
pendidikan yang menumbuhkan sikap dan alam pikiran
pragmatis-fragmentaris, serta dengan mengukuhkan kembali kebudayaan
politik yang feodalistis dan paternalistis.
Tentu saja, di dalam jaringan dan rumah-rumah politik yang dibangun
seperti ciri-ciri di atas, persoalan kedaulatan ada di tangan rakyat
perlu dipertanyakan kembali pelaksanaannya. Sudahkah rakyat berdaulat
untuk menentukan hitam-putihnya republik ini sesuai dengan Pancasila dan
UUD 1945, ataukah justru rakyat sudah dipenjara melalui suatu mekanisme
politik sehingga sudah tidak berdaya lagi untuk menentukan
pilihan-pilihannya.
Melihat latar belakang yang suram pada pelaksanaan prinsip kedaulatan
rakyat dalam menjalankan hidup berbangsa dan bernegara yang
gejala-gejalanya sudah ditonjolkan dalam uraian di atas, serta didorong
oleh hasrat yang tulus dan ikhlas untuk memperbaiki keadaan menuju
Indonesia yang dicita-citakan, Kelompok Cipayung menyatakan sikap
terhadap perkembangan politik sebagai berikut:
a. Pada prinsip kedaulatan ada di tangan rakyat dilaksanakan secara utuh
dalam seluruh mekanisme dan tatanan kehidupan politik. Ini berarti,
memberikan jaminan kepada rakyat tanpa memandang ras, agama, suku, dan
golongan untuk melakukan kegiatan politik sehari-hari sesuai dengan
esensi pasal 28 UUD 1945. Hak-hak rakyat untuk menjalankan kedaulatannya
itu jangan diredusir oleh manipulasi politik, seolah-olah kedaulatan
rakyat itu sudah berakhir pada saat selesainya pemilihan umum, dan
baru akan diberikan lagi
lima tahun kemudian melalui pemilihan umum berikutnya.
b. Untuk mengembalikan peranan partai ke dalam fungsinya sebagai alat
demokrasi formal, asas 'massa mengambang' supaya dicabut dan memberikan
keleluasaan kepada rakyat di semua tingkatan untuk mengambil bagian
dalam kehidupan politik secara bebas. Asas 'massa mengambang' yang
sekarang ini dijalankan pada dasarnya adalah suatu diskriminasi politik
yang mengurangi hak-hak warga negara di pedesaan dan melenyapkan kontrol
massa politik terhadap kehidupan intern partai-partai politik yang
dapat memberi peluang intervensi kekuasaan (politik maupun ekonomi)
dalam menentukan kebijaksanaan dan kepemimpinan partai-partai politik.
c. Gagasan demokrasi ekonomi menurut ketentuan-ketentuan UUD 1945 hanya
dapat dijalankan apabila pemerintah secara sungguh-sungguh menggunakan
politiknya untuk memperluas hak-hak golongan ekonomi bawah (buruh, buruh
tani, petani, nelayan, dan sebagainya) untuk ikut serta dalam
kegiatan-kegiatan politik perburuhan secara bebas. Apabila hal itu tidak
dijalankan, gagasan tersebut hanya tetap akan menggantung di langit.
d. Supaya pemilihan umum yang akan datang berlangsung lebih adil, harus
ada pemisahan yang tegas antara ABRI dengan Golkar, dan antara Korpri
dan Golkar. Apabila syarat ini tidak dipenuhi, suasana suram seperti
yang terjadi dalam pemilihan umum 1971 pasti berulang kembali.
e. Aliansi pengusaha-pengusaha adalah pola aliansi yang sangat
membahayakan demokrasi, karena praktek-praktek aliansi itu seringkali
menjelma menjadi kekuatan raksasa yang tidak kelihatan dalam menentukan
kebijaksanaan-kebijaksanaan politik dan pembangunan. Aliansi semacam ini
tidak mungkin dapat diterobos oleh pranata-pranata politik formal (DPR,
MPR, dan organisasi-organisasi politik) yang lemah seperti sekarang.
Oleh karena itu, harus ada pemisahan yang tegas antara
kepentingan-kepentingan kekuasaan dan kepentingan-kepentingan ekonomi
swasta, antara lain dengan diberlakukannya ketentuan-ketentuan yang
tidak membenarkan keterlibatan pemerintah baik secara struktural maupun
personal di dalam persekutuan-persekutuan usaha dengan pihak swasta.
f. Hakikat suatu bangsa turut ditentukan oleh watak dan perilaku para
pemimpin bangsanya. Ini berarti kepemimpinan nasional harus diwarnai
oleh kualifikasi sifat-sifat dasar yaitu, berakhlak luhur,
berintegritas, mampu menangkap aspirasi yang berkembang dalam
masyarakat, serta komitmen terhadap kebhinnekaan. Untuk melahirkan
kepemimpinan nasional tersebut di atas, dibutuhkan suatu pendidikan
politik dan pola rekruitmen yang berorientasi kualitatif yang
dilaksanakan secara demokratis melalui pranata-pranata sosial di dalam
iklim dan kebudayaan politik yang sehat.
g. Menilai bahwa politik luar negeri yang dijalankan sekarang ini masih
saja berorientasi pada usaha untuk memperoleh pinjaman luar negeri dan
modal asing, sehingga mempersempit keleluasaan diplomatik dan melemahkan
kepentingan Indonesia di forum-forum internasional. Sikap dan
kebijaksanaan poltik luar negeri harus menunjukkan dan mampu menumbuhkan
rasa harga diri sebagai bangsa dan negara dalam pergaulan politik
internasional, yang benar-benar bebas, aktif berwibawa dan lepas dari
ketergantungan kepada orientasi politik dari kekuatan-kekuatan politik
internasional tertentu.
Bidang Ekonomi
A. Penilaian terhadap berhasil tidaknya pembangunan ekonomi
bertolak dari ukuran-ukuran telah sejauh mana berlangsungnya
transformasi struktrul sosial ekonomi yang meliputi antara lain,
struktrul pemerataan pendapatan, penguasaan, dan distribusi alat-alat
produksi secara merata, adanya mobilitaa sosial yang dibarengi
peningkatan disiplin sosial setelah proses pembangunan ekonomi
berlangsung.
Praktik pembangunan nasional selama ini yang berorientasi kepada
pertumbuhan menyebabkan ukuran-ukuran keberhasilan pembangunan tidak
menuju kepada hal-hal di atas, melainkan kepada data-data pertumbuhan
ekonomi berdasarkan angka-angka perbandingan aktivitas ekspor-impor,
pertumbuhan rata-rata pendapatan domestik bruto, atau ukuran-ukuran
kuantitaf lainnya.
Tidak terdapat atau kurang adanya kemauan-kemauan kualitaf untuk
melihatnya terutama pada tingkat perkembangan partisipasi sosial dalam
pembangunan sosial, kesejahteraan rata-rata anggota masyarakat dalam
totalitas kebutuhannya, pemilikan alat-alat produksi, spontanitas sosial
terhadap ajakan-ajakan pembangunan melalui konsep-konsep nasional,
serta tingkat kemampuan masyarakat secara mikro untuk berproduksi dan
memanfaatkan fasilitas-fasilitas sosial dalam usaha memenuhi
kebutuhan-kebutuhan pokoknya.
Praktik pembangunan nasional selama ini, khususnya dalam pembangunan
ekonomi bertolak dari asas free fight competition atau free market
competition, telah melahirkan atau semakin memantapkan adanya
elite-elite akumulasi modal dan usaha secara sektoral, matinya
usaha-usaha ekonomi golongan ekonomi lemah dan semakin dominannya
kekuatan-kekuatan ekonomi tertentu, adanya persekutuan-persekutuan baru
antara kekuasaan politik dengan kekuatan ekonomi, adanya proses
kemiskinan massal, meningkatnya semangat konsumerisme, tidak
terlindunginya kaum buruh dari kesewenang-wenangan pada majikan antara
lain tarif upah yang jauh dari kelayakan dan tiadanya hak mogok. Asas
itu pula telah mendukung sistem kapitalisme liberal dalam kebijaksanaan
perekonomian nasional untuk kemudian menuju kepada kapitalisme monopoli.
Kebijaksanaan-kebijaksanaan ekonomi yang tampaknya dimaksudkan sebagai
untuk melindungi, atau memberikan kesempatan berkembangnya kelompok
ekonomi lemah melalui kebijaksanaan perkreditan (KIK dan KMKP), Kepres
14 dan 14a, nyatanya menghadapi kegagalan, karena asas free fight
competition senantiasa akan mengalahkan kelompok-kelompok ekonomi lemah
tersebut, di dalam proses persaingan selanjutnya dengan
kelompok-kelompok ekonomi kuat.
Kaum tani semakin terdesak. Petani beras tidak terangsang untuk
meningkatkan produksi karena nilai tukar yang rendah dari hasil-hasil
usahanya, sekian banyak dari kalangan ini yang kehilangan tanah mereka
oleh penggusuran-penggusuran paksa.
Kasus-kasus gagalnya pengembalian kredit-kredit Bimas menunjukkan
ketidakmampuan umum petani-petani itu memanfaatkan fasilitas-fasilitas
yang tersedia, serta mekanisme penyaluran/distribusi yang buruk.
Hal-hal tersebut, dibarengi dengan meningkatnya semangat konsumerisme
selain urbanisasi, menyebabkan kecilnya tingkat pertumbuhan sektor
agraria (hanya 4% pendapatan negara dari sektor ini).
Buruh petani bermunculan, kebanyakan mereka tadinya adalah petani
pemilik dengan taraf hidupnya yang lebih rendah dibandingkan sebelumnya.
Terdapat ketimpangan yang besar dalam pos penerimaan dalam negeri,
melihat kepada semakin dominannya penerimaan dari minyak seperti yang
dapat dilihat dalam tabel berikut (dalam persentasi):
Tahun
Anggaran Minyak Non-minyak
(APBN)
1969/1970 27,0 73,0
1970/1971 28,8 72,2
1971/1972 32,9 67,1
1972/1973 39,0 61,0
1973/1974 39,4 60,6
1974/1975 54,6 45,4
1975/1976 55,7 44,3
1976/1977 56,3 43,7
1977/1978 55,1 44,9
1978/1979 54,1 45,9
1979/1980 61,4 38,6
1980/1981 71,0 29,0
Sumber: Nota Keuangan Negara 80/81
Ketimpangan tersebut menunjukkan kelemahan produksi termasuk di sini,
produksi agraris yang didalamnya menyangkut hidup bagian terbesar
rakyat. Di lain pihak, anggaran penerimaan pemerintah untuk belanja
rutin dan pembangunan, sebagai akibat ketimpangan tersebut merupakan
deficit financing (penciptaan rupiah yang besar). Hal ini kemudian
menyebabkan adanya tekanan inflasi yang kuat dalam struktur moneter.
Selain itu, walaupun trend penerimaan dari minyak naik dari tahun ke
tahun, bantuan luar negeri tidak menunjukkan trend sebaliknya.
Dalam tahun 1969/1970 jumlah bantuan luar negeri sebesar 91,0 milyar
rupiah, berturut-turut dalam tahun anggaran berikutnya sampai dengan
tahun anggaran 1980/1981; 120,4 - 135,5 - 157,8 - 203,9 - 232,0 - 491,6 -
783,8 - 773,4 -1.035,5 - 1.493,5 - 1.501,6 (milyar rupiah). Ini
menunjukkan bahwa ketergantungan kepada luar negeri dari tahun ke tahun
semakin kuat. Tak dapat dielakkan bahwa, hal tersebut mempengaruhi sikap
politik luar negeri karena tentu saja 'bantuan-bantuan' itu tidak bebas
dari persyaratan-persyaratan yang bersifat menguntungkan pihak pemberi
bantuan.
Seperti telah dikemukakan terdulu, adanya perupiahan valuta asing
menyebabkan adanya tekanan inflasi yang kuat. Valuta asing tersebut
selain dari minyak, juga datang dari bantuan luar negeri yang
bersama-sama dengan pajak perseroan minyak berjumlah 7,9 trilyun rupiah.
Jauh lebih besar dari jumlah yang ditarik dari peredaran yang berjumlah
2,6 trilyun rupiah (terdiri dari pajak langsung, tidak langsung, dan
non-tax) menurut perkiraan APBN 80/81. Dan tentu saja, penerimaan dari
sektor minyak dan bantuan luar negeri tersebut tidak dapat dikatakan
sebagai hasil dari pembangunan riil.
Pertumbuhan industri dengan teknologi maju yang bersifat padat modal,
membuka lapangan kerja yang kecil dalam perbandingan nilainya dengan
jumlah modal yang ditanamkan dan pengorbanan-pengorbanan yang harus
diberikan. Pengorbanan itu antara lain meliputi pencemaran/ peracunan
lingkungan dan pengurasan, ren-dahnya nilai tukar eksploitasi jasa para
buruh yang terbuka terhadap kesewenang-wenangan para pemilik unit-unit
produksi massal.
Dalam hal rendahnya nilai tukar eksploitasi jasa tersebut, meliputi
seluruh aspek kegiatan produksi, baik swasta maupun pemerintah. Para
guru, karyawan kantor maupun lapangan, dipaksa untuk menerima upah yang
tidak mencukupi dibandingkan kebutuhan-kebutuhannya. Indeks biaya
hidup mencapai angka 50% (1 April 1977 sampaidengan 31 Maret
1980).
Pembangunan proyek-proyek fisik tidak lain untuk melayani
kebutuhan-kebutuhan pertumbuhan ekonomi, yang didalamnya para pemilik
unit-unit produksilah yang paling besar kesempatan untuk memperbesar
tingkat keuntungannya. Dan mereka ini, yang berasal dan bertopang pada
kekuatan modal-modal raksasa akhirnya muncul sebagai pemenang di dalam
ketimpangan terbuka dengan golongan-golongan kecil. Maka tidak heran,
adanya ketimpangan dalam distribusi pendapatan dan pemilikan alat-alat
produksi menyebabkan adanya kesenjangan-kesenjangan sosial antar
golongan masyarakat. Tumbuh sentimen-sentimen sosial, yang antara lain
telah menyebabkan terjadi peledakan-peledakan dan pertentangan
antargolongan di dalam masyarakat. Dari sini senantiasa muncul pula
penindasan-penindasan tak berperikemanusiaan dari yang kuat terhadap
yang lemah.
Open door policy pemerintahan Soeharto terhadap modal asing telah
memberikan kesempatan bagi berkembangnya peranan modal asing, yang tidak
lain adalah ekspansi ekonomi negara-negara maju untuk menguasai pasar.
Kebijaksanaan tersebut didukung oleh sikap terhadap kaum buruh yang
tidak dilindungi oleh ketetapan upah minimum dan tiadanya hak mogok.
Maka tidak heran, jika negeri ini dikatakan sebagai ’surga’. bagi usaha
penanaman modal, terutama bagi perusahaan-perusahaan multinasional.
Kapitalisme adalah bentuk tanpa kebangsaan, telah semakin mapan melalui
kebijaksanaan tanpa seleksi dalam open door policy tersebut; apalagi
dengan adanya aliansi antara kapitalis-kapitalis dalam negeri.
Masuknya modal asing yang bergerak dalam sektor produksi barang-barang
jadi (sandang, pangan, dan barang-barang mewah/ elektronik), menumbuhkan
semangat konsumerisme di satu pihak dan mematikan semangat produksi di
lain pihak. Urbanisasi yang identik dengan pengalihan kemelaratan dan
kebodohan dari wilayah pedesaan ke wilayah perkotaan, serta ekses-ekses
negatif lainnya juga merupakan bagian dari sebab-sebab aktivitas
produksi massal dengan dukungan modal-modal raksasa serta penerapan
teknologi maju.
B. Patut dipertanyakan, siapakah atau golongan masyarakat manakah yang
paling besar mencicipi hasil-hasil pembangunan ekonomi dalam asas free
fight competition ini?
a. Pemerintah, sebagai pemilik terbesar dari proyek-proyek
pembangunan dan pihak yang menguasai kemungkinan-kemungkinan dalam
sektor pengaturan keuangan negara. Dan dalam hal lemahnya kontrol atau
pengawasan umum, kelompok birokrat melalui kesempatan-kesempatan
manipulatif telah menikmati porsi besar dari tiap periode tahun anggaran
(ingat, tingkat kebocoran rata-rata sebesar 30% per tahun dalam sektor
pembelanjaan negara).
b. Golongan ekonomi kuat, para kapitalis menengah dan raksasa, sebagai
hasil dari eksploitasi persaingan terbuka dalam pasar (dapat dilihat
pada angka; presentasi penguasaan modal golongan ini terhadap struktur
pasar dan ekonomi secara keseluruhan).
c. Para kapitalis asing, yang sekaligus pergi membawa sejumlah besar
hasil/ keuntungan usaha-usaha produksi ke luar negeri. Kenaikan jumlah
APBN (tahun 1980/1981 sebesar 150% terhadap tahun anggaran 1979/1980)
sekaligus menunjukkan bahwa didalamnya terdapat kenaikan jumlah
investasi dalam negeri, tetapi hal tersebut ternyata tidak mampu
mendorong pertumbuhan kapasitas produksi sektor-sektor usaha. Kenaikan
jumlah APBN tersebut bukan disebabkan oleh kemampuan fund-of self
generating dari unit-unit produksi, dan memang sulit pula meningkatkan
produktifitas akibat ancaman inflasi serius dari tahun ke tahun.
Presentasi pendapatan mayoritas masyarakat terhadap jumlah
penerimaan/pendapatan dalam negeri dari tahun ke tahun. Persentasi
pendapatan mayoritas masyarakat terhadap penerimaan/pendapatan dalam
negeri dari tahun ke tahun menunjukkan kecenderungan menurun,
menunjukkan bahwa bukan golongan inilah yang memperoleh sekian
kenikmatan dari pertumbuhan ekonomi (40% dari rakyat menerima 19,5% dari
jumlah pendapatan domestik bruto tahun 1969, dibandingkan dengan 15% di
tahun 1973/1974 dan 11,5% tahun 1976).
C. Pasal 33 UUD 1945 (berikut penjelasannya) menyatakan:
a. Asas perekonomian adalah asas kekeluargaan. Asas free fight
competition nyata-nyata bertentangan dengan asas tersebut. Free fight
competition ini telah menimbulkan bencana besar bagi bangsa dan negara
di dalam pertumbuhan ekonomi selama periode pemerintahan Orde Baru ini.
b. Penguasaan dan pengelolaan usaha-usaha produksi di-lakukan secara
bersama oleh anggota-anggota masyarakat, atau menyangkut kekayaan bumi,
air, dan terkandung di dalamnya oleh negara. Kesemuanya di bawah
penilikan dan pengawasan anggota-anggota masyarakat. Kenyataan bahwa
bagian terbesar usaha-usaha produksi, termasuk yang menguasai hajat
hidup orang banyak dikuasai oleh orang-seorang, jelas bertentangan
dengan ketentuan ini dengan tiadanya atau lemahnya kesempatan bagi
penilikan dan pengawasan umum terhadap sektor-sektor produksi yang
dikuasai dan dikelola oleh negara (Pertamina, Bulog, dan seterusnya).
c. Tujuan akhir dari usaha-usaha perekonomian bangsa dan negara
adalah peningkatan kemakmuran bersama yang adil dang merata, untuk
mendukung pencapaian tujuan dan cita-cita hidup berbangsa dan bernegara.
Akan tetapi, kenyataan-kenyataan atau gejala-gejala menunjukkan bahwa,
justru yang menikmati keuntungan dari pengelolaan kekayaan negara atau
usaha-usaha adalah orang seorang, para pemilik modal baik asing maupun
domestik, serta menimbulkan jurang pemisah yang semakin melebar antara
si kaya dan si miskin. Hal tersebut jelas bertentangan dengan hakikat
dasar pembangunan perekonomian seperti yang dikehendaki oleh Pancasila
dan UUD 1945.
c. Bentuk usaha bersama yang dikehendaki adalah koperasi. Akan tetapi
pada kenyataannya, sektor usaha ini telah diabaikan dalam hakikat
sebenarnya. BUUD dan KUD tidak lain adalah perpanjangan tangan kekuasaan
politik ke dalam sektor usaha dan potensi ekonomi masyarakat lapis
bawah (petani, nelayan, dan sebagainya). Di lain pihak, usaha-usaha
produksi pada umumnya dikuasai oleh orang-seorang yang berproses di
dalam asas free market competition, dan inilah pola kapitalisme yang
nyata-nyata bertentangan dengan semangat koperasi. Cukup jelas fakta dan
data untuk menunjukkan bahwa, pola perekonomian Indonesia yang
berorientasi pada free fight competition atau free market competition
tersebut, bertentangan dengan UUD 1945 dan apapun yang dilakukan, yang
tampaknya berorientasi pada kepentingan/ orang banyak, akan sia-sia dan
larut ke dalam pola ini. Oleh karenanya, harus dilakukan
perubahan-perubahan mendasar untuk kembali cita-cita melalui kepada
pelaksanaan ketentuan-ketentuan dasar yang telah disepakati tatkala
negara didirikan, secara
murni dan konsekuen.
D. Pasal 33 UUD 1945 di dalam pelaksanaannya menuntut adanya
persyaratan-persyaratan tertentu terhadap kondisi sosial-ekonomi seperti
yang kini sedang berlangsung. Persyaratan-persyaratan umum tersebut,
langsung menyangkut pada penetapan strategi pembangunan nasional, antara
lain meliputi:
a. Adanya pendidikan nasional (politik, ekonomi, sosial, dan
lain-lain) yang integrative dan berorientasi kepada cita-cita keadilan,
sosial, sehingga menumbuhkan kepekaan dan kesadaran sosial
anggota-anggota masyarakat agar penilikan dan pengawasan umum dapat
terselenggara secara efektif.
b. Dilenyapkannya asas free fight competition atau free market competition secara konsekuen.
c. Diberlakukannya system ekonomi nasional yang benar-benar
berorientasi kepada kepentingan dan bertolak dari lapis masyarakat
paling bawah yang mayoritas (masyarakat tani dan nelayan) yang sekaligus
menjamin adanya pemerataan distribusi pemilikan alat-alat produksi.
Sebagai misal, kebijaksanaan subsidi harus diarahkan pada perangsangan
kegiatan-kegiatan produksi masyarakat petani.
d. Adanya jaminan kemungkinan berkembangnya swadaya
nasional yang bertolak dari basis-basis perekonomian nasional
(pedesaan), sekaligus untuk menghadapi tuntutan peningkatan
kesejahteraan/ kemakmuran umum.
e. Adanya strategi pembangunan ekonomi nasional yang mampu meniadakan
berkembangnya kemungkinan-kemungkinan adanya disparitas pendapatan yang
menyolok di antara golongan-golongan masyarakat, sekaligus dengan
demikian memperkecil kemungkinan berkembangnya keresahan-keresahan atau
sentimen-sentimen sosial oleh sebab tingkat kesejahteraan/ kemakmuran
rata-rata yang relatif setara. Kapitalisme adalah bentuk penindasan
tanpa kebangsaan dan bersifat universal, di dalam ia beroperasi tanpa
seleksi dan pengawasan. Sebagai konsekuensinya antara lain, peninjauan
kembali terhadap UUPMA dan UUPMDN.
f. Oleh karena itu, perlu adanya sikap tegas terhadap modal asing
untuk mengorbankan kepentingan-kepentingan umum, dan takluk begitu saja
kepada persyaratan-persyaratan kapitalisme internasional untuk melakukan
investasi modalnnya di dalam negeri.
g. Adanya usaha-usaha kongkrit dalam proses penerapan asas koperasi
dalam pola perekonomian nasional, seperti pendidikan (lewat kurikulum
dan pendidikan keterampilan koperasi di dalam sistem pengajaran
nasional), serta kemauan politik pemerintah dari rezim mana pun.
h. Adanya sistem perundang-undangan yang bertolak dari/ dan
berorientasi kepada asas perekonomian seperti yang dikehendaki oleh UUD
1945. Konsekuensinya adalah tidak diberlakukannya lagi KUHD, KUH
Perdata, dan menggantikannnya dengan sesuatu perangkat undang-undang
lainnya, misalnya penyempurnaan lebih lanjut UU Koperasi No. 22 tahun
1967.
i. Adanya pengalihan penguasaan dan pengelolaan usaha-usaha
produksi yang menguasai hidup orang banyak dan bidang pengolahan
kekayaan bumi Indonesia, dari tangan orang per orang kepada negara.
j. Dilaksanakannya sistem pajak progresif untuk membatasi pertumbuhan
pemilikan alat-alat produksi, atau kekayaan material, sekaligus pula
dengan demikian memperkecil jurang-jurang pemisah antara si kaya dan si
miskin.
k. Dilaksanakanny UUPA (Undang-undang Pokok Agraria)
sesegera mungkin dan secara konsekuen.
Bidang Pendidikan
A. Cita-cita Proklamasi 17 Agustus 1945 tidak saja untuk mencapai satu
masyarakat yang adil dan makmur, material dan spiritual di atas negara
kesatuan Republik Indonesia, tetapi juga ditujukan untuk kesinambungan
nilai-nilai kehidupan bangsa dari generasi ke generasi. Proses
kesinambungan nilai-nilai itu akan dapat menjamin eksistensi bangsa
Indonesia. Dalam kerangka ini peranan pendidikan tidak saja penting
tetapi bersifat mutlak dan berdimensi strategis. Secara arif para
perintis kemerdekaan telah meletakkan pendidikan sejajar dan sama
penting dengan masalah pencapaian masyarakat adil dan makmur itu
sendiri, seperti tertera dalam alinea keempat Pembukaan UUD 1945; bahwa
pemerintah Republik Indonesia antara lain, berkewajiban mencerdaskan
kehidupan bangsa, ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan
kemerdekaan, serta keadilan sosial dan setiap warga negara berhak
mendapat pengajaran (pasal 31 ayat 1, UUD 1945). Dengan demikian jelas
bahwa, kesinambungan kehidupan dan eksistensi bangsa Indonesia sangat
tergantung kepada cara bagaimana, atas dasar apa, dan menuju ke mana
bangsa Indonesia dididik.
B. Pembangunan di bidang pendidikan yang dilakukan dewasa ini ternyata
tidak menempati posisi yang mutlak dan strategis, tetapi sekedar menjadi
pelengkap dari pembangunan di bidang-bidang yang lain, misalnya politik
dan ekonomi. Pemikiran yang meletakkan pendidikan hanya sebagai
pelengkap dapat dilihat pada prioritas pembangunan yang diberikan, pada
pemikiran-pemikiran berupa konsepsi-konsepsi yang ada dan pada
fasilitas, serta pembiayaan yang kurang memadai. Pemikiran-pemikiran
demikian mengakibatkan bahwa, upaya penanganan pendidikan hanya
menyentuh kulitnya, dan bersifat tambal-sulam. Ini berarti, penanganan
pendidikan tidak ditujukan kepada upaya pelestarian nilai-nilai dan
kesinambungan bangsa, tetapi hanya kebutuhan-kebutuhan insidental yang
bersifat sementara dan cenderung bersifat politis. Oleh karena itu,
sudah saatnya meletakkan pendidikan menjadi proiritas yang sejajar
dengan ekonomi dalam keseluruhan pembangunan Indonesia, dengan
memberikan alokasi dana yang memadai bagi pelaksanannya.
C. Pembangunan di bidang pendidikan yang ditujukan untuk melahirkan
manusia Indonesia yang bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, meningkatkan
kecerdasan, keterampilan, mempertinggi budi pekerti, memperkuat
kepribadian, mempertebal semangat kebangsaan, cinta tanah air, dan
idealisme, tidak boleh hanya terbatas pada dan hanya untuk satu siklus
generasi, bukanlah untuk mengawetkan satu angkatan atau tidak terbatasi
semata-mata pada periode sekolah, tetapi pada tujuan yang lebih jauh
yakni, pada kesinambungan kehidupan bangsa dari generasi ke generasi.
D. Pendidikan yang ditujukan kepada pembentukan manusia Indonesia
seutuhnya seperti tersebut di atas, yang dengan demikian dapat menjamin
eksistensi dan kesinambungan bangsa, harus bertitik tolak dari kondisi
obyektif nilai-nilai yang tumbuh dan berkembang dalam khazanah
kebudayaan bangsa Indonesia, dan keyakinan manusia Indonesia. Dengan
demikian dasar pendidikan nasional Indonesia harus tidak lepas dari
tetapi bertumpuk pada nilai-nilai budaya dan agama yang tumbuh dan
berkembang wilayah di Indonesia, agar dapat meningkatkan martabat dan
citra manusia Indonesia sewajar dan semulia mungkin melalui proses tepat
guna dan sadar tujuan.
E. Pendidikan dapat dipahami sebagai proses normatif yang mempersoalkan
nilai-nilai pada seseorang atau suatu bangsa, tetapi juga sebagai proses
teknis yang membawa manusia dari satu tingkat keterdidikan tertentu ke
tingkat keterdidikan yang lain. Untuk itu perlu diperhatikan hal-hal
sebagai berikut:
a. Diperlukan suatu sistem pendidikan nasional yang tertuang dalam
konsepsi pendidikan nasional yang bertumpu pada nilai- nilai agama dan
budaya bangsa secara utuh, menyeluruh dan terpadu yang ditujukan kepada
pembentukan kepribadian yang utuh, kemampuan berdiri di atas kaki
sendiri, mempunyai daya pikir yang tinggi dan sikap moral yang terpuji,
serta mempunyai pola pikir dan orientasi yang tertuju kepada kepentingan
orang banyak, dan menumbuhkan kepekaan dalam tanggung jawab sosialnya.
Konsepsi pendidikan nasional tersebut, juga harus mencerminkan fungsi
dan peranan yang seimbang dan serasi antara sekolah, keluarga/
masyarakat dan pemerintah dalam pelaksanaan pendidikan nasional dan
sistem pendidikan itu harus integratif dengan aspek-aspek lain, misalnya
politik, ekonomi, budaya, dan agama.
b. Campur tangan birokrasi pemerintah yang terlalu dalam pada dunia
pendidikan, khususnya pendidikan tinggi telah mengakibatkan dunia
perguruan tinggi menjadi ajang kepentingan politik praktis, tidak
otonomnya ilmu pengetahuan dan tidak terjalinnya hubungan di antara
sivitas akademika secara harmonis. Perguruan tinggi sebagai lembaga
ilmiah belum dapat menjalankan fungsinya seperti tercantum dalam
Undang-undang No. 22 tahun 1961, sebab sistem perguruan tinggi hanya
terbatas pada sistem politik yang berlaku, sehingga kebebasan mimbar dan
kebebasan kampus belum berjalan
sebagaimana mestinya.
c. Menjalin pendidikan hanya sebagai faktor pelengkap, telah
menyebabkan pembiayaan pendidikan yang kurang memadai, menyebabkan
pendidikan menjadi mahal bagi sebagian besar rakyat Indonesia. Dengan
demikian, maka hanya sebagian kecil masyarakat yang menikmati pendidikan
(khususnya pendidikan tinggi) sehingga melahirkan elit tertentu dalam
masyarakat, lulusan sekolah yang tidak mempunyai kemampuan, menimbulkan
drop out yang mengakibatkan pengangguran, menurunnya mutu pengajar dan
merosotnya wibawa pendidikan.
d. Untuk menjamin terselenggaranya tujuan pendidikan nasional harus
tercermin dalam komponen pendidikan, khususnya dalam penyusunan
kurikulum. Pemberian materi dalam suatu tingkat dan jenis pendidikan
seharusnya disesuaikan kebutuhan utama anak didik, memperhatikan usaha
pengembangan dan kebutuhan lingkungan, serta tujuan bangsa. Penyusunan
kurikulum harus mempunyai kaitan erat dengan kebutuhan dan sifat
obyektif masyarakat Indonesia yang sebagian besar terdiri dari petani
dan nelayan. Tujuan pendidikan, komponen pendidikan khususnya dalam
penyusunan kurikulum dan metodologi yang dipakai harus dihilangkan
kesenjangan antara jurusan IPA, IPS, dan bahasa, menghilangkan
kesenjangan antara sekolah kejurusan dan umum, antara swasta dan negeri.
e. Dalam hal metodologi pendidikan, pendekatan dominatif sudah
seharusnya ditinggalkan dan diganti dengan pendekatan integratif yang
membawa kesempatan seluas-luasnya bagi anak didik untuk mengembangkan
daya pikir, kreatifitas, dan dinamika, dengan penemuan dan
pengalaman-pengalaman baru. Dengan demikian, hasil pendidikan tidak
hanya mencapai penguasaan ilmiah tetapi mencakup kesiapan mental dan
kemampuan menghadapi permasalahan hidup sehari-hari.
f. Pengertian pendidikan seperti diisyaratkan dalam pembukaan UUD 1945
dan pada batang tubuh UUD 1945, khususnya pasal 31 tidak cukup hanya
dilaksanakan di sekolah. Sebagian besar aktivitas sekolah adalah
memberikan pengajaran. Pendidikan yang hanya menekankan peranan sekolah
seperti yang dilakukan dewasa ini, tidak akan men-capai hasil yang
memuaskan. Seluruh lingkungan hidup adalah laboratorium untuk belajar
dan karenanya harus tercipta iklim lingkungan yang sehat bagi tumbuh dan
berkembangnya proses pendidikan. Dalam kerangka itu pelaksanaan
pendidikan nasional hendaknya mengikutsertakan secara aktif dan maksimal
lembaga keluarga dan lembaga pendidikan, yang telah menjadi bagian dari
kehidupan masyarakat seperti organisasi-organisasi sosial, agama, dan
partai politik.
Bidang Hukum
Di saat hukum mulai sirna, di sana tirani mulai berkuasa.
A. Indonesia negara hukum:
a. Setiap negara yang mengakui bahwa negaranya adalah negara hukum dan
menggunakan hukum sebagai tata aturan bagi pengaturan kehidupan
berbangsa dan bernegaranya, harus dapat benar-benar tetap mempertahankan
prinsip-prinsip dasar atau esensi dasar dari hukum itu sendiri. Itu
berarti, bahwa hukum yang harus diberlakukan di dalam kehidupan negara,
bangsa dan masyarakatnya, harus mengandung tiga unsur dasar yang tak
terpisahkan, yakni unsur keadilan, unsur
kegunaan, dan unsur kepastian:
1. Unsur keadilan, berarti bahwa hukum yang dianut dan diberlakukan
haruslah benar-benar mengandung unsur keadilan, termasuk didalamnya
memberikan keadilan, mencari dan mengejar, memperjuangkan serta
mempertahankan keadilan;
2. Unsur kegunaan, berarti bahwa hukum yang dianut dan diberlakukan
haruslah benar-benar mengandung unsur kegunaan, dalam artian bahwa hukum
harus berguna bagi masyarakat dan dirasakan kegunaannya bagi
masyarakat;
3. Unsur kepastian, berarti bahwa hukum yang dianut dan diberlakukan
harus benar-benar dapat memberikan kepastian hukum bagi masyarakat
melalui aturan perundang-undangan yang jelas dan tegas, agar benar-benar
dapat menegakkan keadilan dan terasa kegunaannya oleh masyarakat, di
dalam usahanya mencari keadilan.
Dengan demikian, maka dengan sendirinya apabila ketiga unsur atau esensi
dasar hukum ini, dimiliki dan hidup di dalam setiap hukum yang
diberlakukan dan dianut oleh setiap bangsa dan negara, akan tenteram
dan teraturlah kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara itu. Sebab, pada
hakikatnya hukum itu dibuat oleh manusia dalam upaya untuk digunakan
bagi dan kepentingannya, karena ia adalah himpunan petunjuk-petunjuk
hidup (perintah-perintah dan larangan-larangan) yang mengatur tata
tertib dalam suatu masyarakat dan negara, baik itu yang tertulis maupun
yang tidak tertulis. Itu berarti, bahwa setiap anggota masyarakat yang
bersangkutan harus tunduk dan taat pada hukum positif yang diterapkan
kedalamnya. Dalam usaha hukum yang diperuntukkan bagi terwujudnya
ketenteraman masyarakat, maka hukum yang dianut dan diberlakukan harus
sanggup berangkat dari sifat atau ciri-ciri dari yang sedang hidup
masyarakat, agar tidak terjadi bahwa hukum itu terasa asing bagi
masyarakatnya. Ini pun akan ikut menentukan persepsi masyarakat terhadap
hukumnya, yang diharapkan merupakan cermin kehidupannya dan yang akan
menentukan apakah hukum itu mencapai tujuannya, ataukah tidak.
b. Dalam usaha bangsa Indonesia untuk mewujudkan cita-cita Proklamasi
17 Agustus 1945, disusunlah UUD 1945 sebagai upaya untuk mengatur
penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara, menuju suatu
masyarakat yang adil dan makmur. UUD 1945 sebagai hukum dasar tertulis
yang merupakan undang-undang yang mengikat seluruh komponen dan lapisan
yang ada di dalam masyarakat dan bangsa Indonesia, baik itu pemerintah,
setiap lembaga negara, lembaga masyarakat, setiap warga negara Indonesia
di mana saja dan setiap penduduk yang berada di wilayah Indonesia. UUD
1945 sebagai undang-undang dasar berisi norma-norma, aturan-aturan, atau
ketentuan-ketentuann yang dapat dan harus dilaksanakan dan ditaati.
Undang-Undang 1945 sebagai hukum dasar dengan sendirinya merupakan
sumber hukum bangsa Indonesia. Dengan demikian setiap produk hukum
seperti undang-undang, peraturan-peraturan atau keputusan pemerintah,
harus berlandaskan dan bersumber pada UUD 1945. Atau dengan kata lain,
harus dapat dipertanggungjawabkan kepada ketentuan-ketentuan
undang-undang dasar kita yang dalam tata aturan norma hukum yang berlaku
di republik ini, menempati kedudukan tertinggi.
c. Pembukaan UUD 1945 sebagai bagian yang tak terpisahkan dari
batang tubuhnya adalah sumber motivasi, aspirasi, dan tekad perjuangan
bangsa Indonesia, yang bersifat universal dan lestari. Itu berarti,
bahwa setiap pasal di dalam batang tubuh UUD 1945 adalah penjabaran dan
berangkat dari sumber motivasi, aspirasi dan tekad perjuangan bangsa
yang terkandung di dalam keempat alinea Pembukaan UUD 1945, di mana
didalamnya terkandung Pancasila sebagai dasar negara. Sebagai dasar
negara, Pancasila pada akhirnya merupakan sumber dari segala ketentuan
hukum yang ada, hidup dan berlaku di Indonesia dan selakigus merupakan
tolok ukur hukum di Indonesia.
d. Di dalam usaha mengatur tata kehidupan bermasyarakat, berbangsa
dan bernegara dalam negara kesatuan Republik Indonesia, UUD 1945 telah
mengatur dengan jelas dua hal pokok, yakni sistem pengaturan negara dan
hubungan negara dengan warga negara dan penduduknya, yang harus
dilaksanakan secara murni dan konsekuen, serta ditaati oleh setiap
komponen dalam masyarakat secara konsekuen. Di dalam pengaturan tentang
sistem pemerintah negara, secara tegas dan jelas telah diatur bahwa
negara Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas asas hukum
(rechtstaat) dan bukan atas asas kekuasaan (machtstaat). Dan telah
diatur dengan tegas dan jelas, bahwa pelaksanaan dilakukan secara
konstitusional (hukum dasar) dan tidak bersifat absolut (kekuasaan tak
terbatas). Juga telah diatur dengan tegas dan jelas, bahwa kedaulatan
rakyat berada di tangan rakyat dan berada di tangan Majelis
Permusyawaratan Rakyat (MPR), yang mencerminkan asas demokrasi. Hal ini
berarti, bahwa segala kebijakan yang diambil harus mencerminkan
keinginan dan aspirasi rakyat, bukan keinginan penguasa atau pun
kelompok tertentu. Juga jelas diatur tentang kepala negara, yang antara
lain mengatur bahwa kekuasaan kepala negara tidak tak terbatas,
melainkan harus tunduk kepada MPR.
e. Menyangkut hubungan negara dengan warga negara/ penduduk/masyarakat,
UUD 1945 mengatur tentang siapa warga negara, tentang hak-hak dan
kewajiban-kewajibannya serta tugas, tanggung jawab dan kewajiban
pemerintah sebagai pelaksana pemerintahan dalam hal mengatur dan
memberlakukan hak-hak dan kewajiban ini. Tercakup didalamnya
prinsip-prinsip dasar tentang hak-hak asasi yang merupakan
pengejawantahan dari pemberlakuan hak-hak asasi manusia secara
universal. Antara lain telah diatur bahwa:
1. Kedudukan setiap warga negara dalam hukum adalah sama tanpa kecuali,
bersifat kerakyatan, serta tersirat keseimbangan antara hak dan
kewajiban setiap warga negara. Itu berarti, bahwa hukum yang berlaku di
Indonesia diberlakukan bagi setiap penduduk dan setiap warga negara,
tanpa pandang bulu yang juga berarti, bahwa setiap warga negara dan
penduduk tidak ada yang kebal hukum, serta setiap warga negara dan
penduduk berhak mendapatkan perlindungan hukum,
2. Setiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak,
sebagai juga cerminan dari asas keadilan sosial, serta keseimbangan
antara hak dengan kewajiban. Itu berarti, bahwa pemerintah wajib
memberikan kemungkinan bagi setiap warga negara untuk dapat melaksanakan
hak ini,
3. Setiap warga negara berhak untuk berserikat dan berkumpul,
mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan, yang merupakan cerminan
dari asas negara demokrasi itu (pasal 28 UUD 1945). Itu berarti pula,
bahwa dalam hal pemerintah mengaturnya dengan aturan perundang-undangan
tidak justru bertentangan atau membatasi hakikat ini,
4. Setiap warga negara dan penduduk dijamin kemerdekaannya untuk memeluk
agamanya masing-masing dan beribadat menurut agamanya dan kepercayaan
itu. Ini adalah cerminan dari asas negara Indonesia yang ber-Ketuhanan
Yang Maha Esa, itu berarti, dalam hal negara mengatur pelaksanaannya
tidak boleh bertentangan, membatasi, ataupun mencabut hak ini, karena
ini adalah hak yang paling asasi dan hakiki di antara keseluruhan
hak-hak asasi manusia, karena langsung bersumber kepada martabat manusia
ciptaan Tuhan, bukannya negara,
5. Setiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam usaha pembelaan
negara. Itu berarti, hal pembelaan negara tidak semata-mata dilihat
sebagai suatu kewajiban, tetapi sekaligus itu adalah merupakan hak.
Dengan demikian berarti pula bahwa dalam hal pengaturannya, setiap
rakyat ikut mengatur dan mengawasi,
6. Setiap warga negara berhak untuk mendapatkan pengajaran, dan
pemerintah wajib menyelenggarakannya melalui suatu sistem pendidikan
nasional. Itu berarti, bahwa dalam hal pengaturannya negara harus dan
wajib mengatur sedemikian rupa, sehingga benar-benar setiap warga negara
memiliki peluang, kesempatan dan kemungkinan untuk menikmati dan
mendapatkan hak ini, agar dengan demikian apa yang merupakan tujuan
negara kita dalam Pembukaan UUD 1945 dapat tercapai yakni, mencerdaskan
kehidupan bangsa. Dengan demikian, pendidikan tidak lagi merupakan
keistimewaan atau kekecualian, tetapi adalah merupakan suatu keharusan
dalam perwujudannya bagi setiap warga negara,
7. Setiap fakir miskin dan anak-anak terlantar wajib diperlihara oleh
negara, dan itu pada hakikatnya merupakan hak dari anggota masyarakat.
Dengan demikian jelaslah, apa yang dimaksudkan Pancasila dan UUD 1945
yang sekaligus menjadi tolok ukur kita tentang sejauh mana semua dasar
ini sudah dan akan diberlakukan setiap saat, agar tidak terjadi
penyimpangan-penyimpangan atau penyelewengan-penyelewengan, baik sengaja
maupun tidak sengaja, baik yang memerintah maupun yang diperintah.
B. Potret Praktik Hukum di Indonesia
a. Setelah 35 tahun merdeka, setelah terus-menerus bergumul dan
berjuang, maka adalah mutlak perlu untuk senantiasa kita sebagai bangsa
secara bersama-sama, terus-menerus, tanpa pamrih, tak jemu-jemu membuat
perenungan-perenungan ulang sebagai evaluasi bersama kita tentang
seberapa jauh keberhasilan yang telah dicapai dan apa yang belum
dicapai, dalam usaha besar pembangunan dan modernisasi bangsa, untuk
dengan jujur dan ikhlas tetapi dengan jiwa besar melihat
kegagalan-kegagalan, kekurangan-kekurangan untuk diperbaiki, khususnya
dalam pembangunan di bidang hukum. Bangsa yang besar, adalah bangsa yang
berani untuk menilai kehidupan diri sendiri, yang berani juga
membebaskan diri dari seluruh belenggu kegagalan, ketidakadilan, dan
ketidakbenaran, tanpa batas waktu. Karena keadilan yang terlambat adalah
sebenarnya ketidakadilan, dan ketidakadilan bukanlah lagi hukum.
b. Kita sadari, bahwa hal yang paling ironis, dan yang selalu
'dikambinghitamkan' dalam sistem hukum dan peradilan di Indonesia adalah
sebagian besar hukum kita, justru bersumber pada hukum kolonial. Itu
berarti, bahwa sudah waktunya sekarang bagi pemerintah untuk secara
sungguh-sungguh dengan segala dana dan daya yang ada, memperbaruinya,
berangkat dari dan mencerminkan kehidupan budaya dan perilaku bangsa,
sifat dan ciri-ciri masyarakat Indonesia. Dengan demikian sebagai bangsa
yang telah 35 tahun merdeka dan berdaulat, dapat berdiri dengan tegak
dan penuh percaya diri, menantang masa depannya penuh kepastian dan
keadilan.
c. Negara ini adalah negara hukum, maka itu berarti bahwa baik
pemerintah maupun lembaga-lembaga penegak hukum yang ada setiap warga
negara, setiap anggota masyarakat dalam melaksanakan tindakan apapun,
harus benar-benar berlandaskan hukum atau harus dapat
dipertanggungjawabkan secara hukum, sebagai lawan dari tindakan
kekuasaan yang melanggar hukum. Di dalam peraturan pelaksanaannya harus
tidak bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945 sebagai dasar negara
dan sumber hukum. Dengan demikian, maka sesuai dengan semangat dan jiwa
Pembukaan UUD 1945, Indonesia sebagai negara hukum, tidaklah sekedar
dalam artian formal, di mana negara hanya sebagai polisi lalu lintas
semata-mata, tetapi lebih daripada itu, yakni benar-benar melaksanakan
secara konsekuen. Negara hukum saja 'melindungi segenap bangsa dan
seluruh tumpah darah Indonesia', tetapi serentak dengan itu harus dan
wajib "memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa".
Dalam pelaksanaannya, pemerintah sebagai penyelenggara negara wajib
memperhatikan kegunaan, tujuan dan landasan hukumnya, yang kedua-duanya
harus dipenuhi agar tidak terjadi bahwa demi pencapaian suatu tujuan
tertentu semua cara dihalalkan, atau pun untuk membenarkan cara yang
sudah terlanjur digunakan dengan mengaburkan tujuannya.
d. Itu berarti, sudah waktunya bagi pemerintah dan semua pihak untuk
menilai ulang semua lembaga yang inkonstitusional yang ada, seperti
misalnya lembaga Kopkamtib, dan mencegah serta menahan diri untuk
membentuk lembaga-lembaga inkonstitusional lainnya. Pemerintah dan
seluruh rakyat wajib mendorong dan menciptakan iklim memadai, serta
memberikan kemungkinan kepada setiap institusi yang ada, untuk kembali
berfungsi secara proporsional dan bertanggung jawab. Dengan
pendelegasian kewenangan dan tanggung jawab secara fungsional dan
proporsional, akan lebih mendorong setiap orang, setiap institusi untuk
melaksanakan tugasnya dengan sebaik-baiknya. Oleh karena itu, dengan
adanya lembaga-lembaga inkonstitusional akan merupakan suatu stagnasi
terhadap pelaksanaan asas dan ketentuan hukum di dalam negara.
e. Dengan demikian, maka sudah tiba saatnya bagi pemerintah, untuk
sesegera mungkin menghapus seluruh lembaga inkonstitusional yang ada,
serta benar-benar dengan tegas dan konsekuen menegakkan hukum di
republik ini. Itu berarti, bahwa beberapa kasus yang hingga kini belum
terselesaikan lewat proses hukum harus segera diselesaikan secara hukum
pula, agar seluruh persoalan menjadi jelas bagi rakyat dan masyarakat,
dan tidak membiarkan keresahan berlarut-larut yang dapat mengancam
stabilitas keamanan dan ketertiban, serta ketahanan nasional bangsa.
Antara lain dapat disebutkan kasus Sengkon dan Karta, dan serangkaian
kasus lainnya.
f. Asas ‘kedaulatan berada di tangan rakyat’ telah tercermin dalam
‘kekuasaan tertinggi di tangan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR)’,
yang oleh pemerintah adalah kewajiban untuk mengatur dan menjaga, agar
adanya mekanisme yang memungkinkan prinsip ini berlaku dan berjalan
secara bertanggung jawab dan tidak justru sebaliknya, sekaligus sebagai
pencerminan kehidupan paham demokrasi di republik ini.
g. Mekanisme Perwakilan Rakyat di dalam MPR, harus benar-benar
mencerminkan dilaksanakannya asas kedaulatan rakyat secara konsekuen.
Oleh karena itu, mekanisme perwakilan rakyat yang sekarang itu
diberlakukan, harus ditinjau kembali termasuk peraturan persidangan MPR,
yang seharusnya, dan sebaiknya bersidang sekali dalam dua tahun.
h. Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dalam melaksanakan fungsi pengawasan
umum, apabila menganggap presiden telah melanggar ketentuan-ketentuan
dasar yang berlaku, harus memanggil sidang MPR untuk meminta
pertanggungjawaban presiden. DPR dalam melaksanakan fungsi pengawasan
umumnya, harus benar-benar peka terhadap aspirasi-aspirasi sosial yang
tumbuh dari bawah, berani menentukan sikap politik terhadap sesuatu
penyimpangan yang telah dilakukan oleh pemerintah, maupun berinisiatif
untuk mendahului pemerintah dalam hal membuat undang-undang, tanpa
mementingkan kepentingan-kepentingan golongan yang ada di dalamnya
tetapi kepentingan rakyat banyak.
i. Jabatan presiden dan wakil presiden tidak dapat diberlakukan lebih
daripada dua kali berturut-turut, untuk mencegah terjadinya pemusatan
kekuasaan di tangan seseorang. Hal ini harus diatur oleh undang-undang
melalui DPR sebagai konsekuen logis dari diperlukannya penjabaran UUD
1945, khususnya pasal 5. Di dalam hal presiden menggunakan hak-hak
prerogatifnya, harus didasarkan atas faktor-faktor rasa keadilan,
aspirasi sosial, ketentuan-ketentuan kualitatif yang menyangkut orang
per orang, dan kepentingan bangsa. Dalam melaksanakan pasal 11 UUD 1945,
khususnya yang menyangkut perjanjian dengan negara-negara lain, baik
yang menyangkut ekonomi, politik, dan keamanan, presiden harus mendapat
persetujuan DPR.
j. Sebagai konsekuensi dari asas keadilan di dalam hukum, maka
sesegera mungkin diharapkan ke pengadilan, mereka yang terlibat di dalam
kasus-kasus tertentu, khususnya tanpa pandang bulu untuk dapat
menjelaskan persoalan-persoalan yang hingga kini belum terselesaikan,
seperti misalnya kasus Pertamina. Demikian pula seluruh perjanjian
dengan negara-negara lain yang belum, atau tanpa persetujuan DPR harus
segera dipertanggungjawabkan presiden untuk memperoleh persetujuan.
k. Perlu ada suatu Undang-Undang Perburuhan yang adil dan yang
memungkinkan hidupnya serikat-serikat buruh yang dalam hal ini dibentuk
secara demokratis oleh buruh ini sendiri, tanpa campur tangan pemilik
perusahaan dan/ atau pemerintah. Dalam hal Undang-undang Perburuhan itu,
harus dipenuhi hak-hak kaum buruh seperti misalnya, upah yang layak,
perlindungan keamanan kerja, jaminan sosial dan masa depan, serta hak
untuk mogok (apabila tidak terpenuhinya ketentuan-ketentuan hak-hak
tersebut).
l. Dalam hubungan dengan kehidupan pers dalam fungsi pengawasan
umumnya, serta sebagai sarana penyaluran informasi yang benar bagi
masyarakat, perlu disusun undang-undang menyangkut pers dan media
umumnya yang berpangkal pada UUD 1945 pasal 28. Undang-undang baru
tersebut, harus dapat menjamin pertumbuhan pers yang sehat, bebas dan
bertanggung jawab kepada kepentingan rakyat untuk mendapatkan infomasi
yang layak dan benar, serta tetap melaksanakan fungsi kontrolnya secara
efektif. Pers dalam menjalankan fungsi-fungsinya sebagai penyalur
infomasi yang layak dan benar, sebagai sarana pendidikan dan alat
kontrol harus bersikap berani dan konsisten.
m. Dalam penjabaran pasal 28 UUD 1945, khususnya yang menyangkut
kebebasan berserikat dan berkumpul, perlu disusun suatu undang-undang
kepartaian yang bertumbuh dari bawah, yang benar-benar menjamin dan
memberikan kesempatan kepada kemungkinan bertumbuhnya kekuatan politik
yang baru, serta keikutsertakan mereka dalam proses kehidupan politik
yang sehat, wajar, dan demokratis. Seleksi terhadap kekuatan-kekuatan
politik menurut persyaratan-persyaratan yang ditetapkan adalah melalui
pemilihan umum. Pemilihan umum tersebut harus dilaksanakan secara
langsung, umum, bebas, rahasia, dan terbuka bagi penilikan
anggota-anggota masyarakat. Oleh karena itu, perlu pula disusun suatu
Undang-Undang Pemilu yang baru, yang menjamin terselenggaranya hal-hal
tersebut, sekaligus menetapkan adanya sanksi-sanksi yang tegas.
n. Dalam hal pelaksanaan pasal 29 UUD 1945 tentang kebebasan beragama,
segala bentuk campur tangan pemerintah yang bersifat menghambat ataupun
menghalangi pertumbuhan kebebasan tersebut harus dihentikan, seperti
penyensoran terhadap naskah-naskah khotbah dan sebagainya.
o. Rakyat berhak dan berkewajiban ikut serta dalam usaha-usaha
pembelaan negara sesuai pasal 30 UUD 1945. Oleh karenanya, perlu
ditetapkan suatu Undang-Undang Pertahanan Keamanan Nasional, yang
mencerminkan fungsionalisasi yang serasi antarangkatan di dalam ABRI
dengan mengembalikan kepolisian kepada fungsinya yang sebenarnya,
menentukan secara jelas peranan dan keterlibatan sosial ABRI, dan
meletakkan proporsi yang sebenarnya bagi Pertahanan Sipil dan Resimen
Mahasiswa.
p. Adalah suatu kewajiban bagi pemerintah untuk sungguh-sungguh
‘memelihara fakir miskin dan anak-anak terlantar’ sesuai dengan pasal 34
UUD 1945, yang pada hakikatnya merupakan hak mereka.
q. Dalam pelaksanaan pasal 18 UUD 1945, maka
Undang-Undang No. 5 tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di
daerah, dan Undang-Undang No. 5 tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa,
hendaknya ditinjau kembali. Dengan perubahan tersebut, diharapkan
terciptalah suatu kehidupan berbangsa, bernegara, dan berpemerintahan
yang demokratis, khususnya yang menyangkut proses pemilihan dan
pengangkatan kepala daerah, kepala desa, lembaga-lembaga perangkat
pemerintahan desa dan efektifnya fungsi kontrol Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah (DPRD) terhadap pelaksanaan pemerintahan tingkat daerah.
r. Setiap warga negara berhak atas perlindungan dan pembelaan hukum,
oleh karena itu pada setiap proses pengadilan, setiap warga negara harus
mendapat bantuan hukum yang bebas dan otonom. Dengan demikian,
pertumbuhan kesadaran hukum dalam masyarakat akan memudahkan
berlangsungnya tata tertib hukum dalam kehidupan masyarakat, dan
serentak dengan itu rakyat dapat mengambil peran serta aktif dalam
proses perubahan dan penyempurnaan hukum secara efektif. Dalam hubungan
itu, prasarana hukum haruslah memadai dan faktor keteladanan para
penegak hukum merupakan salah satu faktor yang menentukan tegaknya
wibawa hukum.
t. Pembangunan bidang hukum, khususnya menyangkut partisipasi
masyarakat, pendidikan hukum dan politik perlu diperluas sampai ke
daerah-daerah terpencil, terutama daerah-daerah pedesaan kaum petani dan
nelayan.
Dengan demikian, maka Undang-Undang 1945 benar-benar akan terlaksana secara murni dan konsekuen.
Bidang Generasi Muda
A. Pemuda atau generasi muda adalah konsep-konsep yang terkadang
diberati nilai-nilai. Terutama, keduanya selain merupakan istilah ilmiah
juga sering menjadi pengertian ideologis atau kultural. ‘Pemuda harapan
bangsa’, ’pemuda pemilik masa depan’, ‘pemuda kusuma bangsa’, dan
semacamnya merupakan indikasi yang kuat. Berarti memberi pengertian pada
pemuda atau generasi muda haruslah diperhitungkan aspek obyektif dan
subjektifnya. Aspek objektif seperti perumusan berdasarkan patokan riil
yang dapat diperhitungkan misalnya kesamaan umur. Aspek subyektif dapat
ditentukan atas pendekatan historis, sosiologis, psikologis, kultural,
dan semacamnya.
B. Dari aspek kualitatif, secara kodrati sulit manusia menghindari
ikatan sosial dan hubungan lingkungannya. Maka setiap pengembangan
generasi muda harus dititikberatkan pada peningkatan persenyawaan
tersebut, agar hubungan timbal-balik yang bermanfaat bagi peningkatan
harkat hidup manusia dapat terwujud. Jika pemuda ingin mempelajari,
mengidentifikasi serta melaksanakan tugas-tugas sosial, harus terlebih
dulu mengenal secara baik diri sendiri sebagai suatu kepribadian, serta
lingkungan interaksi antarindividu tersebut. Kedua variabel itu harus
berjalan sinkron dan fungsional karena ciri khasnya berbeda. Secara
paedagogis, harus dipahami konsep ‘aku’, aspirasi yang hidup di
kalangan pemuda khususnya selama periode remaja, bagaimana pandangan
pemuda terhadap diri sendiri dan cita-citanya. Dengan demikian dapat
dipahami, apakah ‘aku’ dan aspirasi mereka mencerminkan kesadaran akan
tugas-tugas perkembangan sosial yang dihadapkan kepadanya. Jika tidak,
ikhtiar perbaikan tindakan pedagogis mestilah dipersiapkan sedini
mungkin.
Dari tinjauan sosiologi sejak usia setahun, manusia sudah memiliki
pertautan dengan dunia sekitarnya. Anak-anak membuat konsep diri dan
lingkungannya, justru dari hasil tanggapan mereka terhadap lingkungannya
(sosialnya), dan dari proses sosialisasi yang terjadi di sekitarnya.
Struktur sosial masyarakat Indonesia saat ini yang sangat rawan, sangat
dominan dalam membentuk persepsi dan opini anak-anak terhadap
masyarakat. Misalnya, kehidupan di pedesaan yang prihatin, baik karena
tingkat ekonomi maupun perlakuan hukum semena-mena, membuat mereka
frustasi, apatis, bahkan ada kalanya apriori terhadap pemerintah. Adalah
wajar jika generasi muda yang dibesarkan dalam struktur masyarakat dan
kehidupan demikian, memiliki persepsi negatif terhadap pemerintah dan
masyarakatnya. Paling tidak terhadap generasi di atasnya. Hal ini
sepatutnya dipahami, karena masa muda usia sebagai perwujudan biologis
bagaimanapun sangat ditentukan oleh budaya setempat maupun keadaan
kesezamanan. Kegoncangan terhadap keadaan itu dapat menimbulkan konflik
antargenerasi dalam suatu periode tranformasi yang kritis. Akan tetapi,
munculnya suatu generasi baru terkadang disamakan dengan invasi kaum
barbar. Yaitu, generasi muda sebagai penyerbu tetapi kemudian secara
bertahap dilibatkan ke dalam budaya dominan milik lawannya. Penyerbu itu
lalu mengalami proses pembudayaan baik secara aktif maupun pasif.
Dari segi psikologis, generasi muda terdiri dari orang-orang muda dengan
kecenderungan-kecenderungan dan kebutuhan-kebutuhan antara lain:
a. Kebutuhan untuk dihargai kebebasannya, baik dalam sikap maupun pilihan-pilihan pribadinya,
b. Kebutuhan akan kepercayaan terhadap kemampuannya untuk melakukan prestasi-prestasi,
c. Kebutuhan kesempatan untuk mengembangkan kemampuan-kemampuannya;
d. Kebutuhan akan pekerjaan untuk mempertahankan, atau melanjutkan hidupnya;
e. Kebutuhan seks untuk melanjutkan kehidupan;
f. Kebutuhan akan pendidikan, untuk meningkatkan kemampuan pribadi dalam pengembangan karien pribadinya.
Hambatan-hambatan terhadap pengembangan segi itu, menyebabkan timbulnya
perlawanan-perlawanan psikologis antara lain, sikap
revolusional/radikal.
C. Perhatian terhadap generasi muda bukan hanya lantaran mereka
merupakan generasi penerus (secara alamiah), tetapi tindakan dan
pendapat mereka pula yang sangat menentukan arah dan bentuk dari apa,
yang kelak mereka teruskan. Di samping perhatian terhadap struktur
demografis pemuda juga tak dapat diabaikan. Sebab ini berhubungan dengan
angkatan kerja yang pada gilirannya berpengaruh langsung pada
pendapatan nasional dan pendapatan per kapita. Diperkirakan, tahun 1981
pemuda Indonesia mencapai 49,50% (39.181.622) dan 51,40% pada tahun 1986
(44.873.903), bahkan diperkirakan tahun 2001 pemuda (usia 15-30 tahun)
mencapai jumlah 58.833.551 orang. Dari struktur umur, golongan penduduk
muda (0-9 tahun) menunjukkan prosentase lebih besar di daerah pedesaan,
tetapi golongan pemuda (15-30 tahun) jauh lebih besar di daerah kota.
Berarti, ada kecenderungan pemuda desa pindah ke kota mencari pekerjaan
atau sekolah. Angka-angka berikut dapat merupakan indikator: pemuda
Jakarta 33%, Jawa Barat 27,6%, Jawa Tengah 27,8%, Jawa Timur 27,1%,
Yogyakarta 29,7%, Sumatera 30,1%, Kalimantan 29,3%, Sulawesi 20,6%, dan
lain-lain 27,3%.
Dalam hubungan komposisi pemuda itu, masalah lapangan kerja menjadi
persoalan raksasa. Tahun 1976-1981, angkatan kerja potensi diperkirakan
bertambah 15.671.885 dengan prosentase sekitar 60% berusia 10-24 tahun.
Tragisnya, 65% daripadanya masih merupakan pencari kerja pertama,
sementara yang sudah bekerja belum mencapai tingkat produktivitas
optimal. Dengan demikian, kenaikan produksi dalam masing-masing kegiatan
ekonomi tidak berbanding lurus dengan daya serap tenaga kerja baru oleh
kegiatan ekonomi yang ada. Sebenarnya di daerah pedesaan kesempatan
kerja bagi pemuda yang memiliki keterampilan khusus dan terbuka.
Lantaran kejenuhan kesempatan kerja di desa, pemuda yang tak punya
ketrampilan pun ikut ke kota. Keadaan bertambah kelut, dan tingkat
pengangguran meningkat.
D. Setiap terjadi perubahan masyarakat, generasi muda langsung
terlibat. Akan tetapi yang lebih terlibat adalah mereka yang terpilih,
pemuda elit. Yakni, mereka yang memperoleh kesempatan lebih banyak dalam
mengenyam pendidikan. Umumnya mereka berasal dari keluarga menengah,
tinggal di kota-kota. Yang lain, pada umumnya dari keluarga sederhana,
tinggal di desa-desa dan hanya sedikit yang mengenyam pendidikan.
Perbedaan menyolok antara kedua kelompok itu adalah tingkat kepekaan
mereka pada setiap peralihan suasana serta gejolak sosial yang ada. Yang
'elit' lebih cepat berkeinginan untuk merevisi harapan sosial, dan
mengadakan perumusan baru atas peranan mereka. Kelompok elit dengan
asumsi, bahwa pengetahuan dan horison pemikiran lebih siap. Dari lapisan
itu pula lahirlah para intelektual.
Peristiwa 1905, 1908, 1928, 1945, dan 1966 adalah peristiwa-peristiwa
besar yang sangat ditentukan pemuda, khususnya kelompok elit.
Sebenarnya, pemberian predikat 'elit' terhadap mahasiswa adalah tindakan
keliru, tetapi lantaran tingkat kebodohan, paternalistis-feodalistis
sangat tinggi dalam masyarakat, maka mereka dipaksa untuk menyapa
sebagai 'wakil' dan 'penyalur aspirasi' mereka.
Gerakan mahasiswa tahun 1970-an dalam skala tertentu dianggap berbahaya
oleh pemerintah, bahkan terkadang dihadapi sebagai lawan. Mereka
ditindak secara kasar, dipukuli, ditahan, diteror, dan semacamnya. Jika
diteliti secara jeli, agaknya sikap pemerintah seperti itu bukan
lantaran tidak dipahaminya kondisi sosiokultural dan psikologis dari
pemuda dan mahasiswa, tetapi lebih banyak disebabkan oleh prestasi,
sikap feodalistis, dan lebih penting dari itu, keangkuhan untuk
mempertahankan dan melanggengkan kekuasaannya. Ini merupakan: a) produk
pembangunaan yang sedang berlangsung, dan b) suatu
kesengajaan yang sistematis dan terencana.
Padahal, dalam hal pelaksanaan penilikan dan pengawasan umum, gerakan
pemuda dan mahasiswa seperti itu sangat menolong dalam proses
pembangunan, karena gerakan pemuda dan mahasiswa umumnya spontan, dan
setiap gerakan spontanitas tidak dilatarbelakangi oleh pretensi-pretensi
politk tertentu. Adalah lebih berbahaya, jika mereka melakukan gerakan
bawah tanah secara diam-diam karena dibatasi ruang geraknya, sebab
konsolidasi dan perpaduan hati nurani secara alamiah, khususnya di
kalangan pemuda tidak bisa dihalangi oleh kekuatan apapun.
E. Akibat perkembangan sains dan teknologi, terjadi pergeseran
nilai-nilai khususnya di negara-negara sedang berkembang. Salah satu hal
yang menyolok adalah terjadinya peralihan peranan lembaga-lembaga adat
karena kehilangan kewibadaan, termasuk orang tua. Perbedaan latar
belakang pendidikan dan sosialisasi nilai-nilai tersebut, berakibat
terjadinya generation gap antara orang muda dengan orang tua. Tidak
dapat diabaikan di saat generasi tua berada pada titik kulminasi
kehidupannya, generasi muda cenderung memilih dan menentukan pilihan
lain, termasuk nilai.
Suatu proses regenerasi tidak hanya berupa proses yang otomatis dan
alamiah secara material, tetapi di dalamnya terkandung pula proses
pendidikan yang menunjang pertumbuhan nilai-nilai baru dalam generasi
muda sebagai alternatif terhadap nilai-nilai lama yang ada dan hidup
pada generasi terdahulu. Oleh karena itu, tidak dapat dibenarkan adanya
sikap atau tindakan politik yang mengatasnamakan 'regenerasi' demi
kelanggengan kepentingan politik suatu kekuatan politik, atau semangat
kekuasaan rezim tertentu. Oleh karena itu, diperlukan kejelasan atas
pewarisan nilai-nilai 45 bagi generasi muda.
Bersamaan dengan proses perkembangan sosial-budaya yang berlangsung
secara cepat seperti terjadinya ledakan penduduk, krisis ekonomi,
energi, dan sebagainya secara internasional, sehingga generasi muda
Indonesia juga menghadapi suatu ancaman terhadap eksistensi diri mereka
sendiri. Karenanya, dalam penanganan sistem pemerintahan dan
kemasyarakatan, mutlak diperlukannya pelibatan generasi muda.
Namun, keterlibatan generasi muda tersebut, harus lebih
dititikberatkan pada keterlibatan kualitatif yaitu, dalam setiap
kebijakan, peraturan perundang-undangan, hendaknya senantiasa tercermin
dan hadir aspirasi, serta keinginan pemuda. Dengan begitu, pemuda tidak
boleh dilihat secara parsial apalagi hanya sebagai obyek semata, tetapi
harus dihayati sebagai tonggak yang kokoh dalam satu ‘wawasan kehidupan’
masyarakat Indonesia.
Namun, jika diamati secara jeli pula, bahwa ditemukan serangkaian
problem generasi muda Indonesia saat ini, yaitu: adanya erosi idealisme
dan patriotisme; timpangnya jumlah generasi muda dengan fasilitas dan
sarana yang tersedia bagi pengemban kehidupannya secara utuh; kurangnya
gizi karena tingkat pendapatan yang rendah, sekaligus mempengaruhi
tingkat kecerdasan (di samping banyak yang tuna fisik, mental, dan
sosial); pengabaian nilai-nilai agama dengan merajalela pergaulan bebas
dan kenakalan remaja. Hal-hal tersebut di atas, erat kaitannya dengan
penyimpangan sosial selama ini, dan memperberat tantangan-tantangan
pokok yang dihadapi selain masalah kemiskinan, kebodohan, peledakan
penduduk, energi, pelayanan kesehatan umum, dan lain-lain.
Selanjutnya, generasi muda dapat pula dilihat penggolongan-penggolongan sebagai berikut:
a. Bertolak dari pengalaman kesejarahan (generasi muda pendobrak
eksistensi ekstern dan generasi muda pendobrak eksistensi intern);
b. Bertolak dari orientasi sikap sosial budaya (berorientasi ke atas dan berorientasi ke bawah);
c. Melihat dari produk sistem sosial (pemuda-pemuda sensitif, frustasi,
santai, oportunis, ugal-ugalan, pemuda pedesaan yang sedang berada pada
peralihan dari pemuda frustasi ke pemuda santai).
Pelaksanaan konsep-konsep pengembangan generasi muda harus mampu
melahirkan manusia berorientasi kualitatif, tidak materialistis
kuantitatif. Pemuda dipersiapkan untuk berorientasi kepada keadaan
sekitarnya, cinta lingkungan masyarakatnya. Mereka lalu merupakan insan
sosial-budaya, insan politik, dan mampu berwiraswasta. Pemuda harus
berorientasi ke depan, memiliki kepekaan dan tanggung jawab sosial
dengan bersikap mawas diri, kreatif, kritis, serta konstruktif. Manusia
seperti itu hanya ada jika mereka memiliki sifat-sifat jujur, adil,
demokratis, sederhana, bertanggung jawab, cerdas, berilmu, inovatif,
berbudi luhur, serta berakhlak imani. Dengan demikian, terbentuklah
generasi muda yang berintegritas serta berkepribadian yang utuh.
F. Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, maka Kelompok Cipayung berpendapat/bersikap sebagai berikut:
a. Menolak setiap bentuk penataan generasi muda dengan pewadahan yang
monolitik dan regimentaris, baik secara konsepsional maupun operasional
seperti pewadahan KNPI. Untuk itu, perlu dilakukan pemurnian kembali
atas isi, jiwa, dan semangat Deklarasi Pemuda 1973.
b. Menempatkan diri masalah generasi muda sebagai masalah bangsa secara
keseluruhan dengan cara melibatkan generasi muda secara kualitatif,
dalam setiap proses perumusaan kebijaksanaan dan perundang-undangan pada
seluruh sistem pemerintahan dan kemasyarakatan. Dalam hubungan ini,
Kelompok Cipayung tetap menempatkan diri sebagai moral force bangsa
dengan senantiasa menyumbang dan mengembangkan konsepsi-konsepsi
kemasyarakatan bagi pembangunan bangsa.
c. Dalam menyongsong masa depan bangsa, generasi muda perlu memurnikan
pemahamannya atas proses pewarisan nilai-nilai 1945 yaitu, nilai-nilai
yang terkandung dalam Proklamasi 17 Agustus 1945, Pancasila dan UUD
1945, idealisme, patriotisme, cinta tanah air, jujur, adil, dan
kesatria.
d. Dalam proses pengembangan generasi muda, pemerintah harus menempatkan
diri sebagai ‘penyedia’ fasilitas dan sarana, serta bertindak secara
adil dan merata, sambil bersikap Tut Wuri Handayani.
Penutup
Demikian seluruh pikiran ini disampaikan, yang berangkat dari sejarah
masa lampau, kenyataan hari ini dan cita-cita di masa datang, sebagai
salah satu sumbangsih yang datang dari dalam lubuk hati yang paling
dalam yang tulus, ikhlas, dan murni sebagai persembahan kepada Ibu
Pertiwi tercinta, di akhir tahun ini. Kesadaran, bahwa hari-hari di
belakang adalah hari-hari perjuangan dan pengorbanan dalam pengabdian
yang sulit, namun yang telah dihadapi dan dilewati dengan penuh
konsistensi tanpa pamrih, tetapi yang adalah bagian dari kekayaan dan
sejarah republik ini.
Dengan menembus waktu dan membentuk sejarah, Kelompok Cipayung akan
tetap hadir dalam kehidupan ini, sebagai bagian dari sejarah kemarin,
hari ini, dan masa depan bangsa ini, seta dengan penuh optimisme dan
sukacita kita bersama-sama akan menatap hari besok dalam perjuangan,
keyakinan, dan pengharapan akan suatu masa depan yang lebih baik yakni,
Indonesia yang Kita Cita-citakan seperti yang dimaksud di dalam
Pancadila dan Undang-Undang Dasar 1945.
Kami sudah coba yang terbaik bagi republik ini, dan sejarahlah yang akan menentukan nilai.Merdeka!
Disepakati di: Jakarta, tanggal 30 Desember 1980
Kelompok Cipayung
Pengurus Besar HMI Abdullah Hehamahua, Ketua Umum, Ahmad Zacky Siradj,
Sekretaris Jenderal; Presidium GMNI Soedaryatno, Ketua Komite Politik,
Kristiya Kartika, Sekretaris Jenderal; Pengurus Pusat PMKRI Wem Kaunang,
Ketua Presidium, Yosef Lalu Timu, Sekretaris Jenderal; Pengurus Pusat
GMKI Frans Allorerung, Ketua Umum, Togi R. Simatupang, Sekretaris Umum;
Pengurus Besar PMII Ahmad Bagdja, Ketua Umum, Muhyiddin Arubasman,
Sekretaris Jenderal.
PEMERATAAN PEMBANGUNAN DEMI TERWUJUDNYA DEMOKRASI EKONOMI
Kelompok Cipayung yang terdiri dari PP GMKI, PB HMI, PP PMKRI, PB PMII,
dan Presidium GMNI merupakan bagian tak terpisahkan dari generasi muda
Indonesia, senantiasa berusaha memberikan perhatian dan partisipasinya
dalam proses kehidupan berbangsa dan bernegara. Perhatian dan
partisipasi itu, dalam bentuk apapun, tidak lepas dari niat baik dan
dorongan rasa tanggung jawab terhadap masa depan bangsa dan negara.
Dalam rangka itu, Kelompok Cipayung memberikan perhatian dan pendapatnya
atas pidato Bapak Presiden Soeharto mengenai RAPBN pada tanggal 5
Januari 1981 di depan DPR sebagai berikut:
A. RAPBN 1981/1982 Berwatak GNP-isme
Melihat kepada RAPBN 1981/1982 yang disampaikan oleh Presiden RI tanggal
5 Januari 1981 di depan sidang pleno DPR RI, harus diakui ada
peningkatan jumlah sebesar lebih kurang 31% dibanding tahun anggaran
terdahulu. Akan tetapi menjadi pertanyaan, berapakah tingkat kenaikan
kualitatif yang terdapat di dalamnya, mengingat besarnya tingkat inflasi
dan pendapatan dari minyak berkisar pada angka 71% dari seluruh
penerimaan pajak, baik langsung maupun tidak langsung.
Hal tersebut berarti bahwa tingkat produktivitas sektor usaha tidak
bertambah, mengingat tidak adanya kenaikan berarti pada sektor minyak
(harga dinaikkan tetapi produksi menurun). RAPBN tersebut juga
menunjukkan masih besarnya subsidi negara untuk sektor pangan dan minyak
bumi yang menunjukkan masih rendahnya tingkat kemampuan masyarakat yang
secara kualitatif tidak berbeda dengan tahun anggaran terdahulu.
Pada hakikatnya, suatu RAPBN juga sekaligus menggambarkan orientasi
pembangunan nasional. Angka-angka menujukkan bahwa kali ini pun arah
pembangunan masih menitikberatkan sektor-sektor yang tidak berorientasi
kepada pemenuhan kebutuhan dasar, serta pengembangan kemampuan
masyarakat mayoritas untuk meningkatkan kesejahteraan sosialnya. Harga
BBM tidak dinaikkan, tetapi adakah jaminan bahwa harga-harga tidak naik
mengingat sangat terbukanya sistem ekonomi Indonesia terhadap
faktor-faktor inflasi? (Ekonomi pasar dengan asas free fight competition
dan ketergantungan kuat terhadap phenomenon ekonomi internasional serta
peningkatan jumlah rupiah yang beredar untuk membiayai proyek-proyek
pembangunan fisik yang dikuasai pemerintah).
Upah pegawai negeri dan ABRI dinaikkan, tetapi adakah jaminan
harga-harga tidak naik mengingat tradisi bahwa setiap upah senantiasa
diikuti pula oleh kenaikan? Bagaimana pula dengan nasib kaum buruh yang
tidak terlindungi oleh ketentuan mengenai patokan upah minimum yang
layak? Bantuan asing untuk bantuan proyek dan bantuan program sangat
besar. Berapa besarkah bagian untuk sektor-sektor pendidikan dan
human-investment lainnya? Bukankah bantuan tersebut lebih ditujukkan
untuk pembangunan proyek-proyek yang nantinya hanya akan menunjang
pertumbuhan usaha-usaha penanam modal asing yang bersifat pasar modal?
Tidak Jelas, pendekatan manakah yang akan digunakan dalam rangka
pelaksanaan pasal 33 UUD 1945. Berapa besar pula porsi pembelanjaan dan
subsidi negara bagi pembangunan sektor koperasi yang meliputi pendidikan
keterampilan, pembentukan sarana, perkreditan, dan sebagainya?
Orientasi pertumbuhan dan watak GNP-isme antara lain, digambarkan oleh
sistem ekonomi pintu terbuka meliputi liberalisme perdagangan luar
negeri, pemasukan modal asing tanpa seleksi dan adanya ketergantungan
terhadap pinjaman luar negeri dalam menopang kebijaksanaan-kebijaksanaan
pembangunan, adanya sektor dualistik yang berat sebelah' (sektor
tradisional yang diabaikan dan sektor modern yang didahulukan).
Eksplisit, orientasi tersebut mengandung elemen-elemen ekspansi ekonomi
yang harus terjadi melalui proses industrialisasi dan pengembangan
sektor modern. Ekspansi ekonomi tersebut, kemudian dibiayai melalui
redistribution ressources kepada kalangan kapitalis yang dipercayai
mempunyai dan akan mempunyai kecenderungan menabung yang tinggi untuk
membiayai proses reinvestasi dan bantuan luar negeri dalam bentuk
pinjaman atau penanaman modal. Ciri-ciri tersebut seluruhnya
tergambarkan dalam RAPBN 1981/1982.
B. Pemerataan Menuju Pertumbuhan Ekonomi
RAPBN pada prinsipnya adalah penggambaran rencana pemerintah tentang pembangunan nasional. Oleh karenanya, RAPBN seharusnya:
a. Menekan kecenderungan memperkaya diri secara tak terbatas melalui
penyempurnaan sistem perpajakan, pembatasan tingkat keuntungan,
pembatasan kepemilikan alat-alat produksi (misalnya tanah), pembatasan
wilayah usaha komersial badan-badan usaha swasta, untuk memperkecil
jurang pemisah antara si kaya dengan si miskin. Termasuk di sini
pemerataan distribusi pendapatan untuk mencegah adanya disparitas
pendapatan yang menyolok di antara golongan-golongan masyarakat
b. Mengefektifkan penilikan dan pengawasan umum, serta memfungsikan
lembaga-lembaga pengawasan umum, agar dana-dana pembelanjaan negara yang
besar itu benar-benar diarahkan kepada pemenuhan kepentingan umum dan
memungkinkan adanya keleluasaan usaha-usaha pengembangan wilayah.
c. Membangun disiplin di kalangan aparatur negara dari yang tertinggi
sampai yang terendah, agar benar-benar melaksanakan fungsi pengabdian
masyarakat bukannya penguasaan masyarakat yang dapat dijadikan sebagai
alasan pembenar tindakan-tindakan yang melawan hukum dari
penyelenggaraan kekuasaan.
d. Merangsang pertumbuhan produksi dalam masyarakat produsen (tani dan
nelayan), dengan adanya subsidi negara dalam rangka penyediaan
bahan-bahan pokok (beras, gula, dan sebagainya), atau perlindungan bagi
mereka yang memproduksi bahan-bahan mentah (kopi, teh, karet, dan
sebagainya).
e. Menumbuhkan suatu iklim politik yang demokratis dan berkemanusiaan,
sehingga mendorong adanya partisipasi sosial dalam proses pembangunan
nasional.
C. Bantuan Asing dan Penanaman Modal Asing
Pada hakikatnya bantuan asing (pinjaman) maupun penanaman modal asing
tidak lain adalah upaya perluasan pengaruh politik dan mengembangkan
kekuasaan ekonomi. Oleh karenanya harus diperhatikan hal-hal sebagai
berikut:
a. Dalam rangka mengusahakan dan menerima bantuan
asing, kita harus bebas dari persyaratan-persyaratan apapun,
kecuali bahwa bantuan/ pinjaman tersebut akan dibayar kembali pada
saatnya.
b. Dalam rangka mengusahakan, menerima, dan memanfaatkan bantuan asing,
sektor pembangunan kemanusiaan harus mendapatkan perhatian utama dan
pengembangan industri-industri ringan.
c. Harus ada sikap politik yang tegas untuk menolak bantuan yang
ditawarkan, atau menolak persyaratan-persyaratan bagi sesuatu bantuan
asing, demi kehormatan bangsa dan negara dengan mengandalkan potensi
nasional (kekayaan alam dan bahan mentah lainnya).
Dalam hubungan dengan penanaman modal asing, maka harus diperhatikan :
a. Tidak diperlukan adanya penanaman modal asing yang memproduksi
barang-barang yang seyogyanya dapat pula dilakukan oleh kalangan usaha
dalam negeri secara kecil-kecilan tetapi merata, dengan bantuan dan
perlindungan yang layak dari negara.
b. Membatasi atau menghentikan sama sekali kegiatan usaha-usaha produksi
komoditi tertentu yang selama ini telah merangsang pertumbuhan sifat
konsumerisme (produksi barang-barang mewah seperti mobil sedan,
alat-alat elekronik mewah, dan sebagainya).
c. Tidak diperkenankannya penanaman modal asing untuk usaha-usaha vital
(penerbangan, perlistrikan, perkeretaapian, air minum, dan sebagainya).
d. Nasionalisasi perusahaan-perusahaan asing yang tidak memenuhi ketentuan-ketentuan dasar tersebut.
e. Penanaman modal asing tidak untuk melanggengkan keberadaannya
di dalam negeri, tetapi justru untuk menumbuhkan kemampuan di dalam
negeri sendiri agar secepatnya bebas dari pengaruh dan kekuasaan
modal
asing itu sendiri.
Khusus dalam hubungan ekonomi Indonesia-Jepang, harus diperhatikan hal-hal sebagai berikut:
a. Bahwa posisi historis Indonesia terhadap Jepang dan sebaliknya;
Jepang berhubungan nyawa dan berhutang darah terhadap bangsa Indonesia.
b. Bahwa dalam kenyataannya ekspansi ekonomi Jepang telah turut merangsang sifat konsumerisme dalam masyarakat.
c. Bahwa Indonesia bukan semata-mata wilayah pemasaran hasil-hasil
produksi Jepang, oleh karenanya hubungan yang dibina haruslah berwajah
kemanusiaan.
D. Demokrasi Ekonomi untuk Menegakkan Nasionalisme
Dengan melihat besarnya cadangan devisa serta prospek potensi minyak
bumi dan gas alam pada masa mendatang, tuntutan saat ini adalah:
a) turunkan harga barang-barang pabrik;
b) tingkatkan bantuan terhadap usaha-usaha koperasi;
c) tetapkan upah minimum yang layak bagi kaum buruh;
d) lindungi kaum tani dan nelayan dengan subsidi negara, melalui harga
minimum yang pantas bagi hasil-hasil usaha produksi beras, gula, ikan,
dan sebagainya;
e) hentikan segala usaha dalam penanaman modal asing yang memproduksi
barang-barang mewah dan barang-barang yang dapat dihasilkan/ diproduksi
oleh kekuatan-kekuatan ekonomi dalam negeri (produksi mobil sedan,
elektronik mewah, minuman ringan, susu, tekstil, dan sebagainya);
f) tinjau kembali sistem perkreditan yang menghambat perkembangan usaha-usaha kecil dan menengah yang dikelola oleh rakyat;
g) ubah orientasi pembangunan nasional, dari pertumbuhan menuju ke pemerataan ekonomi;
h) dalam rangka pendekatan terhadap pembangunan ekonomi, maka pendekatan
harus mempertimbangkan kemungkinan-kemungkinan perkembangan pada masa
mendatang daripada pendekatan keamanan semata-mata;
i) dalam rangka penanaman modal asing, di samping telah memenuhi
persyaratan-persyaratan dasar tersebut di atas, harus pula memperhatikan
ratio yang layak antara nilai modal yang ditanamkan dengan tenaga kerja
yang diserap dari kalangan rakyat.
Jakarta, 8 Januari 1981
Kelompok Cipayung
Pengurus Pusat GMKI Frans Allorerung, Ketua Umum, Togi R. Simatupang,
Sekretaris Umum; Pengurus Besar HMI Abdullah Hehamahua, Ketua Umum,
Ahmad Zacky Siradj, Sekretaris Jenderal; Pengurus Pusat PMKRI Wem
Kaunang, Ketua Presidium, Paulus Andi, Sekretaris; Pengurus Besar PMII
Ahmad Bagdja, Ketua Umum, Muhyiddin Arubusman, Sekretaris Jenderal;
Presidium GMNI Soedaryanto, Ketua Komite Politik, Kristiya Kartika,
Sekretaris Jenderal.
MENINJAU KEMBALI HUBUNGAN INDONESIA-JEPANG
Sehubungan dengan kunjungan Perdana Menteri Zenko Suzuki ke Indonesia
dan negara-negara anggota ASEAN lainnya, sebagai perlawatan luar negeri
yang pertama setelah menduduki jabatan tersebut, dengan ini Kelompok
Cipayung yang terdiri atas Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI),
Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI), Himpunan Mahasiswa Islam
(HMI), Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), dan Perhimpunan
Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI) menyatakan pendapat dan
pendiriannya tentang hubungan Indonesia-Jepang sebagai berikut:
A. Kunjungan Perdana Menteri Zenko Suzuki ke Indonesia dan
negara-negara ASEAN lainnya itu, sepatutnya mendapat perhatian yang
kritis dan perlu dipelajari secara mendalam dengan sikap kewaspadaan
yang tinggi, sehubungan dengan watak kapitalisme Jepang yang cerdik dan
ekspansionis, karena watak yang demikian tadi telah dibuktikan oleh
sejarah yang berlumuran darah.
B. Kapitalisme Jepang, setelah sembuh dari sakitnya akibat Perang
Dunia II kini sedang tumbuh untuk mencapai titik puncaknya dan dengan
gigih sedang memperluas ekspansi ekonominya ke negara-negara Asia
Tenggara sebagai bagian ekspansi kapitalisme internasional. Gejala yang
kuat, yang kini sedang tumbuh untuk membangkitkan kembali militerisme
Jepang, adalah bagian integral dari kesadaran ekspansionis untuk
melindungi dan mengamankan perluasan pengaruh ekonominya di kawasan
Asia Tenggara di kemudian hari, dan oleh karenanya kehadiran ekonomi
Jepang sekarang ini pada hakikatnya tidak berbeda dengan kehadiran
Jepang sebelumnya dan selama Perang Dunia II dalam bentuk yang
ditingkatkan.
C. Ekspansi kapitalisme Jepang tadi, telah menjadikan Indonesia sebagai kawasan eksploitasi melalui praktek-praktek:
a. Menjadikan Indonesia yang berpenduduk 147 juta jiwa lebih sebagai
pasar untuk melemparkan produksi barang-barang jadi dan barang-barang
setengah jadi.
b. Menjadikan Indonesia sebagai tempat penanaman modal secara sepihak
sangat menguntungkan Jepang, terutama karena sangat rendahnya upah buruh
dan harga energi, serta tersedianya kemudahan-kemudahan yang diberikan
pemerintah Indonesia kepada modal asing.
c. Menjadikan Indonesia sebagai tempat untuk menguras sumber-sumber energi, mineral, dan kekayaan alam lainnya.
d. Menjadikan sebagian rakyat Indonesia semata-mata sebagai kuli dan
buruh yang diperas tenaga kerjanya untuk kepentingan produksi
kapitalisme Jepang.
D. Untuk melicinkan jalan bagi ekspansi kapitalismenya tersebut, Jepang
bersama-sama dengan negara-negara donor lainnya telah berhasil
memaksakan kepentingan ekonomi untuk mempengaruh kebijaksanaan ekonomi
yang dijalankan pemerintah Indonesia melalui ‘kartu bantuan luar
negeri’.
E. Ekspansi kapitalisme Jepang di Indonesia telah membuahkan bencana-bencana sebagai berikut kepada rakyat Indonesia:
a. Runtuhnya sendi-sendi perekonomian rakyat, khususnya sektor industri
tradisional yang mengakibatkan berjuta-juta rakyat kehilangan
kesempatan kerja dan mata pencahariannya.
b. Menjerat bangsa Indonesia ke dalam pola konsumtif
Barat, yang secara sistematis memang diatur untuk kepentingan perluasan
pasar melalui iklan-iklan, dan jaringan kebudayaan lainnya untuk
menumbuhkan konsumerime.
c. Menciptakan kantong-kantong elit di kota-kota besar, serta
menumbuhkan kapitalisme baru yang menjadi sebab ketidakadilan sosial
melalui hubungan-hubungan ekonomi yang merugikan rakyat kecil, terutama
rakyat pedesaan.
d. Secara umum ekspansi tersebut telah menciptakan ketergantungan
ekonomi Indonesia kepada modal asing dan pinjaman luar negeri.
e. Ekspansi ekonomi tersebut, juga berdosa besar atas rusaknya
lingkungan ekologi seperti penggundulan hutan, polusi, dan lain-lain,
serta pengurasan tanpa batas terhadap kekayaan laut, energi, mineral,
dan kekayaan alam lainnya.
Oleh karenanya, berdasarkan kerangka pikiran yang telah diuraikan di
atas, Kelompok Cipayung mengajak semua pihak untuk memperjuangkan
prinsip-prinsip sebagai berikut dalam hubungannya dengan ekspansi
kapitalisme Jepang:
A. Mengecam lahirnya kembali semangat militerisme Jepang, karena
menurut pengalaman sejarah, kemampuan militer Jepang yang kuat akan
dipergunakan untuk melindungi dan memperluas ekspansi kapitalismenya
tanpa memperhatikan nilai-nilai kemanusiaan. Karena itu, seruan Amerika
Serikat dan negara-negara Barat lainnya, serta sementara pemimpin
negara-negara ASEAN yang mendesak Jepang untuk meningkatkan kualitas
pertahanan, harus ditolak.
B. Menolak gagasan dibentuknya Masyarakat Samudra Pasifik (Pasific
Basin Community) dan keinginan Jepang untuk menjadi anggota tetap
Dewan Keamanan Perserikatan
Bangsa-Bangsa.
C. Menolak kemungkinan adanya kerja sama militer dengan Jepang dalam segala cara.
D. Meninjau kembali seluruh sistem dan struktur kerja sama ekonomi
dengan Jepang, karena sistem dan struktur yang sekarang berlangsung itu
telah menimbulkan bencana besar terhadap rakyat Indonesia seperti yang
dimaksudkan dalam butir (C) di atas.
E. Secara khusus, keterlibatan Jepang dalam mengembangkan industri di
Indonesia harus dititikberatkan pada pembangunan industri hulu
(up-stream industries), dan tidak kepada pembangunan industri-industri
hilir (down-strem industries) seperti yang dijalankan selama ini.
F. Pada hakikatnya tidak dapat menerima kehadiran modal Jepang yang
bersifat menumbuhkan, memelihara, dan melindungi kapitalisme di
Indonesia.
G. Supaya segera dihentikan pengurasan dalam skala besar terhadap
sumber-sumber energi dan mineral, serta kekayaan alam lainnya terutama
kekayaan laut dan hutan.
Jakarta, 11 Januari 1981
Kelompok Cipayung
Pengurus Pusat GMKI Frans Allorerung, Ketua Umum, Togi R. Simatupang,
Sekretaris Umum; Pengurus Besar HMI Abdullah Hehamahua, Ketua Umum,
Ahmad Zacky Siradj, Sekretaris Jenderal; Pengurus Pusat PMKRI Wem
Kaunang, ketua Presidium, Josef Lalu Timu, Sekretaris Jenderal; Pengurus
Besar PMII Ahmad Bagdja, Ketua Umum, Muhyiddin Arusbusman, Sekretaris
Jenderal; Presidium GMNI Soedaryanto, Ketua Komita Politik, Kristya
Kartika, Sekretaris Jenderal.
Pokok-Pokok Pikiran Kelompok Cipayung tentang
PEMBANGUNAN EKONOMI SETELAH 36 TAHUN MERDEKA
Dilandasi kesadaran sebagai generasi muda Indonesia untuk bertanggung
jawab mengisi kemerdekaan dalam perjalanan sejarah bangsa, Kelompok
Cipayung yang terdiri dari Pengurus Pusat GMKI, Pengurus Besar HMI,
Pengurus Pusat PMKRI, Pengurus Besar PMII, dan Presidium GMNI dalam
rangka memperingati Hari Ulang Tahun Kemerdekaan Republik Indonesia
yang ke-36, dengan ini menyampaikan pokok-pokok pikiran tentang
pembangunan ekonomi yang kini telah berjalan sebagai berikut:
A. Pembangunan dewasa ini yang berorientasi pada pertumbuhan ekonomi
telah mengakibatkan semakin luasnya kemiskinan massal dan semakin
tergantungnya perekonomian kita kepada luar negeri. Ini berarti,
pembangunan ekonomi belum memenuhi sasaran yang tepat untuk mengangkat
harkat dan martabat rakyat Indonesia. Oleh karenanya,
Kelompok Cipayung berpendapat untuk dipikirkan kembali secara serius
persoalan strategi pembangunan untuk memerangi langsung persoalan
kemiskinan massal dan ketergantungan ekonomi Indonesia.
B. Kelompok Cipayung berpendapat, agar pembangunan dapat berlangsung
kontinyu dan memiliki perspektif ke depan yang berjangkauan jauh, unsur
stabilitas politik hendaknya ditempatkan dalam usaha kebijakan
pembangunan itu sendiri. Ini berarti, setiap kebijaksanaan ekonomi yang
dijalankan harus menghasilkan stabilitas politik itu sendiri; dan tidak
sebaliknya, malahan membuka kondisi-kondisi yang rawan bagi stabilitas.
Hal ini dimaksudkan agar persoalan stabilitas tidak dijadikan dalih
untuk pengamanan kondisi-kondisi status quo yang mengakibatkan
terhambatnya inisiatif dan kreativitas rakyat di segala bidang. Dengan
demikian sekaligus harus dicegah meluncurnya dalih ‘stabilisasi’ menjadi
suatu ideologi.
C. Kebijakan ekonomi yang selama ini dijalankan untuk memaksimalkan
pinjaman luar negeri dan modal asing melalui persetujuan-persetujuan
bilateral atau dalam rangka IGGI hendaknya segera dihentikan. Hendaknya
disadari bahwa kebijakan ekonomi yang memaksimalkan pinjaman luar negari
dan modal asing ternyata telah menghancurkan sendi-sendi perekonomian
rakyat. Juga perlu dipertanyakan, apakah kebijakan ekonomi yang demikian
tadi sebenarnya tidak hanya untuk memenuhi kepentingan ekonomis, dan
gaya hidup konsumerisme golongan elit ekonomi yang sudah mapan saja.
D. Kelompok Cipayung berpendirian, mutlak perlu untuk segera dijalankan
kebijakan ekonomi yang bertumpu pada kekuatan diri sendiri dengan
ciri-ciri sebagai berikut:
a. Meminimalkan pinjaman luar negeri dan modal asing sehingga pinjaman
luar negeri dan modal asing tersebut hanya bergerak pada hal-hal yang
vital yang tidak bisa diperoleh di dalam negeri, khususnya sektor
industri hulu yang menggunakan teknologi tinggi,
b. Melepaskan ketergantungan dari negara-negara industri maju dan memerangi produksi serta impor barang-barang konsumerisme,
c. Peranan modal asing untuk memproduksi barang-barang harus ditekan ke
titik minimal, serta keharusan untuk menggunakan dan memanfaatkan
segala sumber daya dan teknologi yang ada di dalam negeri,
d. Pemerintah tidak boleh mengintrodusir barang-barang yang tidak dapat
dijangkau oleh daya beli mayoritas rakyat melalui kebijaksanaan apapun,
e. Pemerintah secara sungguh-sungguh memberikan proteksi maksimal kepada sektor perekonomian rakyat.
E. Kelompok Cipayung berpendapat, pembangunan koperasi saat ini kurang
sungguh-sungguh ditangani dan masih bersifat mobilisasi yang kurang
menumbuhkan inisiatif dan kondisi-kondisi yang menopang bagi pertumbuhan
koperasi dari bawah. Sehubungan dengan ini, upaya pembangunan koperasi
haruslah dikaitkan dengan kebijakan ekonomi yang mengandalkan kekuatan
diri sendiri, serta perlu dikembalikan citra koperasi di tengah-tengah
masyarakat, agar koperasi mampu menjadi tiang utama perekonomian
nasional kita.
F. Kelompok Cipayung berpendirian bahwa, untuk memerangi ketidakadilan
ekonomis dan menegakkan prinsip keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia, perlu dibangun kemauan politik rakyat yang kuat untuk
mendukung tujuan-tujuan tersebut. Dengan demikian, terwujudnya cita-cita
keadilan sosial tidak semata-mata tergantung pada kemauan politik pihak
pemerintah saja. Hal ini sejalan dengan prinsip ‘kedaulatan ada di
tangan rakyat’, dan merupakan satu-satunya cara untuk menghindari
bertambah kuatnya aliansi antara penguasa dengan pengusaha.
G. Kecenderungan yang semakin kuat untuk bertambah eratnya aliansi
antara penguasa dengan pengusaha dalam menggerakkan roda pembangunan,
mempunyai akibat yang serius terhadap nasib sektor perkonomian rakyat
dan sekaligus berakibat menekan majunya hak-hak politik rakyat. Dalam
skala yang lebih luas, aliansi tersebut merupakan alat yang strategis
untuk mengintegrasikan perekonomian kita ke dalam pelukan sistem
kapitalisme dunia, di mana perusahaan-perusahaan multinasional
memegang peranan kunci yang sangat merugikan.
H. Kelompok Cipayung mensinyalir, pembangunan selama ini banyak
didominasi oleh peranan pemerintah untuk mengatur semua jalannya
pembangunan, sehingga kurang menumbuhkan inisiatif dan kemampuan rakyat.
Dalam keadaan demikian pemerintah akan nampak semakin kuat; tetapi
kondisi rakyat dan ketahanan bangsa semakin melemah.
I. Kelompok Cipayung berpendapat bahwa sukses yang berhasil diraih
oleh pemerintah untuk meningkatkan laju pertumbuhan ekonomi selama ini
lebih banyak ditentukan oleh bonansa minyak. Tetapi, sementara itu,
pengawasan terhadap Pertamina yang hanya disandarkan pada pihak
pemerintah telah terbukti kurang bisa mengatasi kebocoran terus-menerus
yang terjadi pada perusahaan negara itu.
J. Untuk meningkatkan dan mengefektifkan pengawasan terhadap jalannya
pembangunan, Kelompok Cipayung berpendapat agar aparat pengawasan yang
ada dalam tiap-tiap departemen atau lembaga lainnya dikembalikan menjadi
aparat lembaga-lembaga pengawasan yang sebenarnya, yaitu Kepolisian
Negara, kejaksaan dan Badan Pemeriksa Keuangan.
K. Menyadari akan buruknya nasib buruh yang berkepanjangan karena
standar upah minimal yang tidak memadai, dan adanya kenyataan peranan
pemerintah yang kurang menyatu dengan pihak buruh dalam penyelesaian
kasus-kasus perburuhan, Kelompok Cipayung memandang perlu untuk adanya
jaminan hukum terhadap tuntutan-tuntutan buruh yang berusaha memperbaiki
nasibnya.
L. Kelompok Cipayung melihat, pendidikan selama ini masih diperlakukan
sebagai pelengkap pembangunan ekonomis dan masih merupakan barang mewah
dalam masyarakat. Selama kebijakan pendidikan seperti ini diteruskan,
pendidikan hanya akan dinikmati golongan elite ekonomi yang akan
berakibat sentralisasi dan akumulasi kekayaan, serta kekuasaan pada
golongan okonomi tersebut. Oleh karenanya, perlu diupayakan secara
sungguh-sunguh agar pendidikan depat dinikmati oleh seluruh warga negara
sebagai hak mereka.
Penutup
Apa yang dilakukan hari ini adalah hasil dari kemarinnya, dan apa yang
dikatakan hari ini tidak berbeda dengan hari kemarinnya, hanya berbeda
dalam pergeseran kata-kata saja. Apa yang kita lakukan hari ini adalah
untuk hari esoknya yang lebih baik. Untuk itu, perlu secara
terus-menerus mengadakan reorientasi dan re-evaluasi dalam mengisi
cita-cita kemerdekaan, guna menebus amanat penderitaan rakyat dengan
berlandaskan pada Pancasila dan UUD 1945 yang merupakan kesepakatan Orde
Baru dan seluruh bangsa Indonesia. Merdeka!
Jakarta, 14 Agustus 1981
Kelompok Cipayung
Pengurus Pusat GMKI Alex F. Litaay, Pejabat Ketua Umum, Togi R.
Simatupang, Sekretaris Umum; Pengurus Besar HMI Ahmad Zacky Siradj,
Ketua Umum, Ulil Amri Nawawi, Wakil Sekretaris Jenderal; Pengurus Pusat
PMKRI Marcus Mali, Ketua Presidium, Lowi Mengko, Sekretaris Jenderal;
Pengurus Besar PMII Muhyidin Arubusman, Ketua Umum, H.M. Thaher Husein,
Sekretaris Jenderal; Presidium GMNI Daryatmo M., Ketua Presidium,
Antonius Wantoro, Pejabat Sementara Sekretaris Jenderal.
MENGKAJI ULANG PERANAN PEMUDA DALAM SEJARAH
Peringatan Sumpah Pemuda Ke-53 Tahun oleh Kelompok Cipayung
A. Pemuda sebagai bagian tak terpisahkan dari bangsa Indonesia
mempunyai peranan yang cukup besar dalam menentukan perjalanan sejarah
bangsa. Hal itu dimungkinkan karena pemuda mempunyai nilai-nilai yang
kondusif (mendukung) ke arah itu, yaitu patriotisme, idealisme,
heroisme, solidaritas, dan penghayatan akan makna kepelbagaian latar
belakang sosial budaya, agama, dan sebagainya. Modal dasar tersebut
akan semakin berkembang manakala ditopang oleh iklim yang nyaman, yaitu
adanya rasa bebas dari keterkungkungan (penjajahan), yang karenanya akan
mampu melahirkan generasi yang mandiri dan bertanggung jawab dalam
menghadapi semua tantangan. Mengkaji ulang peranan pemuda dalam
perjalanan sejarahnya, amat perlu untuk mengembangkan potensi yang
terkandung dalam diri pemuda.
B. Angkatan 1928 yang melahirkan Sumpah Pemuda, merupakan tonggak
sejarah bagi bangsa Indonesia, kehendak mereka untuk bersatu nusa, satu
bangsa, dan satu bahasa merupakan manifestasi dari kesadaran mereka
terhadap beberapa hal, yaitu:
a. Kesadaran akan kebesaran bangsa, latar belakang sosial, budaya, dan agama yang berbeda.
b. Kehendak untuk bebas dari kungkungan penjajahan
selama berabad-abad.
c. Cita-cita kemerdekaan hanya bisa dicapai dengan adanya persatuan dari seluruh potensi bangsa.
Semangat sumpah pemuda ini pada gilirannya telah menjadi motivasi yang
kuat dan sumbangan yang sangat berharga dalam pencapaian cita-cita
kemerdekaan.
C. Angkatan 1945, telah merealisasi semangat dan cita-cita kemerdekaan
ke dalam bentuk yang lebih nyata dan berani, yaitu menghancurkan
pemerintahan penjajah Belanda untuk kemudian dibentuk suatu negara
merdeka yang diproklamirkan pada tanggal 17 Agustus 1945. Dalam era
pengisian kemerdekaan, bangsa Indonesia mempunyai kesempatan yang lebih
luas untuk berbangsa dan bernegara dengan landasan Pancasila dan UUD
1945. Sejarah telah membuktikan bahwa Pancasila dan UUD 1945 ternyata
mampu memberikan pengamanan atas keutuhan bangsa dari setiap tantangan,
di mana Pembukaan UUD 1945 memberi isyarat yang jelas akan maksud
didirikannya negara ini adalah untuk mensejahterakan dan mencerdaskan
bangsa, serta mewujudkan perdamaian dunia. Inilah nilai-nilai yang
telah disumbangkan oleh Angkatan 1945 yang perlu diwariskan kepada
generasi selanjutnya.
D. Semangat yang diwariskan oleh kedua angkatan tersebut merupakan
ekspresi dari ketidakrelaan terhadap setiap usaha pengendalian,
penguasaan, dan pembatasan terhadap kemerdekaan di mana kemerdekaan
adalah hak asasi setiap individu.
E. Memperingati Sumpah Pemuda juga mempunyai makna keberanian menilai
terhadap perjalanan sejarah kepemudaan tanah air, yaitu sejauh mana
nilai-nilai yang telah diwariskan itu berkembang secara wajar.
Usaha-usaha konsepsional dan operasional untuk menjadikan generasi muda
terkendali yang akhirnya cenderung kepada pola monolitisme itu, cukup
memprihatinkan karena bertentangan dengan nilai yang telah diwariskan
oleh angkatan-angkatan yang terdahulu. Usaha-usaha seperti itu pada
gilirannya akan membuat generasi muda semakin sempit horizon
berpikirnya, tidak bisa terlepas dari serba ketergantungan, dan selalu
berorientasi ke atas. Dalam semangat dan momentum Sumpah Pemuda,
Kelompok Cipayung mengingatkan kembali akan pentingnya peranan pemuda
sebagai kekuatan moral yang mempunyai ciri selalu menolak setiap usaha
mengendalikan dan penguasaan terhadap kemerdekaan.
F. Generasi muda yang meliputi pemuda, pelajar, dan mahasiswa mempunyai
tanggung jawab moral terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara. Oleh
karena itu, perlu ditinjau kembali setiap kebijaksanaan yang tidak
mendukung terbentuknya kader-kader bangsa yang dinamis, kreatif, serta
bertanggung jawab. NKK/BKK misalnya, ternyata hanya mampu memproduk
mahasiswa yang egoistis dan eksklusif yang hanya sibuk dengan urusannya
sendiri-sendiri. Untuk itu, perlu diluruskan kembali dalam hubungannya
dengan perguruan tinggi sebagai lembaga ilmiah dengan tolok ukur otonomi
kampus dan kebebasan mimbar.
G. Dalam bidang kepemudaan, perlu dikembalikannya KNPI sebagai forum
komunikasi sesuai dengan Deklarasi Pemuda 1973. Deklarasi tersebut,
mengisyaratkan bahwa KNPI adalah forum untuk memperbincangkan
masalah-masalah pemuda dalam hubungan dan partisipasinya dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara.
Demikian bahan kajian yang disampaikan oleh Kelompok
Cipayung sebagai tanggung jawab moralnya terhadap dunia kepemudaan di tanah air.
Jakarta, 27 Oktober 1981
Kelompok Cipayung
Pengurus Besar HMI Imam Suhardjo H.M., Ketua, A. Rivai Hassan, Wakil
Sekretaris Jenderal; Presidium GMNI Soedaryanto, Ketua Komite Politik,
Baringin Pardede, Pejabat Sementara Sekretaris Jenderal; Pengurus Pusat
PMKRI Marcus Mali, Ketua Presidium, Lowi Mengko, Sekretaris Jenderal;
Pengurus Besar PMII Muhyiddin Arubusman, Ketua Umum, A. Suherman, Wakil
Sekretaris Jenderal; Pengurus Pusat GMKI Frans Allorerung, Ketua Umum,
Togi R. Simatupang, Sekretaris Umum.
Sumbangan Pikiran Kelompok Cipayung Kepada Menteri Muda Urusan Pemuda Mengenai
KEMUNGKINAN PEMBENTUKAN SUATU FORUM KOMUNIKASI ANTARGENERASI MUDA
Sebagai kelanjutan dari pertemuan antara Menteri Muda Urusan Pemuda
dengan Kelompok Cipayung pada tanggal 30 Oktober 1981, untuk
membicarakan kemungkinan terbentuknya suatu forum komunikasi
antargenerasi muda, dengan ini Kelompok Cipayung menyatakan sikap dan
pikirannya sebagai berikut:
A. Kelompok Cipayung sepakat dan memandang perlu untuk terbentuknya suatu forum komunikasi antargenerasi muda.
B. Forum komunikasi seperti yang dimaksud titik (A) di atas haruslah
merupakan suatu forum yang secara struktural berada di luar organisasi
KNPI. Prinsip ini telah disepakati pula oleh Menteri Muda Urusan Pemuda
dalam pertemuannya dengan Kelompok Cipayung tersebut di atas.
C. Sesuai dengan saran Menteri Muda Urusan Pemuda yang disampaikan
kepada Kelompok Cipayung dalam pertemuan tersebut di atas, agar Kelompok
Cipayung menyampaikan saran kepada Menteri Muda Urusan Pemuda untuk
memperbaiki pasal-pasal yang menyangkut Dewan Pertimbangan Pimpinan
Pemuda (DP3) dalam rancangan Anggaran Rumah Tangga KNPI yang diajukan
dalam kongresnya sekarang ini, dengan ini Kelompok Cipayung
menyampaikan saran-saran sebagai berikut:
a. Sesuai dengan prinsip bahwa suatu forum komunikasi
antargenerasi muda secara struktural adalah di luar organisasi KNPI,
maka bunyi pasal 18 Rancangan Anggaran Dasar Rumah Tangga tersebut harus
dihilangkan; dan dapat diganti sehingga berbunyi sebagai berikut:
’Pasal 18. DPP KNPI mempunyai hubungan konsultatif dengan Dewan
Pertimbangan Pimpinan Pemuda’.
b. Sebagai konsekuensi dari titik (a) di atas, maka kata-kata ‘dan
Dewan Pertimbangan Pimpinan Pemuda‘ dalam pasal 20 ayat 2 (d) Rancangan
Anggaran Rumah Tangga tersebut juga harus dihilangkan.
c. Kelompok Cipayung menyarankan agar Kongres KNPI mengeluarkan suatu
rekomendasi kepada Menteri Muda Urusan Pemuda, melalui keputusan
kongresnya, agar Menteri Muda Urusan Pemuda memprakarsai pembentukan
suatu forum komunikasi antargenerasi muda (dalam hal ini adalah Dewan
Pertimbangan Pimpinan Pemuda ).
Demikian saran-saran yang dapat disampaikan oleh Kelompok Cipayung, mudah-mudahan bermanfaat.
Jakarta, 31 Oktober 1981
Kelompok Cipayung
Pengurus Pusat GMKI Frans Allorerung, Ketua Umum, Polly O. Wowor, Wakil
Sekretaris Umum; Presidium GMNI Soedaryanto, Ketua Komisi Politik,
Antonius Wantoro, Pejabat Sementara Sekretaris Jenderal; Pengurus Besar
HMI Kurniawan Zulkarnaen, Ketua, Nitra Arsyad, Ketua; Pengurus Pusat
PMKRI Marcus Mali, Ketua Presidium, Lowi Mengko, Sekretaris Jenderal;
Pengurus Besar PMII Muhyiddin Arubusman, Ketua Umum, A.Suherman, Wakil
Sekretaris Jenderal.
Evaluasi Akhir Tahun Kelompok Cipayung
KEDAULATAN RAKYAT DALAM SISTEM DAN STRUKTUR POLITIK DEWASA INI
A. Hakikat kedaulatan rakyat menurut Undang-Undang Dasar 1945
menempatkan kekuasaan tertinggi berada di tangan rakyat, untuk
menentukan seluruh arah dan kehidupan perkembangan bangsa dan negara.
Pelaksanaan kedaulatan rakyat harus didukung oleh sistem dan struktur
politik yang demokratis, sehingga memberikan tempat bagi rakyat
melakukan hal-hak politiknya secara leluasa. Wujud dari kedudukan dan
peranan kedaulatan rakyat harus terungkap dalam perangkat demokrasi
seperti MPR, DPR, pemilihan umum, kepartaian, dan lain-lainnya yang
secara formal dan materiil harus mendukung dan menjamin kedudukan dan
penyelenggaraan kedaulatan rakyat.
B. Pengalaman kehidupan politik sebagai produk sistem dan struktur
politik yang diberlakukan selama ini, mengungkapkan ciri-ciri sebagai
berikut:
a. Lembaga MPR yang sekarang ini hanya bersifat formal institusional
belaka, karena tidak melaksanakan fungsinya telah menurunkan wibawa MPR
sebagai lembaga tertinggi dalam negara.
b. Lembaga DPR telah berubah fungsi sebagai lembaga penampung dan
pendengar persoalan belaka dari pihak eksekutif, sehingga fungsi
pengawasan yang merupakan tugas utamanya telah terabaikan.
c. Pemilu yang telah berlangsung hanya berfungsi
sebagai alat legitimasi terhadap status quo, telah
menguburkan kemungkinan terjadinya pembaruan dalam tatanan politik.
d. Partai politik dan Golongan Karya telah berubah fungsinya menjadi
alat perpanjangan kekuasan pemerintah, akibatnya menurunnya integritas
parpol dan Golkar, serta intervensi kekuasaan yang bertujuan
melanggengkan status quo.
e. ABRI sebagai pengawal dan pengaman negara telah meluas peranan
politiknya, sehingga semakin mengurangi peranan kekuatan sosial-politik
yang lain.
f. Kekuatan moral (moral force) sebagai partner perjuangan Orde Baru dan
sebagai suatu unsur yang merupakan keharusan dalam suatu kehidupan
politik yang sehat, telah dimatikan ruang geraknya.
g. Hilangnya hak-hak politik dari rakyat kecil seperti buruh,
buruh-tani, petani, dan nelayan telah melestarikan penderitaan dan
kemiskinan.
Melihat dan memahami ciri-ciri dari kehidupan politik yang terjadi
sekarang ini, seyogyanya meyakinkan semua pihak yang cinta tanah air
bahwa kedaulatan telah berpindah dari tangan rakyat, sehingga merupakan
tuntutan mendesak untuk segera mengadakan koreksi dan pembaruan terhadap
sistem dan struktur poltitik yang sekarang sedang berlangsung. Keadaan
ini bila terus dibiarkan, maka ‘lonceng kematian’ demokrasi tidak
terelakkan dan pada gilirannya akan menjadi petaka bagi kelestarian dan
ketangguhan bangsa dan negara yang berlandaskan Pancasila. Berdasarkan
kenyataan-kenyataan politik seperti di atas, dan didorong oleh hasrat
yang tulus ikhlas untuk mendekatkan Indonesia dalam kenyataan sekarang
ini kepada Indonesia yang dicita-citakan, maka Kelompok Cipayung
menyatakan pikiran dan sikapnya sebagai berikut:
a. Agar lembaga MPR sebagai pelaksanaan kedaulatan rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat yang mempunyai fungsi
pengawasan terhadap jalannya pemerintahan negara, maka perlu segera
diadakan perbaikan mengenai pengadaan dan penentuan komposisi
keanggotaan MPR dan DPR, pembaruan mengenai mekanisme kerja MPR dan DPR,
kepemimpinan MPR dan DPR, serta campur tangan terselubung penguasa
dalam kehidupan MPR dan DPR harus diakhiri. Pengadaan dan penentuan
keanggotaan MPR dan DPR yang diciptakan melalui suatu mobilisas politik
dalam pemilihan umum dan diskriminasi politik dalam penentuan komposisi
keanggotaan MPR dan DPR, harus ditinjau kembali. Persidangan MPR
seharusnya dilaksanakan lebih dari 1 kali dalam 5 tahun, agar memberikan
kesempatan bagi penyelenggaraan kedaulatan rakyat untuk mengevaluasi
kelangsungan kehidupan bangsa dan negara. Dominasi eksekutif terhadap
lembaga DPR telah menempatkan lembaga perwakilan tersebut hanya
berfungsi alat legitimasi terhadap kehendak penguasa. Ketidakberdayaan
lembaga perwakilan tersebut untuk menjalankan pengawasan terhadap
jalannya pemerintahan, telah mengakibatkan penderitaan rakyat dan
kerugian negara seperti ‘pemberangusan’ hak-hak asasi manusia,
merajalelanya korupsi, dan kesewenangan lainnya semakin meluas di dalam
kehidupan masyarakat. Di samping itu untuk menghilangkan kekaburan dan
manipulasi hak-hak politik rakyat, dan perangkat lembaga-lembaga
demokrasi yang ada, maka pemisahan kepemimpinan antara MPR dan DPR yang
selama ini menyatu dalam satu kepemimpinan, merupakan keharusan untuk
dipisahkan.
b. Pemilihan umum yang telah diselenggarakan dua kali selama Orde
Baru ini, belum menampilkan nafas dan wajah demokrasi. Secara
kualitatif Pemilu tidak dapat dikatakan sebagai sarana pendidikan
politik seluruh rakyat, sarana penegakan nilai-nilai demokrasi
Pancasila, dan sebagai momentum ‘penyerahan’ kedaulatan rakyat kepada
segenap wakil-wakilnya, manakala Pemilu hanya disemangati oleh
tujuan-tujuan legitimasi bagi penguasa. Pengalaman Pemilu selama ini
menunjukkan bahwa kesukarelaan dalam Pemilu telah tenggelam di bawah
deru mobilisasi dalam rangka meningkatkan tingginya presentasi pemilih.
Oleh karena itu, pemilihan umum keberhasilannya hanya dapat dinilai bila
aturan-aturan penyelenggaraan dan proses pelaksanaan berlangsung secara
demokratis tanpa diwarnai oleh manipulasi dan intimidasi politik yang
mengebiri kebebasan rakyat untuk menyatakan hak politiknya. Di samping
itu, pemilihan umum akan dinyatakan sukses jika memunculkan
pemimpin-pemimpin baru yang mempunyai integritas serta lahirnya ide-ide
baru bagi pembaruan tatanan politik, serta mampu menjadi sarana kajian
terhadap kebijakan-kebijakan yang diambil pada masa pemerintahan
sebelumnya. Itu berarti yang paling utama diharapkan bahwa Pemilu akan
memungkinkan bangsa untuk menjawab tantangan masa depannya, berupa
pemecahan masalah-masalah dasar yang dihadapi yang berhubungan dengan
penyelenggaraan kedaulatan rakyat, dan pembebasan rakyat dari belenggu
penderitaan dan kemiskinan yang telah berlarut-larut. Sehubungan dengan
hal-hal tersebut, kepada semua pihak diharapkan agar mempunyai sikap
etis dan keberanian moral untuk tidak merampas kebebasan rakyat dalam
menggunakan hak-hak politiknya pada setiap Pemilu.
c. Partai politik dan Golongan Karya sebagai bagian integral dalam
suatu tatanan politik yang demokratis yang fungsinya sebagai penyalur
aspirasi hak-hak politik massa rakyat, telah terbelenggu oleh sistem dan
struktur yang menempatkan partai politik dan Golongan Karya tidak
berfungsi lagi sebagai sarana demokrasi, tetapi telah berubah fungsi
menjadi alat legitimasi dari kekuasaan yang ada. Oleh karena itu,
pengembalian integritas dan otonomi partai merupakan kebutuhan yang
sangat mendesak dan hal ini membutuhkan perubahan-perubahan yang
mendasar pada semua aturan-aturan yang diberlakukan kepada kehidupan
partai politik dan Golongan Karya selama ini, antara lain Undang-Undang
Pemilihan Umum dan Undang-Undang Kepartaian. Pemahaman bahwa
melaksanakan pemilihan umum tidak berarti bahwa, demokrasi telah
berjalan apabila integritas partai politik sebagai peserta Pemilu tidak
dibiarkan berkembang secara wajar. Semakin besar peranan “lembaga izin”
bagi kehidupan partai politik (rapat, kongres, recalling) telah
memberikan peluang bagi intervensi penguasa baik secara langsung maupun
terselubung, sehingga semakin mempersempit peranan partai politik
sebagai lembaga aspirasi politik. “Lembaga izin” yang dikuasai oleh
penguasa telah menyumbat partisipasi politik dari massa politik yang
pada gilirannya semakin mematikan partai politik sebagai lembaga
aspirasi politik. Oleh karena itu, penghapusan “lembaga izin” dari
penguasa bagi partai politik merupakan tuntutan demokrasi agar
pertumbuhan demokrasi dapat berkembang secara bebas dan wajar.
d. Suatu kenyataan yang tidak terbantahkan bahwa peranan ABRI dalam
kehidupan sosial-politik semakin meningkat dan menentukan. Pengalaman
historis kehidupan berbangsa dan bernegara, telah memungkinkan peranan
ABRI yang begitu besar dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Namun,
menjadi kegelisahaan bagi rakyat terutama pada masa-masa yang akan
datang, di mana akan mucul generasi muda ABRI yang tidak mempunyai
pengalaman keterlibatan langsung dengan kegetiran kehidupan dan
perjuangan rakyat, seperti yang terjadi selama perang rakyat untuk
mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia. Oleh karena itu, pada
masa-masa yang akan datang di mana ABRI mempunyai kewajiban dan tanggung
jawab untuk menumbuhkan dan mengembangkan kehidupan demokrasi
sehari-hari dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara,
melalui pengurangan peranan ABRI dalam politik sehingga semakin
terwujudnya suatu masyarakat tertib sipil sebagaimana yang dikehendaki
oleh Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Untuk menuju pada keadaan
demikian ini, maka mulai sekarang seharusnya ABRI memberikan jaminan
pengamanan bagi keluasan gerak pelaksanaan kritik-kritik sosial di dalam
masyarakat.
e. Pelaksanaan kedaulatan rakyat tidak hanya dinyatakan atau
digunakan satu kali dalam lima tahun, tetapi harus diberlakukan
sehari-hari dalam kehidupan politik. Oleh karena itu, perjuangan hak-hak
politik dari massa rakyat lapisan bawah seperti buruh, buruh-tani,
tani, dan nelayan harus mendapatkan jaminan penyelenggaraan hak-hak
politik mereka. ‘Pemberangusan’ hak-hak politik massa rakyat lapisan
bawah pada akhirnya merupakan pelestarian dengan sengaja penderitaan dan
kemiskinan mayoritas rakyat Indonesia. Oleh karena itu, penataan ulang
atas pranata-pranata sosial seperti organisasi buruh-tani, petani,
nelayan, dan lain-lain harus dilaksanakan sehingga penempatan
organisasi-organisasi tersebut tidak lagi semata-mata sebagai alat
penguasa politik dan ekonomi seperti yang terjadi selama ini dapat
dihindari.
Dalam semangat solidaritas dan tangung jawab untuk kelestarian bangsa
dan negara, maka kami mengajak semua pihak untuk sungguh-sungguh
memikirkan dan mengambil langkah-langkah guna penyelesaian dan pembaruan
tatanan politik yang berlangsung sekarang ini, agar Pancasila dan
Undang-Undang Dasar 1945 dapat berlaku secara formal dan faktual
dalam kehidupan bangsa dan negara.
Jakarta, 24 Desember 1981
Kelompok Cipayung
Pengurus Pusat GMKI Frans Allorerung, Ketua Umum, Togi R. Simatupang,
Sekretaris Umum; Presidium GMNI Daryatmo. M., Ketua Presidium, Baringin
Pardede, Pejabat Sekretaris Jenderal; Pengurus Besar HMI H. Firdaus
Arsyad, Ketua, Harry Azhar Aziz, Sekretaris Jenderal; Pengurus Besar
PMII Muhyiddin Arubusman, Ketua Umum, Islail Umri, Sekretaris; Pengurus
Pusat PMKRI Marcus Mali, Ketua Presidium, Lowi Mengko, Sekretaris
Jenderal.
Keterangan Pers Pemimpin Kelompok Cipayung tentang
PEMBATALAN DISKUSI ‘KELOMPOK CIPAYUNG DALAM PENILAIAN’
Kelompok Cipayung yang berdiri pada tanggal 22 Januari 1972, telah
merencanakan serangkaian diskusi dengan tema, ‘Kelompok Cipayung Dalam
Penilaian’ untuk menyambut satu dasawarsa keberadaan Kelompok Cipayung.
Diskusi yang sedianya akan dilaksanakan pada tanggal 22-23 Januari 1982,
dimaksudkan untuk memberikan kesempatan yang seluas-luasnya bagi
generasi muda, masyarakat, dan unsur-unsur pemerintah agar memberikan
penilaian kepada eksistensi dan peranan Kelompok Cipayung dalam
masalah-masalah kepemudaan, masyarakat, bangsa, dan negara. Penilaian
tersebut diharapkan dapat membantu Kelompok Cipayung bersama-sama dengan
generasi muda lainnya untuk menentukan perspektif-perspektif baru dalam
mengembangkan kebersamaan untuk masa depan bangsa dan negara, untuk
mewujudkan Indonesia yang dicita-citakan.
Kelompok Cipayung menyadari sepenuhnya bahwa, masih terlalu banyak
kekurangan dalam diri Kelompok Cipayung yang perlu diperbaiki agar
Kelompok Cipayung dapat menjadi sarana perjuangan bangsa dan genersi
muda. Di samping itu, kelemahan-kelemahan sendiri Kelompok Cipayung
dalam perjalanannya masih menghadapi berbagai tantangan dari luar yang
kadang-kadang terjadi karena kurangnya pemahaman tentang Kelompok
Cipayung, dan keterlibatan generasi muda dalam persoalan-persoalan
pemuda, masyarakat, bangsa, dan negara. Namun di dalam
kelemahan-kelemahan tersebut, dalam banyak hal Kelompok Cipayung telah
tumbuh menjadi forum komunikasi generasi muda yang mampu mengatasi dan
melampaui berbagai perbedaan kultural yang ada dalam realitas masyarakat
Indonesia. Hal ini dapat terjadi karena motivasi beradanya dan
bergeraknya Kelompok Cipayung senantiasa menempatkan kepentingan masa
depan bangsa di atas kepentingan golongan untuk menuju Indonesia yang
dicita -citakan.
Tetapi keinginan luhur dari Kelompok Cipayung untuk menyebarkan ide
kebersamaan melalui rangkaian diskusi tersebut ternyata mengalami
hambatan, dan pada akhirnya pembatalan karena kesulitan mendapat
perizinan dari pihak pemerintah yang berwenang atas perizinan. Untuk itu
Kelompok Cipayung ingin menyampaikan beberapa hal sebagai berikut:
1. Menyampaikan permintan maaf kepada para penceramah, generasi
muda, pers, masyarakat, dan unsur pemerintah yang telah kami undang
untuk menghadiri acara diskusi di atas. Kami mengharapkan pengertian
bapak/ ibu dan saudara-saudara, acara tersebut terpaksa kami gagalkan
karena adanya faktor yang di luar kemampuan kami seperti yang telah kami
sampaikan di atas.
2. Menghimbau kepada pemerintah, agar menyederhanakan prosedur
pemberian izin dalam rangka memfaktualkan pasal 28 Undang-Undang Dasar
1945 yang menjamin kebebasan berkumpul dan menyatakan pendapat bagi
warga negara.
Demikianlah keterangan pers ini kami sampaikan, agar semua pihak dapat
mengambil hikmah serta langkah-langkah perbaikan dalam rangka memperluas
partisipasi masyarakat untuk menggunakan hak dan kewajibannya dalam
masalah-masalah yang dihadapi bangsa dan negara.
Jakarta, 23 Januari 1982
Kelompok Cipayung
Pengurus Pusat GMKI Frans Allorerung, Ketua Umum, Togi R. Simatupang,
Sekretaris Umum; Presidium GMNI Lukman Hakim A, Ketua Komite Organisasi,
Kristiya Kartika, Sekretaris Jenderal; Pengurus Besar HMI Ahmad Zacky
Siradj, Ketua Umum, Harry Azhar Azis, Sekretaris Jenderal; Pengurus
Pusat PMKRI Marcus Mali, Ketua Presidium, Lowi Mengko, Sekretaris
Jenderal; Pengurus Besar PMII Muhyiddin Arubusman, Ketua Umum, Ismail
Umri, Sekretaris Jenderal.
Pokok-Pokok Pikiran Kelompok Cipayung tentang
PEMBENTUKAN SUATU FORUM KOMUNIKASI ANTARGENERASI MUDA
Usaha untuk meningkatkan peranan generasi muda dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara adalah upaya yang luhur untuk tercapainya
cita-cita kemerdekaan. Ini berarti harus ada usaha-usaha yang aktif
dari generasi muda sendiri untuk selalu membangun kebersamaan melalui
proses komunikasi yang demokratis, dewasa dan prinsip untuk saling
menghargai satu sama lain. Keinginan luhur ini mendorong Kelompok
Cipayung untuk selalu membuka diri untuk berdialog dengan semua pihak,
baik dengan kalangan generasi muda sendiri maupun pemerintah, untuk
merumuskan kemungkinan-kemungkinan dibentuknya suatu forum komunikasi
antargenerasi muda yang konstruktif dan bertanggung jawab.
Sesuai dengan sumbangan pikiran Kelompok Cipayung kepada Menteri Muda
Urusan Pemuda mengenai hal ini yang dikeluarkan pada tanggal 31 Oktober
1981, dengan ini Kelompok Cipayung menyatakan pokok-pokok pikiran
sebagai berikut:
1. Suatu forum komunikasi antaragenerasi muda yang demokratis dan
didirikan di atas prinsip untuk saling menghargai adalah suatu bentuk
kongkrit untuk membangun kebersamaan yang luas dalam kalangan generasi
muda. Melalui suasana yang komunikatif dalam forum tersebut, generasi
muda akan dapat menjalankan dialog yang efektif untuk menjalankan
ide-idenya.
2. Forum komunikasi antargenerasi muda tersebut sekaligus akan menangkap
dan mengangkat berbagai persoalan yang dihadapi oleh generasi muda itu
sendiri secara bersama-sama.
3. Sesuai dengan prinsip untuk saling menghargai satu sama lain, forum
komunikasi tersebut haruslah siap untuk menampung keanekaragaman
pikiran dan gagasan; karena keanekaragaman pikiran dan gagasan tersebut
pada dasarnya adalah pencerminan totalitas sifat dan peri laku
kepemudaan.
4. Supaya tercermin nafas demokrasi di dalam forum tersebut, hal-hal
yang menyangkut mekanisme dan cara kerja forum komunikasi tersebut
diserahkan pada forum itu sendiri.
5. Sesuai dengan kesepakatan yang telah dicapai antara Kelompok Cipayung
dengan Menteri Muda Urusan Pemuda dalam pertemuan 30 Oktober 1981,
forum komunikasi tersebut secara struktural haruslah berada di luar
organisasi Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI). Hal ini sejalan
pula dengan jiwa pernyataan Ketua Umum DPP KNPI, yang dimuat surat kabar
‘Kompas’ baru-baru ini yang mempersilahkan Kelompok Cipayung untuk
menempuh jalannya sendiri dan tidak perlu terikat dengan KNPI.
6. Sesuai dengan janji Menteri Muda Urusan Pemuda dalam pertemuannya
dengan Kelompok Cipayung tanggal 31 Oktober 1981, Kelompok Cipayung
tetap menunggu prakarsa Menteri Muda Urusan Pemuda untuk membuka dialog
yang akan membicarakan fungsi, struktur, dan kemungkinan pembentukan
forum komunikasi yang dimaksud di atas.
Jakarta, 27 Pebruari 1982
Kelompok Cipayung
Pengurus Pusat GMKI Frans Allorerung, Ketua Umum, Liesje A. Sumampouw,
Pejabat Sementara Sekretaris Umum, Presidium GMNI Soedaryanto, Ketua
Komite Politik, Wimmy Ch. Riky, Sekretaris Jenderal; Pengurus Besar
HMIKurniawan Zulkarnaen, Ketua, Ahmad Rifa'i Hasan, Wakil Sekretaris
Jenderal; Pengurus Pusat PMKRI Marcus Mali, Ketua Presidium, Lowi
Mengko, Sekretaris Jenderal, Pengurus Besar PMII Muhyiddin Arubusman,
Ketua Umum, A. Suherman Hs., Wakil Sekretaris Jenderal.
Pesan Kelompok Cipayung
KEPADA RAKYAT INDONESIA DALAM MENGAKHIRI MASA KAMPANYE PEMILU '82
Merdeka!
A. Semangat emosional dan suasana panas yang kadang-kadang diikuti oleh
berbagai tindakan kekerasan yang mengakibatkan konflik berdarah,
sebenarnya merupakan akibat dari bertemunya diskriminasi, ketidakadilan
dan intimidasi politik yang inheren di dalam sistem dan struktur
politik dewasa ini, di satu pihak dan ungkapan kebebasan rakyat sebagai
refleksi dari kehidupan akumulatif yang menghendaki berlangsungnya
kehidupan demokratis dalam praktek berbangsa dan bernegara.
Kondisi seperti tersebut juga didorong oleh tema-tema yang disampaikan
oleh pemimpin-pemimpin politik selama masa kampanye tersebut yang tidak
menunjang usaha pendidikan politik dan pengembangan solidaritas bangsa,
telah menanamkan sentimen-sentimen sosial yang pada akhirnya dapat
menghancurkan sendi-sendi persatuan dan kesatuan bangsa. Tema-tema
kampanye tersebut telah merugikan masa depan kehidupan bangsa dan
negara, juga mengungkapkan bahwa bangsa semakin kekurangan
pemimpin-pemimpin yang mempunyai pandangan dan sikap kenegarawanan.
Perasaan adanya ketidakadilan dari generasi muda, akibat diskriminasi di
kalangan generasi muda melalui strategi pembinaan yang monolitik telah
ikut membantu tumbuhnya suasana kampanye yang tidak diharapkan itu.
Secara keseluruhan dapat dikatakan bahwa, selama masa kampanye tidak
terjadi pendidikan politik yang nampak adalah kepentingan-kepentingan
praktis untuk melanggengkan kekuasaan. Sadar atau tidak massa rakyat
terperangkap dalam arus mobilisasi umum yang mendominasi
kemeriahan-kemeriahan kampanye, sehingga ‘pesta demokrasi’ yang
diharapkan dari pelaksanaan Pemilu tidak terwujud. Hal ini juga
memberikan kesan seolah-olah pernyataan hak-hak politik secara bebas
dari rakyat dan generasi muda hanya bersifat sesaat dan situasional.
B. Pengalaman selama kampanye tersebut, hendaknya mengajak seluruh
lapisan dari bangsa untuk merenung ulang pengalaman pembangunan yang
telah dilaksanakan selama ini. Pembangunan ekonomi yang merupakan
prioritas telah berlangsung tanpa disertai pembaruan-pembaruan
struktural yang memadai, termasuk pengaturan penyaluran kehendak dan
kedaulatan rakyat. ‘Pemeliharaan’ struktur yang tidak adil tersebut,
dalam banyak hal telah menciptakan diskriminasi politik dan sosial
ekonomi, sekaligus telah memperluas perasaan tidak adil yang semakin
dalam dan meluas dalam kehidupan rakyat, baik sebagai individu maupun
sebagai kelompok masyarakat. Kehadiran generasi muda yang banyak
terlibat dalam aksi kekerasan politik yang terjadi selama masa kampanye
tersebut, juga telah menunjukkan kegagalan yang paling besar dari
strategi pembinaan generasi muda sekarang ini yang bersifat monolitik
diskriminatif. Pengalaman selama ini dan peristiwa selama kampanye
tersebut seyogyanya menyadarkan rakyat, generasi muda, dan pemimpin
bangsa yang cinta tanah air untuk meninjau kembali strategi pembinaan
generasi muda, sebab jika strategi tersebut diteruskan pada akhirnya
generasi sekarang hanya akan mewariskan benih-benih perpecahan yang
mengancam kehidupan bangsa pada masa yang akan datang.
C. Belajar dari pengalaman selama lebih dari satu dasawarsa khususnya
suasana dan kejadian selama kampanye Pemilu 1982, maka dengan ini
Kelompok Cipayung menyampaikan pesan-pesan kepada seluruh rakyat
Indonesia untuk merenungkan kembali hal-hal sebagai berikut:
a. Bahwa pembaruan struktural dalam seluruh aspek kehidupan
berbangsa dan bernegara termasuk struktur politik dan ekonomi,
merupakan kebutuhan mendesak bagi bangsa dan negara untuk menjawab
tantangan masa depan bersama, menuju Indonesia yang dicita-citakan. Jika
tidak terjadi pembaruan struktural, maka ketidakadilan yang telah
meresahkan rakyat serta suasana dan kejadian selama masa kampanye
berlangsung, akan terus-menerus berulang dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara pada masa yang akan datang. Kemandekan struktural akhirnya
menjadikan setiap pemilu tidak lagi berfungsi sebagai sarana demokrasi,
tetapi lebih banyak berfungsi sebagai sarana pelestarian ketidakadilan
dan penerusan diskriminasi politik dan ekonomi.
b. Bahwa bangsa dan negara pada saat ini telah sampai kepada suatu
situasi yang kritis, di mana semakin kurangnya pemimpin-pemimpin bangsa
yang mempunyai tindakan dan sikap sebagai seorang negarawan.
Kepemimpinan bangsa sekarang ini lebih banyak didominasi oleh
persekongkolan kelompok-kelompok yang mengutamakan kepentingan praktis
dan sesaat demi keuntungan pribadi serta kelompoknya, dan semakin asing
dengan pikiran-pikiran yang berorientasi kepada cita-cita rakyat yang
mendambakan tatanan masyarakat yang adil dan demokratis berdasarkan
Pancasila dan UUD'1945.
c. Kami memahami keresahan generasi muda yang disebabkan oleh struktur
politik yang memungkinkan pemimpin politik memperalat sifat alamiah
generasi muda yang emosional. Namun, demikian kami mengajak sesama
generasi muda untuk senantiasa bersikap kritis terhadap setiap
perkembangan yang terjadi, sehingga tidak mudah diperalat sebagai ‘ujung
tombak’ perpecahan tetapi lebih mengorientasikan pemikiran dan tindakan
ke arah pengembangan kebersamaan di antara generasi muda, untuk
membebaskan rakyat dari berbagai belenggu ketidakadilan dan penindasan.
Keterlibatan generasi muda merupakan kebutuhan yang mutlak dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara tidak hanya terbatas mengatasnamakan
masa depannya, tetapi peranan tersebut juga merupakan tuntutan hari ini
yang tidak dapat ditawar lagi. Konsep-konsep yang hanya mengkaitkan
generasi muda dengan masa depannya kadang-kadang disalahgunakan sebagai
‘obat bius’ untuk memudahkan menggiring generasi muda ke dalam rencana
monolitik yang pada akhirnya mengeliminir peranan generasi muda dalam
kehidupan politik sekarang ini. Menyadari hal ini, maka merupakan hak
dan kewajiban bagi generasi muda untuk berjuang bersama-sama dengan
rakyat guna mengadakan pembaharuan-pembaharuan struktural, sehingga
rakyat tidak terus-menerus menjadi korban janji-janji politik yang
diucapkan setiap menjelang pemilihan umum.
d. Dalam berbagai tingkat keresahan dan suasana ketidakadilan yang
dihadapi sekarang ini, kami mengharapkan agar rakyat dan generasi muda
tidak bersikap apatis, bahkan perlu meningkatkan kreativitasnya untuk
mewujudkan usaha-usaha pembaharuan dan tetap memelihara persatuan serta
kesatuan bangsa dalam keadaan apapun. Persatuan dan kesatuan bangsa itu
akan dapat ditingkatkan melalui perjuangan menghilangkan berbagai
bentuk diskriminasi dan ketidakadilan yang dihasilkan oleh penindasan
struktural yang telah menghalangi usaha perwujudan cita-cita bangsa.
D. Pesan yang kami sampaikan ini merupakan ungkapan kesadaran
Kelompok Cipayung untuk bersama-sama dengan rakyat dan generasi muda
Indonesia yang patriotik guna meneruskan perjuangan merealisasikan
cita-cita Proklamasi 1945. Kami menyadari bahwa dewasa ini sedang
terjadi kebangkitan kedasaran rakyat untuk memulai sejarah baru dalam
rangka mencapai hari depan yang lebih cerah. Pergerakan-pergerakan yang
mengemban ke dalam spiritual dan solidaritas kemanusiaan rakyat banyak
akan merupakan titik pembanding utama dalam memahami dan membuat
sejarah.
Jakarta, 26 April 1982
Kelompok Cipayung
Pengurus Pusat GMKI Frans Allorerung, Ketua Umum, Togi R. Simatupang,
Sekretaris Umum; Presidium GMNI Daryatmo. M., Ketua Presidium, Kristya
Kartika, Sekretaris Jenderal; Pengurus Besar HMI Imam Suhardjo H.M.,
Ketua, Harry Azhar Azis, Sekretaris Jenderal; Pengurus Pusat PMKRI
Marcus Mali, Ketua Presidium, Lowi Mengko, Sekretaris Jenderal; Pengurus
Besar PMII Muhyiddin Arubusman, Ketua Umum, Ismail Umri, Sekretaris.
Pendapat Kelompok Cipayung Mengenai
PENGEMBANGAN GENERASI MUDA PADA DASAWARSA MENDATANG
Kelompok Cipayung yang terdiri dari HMI, GMNI, GMKI, PMII, dan PMKRI
setelah mengikuti Seminar Rencana Strategis Pengembangan Generasi Muda
dan mendengar rumusan-rumusan yang dihasilkan mulai dari tanggal 20
sampai dengan 23 Desember 1982, Kelompok Cipayung berpendapat bahwa
pengembangan generasi muda dalam dasawarsa mendatang sangat perlu
memperhatikan :
1. Kesinambungan peran dan fungsi generasi muda agar dilihat secara
obyektif, untuk itu perlu adanya kondisi yang memungkinkan untuk
menjamin dan mendukung aktualisasi diri dari generasi generasi muda
sendiri.
2. Penglihatan yang obyektif terhadap generasi muda dimaksudkan adalah
untuk tidak melepaskan persoalan-persoalan generasi muda dalam
hubungannya dengan kehidupan kebangsaan yang lebih luas.
3. Persoalan-persoalan tersebut di antaranya adalah adanya suasana
ketidakpastian di kalangan generasi muda akibat kesenjangan antara
harapan-harapan atas peranan dan keterlibatannya dengan
kenyataan-kenyataan yang berbentuk usaha-usaha pengendalian cenderung
monolitik yang ini berarti mengingkari hakikat kemandirian dan
kreativitas bagi generasi muda itu sendiri.
4. Suasana ketidakpastian tersebut di atas akan semakin luas jika
dibaringi usaha-usaha yang selalu mempertentangkan orientasi politik di
satu pihak dengan orientasi pembangunan di pihak lain. Pada dasarnya
bahwa politik itu sebagai pemandu dan pemacu jalannya pembangunan.
5. Dalam ikhtiar untuk keluar dari ketidakpastian maka perlu adanya
semangat kepeloporan. Semangat kepeloporan tersebut, hanya dimungkinkan
apabila generasi muda merasa sebagai subyek dan penentu masa depan
bangsa.
6. Sebagai subyek pembangunan maka keterlibatan generasi muda, selain
dapat merasakan dan mengalami proses pembangunan juga dimungkinkan
munculnya ide-ide dan gagasan-gagasan baru yang dimaksudkan untuk
memperbaiki jalannya pembangunan itu sendiri.
7. Sebagai penentu masa depan bangsa, maka generasi muda harus memiliki
harga diri, kepribadian yang kuat, sikap moral, dan tidak selalu
menggantungkan diri pada kemapanan.
Dengan memperhatikan faktor-faktor dan keadaan seperti tersebut diatas
Kelompok Cipayung berkeyakinan bahwa masa depan generasi muda dalam
dasawarsa mendatang hanya dapat dicapai bila adanya sikap kepercayaan
dari semua pihak.
Jakarta, 23 Desember 1982
Kelompok Cipayung
Ahmad Zacky Siradj, Ketua Umum PB HMI; Daryatmo M., Ketua Presidium
GMNI; Johan Sanggelorang, Ketua Umum PP GMKI; Muhyiddin Arubusman, Ketua
Umum PB PMII; Marcus Mali, Ketua Presidium PP PMKRI.
Pokok-Pokok Pikiran Akhir Tahun 1982 Kelompok Cipayung tentang
PEMBANGUNAN MANUSIA SEUTUHNYA
Kami, Kelompok Cipayung yang terdiri dari Pengurus Besar HMI, Pengurus
Pusat GMKI, Pengurus Besar PMII, Pengurus Pusat PMKRI, dan Presidium
GMNI merasa terpanggil untuk senantiasa melakukan usaha-usaha ke arah
perwujudan cita-cita kebangsaan yaitu, tegaknya keadilan, kemerdekaan
dan kesejahteraan. Karena itu, proses pembangunan yang dilaksanakan
harus selalu mencerminkan pembuktian-pembuktian adanya usaha penegak
keadilan, kemerdekaan, dan kesejahteraan. Kelompok Cipayung berkeyakinan
apabila pembangunan yang berjalan dewasa ini tidak dalam usaha-usaha
tersebut di atas maka pembangunan telah mengingkari hakikat keberadaan
dan tujuannya yaitu, hakikat untuk membangun manusia seutuhnya.
Pada dasarnya membangun manusia secara utuh tidak lain adalah ikhtiar
melakukan pembangunan nilai-nilai kemanusiaan seperti harga diri,
kemerdekaan, solidaritas, keterbukaan, kesederhanaan, kejujuran, dan
penghargaan terhadap sesama manusia yang berbeda pendapat. Dengan
demikian, pembangunan fisik ekonomis yang bertujuan untuk meningkatkan
taraf hidup rakyat, hendaklah diletakkan dalam kerangka pengembangan
nilai-nilai lain di atas. Sehingga ikhtiar-ikhtiar dan
kebijaksanaan-kebijaksanaan yang ditujukan untuk meningkatkan taraf
hidup ekonomis tersebut tidak akan mengorbankan harkat kemanusiaan.
Sehingga manusia yang lahir dari proses semacam ini adalah manusia yang
mewujudkan dalam dirinya nilai-nilai kemanusiaan dan selalu menghargai
manusia di luar dirinya bukan atas dasar penilaian yang bersifat fisik
materi seperti kekayaan dan kekuasaan, tetapi atas dasar yang lebih
maknawi sifatnya, yaitu kemampuan seseorang itu untuk menyandang
nilai-nilai di atas.
Berpedoman atas pikiran-pikiran tersebut, maka Kelompok Cipayung berpendapat:
A. Bahwa adanya kecenderungan ideologisasi kekuasaan, di mana
kekuasaan tidak bersedia membuka diri terhadap kritik dan aspirasi yang
berkembang dalam masyarakat (rakyat) pada dasarnya merupakan proses
dehumanisasi kekuasaan. Ini berarti, proses ideologisasi kekuasaan tidak
hanya bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan yaitu nilai-nilai
yang terkandung dalam Pancasila, tetapi pada gilirannya dapat menafikan
setiap usaha yang menuju ke arah terwujudnya manusia Indonesia
seutuhnya. Untuk itu maka hubungan-hubungan kekuasaan yang tercermin
dalam hubungan-hubungan politik harus senantiasa menuju pada terwujudnya
tata kuasa yang lebih manusiawi, karena itu setiap institusi politik
harus ditegakkan pada landasan-landasan demokratis aspiratif dan harus
ditegakkan pada dasar partisipasi politik yang emansipatif, hal ini
ditempuh dalam rangka mengurangi kecenderungan institusi-institusi
politik yang mapan, hanya menjadi hak istimewa, ataupun pencerminan dari
kemapanan kedaulatan institusi-institusi politik hanya dipegang oleh
seorang atau sekelompok orang. Ini berarti, hubungan-hubungan politik
harus dapat membuka selebar-lebarnya bagi adanya usaha-usaha perbaikan,
sehingga membangun upaya dan sistem kontrol adalah yang sejajar/ inheren
dengan pelaksanaan kekuasaan. Karena itu proses pelaksanaan kekuasaan
juga berarti melakukan ikhtiar menghidupkan rakyat yang kritis, korektif
terhadap pelaksanaan kekuasaan tersebut, dengan jalan kembali
memfungsikan institusi-institusi kenegaraan secara proporsional dan
konstitusional.
B. Mengenai pembangunan di bidang ekonomi nampak lebih cenderung untuk
meletakkan pembengkakan di sektor industri padat modal dan konsentrasi
di sekitar kota sehingga orientasi sumber daya manusia hanya dilihat
sebagai perangkat yang pasif di dalam proses pembangunan tersebut.
Karena itu penitikberatan pengembangan bidang industri padat karya akan
mampu menghindarkan diri untuk melihat manusia hanya sebagai alat
produksi. Dengan demikian, proses industrialisasi dapat memelihara
pertumbuhan yang tidak terlepas dari pemerataan,dan sekaligus
berorientasi pada sumber daya manusia. Orientasi pada sumber daya
manusia yang dimaksudkan di sini adalah bahwa, manusia dapat
mengembangkan aspek-aspek kemanusiaan seperti harga diri, kemerdekaan,
keterbukaan, kejujuran yang pada dasarnya aspek-aspek inilah yang dapat
menopang terhadap kukuhnya makna produktivitas dalam kerangka
pembangunan ekonomi. Sebab jika pembangunan ekonomi tidak didasarkan
pada aspek-aspek kemanusiaan, maka pada dasarnya pembangunan ekonomi itu
sendiri terlepas dari pembangunan manusia seutuhnya. Dalam meninjau
pengembangan ekonomi ini, baik dalam sektor negara dan sektor swasta
diperlukan jiwa koperatif sehingga tidak menjadi monopoli sekelompok
orang-orang yang berjiwa eksploitatif, sehingga penanganan di sektor
koperasi untuk dapat mengembangkan jiwa kooperatif hendaknya harus dapat
ditumbuhkan dari bawah dengan senantiasa memegang semangat partisipatif
berswadaya, dihindarkan dari aspek-aspek eksploitatif, dan kapitalistik
tetap diberikan kesempatan-kesempatan yang leluasa bagi proses
pengembangan dirinya. Dengan menempatkan koperasi seperti ini tidak saja
dapat menjadikan koperasi sebagai soko guru ekonomi, tetapi lebih jauh
merupakan perwujudan dari identitas pembangunan ekonomi yang lebih
manusiawi. Menyangkut masalah dualisme pola ekonomi antara ekonomi kota
dengan ekonomi desa yang telah mengakibatkan semakin melebarkan jurang
antara kaum kaya dan kaum miskin, maka untuk itu perlu segera ditempuh
kebijakan-kebijakan yang dapat memelihara keseimbangan diantaranya:
Rintisan untuk pembangunan yang dimulai dari desa dengan kemudahan
pemilihan alat-alat produksi sektor pertanian dan sektor maritim,
sehingga mampu bertahan terhadap pola konsumsi yang ditawarkan oleh kota
dan tidak menghancurkan ekonomi desa, serta tidak membuat terasingnya
masyarakat desa dari desanya. Untuk itu perlu kembali ditempuh
distribusi yang merata dengan jalan menggalakkan kebijakan tentang
Iandreform dan perhatian terhadap industri tradisional atas dasar
kuantitas dan kualitas produksinya.
C. Mengenai masalah pola-pola budaya bangsa nampaknya lebih
mencerminkan proses budaya yang cenderung memihak pada pola nilai
manusia yang sangat digantungkan pada nilai-nilai kekayaan kebendaan dan
kekuasaan. Dengan demikian, pola budaya yang ditunjukkan lebih memiliki
karakteristiknya yang sangat vertikal, tertutup, berpola sentripetal,
takut pada kritik dan pendapat yang berbeda. Karakteristik seperti itu
pada gilirannya dapat menumbuhkan proses sakralisasi terhadap kekuasaan
yang dapat mengakibatkan lebih terasingnya rakyat dari rasa memiliki dan
rasa bertanggung jawab terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara.
Karena itu pola budaya seperti ini tidak dapat menumbuhkan partisipasi
terbuka yang dapat mendukung aktualisasi potensi diri dalam menuju
kwalitas orientasi sumber daya manusia. Untuk ini perlu dikembangkan
pola-pola budaya yang mendukung orientasi tersebut seperti pola budaya
yang bergaris horisontal, terbuka lebih berpola sentrifugal, dapat
menerima kritik dan akomodatif terhadap kenyataan-kenyataan yang
berbeda, sehingga kecenderungan yang terus-menerus tentang adanya
gejala-gejala seperti eufemisme (penghalusan bahasa) sebagai usaha
mengingkari diri dari kenyataan-kenyataan sebenarnya yang memang keliru
dapat dihindari atau ditiadakan.
D. Mengenai usaha pendidikan yang merupakan upaya mencerdaskan kehidupan
bangsa hendaknya ditempatkan dalam kerangka memberikan dimensi-dimensi
kualitas terhadap pengembangan sumber daya manusia yang ini berarti,
mengembangkan nilai-nilai dari pola-pola budaya yang memihak pada
aspek-aspek kemanusiaan secara utuh seperti, pengembangan yang seimbang
antara kemampuan-kemampuan fisik, spiritual, keterampilan, kecerdasan,
mental dan aspek moral. Dengan demikian output sistem pendidikan dapat
melahirkan kualitas-kualitas insan yang memiliki ciri; merdeka, cerdas,
dan susila. Dengan begitu dapat dihindari out-put pendidikan yang lebih
mengarah pada teknokratisasi, sistem pendidikan yang tertutup terhadap
aspek keilmuan yang luas, dan masyarakat dapat ditiadakan, sehingga
sistem pendidikan tidak diletakkan sebagai penyedia tenaga-tenaga alat
produksi tetapi mampu melahirkan gagasan-gagasan atau ide-ide baru yang
berusaha memperbaiki jalannya pembangunan. Industrialisasi pendidikan
akan melahirkan konsep kemanusiaan yang beku dan tidak merdeka.
E. Sebagai upaya ke arah menegakkan nilai-nilai kemanusiaan, maka perlu
adanya ikhtiar-ikhtiar yang dapat memperjelas hubungan-hubungan sosial
pada setiap strata sosial yang ada, terutama strata sosial paling bawah
dan lemah. Tegaknya nilai-nilai kemanusian seperti keadilan,
kemerdekaan, dan kesejahteraan tiada lain harus kembali ditegakkan
wibawa hukum. Dimaksudkan dengan menegakkan wibawa hukum ialah, pertama
agar hukum dapat menghindari dirinya dari hanya sekedar menjadi alat
kekuasaan. Kedua, dapat melindungi setiap kecenderungan-kecenderungan
yang anarkis bagi tegaknya kaidah-kaidah sosial dan terjaminnya hak-hak
dan kewajiban-kewajiban rakyat. Dengan demikian, menegakkan wibawa hukum
bukan sekedar membina sikap mental penegak hukum, menempatkan
institusi-institusi penegak hukum secara proporsional tetapi sekaligus
dapat menghentikan setiap penyimpangan-penyimpangan hukum.
F. Berkenaan dengan ideologi negara, maka sebuah ideologi sedikitnya memiliki tiga persyaratan:
a. Ideologi harus memiliki dimensi realitas di mana sebuah ideologi
harus didukung oleh realita masyarakat paling tidak realita masyarakat
tatkala lahirnya ideologi.
b. Suatu ideologi harus memiliki dimensi akomodatif yaitu, harus mampu
mengakomodasi isyarat-isyarat zamannya dan masalah-masalah yang terjadi
dalam masyarakatnya dengan tetap berpegang teguh pada esensi dan tujuan
ideologi tersebut.
c. Suatu ideologi harus memiliki dimensi idealisme, karena setiap
ideologi harus dapat menggambarkan dunia cita yang diharapkan oleh
masyarakat yang mendukung ideologi tersebut.
Karena itu, Pancasila sebagai sebuah ideologi harus memiliki ketiga
persyaratan tersebut di atas, dan dengan persyaratan-persyaratan
tersebut dapat diharapkan Pancasila tidak memiliki
kecenderungan-kecenderungan yang monolitik sehingga tidak menjadi
totaliter, karena dengan mempertegas persyaratan-persyaratan tersebut,
Pancasila akan dapat mengontrol dirinya dari setiap kecenderungan yang
bertentangan dengan semangat yang terdapat dalam Pancasila itu sendiri.
Demikianlah, pokok-pokok pikiran akhir tahun 1982 ini kami susun dalam
kerangka partisipasi kritis terhadap pembangunan, agar kiranya proses
jalannya pembangunan yang sedang kita jalankan ini dapat mendekatkan
kepada hakikat tujuannya yaitu, membangun manusia seutuhnya. Karena
dengan hakikat ini pula kita dapat terhindar dari proses pemiskinan
insani, tidak hanya miskin dalam ukuran-ukuran fisik material tetapi
miskin dari memperoleh kesempatan yang lainnya, sehingga dapat terhindar
dari tersumbatnya pengembangan sumber daya manusia.
Pokok-pokok pikiran ini juga diharapkan dapat mempererat rasa
solidaritas, persatuan, dan kesatuan bangsa terutama bagi kalangan
generasi muda, semoga!
Jakarta, 28 Desember 1982.
Kelompok Cipayung
Pengurus Besar HMI Ahmad Zacky Siradj, Ketua Umum, Harry Azhar Azis,
Sekretaris Jenderal; Pengurus Besar PMII Muhyiddin Arubarusman, Ketua
Umum, A. Suherman Hs., Sekretaris Jenderal; Pengurus Pusat GMKI Yohan
Sanggelorang, Ketua Umum, Sunggul Siahaan, Sekretaris Umum; Pengurus
Pusat PMKRI Marcus Mali, Ketua Presidium, Lowi Mengko, Sekretaris
Jenderal; Presidium GMNI Daryatmo. M., Ketua, Kristiya Kartika,
Sekretaris Jenderal.
Resume Studi Cipayung VI tentang
PEMBANGUNAN SWADAYA MASYARAKAT
22 JANUARI 1983
Menyadari pentingnya proses pembangunan yang memiliki hakikat tujuannya
membangun manusia seutuhnya, maka Kelompok Cipayung yang terdiri dari
Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa Islam (PB HMI), Pengurus Pusat Gerakan
Mahasiswa Kristen Indonesia (PP GMKI), Pengurus Besar Pergerakan
Mahasiswa Islam Indonesia (PB PMII), Pengurus Pusat Perhimpunan
Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PP PMKRI), Presidium Gerakan
Mahasiswa Nasional Indonesia (Presidium GMNI), dalam memperingati 11
(sebelas) tahun kelahirannya telah melakukan studi mengenai Pembangunan
Swadaya Masyarakat.
Sebagaimana disadari bersama bahwa pembangunan baik model, strategi,
metode dan hasil-hasilnya telah banyak sekali ditemukan macam-macam
ragamnya, sehingga sering ditemukan bahwa model, strategi, metode dan
hasil-hasil pembangunan yang diterapkan pada suatu masyarakat, terutama
masyarakat di negara-negara berkembang bukan saja dapat ditemukan
berbagai ketidak sesuaian bahkan sering pula berlawanan dengan
kenyataan-kenyataan yang ada serta kehendak cita-cita masyarakat itu
sendiri. Ini berarti bahwa dalam mempertahankan momentum pembangunan
dibutuhkan syarat yang paling mendasar yaitu, pengujian-pengujian
terhadap jalannya pembangunan mengenai sejauh mana proses pembangunan
tersebut telah dapat mendekatkan dirinya terhadap tuntutan tuntutan
masyarakat, terutama tuntutan-tuntutan yang bersifat
substansial (hakiki).
Dengan demikian hakikat pembangunan, yaitu membangun manusia seutuhnya
seperti di Indonesia misalnya, hendaknya didekati dengan model,
strategi, dan, metode yang lebih dimungkinkan dapat mendekati tujuan di
atas ialah yang bisa mengembangkan potensi manusia (sumber daya manusia)
yaitu, pembangunan swadaya masyarakat. Karena dalam pembangunan seperti
ini pembangunan swadaya, manusia bukan saja dapat membangun dirinya
sendiri sebagai manusia pembangun, tetapi sekaligus dalam waktu yang
sama dapat mengaktualisasikan potensi dirinya secara optimal.
Hal ini sangat mutlak dilakukan tatkala kenyataan cenderung menyempitkan
gerak dinamika masyarakat untuk melakukan proses aktualisasi potensi
diri. Ini terbukti oleh adanya indikasi gejala kemiskinan struktural,
bertambah besarnya jumlah tunakarya, serta kurang meratanya sumber
produksi bagi lapisan masyarakat yang paling bawah. Gejala ini
berlanjut ke arah tidak meratanya pengetahuan dan kemakmuran, yang pada
gilirannya berakibat jauh pada semua segi kehidupan baik politik,
ekonomi, hukum, pendidikan, dan sosial-budaya.
Berlandaskan pada pikiran di atas, maka Kelompok Cipayung dalam studinya menyoroti beberapa segi sebagi berikut:
Bidang Politik
Agar pembangunan swadaya dapat terwujud, maka hendaknya ditegakkan dalam
sistem politik yang memiliki orientasi terhadap swadaya masyarakat.
Sistem politik yang memiliki orientasi seperti ini yaitu, yang memiliki
sifat selalu mengutamakan manusia. Ini berarti, prasyarat bagi sistem
ini selalu mengutamakan perwujudan pemerataan hak-hak politik dan
pemerataan kesempatan berpolitik. Bentuk pemerataan ini dapat diwujudkan
apabila dibaringi dengan peningkatan kemampuan masyarakat dalam
berpolitik yang ditopang oleh proses yang semakin merata dalam
pendidikan dan penghasilan. Sistem politik yang berorientasi swadaya ini
juga memiliki sifat yang terbuka bagi tumbuhnya budaya kompetisi yang
didasarkan atas keseimbangan dan persamaan. Untuk ini, perlu adanya
pengaturan yang adil, terbuka, jujur dan bersih. Dengan demikian,
suasana kompetisi yang tercipta bukanlah pertarungan tanpa batas, atau
konflik tanpa konsensus tetapi harus ditemukan sebagai ikhtiar mengisi
kehidupan berbangsa dan bernegara dalam kerangka usaha memperoleh yang
terbaik yang sesuai dengan cita-cita kemerdekaan, Pancasila, dan
Undang-Undang Dasar 1945.
Hal ini dapat ditempuh dengan menumbuhkan suasana yang dialogis baik
antara individu-individu pemegang kekuasaan juga dengan
individu-individu dan kelompok-kelompok yang lebih luas yang ada di
dalam masyarakat, sehingga suasana kompetisi bukan saja tumbuh di
tingkat kelembagaan, tetapi juga tumbuh di dalam masyarakat karena
dengan ini pula masyarakat luas dapat berperan serta dalam proses
politik. Dengan demikian dapat dihindari proses politik yang terpusat
hanya di kalangan elit yang terbatas dan sekaligus kehidupan politik
dapat membuka peluang bagi masyarakat untuk merealisasikan hak-hak
politiknya, sehingga proses penyertaan rakyat dalam pengambilan
keputusan politik lebih optimal adanya. Ini berarti juga bangsa dan
negara dapat terhindar dari kehidupan politik yang elitis dan
formalitis.
Selain hal-hal tersebut di atas, maka dalam mewujudkan sistem politik
yang berorientasi swadaya ini juga harus ditopang oleh proses
sosialisasi politik yang tumbuh dan berkembang dari bawah.
Bidang Ekonomi
Pada dasarnya pembangunan ekonomi suatu bangsa
bertujuan untuk meningkatkan tarap hidup rakyat banyak. Ini
berarti bahwa, sistem ekonomi yang harus diterapkan adalah yang memiliki
orientasi rakyat banyak. Dengan orientasi seperti ini, maka pembangunan
ekonomi merupakan usaha untuk memanusiakan manusia dalam arti
mengangkat harkat kemanusiaan, sebab adanya kemiskinan merupakan musuh
kemanusiaan berarti pula musuh pembangunan.
Untuk memenuhi tuntutan di atas, maka sistem ekonomi yang harus menjadi
pilihan adalah sistem ekonomi swadaya. Karena memang kenyataan
menunjukkan semakin banyaknya jumlah rakyat yang menikmati sebagian
kecil dari penghasilan negara, padahal seharusnya rakyat banyaklah yang
harus menikmati sebagian besar penghasilan negara. Kenyataan ini pada
gilirannya bukan saja mengakibatkan rakyat semakin jauh dari pembangunan
bahkan dengan hanya dinikmati sekelompok kecil dari sebagian besar
penghasilan negara berakibat, semakin menjadikan rakyat banyak
tergantung secara terus-menerus dalam memenuhi hidup dan kehidupannya.
Hal ini dapat dilihat dari semakin terbatasnya kemampuan masyarakat
untuk berkembang sendiri karena akumulasi modal yang terpusat, sedangkan
tujuan pemberian modal itu sendiri hanya untuk memperoleh dan menyedot
keuntungan yang sebanyak-banyaknya. Untuk ini, maka perlu ditempuh
usaha-usaha yang menuju ke arah realokasi sumber-sumber produksi
usaha-usaha untuk menumbuhkan sektor-sektor ekonomi rakyat yang dibangun
oleh rakyat secara swadaya, karena itu hendaknya penyediaan alat-alat
produksi tetap berkaitan dengan kebutuhan-kebutuhan dasar rakyat. Agar
dapat berkembang secara baik, maka ekonomi yang berswadaya hendaknya
dipegang oleh badan-badan usaha ekonomi rakyat yang tumbuh dan
dikembangkan secara swadaya pula, dengan terlebih dulu melakukan
redistribusi pendapatan.
Untuk itu, perlu pula ditempuh bahwa proses pembentukan modal terutama dilakukan dengan mendinamisasi sumber daya
manusia, serta mempergunakan teknologi yang selektif dan berprioritas
pada pemilikan swadaya. Dengan demikian, maka gejala pasar bebas dan
etatisme, juga kecenderungan-kecenderungan konsumerisme dan hedonisme
dapat dihindari.
Bidang Hukum
Pembangunan hukum pada dasarnya menuntut peran lembaga yudikatif secara
lebih fungsional. Hal ini dapat ditempuh dengan lembaga-lembaga
pengadilan yang dapat berdaya cukup luas dan merata, serta secara
efektif senantiasa melindungi kepentingan-kepentingan substantif rakyat
berupa hak-hak asasinya.
Tegaknya hak-hak asasi tersebut, mutlak didukung oleh sistem hukum yang
memberi pengaturan terhadap perwujudan tatanan masyarakat yang
berswadaya sehingga hukum diharapkan dapat mengayomi harkat dan martabat
kemanusiaan di mana rakyat yang lemah dan miskin dapat perlakuan hukum
yang wajar dalam batas kemanusiaan. Ini berarti, kenyataan adanya
ketidakpastian hukum yang diakibatkan oleh praktik-praktik hukum yang
tidak melindungi kepentingan masyarakat bawah dapat dihindari. Itu semua
secara simultan dengan dilakukan usaha-usaha penyadaran dengan
dilakukan usaha-usaha penyadaran hukum yang melibatkan lebih banyak
partisipasi masyarakat dengan pendekatan di luar hukum (ekstra legal)
yang bersifat lintas sektoral bersama pranata sosial lainnya. Untuk itu,
harus diterapkan sistem pembangunan hukum nasional yang terpadu dengan
mengutamakan proses penyelesaian hukum pada lembaga-lembaga hukum yang
terdapat pada lapisan masyarakat paling bawah, seperti lembaga adat dan
kebiasaan penyelesaian hukum pada setiap masyarakat desa.
Dengan demikian pelayanan hukum tidak saja didekati secara legal formal, tetapi dapat diselesaikan dengan aksi kultural dan
untuk lebih menjaminnya secara efektif pelindungan kepentingan
substantif masyarakat dalam mengaktualisasikan dirinya secara seutuhnya.
Untuk ini peran bantuan hukum harus memiliki sifatnya yang struktural
agar produk, pelaksanaan, peri laku, dan pelaku hukum tetap memihak pada
pembangunan masyarkat yang berswadaya yang ini berarti pula peran hukum
merupakan working ideologi dari pembangunan swadaya.
Bidang Pendidikan
Pendidikan pada dasarnya merupakan usaha untuk membangun pribadi
manusia, hingga kaya akan nilai-nilai kemanusiaan, karena itu pendidikan
merupakan proses sosialisasi nilai-nilai kemanusiaan menuju terwujudnya
manusia seutuhnya. Ini berarti, selain pendidikan mampu meningkatkan
kecerdasan rakyat, juga dapat mengisi tuntutan rohaniahnya. Dengan
demikian, pendidikan merupakan usaha memerdekakan manusia secara
subtansial sehingga memungkinkan dapat mengaktualisasikan potensi diri
sebagai manifestasi dari sumber manusia.
Usaha menempuh pendidikan yang merata, murah, dan dapat menjangkau semua
orang dalam setiap pelapisan masyarakat dengan tetap meningkatkan
kesetarafan mutunya serta tidak lagi menggambarkan tahapan formalitas
yang cenderung elitis. Untuk ini, perlu dilaksanakan upaya pendidikan
yang dapat memihak pada kemampuan rakyat banyak dalam pengertian bahwa
pendidikan memberikan pengetahuan dasar yang dapat menopang kebutuhan
hidup secara mandiri.
Untuk itu, pelaksanaan pendidikan terutama bagi pendidikan dasar
membutuhkan pola keterpaduan antara guru, murid, pemuka masyarakat,
bahkan dalam pola ini murid harus menempati sentrum dari proses
pendidikan. Di samping itu metode yang dipakai harus sepenuhnya mampu
menopang kreativitas diri, dengan demikian maka metoda yang dipakai
adalah pemecahan masalah dan penyadaran sehingga pendidikan formal dapat
menjadi sekolah yang aktif dalam pengertian sekolah untuk dapat
menyelesaikan problem-problem kehidupan masyarakat. Selain itu, perlu
pula didukung oleh pola pengembangan model-model keterampilan yang
hendaknya sesuai dengan tantangan lingkungannya. Artinya, dapat menjawab
tantangan lingkungan wilayah masyarakatnya dengan keterampilan yang
semakin meningkat, sehingga sifat pendidikan ini lebih menunjukkan
sifatnya yang bervariasi bukan saja bervariasi dalam pemilihan
pengembangan bakat murid yang ditentukannya sendiri, tetapi juga
bervariasi menurut orientasi pengembangan masing-masing wilayah.
Hal ini ditempuh agar pendidikan tidak lagi terasing dari masya-rakatnya
dan mampu memberi pemihakan yang jelas dalam menjawab kebutuhan
masyarakat sesuai dengan potensi alami wilayah. Dengan demikian,
pendidikan yang harus dikembangkan adalah pendidikan swadaya masyarakat.
Pengembangan Masyarakat
Sistem pengembangan yang memihak lapisan masyarakat yang terbesar, yang
terancam harkat kemanusiaannya akibat berlarut-larutnya kemiskinan yang
disebabkan oleh struktur sosial yang menekan dan tertutup, baik di
perkotaan maupun di daerah pedesaan adalah sistem swadaya masyarakat.
Untuk ini, upaya pengembangan masyarkat yang berorientasi swadaya
sekaligus memerangi kemiskinan tersebut, dalam mana bukan saja dituntut
untuk senantiasa melakukan peninjauan-peninjauan terhadap sistem dan
struktur sosial penyebab kemiskinaan, tetapi merupakan usaha yang lebih
fundamental dalam melakukan usaha-usaha ‘penyerangan’ terhadap
pusat-pusat dan kantong-kantong kemiskinan dengan cara memilih strategi
pemgembangan masyarakat yang tepat yaitu, yang memihak pada kebutuhan
rakyat banyak. Ini baru dapat diwujudkan apabila secara serentak ada
usaha-usaha yang simultan, baik yang dilakukan oleh pusat-pusat
pengambilan keputusan maupun oleh model partisipasi yang dilakukan
masyarakat luas.
Kedua sisi ini harus bersamaan dalam geraknya melakukan pemihakan
terhadap proses swadaya masyarakat, Hal ini ditempuh tidak saja sebagai
ikhtiar ke arah pendekatan kesempurnaan dimensi manusia seutuhnya tetapi
juga meminimalkan setiap usaha-usaha pembangunan yang cenderung
memiliki sifat menindas dan sifat berkelebihan yang mengakibatkan
suburnya pola hidup yang konsumerisme dan hedonisme yang pada
gilirannya lebih menonjolkan sifat dehumanisasi.
Dengan demikian pengembangan partisipasi masyarakat bawah hendaknya
memperhatikan variabilitas (keanekaan) masyarakat, serta variabilitas
(keanekaan) kondisi yang dimiliki oleh masing-masing kelompok
masyarakat. Upaya ‘memerangi kemiskinan’ pada golongan masyarakat yang
paling bawah yang miskin dan lemah, hanya mungkin diatasi dari diri
mereka sendiri yaitu, pembangunan dari bawah yakni pengembangan potensi,
kepercayaan, dan kemampuan masyarakat itu sendiri untuk mengorganisasi
diri serta membangun sesuai dengan tujuan yang mereka kehendaki yang
tetap dalam kerangka pembangunan nasional bangsa.
Bidang Budaya
Mewujudkan pola budaya bangsa hendaknya tetap berada pada kaidah-kaidah
sosial yang telah menjadi titik temu rakyat Indonesia. Dengan demikian
proses integrasi kultural harus tetap berlandaskan atas kebhinnekaan
bangsa. Bertolak dari sini perwujudan pola budaya bangsa yang integratif
dapat dijabarkan pada nilai-nilai, norma-norma dari institusi-institusi
yang ada. Dikarenakan titik temu itu dirumuskan dalam Pancasila yang
pada hakikatnya memiliki orientasi langsung pada manusianya itu sendiri.
Dalam hal ini Pancasila merupakan nilai-nilai kemanusiaan yang
berproses memanusiakaan manusia.
Oleh karena itu, setiap bentuk tindakan dari mana pun datangnya yang
dapat menampilkan nilai-nilai kemanusiaan, pada dasarnya mengingkari
nilai-nilai Pancasila itu sendiri. Ini berarti karena nilai-nilai
Pancasila didukung oleh nilai-nilai yang hidup dan berkembang pada
realitas masyarakat Indonesia, maka sistem budaya yang dapat mendukung
usaha pembangunan swadaya masyarakat adalah proses yang dapat
mengembangkan sistem nilai, norma, dan institusi-institusi yang terdapat
dalam kebhinnekaan bangsa. Ini berarti, setiap usaha yang mengarah
kepada perwujudan masyarakat yang monolitik, tidak saja mengingkari
realitas kebhinnekaannya, tetapi justru tidak mendapat tempat dalam
nilai-nilai Pancasila itu sendiri yang pada gilirannya dapat mematikan
setiap usaha swadaya masyarakat.
Untuk itu pembangunan swadaya masyarakat hendaknya ditopang oleh
kesempatan masyarakat untuk dapat mengaktualisasikan nilai-nilai,
norma-norma, dan institusi-institusi yang dimiliki oleh kebhinnekaan
itu sendiri. Karena disadari benar bahwa, semangat kreatifitas rakyat
untuk membangun dirinya sendiri hanyalah dapat terwujud apabila
kenyataan nilai-nilai yang menopang bangunan kerjanya dapat
termanifestasikan.
Penutup
Demikian beberapa resume dari hasil-hasil studi Kelompok Cipayung VI
yang tiada lain pikiran-pikiran tersebut, dimaksudkan agar proses
pembangunan sebagai ikhtiar pengisisan kemerdekaan sekaligus ikhtiar
mendekati terwujudnya masayarakat yang adil dan makmur, karena itu
pilihan dan pemihakan dari pembangunan itu sendiri bukan saja harus
nampak jelas, tetapi dari hari ke hari bukan saja harus dibuktikan pula
oleh kenyataan-kenyataan kehidupan yang mendekati terwujudnya suasana
yang adil dan makmur.
Karena itulah Kelompok Cipayung dalam memperingati 11 tahun
kelahirannya, 22 Januari 1983 melakukan studi model pembangunan yang
bukan saja mendekati pada perwujudannya manusia seutuhnya, tetapi juga
mendekati pada perwujudannya masyarakat yang adil dan makmur, dengan
mengajukan Model Pembangunan Swadaya Masyarakat yang berorientasi sumber
daya manusia. Semua ini baru terwujud bila dibaringi dengan kemauan
politik yang melahirkan tindakan-tindakan politik yang memihak pada
model sekaligus orientasi pembangunan swadaya itu sendiri.
Semoga pikiran-pikiran ini dapat menjadi sumbangan bagi rakyat yang ingin memperjuangkan nasib dirinya.
Merdeka!
Jakarta, 24 Januari 1983
Kelompok Cipayung
Pengurus Besar HMI Ahmad Zacky Siradj, Ketua Umum, Harry Azhar Aziz,
Sekretaris Jenderal; Pengurus Pusat GMKI Alex Litaay, Ketua Bidang Aksi
dan Pelayanan, Sunggul Siahaan, Sekretaris Umum, Pengurus Besar PMII
Muhyiddin Arubusman Ketua Umum, A, Suherman H.S., Sekretaris Jenderal
Pengurus Pusat PMKRI Marcus Mali, Ketua Presidium, Lowi Mengko,
Sekretaris Jenderal; Presidium GMNI Daryatmo M., Ketua Presidium, Wimmy
Ch. Riry, Pejabat Sekretaris Jenderal.
HENTIKAN PENINDASAN TERHADAP HAK-HAK AZASI MANUSIA DAN DEMOKRASI
Pernyataan Bela Sungkawa Atas Pembunuhan terhadap Benigno S. Aquino Jr.
Dengan penuh keharuan kami mahasisiwa Indonesia yang tergabung dalam
Kelompok Cipayung: Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), Perhimpunan Mahasiswa
Katolik Republik Indonesia (PMKRI), Gerakan Mahasiswa Nasional
Indonesia (GMNI), Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI), Gerakan
Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI), dan Pergerakan Mahasiswa Islam
Indonesia (PMII) menyampaikan rasa bela sungkawa yang sedalam-dalamnya
atas pembunuhan secara keji dan biadab terhadap seorang pejuang
demokrasi Filipina, Benigno S. Aquino Jr.
Berita pembunuhan terhadap Benigno S. Aquino Jr. benar-benar sangat
mengejutkan setiap insan demokratis dan menggambarkan betapa besar dan
beratnya tantangan terhadap perjuangan menegakkan hak-hak asasi manusia
dan demokrasi. Sekaligus juga peristiwa itu merupakan pencerminan
keadaan di banyak bagian dunia, terutama di negara-negara dunia ketiga
yang masih penuh dengan tantangan untuk mewujudkan hak-hak asasi manusia
dan demokrasi, sehingga peristiwa ini sesungguhnya merupakan suatu
penindasan terhadap nilai-nilai kemanusiaan, keadilan, dan kebenaran.
Karena itu tidak hanya rakyat pencinta dan pejuang hak-hak asasi manusia
dan demokrasi di Philipina saja yang prihatin, khawatir, dan was-was
dengan terjadinya peristiwa ini, tetapi juga seluruh rakyat dan setiap
pecinta dan pejuang hak-hak asasi manusia dan demokrasi di seluruh dunia
ikut prihatin, khawatir, dan was-was termasuk di Indonesia.
Dari peristiwa ini kita dapat menarik pelajaran yang sangat berharga
bahwa, dengan pembunuhan yang keji dan biadab atas diri Benigno S.
Aquino Jr., putra bangsanya yang berjuang demi mewujudkan keadilan,
kebenaran, dan kesejahteraan bagi seluruh rakyatnya, kembali membuktikan
kekejaman dari suatu negara yang represif. Setiap pengorbanan yang
diberikan bagi perjuangan menegakkan nilai-nilai kemanusiaan, keadilan,
dan kebenaran bukanlah sesuatu yang sia-sia. Karena ia akan semakin
menumbuhkan dan mengokohkan inspirasi dan tekad perjuangan yang pada
hakikatnya memang merupakan ikhtiar untuk menjawab permasalahan yang
paling mendasar dari umat manusia, yakni masalah kehidupan, harkat, dan
martabat kemanusiaan. Perjuangan semacam ini sedang berlangsung dan akan
terus berkobar di seluruh pelosok dunia dan dijalankan secara
bersama-sama dalam suatu ikatan yang bersifat insaniah.
Peristiwa yang terjadi di Filipina terhadap Benigno S. Aquino Jr.
merupakan suatu kehilangan besar, pada saat yang sama juga merupakan
penggugah semangat bagi para pejuang dalam memperjuangkan hak-hak asasi
manusia, demokrasi, keadilan, dan kebenaran sebagai suatu ikhtiar
pembebasan atas penindasan dan penjajahan baik yang dilakukan oleh
bangsa asing maupun yang tidak mustahil dilakukan oleh bangsa sendiri.
Ini semua adalah dalam kerangka menjawab amanat yang bersumber dari
aspirasi dan cita-cita insan Ilahi yang mendambakan pemenuhan makna
hidup baik dalam aspek spiritualnya. Dari perjalanan sejarah kehidupan
manusia senantiasa dapat ditemui kenyataan-kenyataan yang menunjukkan,
bahwa setiap usaha untuk meniadakan aspirasi dan cita-cita kemanusiaan
yang hakiki itu dari penyelenggaraan kehidupan masyarakat pasti akan
menemui kehancurannya, karena merupakan pengingkaran terhadap hakikat
kehidupan itu sendiri.
Berkenaan dengan peristiwa keji dan biadab itu, maka demi tegaknya
nilai-nilai kemanusiaan, keadilan, dan kebenaran kami mengharapkan
pemerintah negara Republik Filipina untuk mengusut peristiwa itu secara
adil dan tuntas, serta mencegah terjadinya tindakan-tindakan yang
semakin menindas nilai-nilai kemanusiaan, keadilan, dan kebenaran.
Sebab, tindakan yang demikian itu akan memperberat beban penderitaan dan
kesengsaraan rakyat. Bagi rakyat dan pemerintah bangsa-bangsa di
seluruh dunia, hendaknya peristiwa itu dapat menjadi pelajaran yang
sangat berharga, sehingga hal yang serupa tidak harus terulang lagi.
Dengan penuh hikmat kami mengajak seluruh bangsa di dunia agar
menjauhkan diri dari kebiasaan-kebiasaan buruk, mempraktekkan cara-cara
yang bertentangan dengan peri kemanusiaan dan peri keadilan, nilai-nilai
demokrasi, serta berbagai bentuk kekerasan untuk menyingkirkan
lawan-lawan politik atau orang-orang yang berbeda pendapat. Mengingat
masih besarnya kemungkinan bagi berkembangnya kecenderungan untuk
mempraktikkan hal-hal di atas, terutama di negara-negara yang sedang
membangun maka upaya pencegahannya harus dilakukan secara
bersungguh-sungguh dengan niat yang luhur dan tekad yang kokoh demi
terwujudnya hakikat kemanusiaan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Kepada seluruh rakyat Filipina yang mencintai dan memperjuangkan hak-hak
asasi manusia dan demokrasi, serta kepada seluruh keluarga yang
ditinggalkan, kami sampaikan ucapan turut berduka cita yang
sedalam-dalamnya atas kepergian Benigno S. Aquino Jr. yang merupakan
pahlawan demokrasi. Semoga perjuangannya berkenan di hadapan Tuhan Yang
Maha Esa, dan kepada yang ditinggalkan tetap diberi kesabaran,
ketabahan, dan kekuatan iman dalam melanjutkan cita-cita perjuangannya.
Amin.
Merdeka!
Dikeluarkan di Jakarta pada tanggal 24 Agustus 1983
Kelompok Cipayung
Pengurus Besar HMI H. Harry Azhar Aziz, Ketua Umum, Alex Tofani,
Sekretaris Jenderal; Pengurus Pusat PMKRI Marcus Mali, Ketua Presidium;
Paulus Januar, Wakil Sekretaris Jenderal; Presidium GMNI Daryatmo M.,
Ketua Presidium, A.N. Wantoro, Pejabat Sekretaris Jenderal; Pengurus
Pusat GMKI Alex Litaay, Ketu Sunggul Siahaan, Sekretaris Umum; Pengurus
Besar PMII Muhyiddin Arubusman, Ketua Umum Ismail Umri, Walik
Sekretaris Jenderal.
Pokok-Pokok Pikiran Kelompok Cipayung Dalam Memperingatu Hari Sumpah Pemuda Ke-55
28 Oktober 1983
HAKIKAT KEPELOPORAN GENERASI MUDA DALAM MEWUJUDKAN INDONESIA YANG KITA CITA-CITAKAN
Dalam memperingati Hari Sumpah Pemuda Ke-55, kami mahasiswa Indonesia
yang tergabung dalam Kelompok Cipayung yang terdiri dari: Himpunan
Mahasiswa Islam (HMI), Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia
(PMKRI), Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI), Gerakan Mahasiswa
Nasional Indonesia (GMNI), dan Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia
(PMII), didorong oleh kesadaran akan hak dan kewajiban, serta peran dan
tanggung jawab terhadap hari depan bangsa, menyampaikan pokok-pokok
pikiran berikut:
A. Indonesia yang kita cita-citakan pada hakikatnya adalah idealisasi
masa datang yang menjadi kerinduan kita semua sebagai warga yang
merdeka, berdaulat dan bersatu. Wujud Indonesia yang kita cita-citakan
di masa datang adalah:
a. Indonesia yang digambarkan Mukadimah Undang-Undang Dasar 1945, yakni
masyarakat adil dan makmur, spiritual, dan material berdasarkan
Pancasila.
b. Indonesia yang kita cita-citakan adalah Indonesia yang kuat dan
bersatu, Indonesia yang cerdas dan modern, Indonesia yang demokratis dan
adil, Indonesia yang menjunjung tinggi martabat manusia dan wibawa
hukum, Indonesia yang adil dan makmur, Indonesia yang bebas dari
ketakutan dan penindasan, Indonesia yang berperanan dalam pergaulan
bangsa-bangsa di dunia dan terhormat, Indonesia yang layak bagi
kehidupan manusia selaku makhluk Tuhan.
B. Perwujudan Indonesia yang kita cita-citakan sesungguhnya
merupakan proses perjuangan terus-menerus dari setiap generasi bangsa.
Oleh karena itu, setiap generasi harus memiliki komitmen yang kuat dan
kokoh terhadap perjuangan mewujudkan Indonesia yang kita cita-citakan
sebagai kesadaran yang mendalam terhadap tanggung jawab akan perjalanan
sejarah Bangsa Indonesia. Kesadaran yang demikian itulah yang seharusnya
menjadi dinamika perjuangan setiap generasi. Kesadaran yang demikian
itulah yang mendorong setiap generasi untuk bekerja keras, jujur, dan
hemat dalam menjawab tantangan generasinya yang timbul dalam perjalanan
mencapai Indonesia yang kita cita-citakan. Dan kesadaran yang demikian
itu pula yang membentuk tekad bersama dari setiap generasi untuk bersatu
dalam kebhinnekaan seperti yang ditemui dalam peristiwa Sumpah Pemuda
28 Oktober 1928.
C. Perjalanan sejarah bangsa Indonesia memberi pelajaran yang arif
kepada kita bahwa, generasi yang mampu mengemban tanggung jawab
kesejarahannya dan berhasil menjalankan tugas kesejarahannya adalah
generasi yang mampu bersikap bebas, merdeka, kritis, positif, dinamis,
jujur, berdedikasi, dan radikal. Dengan sikap-sikap itu mereka memiliki
keberanian untuk melihat dan menilai dasar-dasar pembangunan di masa
kini dan di masa datang. Dengan sikap-sikap itu mereka mempunyai
keberanian untuk mengukur dan mengkoreksi setiap penyimpangan dalam
upaya pencapaian Indonesia yang kita cita-citakan. Dan dengan
sikap-sikap itu pula mereka memiliki keberanian untuk memberikan
alternatif untuk setiap upaya pencapaian Indonesia yang kita
cita-citakan. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa, generasi muda
Indonesia yang mampu dan berhasil mengemban tugas dan tanggung jawab
kesejarahannya adalah mereka yang memiliki sikap kepeloporan,
keberanian, dan kritis yang didasari atas kejujuran, keadilan, dan
objektivitas. Dan hakikat kepeloporan itu terletak pada keberanian untuk
mencari dan mengemukakan alternatif bagi proses perubahan masyarakat ke
arah Indonesia yang kita cita-citakan, serta keberanian untuk melakukan
koreksi terhadap berbagai bentuk penyimpangan baik yang datang dari
pemerintah maupun yang bersumber dari masyarakat. Hakikat kepeloporan
seperti itu merupakan refleksi dari hak sah setiap pemuda untuk ikut
menentukan isi, bentuk, corak, dan watak dari Indonesia yang kita
cita-citakan.
D. Realitas yang ditemui dewasa ini memperlihatkan kecenderungan
yang semakin kuat tentang adanya penyimpangan persepsi tentang hakikat
kepeloporan generasi muda dalam mewujudkan Indonesia yang kita
cita-citakan. Kepeloporan generasi muda senantiasa diartikan dengan
kepatuhan untuk membenarkan berbagai bentuk ketimpangan dalam
pembangunan nasional yang direncanakan dan dijalankan oleh pemerintah.
Makna kepeloporan yang mengalami penyimpangan ini dijelmakan melalui
pemaksaan terhadap generasi muda untuk menerima gagasan-gagasan
pemerintah tanpa ada kesempatan menganalisanya secara kritis, obyektif,
dan rasional dalam forum dialog intelektual. Bahkan yang lebih ironi,
generasi muda Indonesia dipaksa untuk memberikan pembenaran formalistik
terhadap berbagai kehendak pemerintah, meskipun sesungguhnya hal itu
bertentangan dengan hati nuraninya yang hakiki.
Kecenderungan-kecenderungan yang dikemukakan di atas, pada hakikatnya
merupakan tindakan mematikan potensi generasi muda Indonesia. Karena
sikap kepeloporan, keberanian, dan kritis yang didasarkan atas
kejujuran, keadilan, dan objektivitas hanya mungkin tumbuh dengan subur
dalam suasana kehidupan yang bebas, merdeka, terbuka, demokratis,
obyektif, dan rasional. Atas dasar keyakinan itu, maka kami mahasiswa
Indonesia yang tergabung dalam Kelompok Cipayung, mengingatkan dan
mengajak semua pihak bahwa, demi pengembangan sikap kepeloporan,
keberanian, dan kritis dalam diri generasi muda maka berbagai bentuk
pemaksaan dalam kehidupan masyarakat umumnya dan generasi muda khususnya
agar segera dihentikan dan dihilangkan. Ini dapat ditempuh melalui:
a. Menghargai setiap inisiatif dan ikhtiar generasi muda untuk
mempersiapkan diri menerima dan memikul tanggung jawab di masa depan
dalam mencapai Indonesia yang kita cita-citakan.
b. Menciptakan kesempatan yang sebesar-besarnya bagi generasi muda
Indonesia untuk melakukan koreksi, penilaian, dan alternatif terhadap
proses pembangunan nasional dalam semangat kebebasan yang bertanggung
jawab sebagaimana yang dijamin dalam Undang-Undang Dasar 1945.
c. Memberikan kesempatan yang wajar bagi generasi muda Indonesia
untuk bersatu dalam kebhinnekaan sesuai dengan realitas sosiokultural
yang memang menjadi nilai intrinsik dari dasar dan falsafah Negara
Republik Indonesia, yakni Pancasila.
c. Mengusahakan sedapat mungkin agar tidak melibatkan generasi muda,
baik secara langsung maupun tidak langsung dalam konflik kekuasaan
politik dan konflik kekuasaan ekonomi yang seringkali
berlangsung di
kalangan rezim yang berkuasa.
Merdeka!
Dikeluarkan di: Jakarta
Pada tanggal: 26 Oktober 1983
Kelompok Cipayung
Pengurus Besar HMI H. Harry Azhar, Ketua Umum, Alex Tofani, Sekretaris
Jenderal; Pengurus Pusat PMKRI Lowi Mengko, Presidium Intern Organisasi;
Paulus Januar, Wakil Sekretaris Jenderal; Presidium GMNI Daryatmo M.,
Ketua Presidium, Kristiya Kartika, Sekretaris Jenderal; Pengurus Pusat
GMKI Alex Litaay, Ketua, Sunggul Siahaan, Sekretaris Umum; Pengurus
Besar PMII Indriawan Ali Manshur, Ketua, A. Suherman H.S., Sekretaris
Jenderal.
Evaluasi Akhir Tahun 1983 Kelompok Cipayung
SENTRALISASI KEKUASAAN DAN KRISIS MORAL BANGSA DALAM PEMBANGUNAN
Didorong oleh kesadaran yang mendalam akan hak dan kewajiban serta
peranan dan tanggung jawab untuk membangun masa depan Bangsa Indonesia
yang lebih demokratis, adil,dan makmur dalam kehidupan yang penuh
perdamaian dan kebahagiaan, maka kami mahasiswa Indonesia yang
tergabung dalam Kelompok Cipayung yaitu, Himpunan Mahasiswa Islam (HMI),
Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI), Gerakan
Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI), Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia
(GMKI) Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), setelah mengamati
dan mempelajari perkembangan kehidupan Bangsa Indonesia selama tahun
1983, menyampaikan penilaian sebagai berikut:
A. Di samping keberhasilan pembangunan yang telah diraih sampai saat
ini, khususnya dalam bidang material, namun pada sisi lain terdapat pula
kecenderungan yang sangat menonjol yang mewarnai perjalanan kehidupan
Bangsa Indonesia sepanjang tahun 1983 yaitu, semakin nyatanya wujud
dari sentralisasi kekuasaan. Kecenderungan itu, hampir meliputi semua
segi kehidupan masyarakat. Dengan cukup jelas beberapa kenyataan
berikut, memperlihatkan kecenderungan sentralisasi kekuasaan itu:
a. Pengelolaan sumber-sumber ekonomi yang menyangkut hajat hidup rakyat
banyak, baik secara langsung maupun tidak langsung melalui aliansi
dengan kapitalisme, dikuasai dan dikendalikan oleh pihak penguasa yang
semata-mata tidak berpihak kepada rakyat banyak.
b. Campur tangan yang sangat dominan dari pihak penguasa dalam
pengelolaan lembaga-lembaga perekonomian yang seharusnya berpihak pada
kepentingan rakyat banyak seperti koperasi misalnya, pada gilirannya
menghilangkan citra dan peranan koperasi sebagai soko guru perekonomian
nasional.
c. Besarnya peranan penguasa untuk menentukan bidang-bidang usaha yang
dapat ditempuh masyarakat dalam menjalankan aktivitas perekonomiannya
akhirnya menyempitkan peluang partisipasi rakyat banyak dalam kegiatan
ekonomi.
d. Pengungkungan terhadap hak-hak buruh untuk memperoleh
kesejahteraan sosial yang sesuai dengan harkat kemanusiaannya,
mengakibatkan keterasingan buruh dari kepentingan kapitalis, sehingga
buruh semata-mata diperlakukan sebagai faktor produksi semata.
e. Kehidupan politik masyarakat yang dalam kenyataannya menjurus pada
pengendalian yang sentralistis mengakibatkan kehadiran kekuatan sosial
politik, baik Golkar maupun Parpol hanya sekedar menjadi pelengkap dan
instrumen politik saja.
f. Kehidupan jurnalistik dikekang dengan dalam berbagai bentuk
ketergantungan, baik dalam hal modal kerja yang diperoleh melalui
fasilitas kredit maupun dalam hal hak hidup yang mekanismenya
dikendalikan sepenuhnya oleh penguasa. Sehingga produksi dan distribusi
informasi kepada rakyat banyak bersifat sentralistik dan sepihak yaitu,
hanya memenuhi kehendak pihak penguasa saja.
g. Kehidupan lembaga-lembaga pendidikan tinggi terlalu banyak
dicampuri oleh pihak pengendali kekuasaan, baik secara langsung melalui
penempatan rektor sebagai penguasa tunggal maupun secara tidak langsung
melalui pengendalian dan pengaburan makna kebebasan mimbar dan kebebasan
akademis. Sehingga otomoni perguruan tinggi sebagai laboratorium
penguji kebenaran dari gagasan-gagasan kemasyarakatan semakin mengabur,
independensi perguruan tinggi untuk melahirkan gagasan-gagasan yang
dapat memberi arah dan tujuan perkembangan semakin pudar, dan
demokratisasi kampus sebagai masyarakat akademis yang bertanggung jawab
untuk memperbaiki kehidupan rakyat banyak semakin terkekang.
h. Kehidupan mahasiswa semakin dikungkung dalam tembok-tembok
birokrasi yang dibangun secara sistematis oleh sentral kekuasaan, antara
lain dengan memperalat pimpinan perguruan tinggi sebagai penguasa
tunggal di kampus yang memiliki wewenang penuh dalam mengatur mahasiswa.
Sehingga mahasiswa Indonesia terbentuk menjadi manusia yang terasing
dari kehidupan masyarakatnya, tidak menangkap, merumuskan dan
mengemukakan getaran jiwa dan aspirasi rakyat banyak, serta memiliki
tingkat kepekaan sosial yang sangat rendah.
i. Fungsi lembaga perwakilan rakyat, baik secara langsung maupun tidak
langsung masih jauh dari cita-cita demokrasi Pancasila, sebab dalam
kenyataannya lembaga ini lebih banyak berperan sebagai perwakilan
aspirasi aliansi kelompok kepentingan dari pada aspirasi rakyat banyak.
j. Campur tangan sentral kekuasaan terhadap lembaga-lembaga yudikatif
mengakibatkan keputusan-keputusan hukum yang seharusnya dihasilkan demi
tegaknya keadilan justru memihak kepada kepentingan sempit
kelompok tertentu.
k. Semakin dalamnya keterlibatan kelompok kepentingan dalam
mengatur kegiatan dan menentukan ruang gerak dari lembaga-lembaga
swadaya masyarakat yang tumbuh dari bawah, sehingga dalam kenyataannya
cenderung menghantarkan kehidupan masyarakat kepada pola hidup yang
mekanistis.
B. Kecenderungan sentralisasi kekuasaan pada hakikatnya
merupakan perwujudan krisis komitmen terhadap perjuangan mewujudkan
cita-cita nasional. Pada saat yang sama, ia juga merupakan penjelmaan
dari sikap ragu terhadap kemampuan diri sendiri. Sikap semacam itu
bertolak dari keinginan yang terkendali untuk mempertahankan dan
memelihara keabadian kekuasaan. Sesungguhnya hal itu bertentangan dengan
nilai-nilai hakiki yang terkandung dalam demokrasi Pancasila, yang
secara konstitusional telah menjadi sendi kehidupan berbangsa dan
bernegara. Karena nilai-nilai hakiki yang terkandung dalam demokrasi
Pancasila tidak pernah membenarkan adanya sentralisasi kekuasaan,
malahan sebaliknya, justru mengharuskan agar kekuasaan tetap berada di
tangan rakyat. Nilai-nilai yang terkandung dalam demokrasi Pancasila
menghendaki agar:
a. Dalam alam demokrasi Pancasila ada kesediaan untuk membagi
kekuasaan secara jujur dan ikhlas dengan semua pihak agar terwujud
keseimbangan yang harmonis di antara berbagai kelompok sehingga tidak
terjadi diskriminasi dalam kehidupan masyarakat.
b. Dalam alam demokrasi Pancasila dijamin berlangsungnya proses saling
mengawasi dan saling menghargai antara pihak yang berkuasa dengan rakyat
banyak berdasarkan kemauan untuk mematuhi aturan permainan secara legal
konstitusional.
c. Dalam alam demokrasi Pancasila dijamin hak-hak
kebebasan untuk rakyat untuk mengeluarkan pendapat, kebebasan
berserikat, kebebasan untuk beragama, kebebasan pers, dan kebebasan dari
rasa takut.
d. Dalam demokrasi Pancasila dijunjung dan dihormati prinsip-prinsip
rakyat mengawasi penguasa dan bukan sebaliknya, penguasa mengawasi
rakyat.
e. Dalam alam demokrasi Pancasila dijamin hak rakyat untuk
menempatkan para wakilnya di lembaga-lembaga perwakilan secara bebas
tanpa ada campur tangan dan pemaksaan dari pihak penguasa. Ini berarti
bahwa sentralisasi kekuasaan dalam pengelolaan kehidupan masyarakat
merupakan penyimpangan dari hakikat mewujudkan keadilan bagi seluruh
rakyat. Bahkan lebih jauh lagi, sentralisasi kekuasaan dalam mengelola
kehidupan masyarakat merupakan pengungkungan atas hak-hak rakyat yang
sesungguhnya menjadi tuntutan abadi dari kodrati manusia sebagai makhluk
sosial.
C. Kecenderungan sentralisasi kekuasaan, pada gilirannya menciptakan
orientasi kehidupan masyarakat kepada oportunisme kekuasaan. Masyarakat
yang demikian itu senantiasa digiring memasuki jaringan yang sengaja
direntang. Setiap kelompok masyarakat yang terperangkap dalam jaringan
tersebut, maka hak-hak yang paling mendasar dari kehidupannya, yaitu hak
untuk menentukan pilihan yang terbaik bagi dirinya, masyarakatnya dan
bangsanya, diasingkan sedemikian rupa dari kodrat kemanusiaannya.
Sesungguhnya masyarakat yang kehidupannya berorientasi kepada
oportunisme kekuasaan adalah tempat yang subur bagi tumbuhnya
nilai-nilai etik yang secara dominan diwarnai oleh karakter otoriter
dari kekuasaan yang tersentralisasi. Nilai-nilai etik semacam itu,
akhirnya terformulasi menjadi etik otoriter yang secara diametral
bertentangan dengan nilai-nilai hakiki yang terkandung dalam demokrasi
Pancasila. Etika otoriter demikian itu memiliki dua kriteria pokok
yaitu, formal dan material. Secara formal, etik otoriiter menyangkal
adanya kemauan manusia untuk mengetahui yang baik dan yang buruk, yang
bernilai dan yang tidak bernilai. Norma untuk itu senantiasa di tentukan
oleh sentral kekuasaan yang posisinya mengatasi kodrat kemanusiaan.
Sistem ini sama sekali tidak didasarkan atas kearifan dan akal sehat,
tetapi atas citra kehebatan suatu otoritas dan atas perasaan tergantung
dari manusia yang berada dibawah jaringan otoritas tersebut. Dan secara
material, etik otoriter menempatkan jawaban dari pertanyaan tentang baik
atau buruk, benar atau salah dalam ukuran kepentingan sempit
kekuasaan. Karena itu etik otoriter dengan sendirinya bersifat
eksploitatif dan mematikan kreativitas manusia. Dalam ukuran etik ini,
suatu dosa yang tak terampunkan adalah sikap kritis untuk mempertanyakan
keabsahan suatu keputusan atau kebijakan yang ditetapkan oleh sentral
kekuasaan.
D. Sentralisasi kekuasaan menimbulkan akibat yang destruktif bagi
kehidupan masyarakat, baik untuk saat ini maupun masa datang. Untuk saat
ini, sentralisasi kekuasaan menyebabkan masyarakat terkungkung dalam
ketakutan untuk menyalurkan aspirasinya, keadaan ini menciptakan rakyat
banyak yaitu, antara kodrat kemanusiaan dengan aspirasinya. Dalam
keterasingan tersebut, adalah mustahil untuk melibatkan rakyat secara
sadar dalam pembangunan bangsa. Sedangkan untuk masa datang,
sentralisasi kekuasaan tidak akan mampu lagi menjawab
persoalan-persoalan yang timbul dalam kehidupan masyarakat. Karena masa
datang sangat dipengaruhi oleh ilmu pengetahuan dan teknologi yang
menuntut prestasi dibidang masing-masing. Ini berarti bahwa untuk masa
datang kesediaan untuk berkompetisi secara jujur, obyektif, dan rasional
adalah syarat mutlak. Lebih jauh lagi, pada masa datang bentuk
pemaksaan harus diganti dengan kerelaan dan keikhlasan. Karena tuntutan
masa datang adalan tuntutan untuk hidup dalam suasana yang demokratis,
yang menghargai hak-hak kedaulatan rakyat, yang menghargai manusia
menurut harkat dan martabat kemanusiaannya.
E. Menyadari sepenuhnya akibat dari sentralisasi kekuasaan dalam
pengelolaan kehidupan masyarakat, baik untuk masa kini maupun untuk masa
datang, yakni secara perlahan tetapi pasti menuntut bangsa pada
kehancuran sendi-sendi kehidupannya, yang merupakan sumber krisis moral
dalam pembangunan. Oleh karena itu, demi masa depan Bangsa dan Negara
Indonesia, maka dengan tulus ikhlas kami menyampaikan penilaian ini
kepada semua pihak untuk dipertimbangkan secara arif dan bijaksana.
Merdeka!
Jakarta, 29 Desember 1983.
Kelompok Cipayung
Pengurus Besar HMI H.Harry Azhar Aziz, Ketua Umum, Alex Tofani,
Sekretaris Jenderal; Pengurus Pusat PMKRI Marcus Mali, Ketua Presidium,
Paulus Januar, Wakil Sekretaris Jenderal; Presidium GMNI Sudirman Kadir,
Ketua Komite Politik, Antonius Wantoro, Sekretaris Jenderal; Pengurus
Pusat GMKI Alex Litaay, Ketua, Sunggul Siahaan, Sekretaris Umum;
Pengurus Besar PMII Muhyiddin Arubusman, Ketua Umum, A. Suherman H.S.,
Sekretaris Jenderal.
Pokok-Pokok Pikiran Kelompok Cipayung tentang
UNDANG-UNDANG ORGANISASI KEMASYARAKATAN
Sebagai generasi muda yang sadar akan hak dan kewajiban, serta peranan
dan tanggung jawab terhadap masa depan bangsa, maka kami mahasiswa
Indonesia yang tergabung dalam Kelompok Cipayung, yaitu Himpunan
Mahasiswa Islam (HMI), Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI),
Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI), dan Pergerakan
Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), setelah mengkaji dengan seksama
rencana penetapan Undang-Undang Organisasi Kemasyarakatan, menyampaikan
pokok-pokok pikiran sebagai berikut.
Pengantar
A. Hakikat Kemerdekaan
Bahwa kemerdekaan Indonesia yang diproklamasikan pada 17 Agustus 1945
adalah kemerdekaan yang mengandung makna merdeka dari semua bentuk
penjajahan yang tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan,
dan sekaligus merdeka untuk mewujudkan cita-cita bangsa, yaitu negara
Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur, spiritual
dan material, berlandaskan Pancasila.
Bagi semua bangsa kemerdekaan merupakan hak yang secara asasi harus
dimiliki, karena substansi kemerdekaan adalah membebaskan diri dari
segala struktur yang menindas kedaulatan rakyat dan menghambat
perwujudan cita-cita bangsa. Karena itu dengan kemerdekaan kita harus
melakukan ikhtiar yang benar-benar dapat memajukan kehidupan bangsa,
sehingga berbeda misalnya, dengan upaya pendidikan maupun pembangunan
yang dilaksanakan oleh penjajah yang tujuan utamanya adalah untuk
kepentingan sang penjajah.
Dalam negara merdeka pengisian kemerdekaan harus dijalankan dengan
bersungguh-sungguh dan untuk pelaksanaannya diperlakukan suatu struktur
kemasyarakatan yang benar-benar berupaya untuk menampilkan dan
memelihara kemerdekaan dalam rangka mencapai cita-cita bangsa. Karena
itu dalam negara merdeka harus terwujud:
a. Struktur kemasyarakatan yang menjamin syarat kehidupan yang diperlakukan dalam pencapaian cita-cita bangsa.
b. Kemerdekaan warga negara untuk mewujudkan kehendak bebasnya tetap terjamin.
Kedua hal itu, senantiasa harus diusahakan keselarasannya. Bilamana
keselarasan diantara keduanya tercipta dengan harmonis, maka iklim
kehidupan yang menggairahkan dinamika kemajuan bangsa akan terwujud.
Sebaliknya jika penekanan dititikberatkan pada salah satu aspek saja,
maka hakikat kemerdekaan akan terancam, karena:
a. Penekanan pada struktur kemasyarakatan dan mengabaikan kemerdekaan warga negara dapat melahirkan totaliter.
b. Penekanan pada kemerdekaan warga negara dan mengabaikan struktur
kemasyarakatan dapat menciptakan penindasan manusia atas manusia.
Dari dua keadaan ini, sangat jelas terlihat, bahwa hakekat kemerdekaan
tidak akan terpenuhi. Dalam kehidupan yang merdeka, maka kemerdekaan
harus secara paripurna terdapat pada pelbagai bidang kehidupan baik
politik, ekonomi, pers, ilmu pengetahuan, hukum, pendidikan maupun
sosial, dan agama. Sedangkan dalam kehidupan di bawah penjajahan, semua
bidang kehidupan dikekang dan kerapkali dimanipulasi untuk
mendukung dan melegitimasi status quo yang ada.
Oleh karena itu, dalam alam kemerdekaan, sejauh bidang-bidang kehidupan
tertentu dipercayakan pada negara, maka kewajiban negara adalah untuk
menjamin pemerataan perwujudan dan kemerdekaan, baik secara struktural
maupun individual bagi warga negara harus diusahakan bersama seluruh
rakyat. Ini berarti harus ada usaha untuk menumbuhkan dan memelihara
partitipasi yang emansipatif dari seluruh rakyat.
B. Identitas Masyarakat Indonesia yang Bhinneka Tunggal Ika
Masyarakat Indonesia merupankan masyarakat yang pluralistis yang dalam
kebersamaannya telah berhasil melahirkan komitmen politik bangsa, yaitu
Pancasila. Sejak berdirinya negara kesatuan Republik Indonesia, telah
disepakati bahwa persatuan Bangsa Indonesia yang masyarakatnya
pluralistis adalah persatuan dalam kebhinnekaan (bhinneka tunggal ika),
yaitu persatuan yang tidak mematikan kebhinekaan dan persatuan yang
tidak monolitik.
Berdasarkan relaitas yang hidup dan dihayati oleh masyarakat, maka
dengan berlandaskan Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara,
seluruh warga negara Indonesia bersatu dengan tidak meniadakan ciri
kebhinnekaan yang dimilikinya. Sehingga dengan begitu Pancasila, yang
lahir dari bangsa Indonesia yang masyarakatnya pluralistis, memberikan
tempat dan mengayomi kebhinnekaan masyarakat Indonesia.
Sebagai komitmen bersama, maka persatuan dalam kebhinnekaan menjadi
identitas bangsa dan bilamana diberlakukan secara konsisten akan
menumbuhkan kehidupan berbangsa dan bernegara yang kokoh, sehat, dan
dinamis. Dinamika yang terdapat dalam kesatuan dan persatuan bangsa,
yang terwujud tanpa harus meniadakan kebhinekaan bangsa, merupakan
potennsi yang sangat besar bagi upaya memajukan kehidupan bangsa
sebagaimana yang dicita-citakan oleh seluruh bangsa Indonesia.
Sejarah perjuangan bangsa di masa lalu memberi pelajaran yang sangat
berharga bagi kita hari ini untuk memahami arti dan makna kebhinnekaan.
Dari suatu masyarakat yang pluralistis, tumbuh kesadaran dan gerakan
untuk memerdekakan Indonesia dari penjajahan. Dalam suasana pergerakan
kemerdekaan itu, melalui suatu dialog intelektual yang jujur, dicetuskan
semangat persatuan yang sama sekali bukan untuk mematikan kebhinnekaan,
yang dituangkan dalam semboyan Bhinneka Tunggal Ika.
Dalam pengertian demikian itu, antara kebhinnekaan dan keikaan bukan
merupakan dua hal yang saling tanding menandingi sehingga akhirnya salah
satu diantaranya harus menang atau kalah. Dengan demikian bilamana
ke-bhinnekaan dan ke-ikaan ditempatkan dalam satu kesatuan yang
harmonis, maka kebhinnekaan justru akan mengokohkan ke-ikaan dan keikaan
akan menyuburkan kebhinnekaan. Karena itu, dalam perspektif realistas
identitas bangsa Indonesia yang secara internal tertanam dalam substansi
masyarakatnya, setiap usaha untuk merusak keharmonisan nilai
kebhinnekatunggalikaan akhirnya akan merobek-robek identitas bangsa.
Dalam realitas identitas bangsa Indonesia itu dijalankan upaya
perwujudan cita-cita bangsa. Dan cita-cita itu sendiri, pada dasarnya
merupakan cita-cita yang lahir dari identitas, nilai-nilai dan
harapan-harapan bangsa Indonesia.
E. Cita-cita Kehidupan Berbangsa dan Bernegara
Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara diselenggarakan supaya untuk
mewujudkan negara Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan
makmur, spiritual dan material, berlandaskan Pancasila. Kemerdekaan
dalam kehidupan berbangsa dan bernegara bukan hanya kemerdekaan formal
yaitu, bebas dari penjajahan bangsa asing. Tetapi kemerdekaan harus
diartikan dalam wujud substansial, yakni terbebasnya warga negara dari
struktur dan sistem yang menindas baik yang dilakukan oleh bangsa asing
maupun yang tidak mustahil dijalankan oleh bangsa sendiri.
Persatuan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara harus merupakan
persatuan yang terbentuk berdasarkan prosedur yang konstitusional dan
benar-benar sesuai dengan aspirasi rakyat. Kedaulatan dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara merupakan bentuk kedaulatan yang menempatkan
kekuasaan tertinggi berada di tangan seluruh rakyat yang dijalankan
secara demokratis melalui lembaga legislatif dan meliputi seluruh aspek
kehidupan kemasyarakatan sehingga setiap warga negara Indonesia memiliki
kedudukan, hak, dan kewajiban yang sama.
Masyarakat adil dan makmur dalam kehidupan berbangsa dan bernegara
berarti hadirnya suatu tata kemasyarakatan yang menjamin terciptanya
perkembangan yang merata bagi seluruh rakyat. Dalam masyarakat adil dan
makmur harus terbina suatu struktur masyarakat yang teratur dengan baik
yang didalamnya terdapat kesempatan nyata bagi semua lapisan masyarakat
dan semua aspek kemasyarakatan untuk membangun suatu kehidupan yang
layak sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan.
Dengan dimensi-dimensi itu, maka wujud Indonesia yang kita cita-citakan di masa depan adalah:
a. Indonesia yang kita cita-citakan adalah Indonesi yang digambarkan
dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, yaitu masyarakat adil dan
makmur, spiritual dan material, berlandaskan Pancasila.
b. Bahwa Indonesia yang kita cita-citakan adalah Indonesia yang kuat
dan bersatu, Indonesia yang cerdas dan modern, Indonesia yang demokratis
dan adil, Indonesia yang menjunjung tinggi martabat manusia dan wibawa
hukum, Indonesia yang sehat dan makmur, Indonesia yang bebas dari
ketakutan dan penindasan, Indonesia yang berperan dalam pergaulan
bangsa-bangsa di dunia, Indonesia yang layak bagi tempat tinggal dan
kehidupan manusia makhluk Tuhan.
Perwujudan Indonesia yang kita cita-citakan harus dijalankan dalam satu
kesatuan yang utuh dari seluruh aspek kehidupan masyarakat, yaitu
ekonomi, sosial, budaya, politik, dan hankam yang berarti bahwa salah
satu aspek tidak boleh dikesampingkan apalagi diabaikan. Dalam rangka
perwujudan cita-cita di atas, pemerintah sebagai penyelanggara negara
adalah sebagai pengemban amanat rakyat yang memiliki kewajiban untuk
bersama-sama dengan seluruh rakyat menjalankan ikhtiar perwujudan
cita-cita tersebut. Dengan demikian, fungsi semua aparat negara adalah
melayani kepentingan rakyat. Karena itu jika ia tidak memperjuangkan
kepentingan rakyat seluruhnya berarti telah meninggalkan kewajiban dan
tanggung jawab yang diamanatkan, pada gilirannya, dapat menghambat upaya
perwujudan cita-cita bangsa.
F. Kemerdekaan Berserikat dan Berkumpul
Salah satu syarat mutlak bagi partisipasi warga negara baik secara
perseorangan maupun secara berkelompok dalam mewujudkan cita-cita bangsa
adalah kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran
dengan lisan dan tulisan dan sebagainya. Kemerdekaan berserikat dan
berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan pada hakikatnya
merupakan bagian dari seluruh perangkat hak-hak warga negara yang
memuat hasrat bangsa Indoneisa untuk membangun negara yang demokratis
dan yang hendak menyelenggarakan keadilan sosial dan perikemanusiaan.
Sehingga dengan demikian kemerdekaan berserikat dan berkumpul,
mengeluarkan pendapat dengan lisan dan tulisan dan sebagainya merupakan
suatu syarat mutlak yang harus dipenuhi dalam perwujudan cita-cita
bangsa. Dalam hal ini, kemerdekaan berserikat dharus diartikan sebagai
kemerdekaan untuk membentuk, kemerdekaan untuk menata, dan kemerdekaan
untuk mengadakan kegiatan dalam organisai. Sedangkan kemerdekaan
berkumpul diartikan sebagai kemerdekaan untuk menyelenggarakan dan
mengikuti segala jenis pertemuan, kemerdekaan untuk bermuktamar,
kemerdekaan untuk berkongres, kemerdekaan untuk berkonperensi, serta
kemerdekaan bermusyawarah.
Oleh karena itu, undang-undang yang ditetapkan sehubungan dengan
kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pendapat dengan lisan
dan tulisan harus semakin mengokohkan perlaksanaan kemerdekaan,
bukannya menindas perwujudan kemerdekaan itu sendiri. Sehingga
pembatasan terhadap berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pendapat
secara lisan dan tulisan hanya boleh dilakukan apabila pelaksanaannya
bertentangan dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, sesuai
dengan sistem pemerintahan negara yang berdasarkan hukum (rechtsstaat)
dan tidak berdasarkan atas kekuasaan (machtstaat), karena itu pembatasan
harus dijalankan memalui proses peradilan yang adil dan bebas.
Pedoman Pokok dalam Penyusunan Undang-Undang Organisasi Kemasyarakatan
A. Hakikat Orientasi
Pengaturan yang dijalankan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan
bernegara khususnya dalam pengaturan kehidupan organisasi
kemasyarakatan hendaknya merupakan
hakikat orientasi:
a. Mengokohkan kemerdekaan Negara Indonesia yang diproklamasikan pada 17 Agustus 1945 sehingga benar-benar
berlandaskan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 dalam upaya mewujudkan cita-cita bangsa.
b. Menjamin dan melindungi hak-hak warga negara yang dijunjung tinggi
dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang
berlandaskan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
c. Menjamin dan melindungi kemerdekaan warga negara untuk berserikat
dan berkumpul, mengeluarkan pendapat dengan lisan dan tulisan, dan
sebagainya.
Dengan demikian pengaturan organisasi kemasyarakatan melalui suatu
undang-undang harus memenuhi hakikat dan orientasi itu. Sehingga alasan
utama bagi kelahiran Undang-Undang Organisasi Kemasyarakatan tidak boleh
dilandasi oleh faktor-faktor dan pendekatan-pendekatan lain yang
bertentangan dengan hakikat orientasi itu sendiri.
B. Prinsip-prinsip Umum
Bertolak dari hakikat orientasi pengaturan organisasi kemasyarakatan,
maka penyusunan Undang-Undang Organisasi kemasyarakatan harus memenuhi
prinsip-prinsip umum berikut:
a. Bahwa Undang-Undang Organisasi Kemasyarakatan yang merupakan
pelaksanaan pasal 28 Undang-Undang Dasar 1945, kedudukan hukumnya lebih
rendah dari Undang-Undang Dasar 1945. Karena itu, Undang-Undang
Organisasi Kemasyarakatan tidak dapat secara sewenang-wenang meniadakan
atau mengurangi kemerdekaan sebagaimana yang telah diakui oleh
Undang-Undang Dasar 1945 itu sendiri. Sehingga dalam suatu negara hukum
(rechtstaat) dan pemerintah berdasarkan atas sistem konstitusi
(machtstaat), maka kemerdekaan yang dijamin oleh Undang-Undang Dasar
1945 tidak bila dikurangi apalagi dilenyapkan.
b. Bahwa Undang-Undang Organisasi Kemasyarakatan harus menjamin
kebhinnekaan organisasi kemasyarakatan termasuk organisasi
kemasyarakatan yang berjiwa/bersifat keagamaan, sesuai dengan semangat
dan jiwa dari:
1. Mukadimah Undang-Undang Dasar 1945 yang berbunyi sebagai berikut:
“Dan perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah sampailah kepada
saat yang berbahagia dengan selamat dan sentosa mengantarkan rakyat
Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan negara Indonesia yang
merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur”.
2. Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan: “Majelis
Permusyawaratan Rakyat terdiri atas anggota-anggota Dewan Perwakilan
Rakyat, ditambah dengan utusan-utusan dari daerah-daerah dan
golongan-golongan, menurut aturan yang ditetapkan dengan undang-undang”.
Oleh Penjelasan Undang-Undang Dasar 1945 golongan-golongan ini
diartikan sebagai badan-badan seperti koperasi, serikat sekerja, dan
lain-lain badan kolektif. Ini dapat diartikan bahwa Undang-Undang Dasar
1945 mentolerir adanya kebhinnekaan organsasi kemasyarakatan.
3. Pasal 29 Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan:
(1) Negara berdasarkan atas ke-Tuhanan yang Maha Esa
(2) Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk
agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan
kepercayaannya itu.
Pasal ini merupakan pengakuan dan jaminan dari Undang-Undang Dasar 1945
terhadap kebhinnekaan organisasi kemasyarakatan termasuk organisasi
kemasyarakatan yang dijiwai/ bersifat keagamaan sebagai upaya perwujudan
ajaran agama yang dianutnya dalam rangka berperan serta dalam
pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan masyarakat Indonesia
seluruhnya.
c. Bahwa Undang-Undang Organisasi Kemasyarakatan harus memberi jamin-an
pada perbedaan pendapat sesuai dengan jiwa dan semangat yang terkandung
di dalam:
1. Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang Dasar 1945;
2. Pasal 6 ayat 2 Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan: Presiden
dan Wakil Presiden dipilih oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat dengan
suara terbanyak;
3. Pasal 37 ayat 2 Undang-Undang Dasar 1945 mengenai perubahan
Undang-Undang Dasar: “Putusan diambil dengan persetujuan
sekurang-kurangnya 2/3 dari pada jumlah anggota yang hadir”. Dengan
pengambilan keputusan ‘dengan secara yang terbanyak’ tidak mengharuskan
setiap orang berpendapat sama (aklamasi).
Dari sini dapat disimpulkan bahwa Undang-Undang Dasar 1945
mentolerir adanya perbedaan suara, perbedaan pendapat, perbedaan agama,
dan perbedaan golongan sesuai dengan kebhinnekaan masyarakat Indonesia.
d. Bahwa Undang-Undang Organisasi Kemasyarakatan harus memberi
jaminan bagi setiap organisasi kemasyarakatan untuk mengatur dan
menetukan dirinya sendiri, tanpa dicampuri oleh pemerintah sesuai dengan
jiwa dan semangat pasal 28 dan 29 Undang-Undang Dasar 1945.
Sesungguhnya persatuan dan kesatuan bangsa hanya dapat tumbuh dan
lestari apabila kita senantiasa tetap bertumpu pada keempat prinsip umum
di atas.
C. Mekanisme Penyusunan
Penyusunan Undang-Undang Organisasi kemasyarakatan harus diselengaraakan melalui mekanisme proses berikut:
a. Bahwa upaya menetapkan dan menata organisasi
kemasyarakatan menyangkut kehidupan seluruh masyarakat, maka pendekatan
yang dilakukan kepada masyarakat harus lebih bersifat sosio-kultural dan
sosio-edukatif. Dengan demikian senantiasa harus dihindari pendekatan
kekuasaan dan sikap ambisius target yang tidak reasiltis, karena
pendekaran seperti ini, pada gilirannya, akan menimbulkan praktek jalan
pintas seperti yang selama ini cenderung dilakukan. Dalam kenyataannya
pendekatan kekuasaan semacam itu seringkali hanya mempergunakan hukum
sekedar sebagai alat legitimasi bagi tindakan-tindakan yang tidak
mustahil bertentangan dengan prinsip-prinsip demokrasi dan hak-hak warga
negara.
b. Bahwa proses penyusunan Undang-Undang Organisasi Kemasyarakatan
harus sejalan dengan semangat dan jiwa demokrasi, serta diselenggarakan
dengan arif dan bijaksana dalam suasana keterbukaan dan dialogis yang
dibimbing oleh sikap kenegarawanan, sehingga mampu memberi tempat bagi
tumbuhnya inisiatif dan tersalurnya aspirasi yang berasal dari
masyarakat.
Pokok-Pokok Pikiran tentang Materi Undang-Undang Organisasi Kemasyarakatan
Dengan berlandaskan pemikiran-pemikiran yang mendasar tentang
Undang-Undang Organisasi Kemasyarakatan sebagaimana yang telah
dikemukakan di muka serta berdasarkan ketentuan-ketentuan konstitusional
sebagaimana yang termaktub dalam Undang-Undang Dasar 1945, maka
Undang-Undang Organisasi Kemasyarakatan selaku pelaksanaan Pasal 28
Undang-Undang Dasar 1945 harus mencakup paling tidak hal-hal sebagai
berikut:
A. Konsiderans menimbang harus berisikan Hakikat Orientasi
dan Prinsip-Prinsip umum Undang-Undang Organisasi
Kemasyarakatan sebagaimana yang telah dikemukakan di muka.
B. Konsiderans mengingat harus mencakup: Pasal 2 ayat (1), Pasal 5 ayat
(1), Pasal 6 ayat (2), Pasal 20 ayat (1), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28,
Pasal 29 dan Pasal 37 Undang-Undang Dasar 1945.
C. Pengertian organisasi kemasyarakatan adalah suatu wadah yang
dibentuk oleh warga negara Republik Indonesia atas dasar persamaan
kehendak, persamaan agama, bidang kegiatan, profesi dan fungsinya untuk
berperan serta dalam pembangunan nasional sebagai perwujudan hak dan
kewajiban rakyat warga negara dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa
dan bernegara; namun ini tidak berarti bahwa dalam pengaturan
klasifikasi organisasi kemasyarakatan harus dipisah-pisahkan secara kaku
berdasarkan persamaan-persamaan tersebut, sehingga tidak berarti bahwa
suatu organisasi kemasyarakatan tidak diperbolehkan berdasarkan lebih
dari sebuah persamaan tersebut.
D. Dalam Anggaran Dasar Organisasi Kemasyarakatan, sebagai pernyataan
komitment dari setiap organisasi kemasyarakatan bagi upaya pelestarian
ideologi Pancasila sebagai dasar kehidupan berbangsa dan bernegara, maka
Pancasila atau nilai-nilai Pancasila harus dicantumkan pada mukadimah/
pembukaan Anggaran Dasar dan atau pada batang tubuh Anggaran Dasar dan
atau sebagai asas organisasi.
E. Tiap-tiap organisasi kemasyarakatan memiliki hak untuk mencantumkan
asas sesuai dengan jiwa/ sifat dari organisasi yang bersangkutan.
F. Tujuan organisasi kemasyarakatan harus ditempatkan dalam kerangka
tujuan berbangsa dan bernegara. Di samping tujuan umum ini setiap
organisasi kemasyarakatan dapat mencantumkan tujuan khususnya dalam
anggaran dasarnya sepanjang tidak bertentangan dengan tujuan berbangsa
dan bernegara.
G. Usaha organisasi kemasyarakatan secara umum ditempatkan dalam usaha
pencapaian tujuan bernegara dan berbangsa. Di samping itu, dalam usaha
pencapaian tujuan khususnya organisasi kemasyarakatan dapat melakukan
kegiatan melalui usaha-usaha yang sesuai dengan kehendak, agama,
kegiatan, profesi, dan fungsinya masing-masing.
H. Di samping kewajiban sebagai warga negara, maka organisasi
kemasyarakatan yang berjiwa/bersifat keagamaan dapat mencantumkan
kewajiban khususnya dalam anggaran dasarnya.
I. Organisasi kemasyarakatan mempunyai kemerdekaan untuk menyusun dan
menentukan struktur organisasinya sendiri. Dengan demikian setiap
organisasi kemasyarakatan berhak mempunyai bagian wanita, pemuda, dan
lain-lainnya yang dianggap perlu.
J. Keanggotaan dari organisasi kemasyarakatan diatur dengan ketentuan berikut:
a. Yang dapat menjai anggota organisasi kemasyarakatan adalah warga
negara Republik Indonesia. Keanggotaannya adalah sukarela dan terbuka.
b. Keanggotaan organisasi kemasyarakatan yang bersifat keagamaan dapat
menyimpang dari ayat (a) di atas, dengan mengingat sifat khusus
organisasi kemasyarakatan yang berjiwa/bersifat keagamaan itu.
K. Pembekuan dan pelarangan organisasi kemasyarakatan dilakukan
bagi organisasi kemasyarakatan apabila dapat dibuktikan bertentangan
dengan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945 melalui proses peradilan
dan bebas.
Penutup
Demikianlah pokok-pokok pikiran ini kami sampaikan
sebagai perwujudan dari rasa tanggung jawab terhadap pembangunan bangsa
menuju cita-cita bersama dia merupakan hasil dari proses pengkajian
terhadap rencana penetapan Undang-Undang Organisasi kemasyarakatan yang
mampu mewujudkan kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan
pendapat dengan lisan dan tulisan dan sebagainya seperti yang terkandung
dalam jiwa dan semangat pasal 28 Undang-Undang Dasar 1945.
Merdeka!
Jakarta, 24 Februari 1984
Kelompok Cipayung
Pengurus Besar HMI H. Harry Azhar Azis, Ketua Umum, Alex Tofani,
Sekretaris Jenderal; Pengurus Besar GMKI Alex Litaay, Ketua, Sunggul
Siahaan, Sekretaris Umum, Pengurus Pusat PMKRI Markus Mali, Ketua
Presidium, Paulus Januar,Wakil Sekretaris Jenderal; Pengurus Besar PMII
Muhyiddin Arusman, Ketua Umum, Suherman H.S., Sekretaris Jenderal.
POKOK-POKOK PIKIRAN KELOMPOK CIPAYUNG DALAM RANGKA HARI KEMERDEKAAN REPUBLIK INDONESIA KE-41
Memahami perjalanan Bangsa Indonesia sejak proklamasi hingga usia yang
ke-41 sekarang ini, telah banyak perubahan-perubahan yang terjadi di
segala bidang kehidupan sebagai manifestasi dari suatu proses
pembangunan yang sedang berjalan. Upaya mewujudkan cita-cita proklamasi
pada dasarnya merupakan landasan utama dalam mengaktualisasikan program
pembangunan ke arah tercapainya masyarakat adil dan makmur yang diridhoi
Tuhan yang Maha Kuasa
Generasi muda sebagai bagian terbesar dan terpenting harus memiliki
peran strategis untuk menjawab persoalan bangsanya. Ini berarti tanggung
jawab generasi muda yang paling utama adalah mempersiapkan diri sebagai
potensi kader bangsa di masa depan melalui penguasaan masalah dasar
pembangunan itu sendiri. Sesuai dengan arahan Garis-garis Besar Haluan
Negara (GBHN) serta pengamatan terhadap perjalanan pembangunan selama
Pelita IV sekarang ini. Kelompok Cipayung yang dimotivasi oleh jiwa dan
semangat Undang Undang Dasar 1945 dan Pancasila menyampaikan pokok-pokok
pikiran yang meliputi bidang ekonomi, pendidikan, dan bidang politik
sebagai berikut:
Bidang Ekonomi
1. Pembangunan ekonomi yang mengacu pada pertumbuhan dan
pemerataan sesuai dengan Trilogi Pembangunan ternyata menghadapi
tantangan yang cukup berat sebagai akibat adanya kelesuan ekonomi dunia.
Tantangan itu antara lain adalah keterlanjuran melakukan investasi di
bidang industri berat (perkapalan, pesawat terbang, dan lain-lain) yang
tidak diimbangi oleh peningkatan efisiensi. Kelompok Cipayung
berpendapat perlunya mengembangkan bidang ekonomi di luar sektor
industri berat yaitu sektor informal dan sektor agrobisnis. Di samping
itu perlu diusahakan secara terus-menerus untuk lebih meningkatkan
pengembangan industri yang mendukung sektor pertanian, sehingga secara
langsung memberikan manfaat bagi sebagian besar masyarakat yang hidupnya
tergantung pada sektor pertanian ini.
2. Dalam kaitan dengan pembangunan pedesaan disadari bahwa,
ditengah-tengah keberhasilan melakukan swasembada pangan terdapat
kecenderungan semakin bergantungnya ekonomi desa pada ekonomi perkotaan
yang pada gilirannya mengurangi tingkat ketahanan desa dari aspek
ekonomi. Bersamaan dengan itu Koperasi Unit Desa (KUD) belum dapat
berfungsi sebagai organisasi ekonomi desa yang dinamis, bahkan cenderung
berkembang menjadi birokrasi baru bagi pemerintah dan kekuatan ekonomi
perkotaan dalam mendistribusikan kebutuhan sarana produksi pertanian.
Kelompok Cipayung berpendapat bahwa, kemelut ketergantungan ekonomi
pedesaan ini harus diakhiri melalui pengembangan industri rumah tangga
(home industri) yang memanfaatkan potensi sumber daya lokal, pembelian
subsidi harga hasil pertanian (khususnya beras), dan mengupayakan
pengembangan koperasi sebagai organisasi ekonomi berdasarkan potensi
sosiokultural secara demokratis.
3. Pada hakikatnya wilayah Indonesia memiliki keaneka-
ragaman potensi sumber daya yang secara nasional merupakan potensi
kekayaan untuk dimanfaatkan bagi kesejahteraan rakyat semesta. Dalam
pada itu telah diterapkan konsep pembangunan berdasarkan seluruh wilayah
sebagai manifestasi sebuah negara kesatuan Republik Indonesia. Kelompok
Cipayung mengamati masih terdapatnya daerah yang terisolasi dari
komunikasi dan pergaulan nasional sebagai akibat dari keterlambatan
proses pembangunan di wilayah itu. Ini berarti telah saatnya untuk
memberanikan diri melakukan desentralisasi perencanaan pembangunan dan
otonomisasi dalam pengelolaan ekonomi regional, yang pada gilirannya
mendewasaan daerah yang bersangkutan untuk tumbuh mendiri dengan
tingkat ketergantungan yang rendah secara ekonomi dengan pemerintah
pusat.
Bidang Pendidikan
1. Pendidikan nasional sejak proklamasi dalam kenyataannya belum
memiliki konsep dasar yang dirumuskan secara sistematik dan berjangka
panjang. Sementara itu pendidikan nasional dalam kebijaksanaannya maupun
pengelolaannya baru pada tingkat peringkat undang-undang dan peraturan
pemerintah. Dalam kaitan ini, Kelompok Cipayung memandang perlu adanya
dialog nasional yang diselenggarakan pemerintah bersama masyarakat guna
merumuskan persepsi dan konsep kependidikan yang pada gilirannya
menjadi konsep dasar yang berlaku secarara sah di masyarakat Indonesia,
baik di dalam maupun di luar negeri.
2. Kebebasan akademik merupakan elemen penting dari sistem pendidikan
tinggi, yang berarti merupakan milik seluruh masyarakat akademik
perguruan tinggi. Untuk itu Kelompok Cipayung menilai perlunya meninjau
kembali makna kebebasan akademik yang selama ini hanya diperuntukkan dan
menjadi milik guru besar. Peninjauan konsep kebebasan akademik ini
diperlukan untuk menghindari feodalisme dalam pengembangan dunia ilmiah
di perguruan tinggi. Sikap feodalisme ilmiah itu akan berkembang
bilamana guru besar memiliki peran dan otoritas akademik yang berlebihan
tanpa ditunjang oleh semangat otokritik dalam iklim kampus yang
kondusif untuk pengembangan kreativitas.
3. Dalam rangka mempersiapkan tenaga kerja terampil dan terdidik sesuai
dengan tantangan bangsa hari ini dan masa datang, pemerintah telah
mengupayakan mengembangkan pendidikan politeknik di berbagai
universitas/ institut negeri. Kebijaksanaan ini diikuti dengan
penangguhan pembangunan universitas negeri yang baru. Kelompok Cipayung
berpendapat perlunya menangguhkan pembangunan sekolah lanjutan umum dan
mengalihkan perhatian pada sekolah-sekolah kejuruan dengan kualitas
terjamin dan sesuai dengan kebutuhan pembangunan.
Bidang Politik
1. Terdapat kecenderungan bahwa peran birokrasi semakin dominan dalam
kehidupan politik yang tercermin pada perjalanan kepemimpinan partai
politik hingga saat ini. Kelompok Cipayung menilai bahwa peran birokrasi
yang dominan ini akan melemahkan kekuatan rakyat bagi tumbuhnya
partisipasi yang pada gilirannya mematikan infrastruktur demokrasi.
Kelompok Cipayung mencatat adanya persepsi stabilitas nasional yang
keliru telah berkembang di kalangan birokrasi sehinggga secara langsung
mempengaruhi perkembangan budaya-politik. Untuk itu sudah saatnya
melakukan upaya pendewasaan demokrasi dalam iklim satu asas Pancasila,
melalui penciptaan iklim keterbukaan dan pemberian otonomi secara
bertahap pada lembaga-lembaga politik rakyat khususnya kaum muda.
2. Keberhasilan pembangunan politik antara lain dapat dilihat dari
tingkat partisipasi masyarakat dalam mengemukakan keyakinan-keyakinan
politiknya. Sikap memandang politik sebagai suatu yang menakutkan dan
ketidakberanian mengungkapkan aspirasi politik, dinilai oleh Kelompok
Cipayung sebagai gejala rendahnya partisipasi yang pada gilirannya
menempatkan masyarakat pada keterisoliran dan ketidakmandirian. Kelompok
Cipayung berpendapat, perlunya menumbuhkan iklim pendidikan politik
yang menunjang partisipasi. Dalam kaitan ini pula, pemilihan umum
sebagai sarana pendidikan politik rakyat harus dilaksanakan secara
demokratis dengan etika politik yang berkiprah pada kepentingan bangsa.
3. Keberhasilan pemilihan umum antara lain dapat dilihat pada proses
pelaksanaan pemilu sebagai perwujudan prinsip pelaksanaan demokrasi yang
mampu memberikan makna bagi kewibawaan MPR dan DPR sebagai lembaga
perwakilan rakyat. Kelompok Cipayung mencatat belum berfungsinya secara
maksimal lembaga perwakilan rakyat ini sebagai akibat dari masih
rendahnya kualitas sebagian anggota MPR dan DPR yang didukung oleh pola
rekruitmen yang tidak representatif untuk mewakili rakyat secara
aspiratif. Dalam kaitan ini Kelompok Cipayung berpendapat perlunya
menumbuhkan mekanisme pemilihan umum yang tidak menggunakan Vote getter
(penarik suara) dan sistem rekruitmen (pencalonan) wakil
rakyat yang lebih representatif.
4. Pokok-pokok pikiran Kelompok Cipayung ini diharapkan memberikan
manfaat bagi perjalanan bangsa hari ini dan mendatang, di mana disadari
sepenuhnya bahwa, dalam perwujudannya memerlukan kemauan politik dan
keberanian untuk mengoreksi serta mengkaji ulang perjalanan kehidupan
berbangsa dan bernegara selama ini.
Jakarta, 13 Agustus 1986
Kelompok Cipayung
Pengurus Besar HMI - Pengurus Pusat GMKI -Pengurus Pusat PMKRI - Pengurus Besar PMII - Presidium GMNI
REFLEKSI KRITIS KELOMPOK CIPAYUNG MENGHADAPI PEMILU 1987
Pendahuluan
Pemilu bagi Bangsa Indonesia bermakna maha penting secara konstitusional
merupakan manifestasi dari paham demokrasi yang sesuai dengan pasal 1
ayat (2) UUD 1945. Secara konstitusional pada saat itu rakyat berhak
menentukan kelangsungan hidup bangsa dan negara melalui wakilnya yang
ada dan dipercaya di badan legislatif pelaksanaan Pemilu yang tepat pada
waktunya, merupakan cermin keberhasilan bangsa dalam mengayuh kemudi
pembangunan pada lima tahun sebelumnya. Sekali pun ukuran keberhasilan
tersebut masih dalam batasan 'mempertahankan kontinyuitas pembangunan'.
Dengan pelaksanaan Pemilu, rakyat akan terus mempertahankan kontinyuitas
dan mengembangkan pembangunan di masa mendatang.
Itulah sebabnya Pemilu harus diselenggarakan sesuai dengan ketentuan
yang terdapat dalam dasar dan falsafah negara, serta sesuai dengan
konstitusi. Di samping harus sesuai dengan asas langsung, umum, bebas
dan rahasia. Pemilu keempat dari Orde Baru ini ditandai dengan
ditetapkannya Pancasila sebagai satu-satunya asas bagi ketiga kekuatan
sosial politik. Itu berarti penampilan ketiga kekuatan sosial-politik
tidak lagi berpacu dengan integritas asas organisasi masing-masing.
Tetapi telah melangkah kepada pendewasaan politik bangsa, berbasis pada
ideologi nasional dan integritas diri. Penetapan Pancasila sebagai
satu-satunya asas tersebut, menjadi Pemilu 1987 sebagai tonggak sejarah.
Langkah awal dari pembangunan politik ini harus disahuti dan
ditindaklanjuti dengan langkah cerdas berikutnya. Yakni, dengan
pembaharuan dari citra Pemilu, dalam upaya rekayasa kerangka budaya
politik yang lebih positip. Penampilan ketiga kekuatan sosial politik
harus lebih dewasa dari ketiga Pemilu sebelumnya. Diharapkan keterbukaan
Orpol/ Golkar terhadap rakyat pemilih semakin besar, sehingga semua
organisasi peserta pemilu (OPP) tidak lagi berjuang untuk kepentingan
golongannya. Tetapi dalam konteks yang lebih luas dan mulia yakni,
bangsa dan negara. Pemilu 1987 hendaknya dilandasi sikap-sikap
kenegarawanan dan jiwa nasionalisme oleh seluruh rakyat, khususnya aktor
politik yang terlibat langsung dalam kampanye.
Seluruh langkah khilaf yang sempat teraktualisasikan pada masa
sebelumnya hendaknya dihilangkan. Pemilu 1987 ini pun ditandai dengan
kondisi yang cukup penting yakni, kehadiran generasi muda yang sangat
menentukan, baik mereka yang berada pada posisi sebagai pemiilih ataupun
sebagai calon anggota badan legislatif. Mereka hidup dan dibebaskan
dalam situasi yang berbeda dari generasi sebelumnya. Generasi muda
hendaknya memberikan warna baru dalam wawasan politik Indonesia.
Mereka harus bebas dari wawasan konflik dan menampilkan wawasan baru
yang dilingkupi semangat kebangsaan yang lebih kental. Kesadaran akan
beratnya tugas dan masa depan yang akan diemban sangat diperlukan. Dalam
Pemilu 1987 ini hendaknya sikap kritis dan obyektif ditampilkan oleh
generasi muda.
Pembahasan
1. Makna Pemilu
Pemilu tidak hanya sekedar pesta demokrasi rakyat yang secara rutin
dilakukan setiap lima tahun sekali, tetapi merupakan perwujudan dari
faham kedaulatan rakyat, sesuai dengan pasal 1 ayat (1) UUD 1945. Pemilu
merupakan media untuk menjaring dan mengakomodir suara hati nurani dan
kehendak dasar rakyat. Sehingga wakil-wakil terpilih mempunyai kewajiban
untuk selalu mempunyai komitmen terhadap kepentingan rakyat, terutama
masyarakat kumuh dan pedesaan yang merupakan bagian terbesar rakyat
Indonesia.
Oleh karena itu, wajar apabila rakyat mengharapkan agar wakilnya
mempunyai kualitas dan profesionalitas tertentu, serta selalu konsisten
dalam melanggengkan dan mengembangkan kelangsungan hidup negara kesatuan
Republik Indonesia sesuai dengan jiwa dan semangat proklamasi
kemerdekaan.
Setelah tiga kali Pemilu yang lalu selama Orde Baru Kelompok Cipayung
melihat bahwa, keterlibatan rakyat terutama masyarakat pedesaan dalam
Pemilu ternyata masih kurang akibat adanya kesenjangan informasi antara
elit politik dengan rakyat. Di samping itu terlihat adanya sikap dan
budaya patron-klien yang masih cukup subur dalam kehidupan politik
bangsa ini. Rakyat selalu mendapat perlindungan dan diberi informasi
yang selalu baik, sehingga tidak mengetahui kekurangan yang terjadi
dalam proses pendidikan politik lewat Pemilu itu.
Dengan demikian, Kelompok Cipayung menilai bahwa kalau hal seperti ini
terus dilakukan juga dalam Pemilu 1987, maka Kelompok Cipayung punya
khawatir rakyat akan bersikap apatis terhadap pelaksanaan Pemilu, yang
pada akhirnya akan membawa akibat berupa tersendatnya proses pendidikan,
kesadaran, dan perdewasan politik rakyat melalui Pemilu.
Pelaksanaan Pemilu bukan hanya sebagai suatu pesta demokrasi yang
formalitas dan tepat waktu sesuai dengan ketentuan konstitusi yang
berlaku, sehingga Pemilu tidak hanya sebagai alat legitimasi politik
oleh elit politik (elit penguasa) tertentu, tetapi sebagai konsumsi
politik rakyat secara keseluruhan. Karena kalau hanya sebagai rakyat
konsumsi politik elite penguasa, maka Kelompok Cipayung memproduksi
bahwa Pemilu hanya sebagai formalitas yang merupakan alat legitimasi
kekuasaan belaka, yang pada akhirnya hanya akan semakin menggiring
rakyat pada suatu keadaan di mana Pemilu tidak lagi dibutuhkan. Tetapi
yang terpenting adalah keseimbangan kekuasaan oleh elit penguasa.
Oleh karena itu, apabila hal ini sampai terjadi, Kelompok Cipayung
memprediksi akan membahayakan sendi kehidupan demokrasi di masa
mendatang.
2. Pemilu sebagai Proses Pendidikan dan Pendewasaan Politik
Setelah mereguk masa kemerdekaan selama 42 tahun dan tiga kali Pemilu di
masa Orde Baru, bahkan akan memasuki keempat kali, sudah seharusnya
rakyat semakin didewasakan dalam memahami dan mengerti arti dari tujuan
Pemilu sebagai alat demokrasi, sebab membiarkan mengambangnya rakyat
dalam hal berpolitik menyebabkan demokrasi itu lumpuh dan tidak
mempunyai arti. Jika rakyat tidak diberikan peranan dalam bidang politik
bisa terjadi penurunan kadar demokrasi juga gejolak-gejolak yang
menjurus kepada konflik-konflik pada saat menurunnya kadar demokrasi
tersebut.
Untuk itu, Kelompok Cipayung menilai sudah saatnya setiap aktor politik
yang tampil bukan berorientasi pada golongannya, tetapi sebagai tokoh
bangsa yang mempunyai komitmen moral terhadap rakyat. Dengan demikian,
penampilan dan peril aku kenegarawanan dan semangat kebangsaan sudah
saatnya diaktualisasikan sebagai budaya politik.
Di lain pihak, untuk menilai sampai sejauh mana rakyat mengerti dan
memahami arti dan tujuan Pemilu perlu ditetapkan suatu tolok ukur
kuantitatif dengan bersumber dari data dan penilaian kualitatif;
berdasarkan tolok ukur inilah penentuan kedewasaan politik rakyat dapat
dilakukan seobyektif mungkin. Dalam pelaksanaannya Pemilu dapat
merupakan konsumsi politik bagi elit penguasa maupun masyarakat.
Untuk itu, Kelompok Cipayung mengharapkan para OPP hendaknya menjadikan
Pemilu 1987 sebagai media komunikasi dalam rangka peningkatan kesadaran
rakyat dalam berbangsa dan bernegara. Agitasi yang bersifat menggelitik
dan membakar emosi massa disertai janji muluk harus dihilangkan. Karena
selama ini Kelompok Cipayung melihat adanya kecenderungan masyarakat
yang menganggap bahwa, politik hanyalah permainan kotor dan tipu
muslihat belaka. Ini terlihat di dalam reaksi masyarakat terhadap daftar
calon sementara yang begitu besar terhadap OPP malah tidak ditanggapi
dengan serius.
Menyangkut peranan LPU, lembaga ini diharapkan bersifat jujur dan
profesional di dalam melaksanakan tugasnya. Menyangkut lembaga
infrastruktur (pers, cendikiawan, LSM, dan Ormas) diharapkan lebih
berperan memberikan informasi secara obyektif tentang pelaksanaan Pemilu
1987 dalam upaya lebih memantapkan proses pendidikan, pendewasaan, dan
penyadaran politik rakyat.
3. Peranan dan Partisipasi Generasi Muda dalam Pemilu
Kehadiran generasi muda Pemilu 1987 unik dan menentukan karena baik
sebagai pemilih dengan jumlah cukup besar maupun sebagai kader bangsa
yang sikap dan kepribadiannya secara kualitatif akan menentukan kemajuan
bangsa dan negara di masa mendatang.
Kelompok Cipayung mengharapkan agar generasi muda terlibat secara
langsung dalam Pemilu 1987 berdasarkan pemikiran kritis dan obyektif
dengan semangat kebangsaan dan kenegarawanan. Dengan demikian, ikatan
primordial yang masih terus melekat pada sementara generasi muda sudah
saatnya harus ditinggalkan.
Keterlibatan generasi muda yang seluas-luasnya baik sebagai pemilih
maupun calon yang akan dipilih sudah saatnya mendapat perhatian yang
besar dalam rangka kaderisasi dan rekruitmen calon pemimpin nasional.
Kelompok Cipayung mengharapkan agar rekruitmen yang dilakukan hendaknya
berdasarkan tolok ukur yang benar-benar obyektif dan ketat yang
dilandasi pada kualitas, profesionalitas yang tinggi, memiliki
integritas, dan komitmen terhadap rakyat bukan terhadap golongan
tertentu, mempunyai dedikasi yang tinggi, jujur, ulet, dan
berkepribadian.
Semuanya ini berdasarkan seleksi alam yang wajar dengan menghindarkan
pola rekruitmen yang berdasarkan ikatan kekerabatan, ikatan primordial,
sikap mumpungisme, dan nepotisme. Karena sikap picik tersebut merupakan
titik rawan dalam kaderisasi kepemimpinan bangsa di bidang politik dan
bidang lainnya, yang pada gilirannya akan sangat membahayakan sendi
kehidupan demokrasi di dalam negara kesatuan Republik Indonesia.
Kelompok Cipayung berpendapat bahwa dengan seleksi yang wajar
berdasarkan kualitas, profesionalitas, serta sikap seperti yang tersebut
diatas, maka bangsa dan rakyat Indonesia akan mendapatkan pemimpin
politik masa depan yang terbuka, dan tanggap terhadap gagasan kebutuhan
dasar rakyat, serta mempunyai komitmen total dan integritas pribadi
serta kepribadian yang utuh. Yakni, pemimpin politik yang selalu
berorientasi kepada kepentingan bangsa dan negara bukan golongan. Hanya
dengan cara tersebutlah Kelompok Cipayung menilai bahwa Bangsa Indonesia
akan mendapatkan pemimpin nasional yang tahan uji di tengah-tengah
persaingan yang semakin tajam, terutama dalam pergaulan internasional
yang semakin kompleks.
Kelompok Cipayung mengharapkan agar para aktor politik dan seluruh
jajaran yang terlihat dalam Pemilu 1987 untuk tidak mengecewakan
generasi muda, termasuk juga tidak menanamkan persepsi dan budaya
politik yang negatif. Karena hanya akan menjadi bumerang pada Pemilu
selanjutnya, yang pada gilirannya akan membawa kepada suatu trauma
politik yang sulit sekali dilupakan oleh generasi muda dalam setiap
kehidupan dan perjalanan politik bangsa dan negara. Semua ini sudah
jelas tidak sesuai dengan budaya politik Pancasila.
Di sisi lain Kelompok Cipayung mengamati bahwa terdapatnya gejala
tampilnya generasi muda ke panggung politik lebih berorientasi kepada
formalitas struktur, sementara sistem, dan budaya-politik kurang
mendapatkan perhatian. Dalam hal ini Kelompok Cipayung mengharapkan agar
generasi muda yang akan tampil harus mampu memadukan struktur, sistem,
dan budaya politik.
4. Sikap Netral Pemerintah
Pemerintah termasuk ABRI merupakan milik seluruh rakyat dan OPP. Karena
itu wajarlah bila pemerintah dan ABRI bersikap netral dan berdiri di
atas semua golongan. Dalam perjalanan tiga Pemilu sebelumnya sikap
positif tersebut telah diperhatikan, namun dalam rangka meningkatkan
pendidikan dan pendewasaan politik rakyat, sikap netral dan obyektif
tersebut perlu ditingkatkan pada Pemilu 1987. Terutama pada daerah
tingkat I ke bawah (desa), yang sering terjadi tindakan di luar kontrol.
Kelompok Cipayung menghimbau agar pemerintah dan ABRI berlaku adil dan
merata, dalam memberikan kesempatan sarana dan kesempatan berkampanye
sehingga partisipasi dan kepercayaan rakyat meningkat.
Di sisi lain dengan ditetapkannya Pancasila sebagai asas oleh
ketiga OPP, maka sudah saatnya kehidupan politik semakin terbuka. Tidak
terjadi lagi rasa saling mencurigai antar OPP. Untuk itu, Kelompok
Cipayung mengharapkan kehadiran ABRI dalam kekuatant sosial politik
harus mulai ditinjau kembali, tanpa mengurangi rasa terima kasih kami
terhadap ABRI dalam mengawal dan mengamankan Pancasila selama ini.
Harapan tersebut berdasarkan pemikiran dalam rangka profesionalisasi
selama ini, seluruh sendi kehidupan bangsa. Kemandirian rakyat dan
profesionalisasi ABRI dalam bidangnya sebagaimana himbauan pimpinan ABRI
semakin diperlukan. Tentunya tanpa mengurangi kemanunggalan ABRI dengan
rakyat, yang merupakan ciri mendasar dari lahirnya kemerdekaan dan
Bangsa Indonesia serta perkembangannya. Perangkat hukum yang jelas
tentang pengaturan sistem tersebut hendaknya mulai dipikirkan dan
dirancang.
5. Kampanye
Masa kampanye merupakan bagian sangat penting dalam rangkaian Pemilu.
Rakyat umumnya khawatir menghadapi masa ini. Hal ini disebabkan
kenyataan yang dialami pada masa kampanye sebelumnya. Timbulnya konflik
bahkan benturan fisik di beberapa daerah. Ironisnya, yang terkena dampak
dari keberingasan politik ini sebagian besar adalah rakyat kecil.
Kelompok Cipayung sadar bahwa, memenangkan Pemilu dengan menyakinkan
massa akan kemampuan kelompoknya merupakan keharusan juru kampanye.
Tetapi menanamkan kesadaran rakyat akan kehidupan berbangsa dan
bernegara secara dewasa merupakan kewajiban yang sebetulnya justru lebih
penting. Kelompok Cipayung mengharapkan agar OPP menghayati dan
melaksanakan prinsip satu asas.
Solidaritas nasional sebagai cermin 'kesamaan ideologi' harus
teraktualisasi dalam perilaku politik nasional pada masa kampanye.
Pemilu 1987 merupakan barometer dalam mengukur perwujudan Pancasila
sebagai satu-satunya asas dalam manifestasi kehidupan sosial politik.
Karena itu, Kelompok Cipayung mengharapkan ditampilkannya sikap-sikap
jujur, yakni: kejujuran untuk menyukseskan pemilu, kejujuran untuk
menjunjung tinggi ketentuan Pemilu, kejujuran untuk membela dan
memuliakan demokrasi, serta kejujuran menghormati dan melaksanakan
disiplin politik nasional dalam Pemilu.
6. Produk Pemilu
Keberhasilan Pemilu diukur atas keterlibatan rakyat secara jujur dan
obyektip. Sepak terjang perilaku produk pemilu yang duduk di lembaga
legislatif serta hasil kebijakan lembaga tersebut merupakan cermin untuk
menilai, apakah Pemilu merupakan konsumsi rakyat banyak ataukah hanya
konsumsi politik dari kelompok elite politik tertentu. Kelompok Cipayung
mengharapkan, hendaknya produk Pemilu 1987 merupakan cerminan dari
hasil pilihan rakyat yang jujur dan tulus. Anggota badan legislatif
terpilih, harus mempunyai keterikatan moral yang kuat untuk selalu
memperjuangkan dan memperhatikan suara nurani rakyat.
Di samping itu, mereka harus merupakan tokok masyarakat yang mempunyai
kualitas tinggi dan integritas pribadi yang utuh serta berkarya secara
profesional dalam mengemban amanat rakyat. Kelompok Cipayung
mengharapkan agar produk Pemilu mempunyai komitmen total akan
kepentingan rakyat secara keseluruhan, bukan hanya terikat atas
kepentingan golongannya. Karena hanya dengan komitmen total itulah,
kebutuhan dan kepentingan rakyat akan terserap dan terpenuhi. Sehingga
rakyat mempunyai rasa percaya diri dan motivasi tinggi, untuk
meningkatkan dan mengembangkan kemampuan bangsanya.
Penutup
Demikianlah beberapa refleksi kritis Kelompok Cipayung, dalam rangka
lebih menyemarakkan kehidupan politik di Indonesia tercinta. Refleksi
dan pemikiran ini berlandaskan kepada sikap dan pemikiran konstruktif
dalam upaya membina dan mengembangkan kehidupan politik yang terus
berlanjut. Refleksi dan pemikiran ini dikeluarkan Kelompok Cipayung
berdasarkan rasa tanggung jawab dan kewajiban moral sebagai warga dan
negara tercinta yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.
Tentunya dengan harapan semoga Tuhan Yang Maha Esa selalu melindungi langkah tulus bangsa menuju masa depan yang gemilang.
Jakarta, 19 Maret 1987
Kelompok Cipayung
Pengurus Besar HMI - Pengurus Pusat GMKI - Pengurus Pusat PMKRI - Presidium GMNI - Pengurus Besar PMII
ANTARA KEPRIHATINAN DAN INDONESIA YANG DICITA-CITAKAN:
Gugatan Kelompok Cipayung Dalam Peringatan HUT ke-17
Sejak didirikan 17 tahun lalu, 22 Januari 1972, seluruh gerak Kelompok
Cipayung tidak pernah terlepas dari hakikat keberadaannya dalam proses
dinamika bermasyarakat, berbagsa dan bernegara. Kehadiran Kelompok
Cipayung adalah untuk memenuhi aspirasi dan tuntutan rakyat tentang
Indonesia yang dicita-citakan, sebagaimana ikrar Kelompok Cipayung
yakni, ‘masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila’.
Seluruh gerak Kelompok Cipayung selalu diarahkan untuk memberikan
alternatif jawaban terhadap berbagai masalah yang dihadapi oleh
masyarakat, bangsa, dan negara. Kelompok Cipayung, sebagai bagian dari
mahasiswa maupun generasi muda Indonesia menilai proses pembangunan di
bidang ideologi, politik, ekonomi, pendidikan, dan sosial-budaya dalam
upaya mencapai cita-cita bangsa, ternyata masih menghadapi berbagai
masalah yang kompleks. Bahkan makin menjauh dari cita-cita semula.
Dalam memperingati 17 tahun kelahirannya, Kelompok Cipayung bertanggung
jawab untuk menyampaikan peringatan dan gugatan sebagai berikut:
Bidang Politik
Dalam upaya pembangunan politik harus dihindarkan proses pendidikan
politik yang mengarah pada pembuataan dan sikap ketergantungan,
melainkan harus diciptakan kemandirian dan kedewasaan berpolitik. Untuk
itu Kelompok Cipayung berpendapat keterlibatan pemerintah sudah saatnya
hanya sebagai pengayom dan katalisator, bukan pendikte. Pola seleksi dan
rekrutmen kader pemimpin bangsa harus didasarkan pada nilai-nilai
obyektif, bukan berdasarkan ikatan emosional, seperti primordialisme,
budaya restu, dan nepotisme. Sebaliknya kualitas dan obyektivitas harus
menjadi kriteria utama. Kelompok Cipayung menolak dengan tegas segala
praktek seleksi dan rekrutmen yang dapat merugikan kepentingan dan
kemajuan bangsa. Kelompok Cipayung meminta agar seluruh kekuatan
politik (Parpol dan Golkar) serta organisasi kemasyarakatan dapat
mempertahankan kemandiriannya dalam memantapkan setiap upaya kaderisasi
kepemimpinan bangsa.
Wujud partisipasi politik rakyat dalam pembangunan bangsa dan negara
harus didasasarkan pada pengakuan dan penghargaan terhadap hak dan
kewajiban rakyat. Oleh karena itu, Kelompok Cipayung secara tegas
menolak segala bentuk mobilisasi yang mengarah kepada pembutaan,
ketergantungan, dan partisipasi semu rakyat. Sistem politik yang
monolitik dan pemusatan kekuasaan harus segera ditinggalkan. Karena
monolitik dan pemusatan kekuasaan merupakan penyebab terjadinya
pembatasan, pelumpuhan, dan bahkan pemasungan terhadap peran politik
rakyat.
Kelompok Cipayung berpendapat bahwa dwifungsi ABRI bukan untuk
mendominasi kehidupan sosial-politik, melainkan hanya melaksanakan
fungsi dinamisator dan katalisator dalam rangka perwujudan kehidupan
politik yang selaras dengan harapan demokrasi Pancasila. Kelompok
Cipayung memperingatkan ABRI harus makin meningkatkan fungsinya sebagai
kekuatan Hamkam dan berbaringan dengan itu pula ABRI harus mengurangi
fungsinya sebagai kekuatan sosial-politik dalam upaya mengembangkan
demokrasi Pancasila.
Bahaya laten komunis harus diwaspadai dan ditantang karena bertentangan
dengan ideologi Pancasila. Upaya kewaspadaan tersebut harus
termanifestasikan dalam pendidikan politik karena hanya dengan demikian
setiap warga negara Indonesia dapat menjadi insan Pancasila sejati.
Dengan demikian, Kelompok Cipayung menolak cara dan kecenderungan
penilaiaan ideologi seseorang semata-mata hanya dari lingkungannya.
Kelompok Cipayung mengingatkan agar kita menghargai dan menghormati
setiap warganegara yang komit terhadap ideologi Pancasila sebagai hasil
dari setiap bentuk dan proses pendidikan politik bangsa.
Bidang Ekonomi
Sesuai dengan pasal 33 UUD 1945 yang mengandung asas demokrasi dan
demokratisasi ekonomi, maka pembangunan ekonomi harus benar-benar
dilaksanakan secara adil dan merata. Pada kenyataannya dewasa ini
terjadi praktek-praktek pemusatan kekuasaan ekonomi pada segelintir
masyarakat dalam bentuk monopoli, oligopoli, dan sistem kartel yang
sangat membahayakan kelangsungan hidup rakyat. Menurut Kelompok Cipayung
praktik-praktik tersebut harus segera diakhiri.
Untuk mengembangkan kebijakan ekonomi yang dapat menyentuh masyarakat
terbawah, sudah seharusnya kebijakan deregulasi dan debirokratisasi
bukan hanya untuk menguntungkan kelompok ekonomi kuat yang monopolistik.
Tetapi diarahkan untuk memberikan kesempatan bagi wirausaha kelompok
ekonomi lemah agar dapat berkembang secara mandiri.
Kenyataan lain menunjukkan bahwa, pembangunan ekonomi dewasa ini masih
terpusat pada wilayah dan sektor tertentu. Sehingga terjadi ketimpangan
dalam pengembangan wilayah. Terpusatnya pembangunan ekonomi, khususnya
pada daerah perkotaan hanya akan menimbulklan urbanisasi dengan segala
dampak negatifnya. Oleh karena itu, Kelompok Cipayung berpendapat bahwa
sudah saatnya pembangunan ekonomi semakin diarahkan ke pedesaan dalam
memenuhi tuntutan pemerataan pembangunan.
Dengan mengarahkan pembangunan ekonomi ke wilayah tertentu yang belum
berkembang, diharapkan terjadi pemanfaatan sumber daya alam dan manusia
secara optimal sesuai dengan keunggulan komparatif setiap daerah.
Berbaringan dengan itu pula harus dibangun etos kerja yang sesungguhnya.
Kelompok Cipayung dengan tegas menolak praktik-praktik eksploitasi yang
berlebihan terhadap sumber daya alam dan manusia.
Pembangunan ekonomi harus dilakukan secara cermat, sehingga menghemat
sumber daya alam tanpa harus merusak lingkungan hidup. Karena perusakan
sumber daya alam hanya akan mempercepat proses pemiskinan dan
penghancuran generasi mendatang. Dalam upaya meningkatkan peran
kehidupan ekonomi rakyat, sudah saatnya koperasi mendapat prioritas
utama untuk dikembangkan secara lebih berdaya guna dan profesional.
Pengembangan koperasi itu selain merupakan tuntutan konstitusi juga
mengandung makna menjamin peningkatan kesejahteraan rakyat. Kelompok
Cipayung berpendapat pengabaian terhadap pembinaan koperasi berarti
merupakan pengkhianatan terhadap konstitusi.
Utang luar negeri yang dalam tahun anggaran 1989/1990 berjumlah sekitar
12 trilyun rupiah (meningkat lebih dari 15% dibandingkan tahun
sebelumnya) makin dirasakan sebagai beban rakyat Indonesia, kendati
masih tetap dibutuhkaan dalam upaya mempercepat proses pembangunan.
Ketergantungan yang berlebihan terhadap utang luar negeri dan
memberatkan pengembaliannya harus segera dihentikan. Karena itu,
Kelompok Cipayung mengingatkan agar pemanfaatan utang luar negeri
dilakukan secara efektif, efisien, optimal, fungsional, dan proposional,
serta profesional sehingga tidak terjadi kebocoran. Penyimpangan dan
penyalahgunaan terhadap utang luar negeri yang merugikan rakyat menurut
Kelompok Cipayung adalah mengkhianatan terhadap bangsa dan negara, serta
generasi mendatang.
Bidang Pendidikan
Kelompok Cipayung berpendapat bahwa sistem pendidikan nasional harus
demokratis untuk menjamin kelangsungan tujuan pendidikan yang berintikan
ketaqwaan, kecerdasan, dan keimanan moral terhadap kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Oleh karena itu maka sistem
pendidikan nasional harus didukung dengan kebijakan yang konsisten,
mantap, dan sesuai dengan nilai-nilai budaya bangsa. Bukan kebijakan
yang dengan mudah dapat diganti apalagi tambal sulam.
Seiring dengan upaya rekayasa sistem pendidikan nasional melalui
Rancangan Undang-Undang Pendidikan Nasional, Kelompok Cipayung menuntut
agar undang-undang pendidikan nasional nantinya benar-benar merupakan
aturan perundang-undangan yang dapat memantapkan sistem pendidikan
nasional. Oleh karena itu, undang-undang pendidikan nasional beserta
aturan pelaksanaannya tidak boleh memasung kemajuan dan perkembangan
manusia Indonesia.
Kelompok Cipayung menilai output dari proses pendidikan tinggi saat ini
makin menjauh dari tujuan pendidikan nasional, bahkan tidak mampu
memenuhi tuntutan pembangunan nasional. Oleh karena itu, Kelompok
Cipayung menyerukan pendidikan tinggi harus ditata secara menyeluruh dan
terpadu melalui pola seleksi yang demokratis, pola belajar-mengajar
yang dialogis dan demokratis, serta terciptanya iklim dan lingkungan
kampus yang terbuka serta tanggap terhadap kehidupan sosial. Bersama
dengan ini Kelompok Cipayung berpendapat bahwa kemandirian dunia
pendidikan tinggi adalah suatu keharusan. Oleh karena itu segala bentuk
pembatasan yang mengekang kreatifitas harus segera dihapuskan karena hal
tersebut hanya akan menghambat kemajuan bangsa. Dengan demikian,
Kelompok Cipayung menuntut bentuk dan suasana kehidupan dunia
kemahasiswaan beserta lembaga-lembaganya yang demokratis harus
dihidupkan kembali.
Bidang Sosial Budaya
Bangsa Indonesia sejak kemerdekaannya telah bertekad memantapkan budaya
dan pandangan hidup Pancasila. Budaya Pancasila menurut Kelompok
Cipayung bertumpu pada sikap dan perilaku yang religius, gotong-royong,
setia kawan, kerja keras, dan menghargai etos kerja, realistis,
bertanggung jawab, dan menghormati hak hidup sesama.
Namun kenyataannya sewasa ini telah terjadi pergeseran nilai budaya yang
sangat memprihatinkan. Keprihatinan itu tercermin dalam sikap dan
perilaku hidup masyarakat yang lebih menghargai status sosial
berdasarkan materi ketimbang prestasi, menumpulnya kepekaan dan
kesetiakawanan sosial, egois dan individualis, memiliki mental menerabas
dan sikap yang makin diarahkan kepada perilaku ilusif dan tidak
realistis yang pada gilirannya dapat mematikan etos kerja.
Dengan demikian, Kelompok Cipayung menyerukan kepada pemerintah dan
seluruh rakyat Indonesia untuk meninggalkan nilai budaya yang
bertentangan dengan Pancasila karena hal itu hanya akan merusak tatanan
budaya bangsa dan menghilangkan identitas nasional. Untuk itu, Kelompok
Cipayung menuntut agar pemerintah segera menghapuskan segala upaya yang
dapat mengarahkan masyarakat kepada pembentukan sikap mental menerabas,
perilaku ilusif, tidak realistis, dan mematikan etos kerja seperti
Sumbangan Dermawan Sosial Berhadiah (SDSB) dan segala bentuk perjudian
lainnya. SDSB dan segala bentuk perjudian, menurut Kelompok Cipayung
bertentangan dengan nilai-nilai agama dan hanya akan mempercepat proses
pemiskinan menyeluruh pada masyarakat yang kondisinya sudah miskin,
melarat, dan tertindas.
Dengan pernyataan, gugatan dan keprihatinan Kelompok Cipayung dalam
menanggapi berbagai masalah kemasyarakatan, kebangsaan, dan kenegaraan
dalam usianya yang ke-17. Semoga, Tuhan Yang Maha Kuasa melindungi
seluruh rakyat, bangsa dan negara Indonesia.
Jakarta, 8 Januari 1989
Kelompok Cipayung
Pengurus Besar HMI Herman Widyananda, Ketua Umum, Ramli H.M. Yusuf,
Sekretaris Jenderal; Pengurus Pusat GMKI Nicolas H.B. Hasibuan, Ketua
Umum, Baltasar Tarigan, Sekretaris Umum; Pengurus Pusat PMKRI Gaudens
Wodar, Ketua Presidium, Yos Rahawadan, Sekretaris Jenderal; Presidium
GMNI Kristya Kartika, Ketua Presidium, Hairul Malik A.S., Sekretaris
Jenderal; Pengurus Besar PMII Mohammad Iqbal Assegaf, Ketua Umum, Abdul
Khaliq Ahmad, Sekretaris Jenderal.
Catatan Kritis Kelompok Cipayung Menjelang Munas Golkar V dan Tragedi Waduk Nipah
(GMKI, GMNI, HMI, PMII, PMKRI)
‘GOLKAR: CERMIN KEGAGALAN POLITIK ORDE BARU ?’
Saat-saat sekarang ini hampir seluruh komponen kekuatan sosial politik,
baik pada tataran infrastruktur, maupun pada tataran suprastuktur,
menaruh perhatian besar terhadap Munas Golkar yang akan diselenggarakan
pada tanggal 20-25 Oktober 1995. Hal ini menunjukkan betapa besarnya
pengaruh Golkar di dalam mekanisme pembangunan politik, sekaligus
menunjukkan betapa besarnya harapan masyarakat terhadap Golkar, sebagai
salah satu kekuatan politik untuk dapat menyelesaikan problem-problem
kemasyarakatan.
Kelompok Cipayung, sebagai eksponen pembaru bangsa berkewajiban untuk
memberikan pandangan-pandangan kritis dalam rangka menciptakan kehidupan
bangsa dan masyarakat yang lebih dinamis, demokratis, dan bertanggung
jawab dalam platform demokrasi Pancasila. Hal ini didasarkan pada
beberapa pandangan:
Pertama, meningkatnya tuntutan arus demokratisasi dan keterbukaan
merupakan kehendak manusiawi yang tidak dapat dielakkan.
Tuntutan-tuntutan tersebut menunjukkan adanya peningkatan kesadaran dan
apresiasi politik rakyat di dalam mengartikulasikan kepentingannya.
Dalam hal seperti inilah seharusnya Golkar mampu merespon dan mewadahi
tuntutan tersebut, sekaligus memenuhinya.
Kedua, sebagai kekuatan sosial-politik terbesar (single majority), peri
laku politik Golkar mempunyai implikasi yang besar pula di dalam
mempercepat kehidupan politik yang lebih demokratis. Karena itulah,
Munas Golkar mendatang harus menjadi momentum secara kelembagaan untuk
melakukan pembaharuan politik.
Ketiga, kehidupan bangsa dan negara di masa depan akan menemui
tantangan, hambatan, dan masalah yang semakin kompleks. Dalam hal ini,
kehadiran Golkar harus dapat menjadi lembaga yang mampu menyelesaikan
masalah tersebut, bukan justru menjadi beban dan masalah baru.
Mencermati keberadaan Golkar dewasa ini, Kelompok Cipayung manilai
adanya kesenjangan antara apa yang seharusnya dilakukan dengan realitas
kemampuan, Golkar di dalam menyelesaikan permasalahan yang ada. Paling
tidak ditemukan lima kelemahan mendasar yang dimiliki Golkar bila
dikaitakan dengan arah dan perkembangan Demokrasi Pancasila:
Pertama, Golkar yang seharusnya menjadi representasi rakyat di dalam
memperjuangkan dan memperbaiki nasib hidupnya, yang terjadi justru
adanya alienasi rakyat terhadap Golkar. Dalam kebanyakan hal, Golkar
lebih mencerminkan dan mendukung kepentingan penguasa, bukan kepentingan
rakyat kecil. Dengan demikian, Golkar hanya menjadi alat justifikasi
kepentingan penguasa, bukan menjadi wahana untuk memperjuangkan rakyat
kecil. Elitisme yang berkembang subur di tubuh Golkar demikian pada
ujungnya akan menjauhkan rakyat terhadap Golkar sendiri, bahkan akan
bisa antipati dan memusuhinya, karena rakyat seringkali hanya menjadi
tumbal kekuasaan. Elitisme Golkar, ternyata juga terdapat di dalam
mekanisme pengambilan keputusan dan kebijakan yang ditentukan dengan
adanya hak prerogratif Dewan Pembina. Kalau sudah demikian, Golkar itu
siapa? Dan masih adakah komitmen kerakyatan Golkar?
Kedua, ketertutupan Golkar di dalam melakukan rekruitmen kader dan
pemimpin selama ini, selain karena belum mempunyai sistem kaderisasi
yang reguler, mantap, dan profesional; lebih-lebih akan dapat memperkuat
arus nepotisme. Keadaan demikian akan melahirkan kekecewaan dan
kefrustrasian kader Golkar yang berkualitas tetapi tidak mempunyai
peluang untuk meningkatkan posisi kepemimpinannya. Keterbukaan
rekuritmen kepemimpinan dan mobilitas kelas secara vertikal merupakan
tuntutan riil Golkar jika Golkar tidak menghendaki hilangnya kader yang
kapabel dan berkualitas. Jika tidak nepotisme Golkar masih berkembang
terus, lalu, milik siapakah sesungguhnya Golkar itu?
Ketiga, dengan semakin meningkatnya kesejahteraan masyarakat maupun
tingkat pendidikan, maka secata langsung berpengaruh terhadap
meningkatnya tuntutan dan apresiasi rakyat terhadap perkembangan
demokrasi. Dalam keadaan demikian, realitas di dalam Golkar justru
menunjukkan adanya gejala undemocratics yang ditandai dengan adanya
kecenderungan peri laku birokratis, elitis, dan tidak antisipatif
didalam menyerap perkembangan zaman, dikarenakan terhambat pada pola dan
mekanisme pengambilan keputusannya. Sikap konvensional dan kekakuan
birokrasi Golkar yang demikian tidak mencerminkan kepentingan rakyat
banyak, tetapi justru semata-mata untuk mempertahankan status quo dan
kepentingan penguasa. Lalu, demokratiskah pelaksanaan Munas Golkar
mendatang? Kita tunggu.
Keempat, munculnya tuntutan yang kuat dari Kino-kino Golkar akhir-akhir
ini menunjukkan adanya kuatnya gejala sektarianisme. Hal ini sungguh
bertentangan dengan arah pembangunan politik dan pertahanan keamanan
yang senantiasa menghendaki adanya persatuan dan kesatuan bangsa.
Munculnya sektarianisme tersebut, menunjukkan adanya ketidakkonsistenan
pemerintah di dalam melakukan kebijakan deideologisasi dan dealiranisasi
yang diterapkan pemerintah Orde Baru dengan mendasarkan pada ideologi
Pancasila sebagai satu-satunya asas. Kalau faktanya demikian, bukankah
Golkar justru 'membidani' lahirnya kekuatan disintegratif masyarakat
yang mengancam persatuan dan kesatuan bangsa?
Kelima, tidak adanya linearisasi pendidikan politik yang dilakukan oleh
pemerintah Orde Baru, sebetulnya semata-mata hanya diperuntukkan menjaga
stabilitas politik. Hal ini diwujudkan pada pelaksanaan Pemilu yang
hanya mengandalkan mobilisasi massa, bukan dalam upaya sosialisasi dan
pendidikan politik yang sebenarnya. Pemilu demikian, semata-mata di
dalam upaya tujuan memenangkan Golkar sebagai mesin politik penguasa;
tetapi bukan di dalam rangka memperkuat posisi rakyat (civil society)
sebagai pemegang kedaulatan. Kalau sudah demikian, bukankah Golkar
'mengambil habis' hak-hak rakyat?
Berdasarkan premis-premis tersebut di atas, maka dapat ditarik
kesimpulan, bukankah keberadaan Golkar demikian merupakan indikasi kuat
cermin kegagalan pembangunan politik Orde Baru?
‘Jangan Jadikan Rakyat sebagai Tumbal Pembangunan’
Di tengah-tengah kuatnya tuntutan masyarakat untuk mendapatkan perlakuan
secara lebih demokratis dalam kehidupannya, maka segala sesuatu yang
terjadi dalam masyarakat akan menimbulkan reaksi-reaksi. Reaksi tersebut
dapat dalam bentuk dukungan bila dinilai positif, sebaliknya bila
negatif yang terjadi dapat berupa keluhan. Tragedi waduk Nipah, yang
merenggut 4 jiwa merupakan wujud dari reaksi negatif atas pemaksaan
pelaksanaan proyek. Tragedi tersebut terjadi karena ketidaksamaan
persepsi antara masyarakat dengan aparat pemerintah, sekaligus
menunjukkan adanya kesalahan pendekatan pembangunan yang dipakai. Selama
ini pendekatan pembangunan yang dilakukan pemerintah cenderung menegasi
kultur, nilai, religi, serta suatu nurani masyarakat bawah.
Pemaksaan kehendak pemerintah untuk melakukan proyek-proyek pembangunan,
dapat menimbulkan konflik nilai, serta teralienasinya masyarakat dari
manfaat pembangunan tersebut. Pembangunan model demikian menandakan
bahwa kebijakan 'pemerataan, pertumbuhan, dan stabilitas' yang selama
ini didengung-dengungkan hanya merupakan slogan pembenar aparat
pemerintah. Karena itulah sudah waktunya dilaksanakan pendekatan
pembangunan yang mendasarkan pada dimensi kemanusiaan, kerakyatan,
keadilan dan kebersamaan. Dengan demikian pelaksanaan pembangunan
seharusnya senantiasa mengikutsertakan rakyat dan tokoh masyarakat sejak
dari perencanaan sampai pada tahapan pelaksanaan dan pemanfaatannya.
Hanya dengan pendekatan yang demikianlah posisi rakyat tidak menjadi
obyek pembangunan semata-mata, tetapi menjadi subyek pembangunan yang
otonom. Berkenaan dengan terjadinya waduk Nipah, serta fenomena-fenomena
yang berkembang akhir-akhir ini tentang ekses-ekses pembangunan, maka
kiranya pemerintah perlu memperhatikan hal-hal sebagai berikut :
Pertama, selalu mengadakan pendekatan-pendekatan dialogis dan
komunikatif secara intensif, pendekatan yang demikian jangan hanya
dilakukan sesudah munculnya masalah, melainkan harus dimulai semenjak
perencanaan itu dibuat.
Kedua, perlu ditekankan sikap obyektif di dalam menentukan makna dan
nilai guna pembangunan yang dikaitkan dengan nilai-nilai dan kepercayaan
setempat, sehingga jika terjadi perbedaan antara pengambil kebijakan
dengan masyarakat atas proyek pembangunan tersebut, masyarakat tidak
dipojokkan pada jargon-jargon anti pembangunan dan tidak Pancasilais,
serta sebutan-sebutan lainnya.
Ketiga, hendaknya posisi aparat keamanan tidak sekedar
sebagai 'pemukul' di lapangan yang menakutkan masyarakat, tetapi
seharusnya sebagai 'wasit' pembangunan yang netral dan obyektif. Hal ini
sangat penting, dikarenakan selama ini jika terjadi kasus serupa,
biasanya aparat keamanan memihak kepada pemerintah, dan sebaliknya
kurang mempertimbangkan aspirasi dan kepentingan masyarakat
Sebagai wujud dari kepedulian Kelompok Cipayung terhadap problem-problem
kemasyarakatan, khususnya tragedi Waduk Nipah maka Kelompok Cipayung
membentuk 'Tim Pengumpulan Fakta' guna membantu penyelesaiaan kasus
tersebut. Tim Pengumpulan Fakta tersebut akan mulai bekerja dan terjun
dilapangan pada besok hari Senin, 18 oktober 1993.
Mengambil hikmah atas Tragedi Waduk Nipah tersebut, Kelompok Cipayung
menghimbau kepada pemerintah dan seluruh pelaksana pembangunan ‘jangan
jadikan rakyat sebagai tumbal pembangunan'.
Jakarta, 15 OKtober 1993
Atas Nama Kelompok Cipayung
Ketua Umum PP GMKI Immanuel E. Bleggur; Ketua Presidium, Presidium GMNI
Herry Wardono, Ketua Umum PB HMI M. Yahya Zaini, Ketua Umum PB PMI
Ali Masykur Musa, Ketua Presidium PP PMKRI. Leonardo J. Renyut.
PERNYATAAN SIKAP KELOMPOK CIPAYUNG
Disadari bahwa Pemilu adalah bagian penting dari proses berdemokrasi di
Indonesia, karena itu Pemilu mempunyai arti dan pengaruh yang besar
terhadap praktek penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan. Hal ini
nampak dari hakikat Pemilu sebagai sarana pelaksanaan asas kedaulatan
rakyat, dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan
Pancasila.
Mencermati pentingnya arti Pemilu di atas, maka segenap upaya untuk
mensukseskan dan meningkatkan kualitas pelaksanaan Pemilu, menjadi
kebutuhan yang tidak dapat ditunda pemenuhannya. Sebagai perwujudan
kedaulatan rakyat, tuntutan peningkatan kualitas Pemilu, bukan hanya
menjadi tanggung jawab pemerintah, atau kekuatan-kekuatan sosial politik
lainnya, melainkan kewajiban seluruh komponen masyarakat Indonesia.
Setelah mengkaji pengalaman masa lampau, mencermati situasi sosial
politik akhir-akhir ini, juga prediksi dan harapan masa depan bangsa
yang lebih baik, maka Kelompok Cipayung yang terdiri dari: PB HMI, PP
PMKRI, PP GMKI, PRESIDIUM GMNI, PB PMII, menyatakan sikap dan harapan
sebagai berikut:
1. Kesadaran politik rakyat yang semakin tinggi sebagai “buah” dari
pembangunan politik Orde Baru (Orba), mesti dipandang sebagai suatu
kemajuan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara dan
karenanya harus ditingkatkan dan diberi ruang yang cukup bagi perwujudan
dan penyalurannya. Pemilu dan kesadaran politik rakyat adalah dua hal
yang simbiosis mutualistik. Kesadaran politik rakyat yang tinggi, akan
menghasilkan partisipasi politik dalam Pemilu yang lebih bermakna,
sehingga tercipta Pemilu yang berkualitas, yang dapat menjamin realitas
pencapaian tujuan-tujuan Pemilu. Sebaliknya Pemilu yang berkualitas,
merupakan ajang pendidikan politik yang sehat dan dinamis, sekaligus
merupakan pengalaman politik rakyat yang akan semakin menyuburkan
kesadaran dan partisipasi politik rakyat pasca Pemilu. Oleh karena itu
segenap apresiasi kerakyatan yang bertujuan meningkatkan kesadaran
politik masyarakat dan kualitas Pemilu hendaknya tidak dipandang sebagai
gerakan anti-kemapanan, gerakan ekstrim, tindakan yang di luar sistem,
atau cap-cap lainnya yang pada hakekatnya tidak bernuansa pendidikan
politik.
2. Penyelenggaraan Pemilu, harus benar-benar diorientasikan bagi
peningkatan dinamika fungsi dari seluruh organ demokrasi bangsa. Orba
memang telah berhasil membangun format politik dan format demokrasi yang
kokoh. Persoalannya, tidak semua organ demokrasi menjalankan
fungsinya sebagaimanan termaktub dalam UUD 1945 dan hukum politik
lainnya yang lebih rendah. Terdapat kesan yang cukup kuat dalam
masyarakat, bahwa perangkat demokrasi kita sangat didominasi oleh
lembaga eksekutif yang tidak saja berkonsekuensi pada ketergantungan
yang cukup besar terhadap lembaga eksekutif, juga menjadi kendala bagi
peningkatan kualitas berdemokrasi di Indonesia. Oleh karena itu,
segenap komponen masyarakat yang harus disiapkan sedini mungkin untuk
mendorong dan berpartisipasi aktif melalui Pemilu untuk mencapai
orientasi dimaksud.
3. Organisasi sosial politik (Orsospol) sebagai unsur penting dalam
proses Pemilu, harus lebih mandiri, berani, dan kreatif dalam
melaksanakan fungsi-fungsi politik, khususnya yang berkenaan dengan
Pemilu. Undang-undang di bidang politik menjamin kesamaan hak ketiga
Orsospol di hadapan rakyat, hukum dan pemerintahan. Prinsip kesamaan
hak ini, harus benar-benar ditonjolkan dalam penyelenggaraan Pemilu dan
benar-benar diorientasikan bagi kesatuan bangsa, kepentingan masyarakat,
dan kesinambungan pembangunan, oleh karena itu Kelompok Cipayung
menyesalkan perilaku politik Orsospol yang hanya mengutamakan
kepentingan politik masing-masing. Seluruh Orsospol adalah produk Orba,
dan Orba adalah produk politik seluruh masyarakat, termasuk Orsospol.
Karena itu, Orba, masyarakat, dan Orsospol adalah suatu kesatuan sinergi
yang merupakan jaminan terhadap masa depan bangsa yang lebih baik.
4. Kelompok Cipayung menyadari bahwa kehadiran 5 (lima) UU di bidang
politik adalah upaya bersama rakyat dan pemerintah untuk menjamin
keberhasilan dan keberlangsungan pelaksanaan tugas-tugas pemerintahan
dan pembangunan. Sasaran ini, hanya dapat tercapai bila kehadiran lima
UU di bidang politik mampu mendorong proses pembangunan politik di
Indonesia, yang berlandaskan pada prinsip equalitas, differensiasi
politik dan penguatan dinamika sistem politik nasional berdasarkan
Pancasila dan UUD 1945. Kelompok Cipayung mengamati, bahwa pembangunan
politik hingga saat ini belum mampu mengokohkan tiga prinsip di atas,
bahkan cenderung menggoyahkannya. Oleh karena itu, Kelompok Cipayung
mengharapkan proses Pemilu yang sedang dijalani harus benar-benar
dijadikan ajang diskursus nasional yang kreatif, sehat, dan dinamis dari
seluruh komponen masyarakat bersama-sama pemerintah guna menemukan
jalan damai bagi pemantapan kehidupan politik nasional di satu sisi, dan
implikasinya bagi arah dan aspek kehidupan berbangsa lainnya.
5. Pengalaman penyelenggaraan Pemilu di Indonesia menunjukkan bahwa
aspek pengawasan Pemilu, selain masih terkesan formal dan kurang
fungsional, juga penyelenggaran dan pertanggungjawabannya masih berputar
dalam lingkaran elit politik nasional. Proses pengawasan pemilu selama
ini, belum mampu mengekspresikan kontrol sosial rakyat atas
pelaksanaan kedaulatan mereka. Kedaulatan rakyat dalam mengawasi Pemilu
belum terwujud secara utuh. Oleh karena itu, Kelompok Cipayung
menyerukan kepada pemerintah, komponen kenegaraan, dan seluruh
kemasyarakatan lainnya untuk mengembangkan pemikiran konstruktif bagi
penyelenggaraan Pemilu yang berkualitas, termasuk menggagaskan dan
mendorong proses pelaksanaan Pemilu yang berkualitas. Untuk itu, perlu
dikembangkan ruang yang lebih besar dan kondusif untuk menampung
dinamika partisipasi masyarakat dalam mengawasi Pemilu.
6. Pelaksanaan kampanye sebagai salah satu sub-proses Pemilu, harus
benar-benar dipersiapkan dan dilaksanakan secara baik. Pengalaman
menujukkan bahwa tendensi menjadikan kampanye sebagai sekoci penolong
masih cukup kuat. Seharusnya kampanye harus dijadikan ajang pendidikan
politik masyarakat. Karena itu, kampanye harus mampu membentuk wawasan
politik masyarakat kuat, meningkatkan kesadaran politik, dan memantapkan
moral politik rakyat berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Kampanye
perlu ditatakembangkan menjadi ajang pengagregasian dan pengartikulasian
kepentingan rakyat, baik dalam perspektif tuntutan maupun dukungan.
Kampanye juga harus berlangsung dalam komitmen yang kuat dari setiap
Orsospol untuk menjamin konsistensi sikap dan kebijakan politik, baik
dalam perspektif program pembangunan maupun dalam perspektif
kepemimpinan nasional. Sebuah penyelenggaraan kampanye hendaklah
didasarkan kesadaran kebangsaan yang utuh, semangat kebersamaan yang
kokoh, dan kepedulian yang tulus untuk memajukan masyarakat dan Bangsa
Indonesia.
7. Pencalonan dan pemilihan anggota DPR dan MPR sebagai bagian penting
dari proses Pemilu, juga perlu mendapatkan perhatian seksama. Proses
pencalonan dimaksud, hendaklah benar-benar didasarkan kepada kehendak
politik rakyat. Demokrasi dengan sistem perwakilan sebagaimana
diterapkan di Indonesia, harus benar-benar menjamin prinsip kualitas dan
representativeness secara bersama-sama. Kita harus menghindari proses
pencalonan yang didasarkan pada kedekatan-kedekatan tertentu, atau
kepentingan politik tertentu. Semua pihak justru dituntut tanggung
jawabnya untuk membentuk lembaga perwakilan yang berkualitas, melalui
pencalonan dan pemilihan wakil-wakil rakyat yang berkualitas.
Demikianlah pokok-pokok pernyataan sikap dan harapan Kelompok Cipayung menyangkut Pemilu 1997 mendatang.
Jakarta, 7 Mei 1996
Kelompok Cipayung
Pengurus Besar HMI, Taufiq Hidayat, Ketua Umum; Pengurus Pusat PMKRI,
Antonius Doni, Ketua Presidium; Pengurus Pusat GMKI, Emmanuel E.
Blegur, Ketua Umum; Presidium GMNI, Ayi Vivananda, Ketua Umum;
Pengurus Besar PMII, Muhaimin Iskandar, Ketua Umum.
Refleksi Akhir Tahun 1997 Kelompok Cipayung
PB HMI, PP PMKRI, PP GMKI, PRESIDIUM GMNI, PB PMII
1. Sepanjang tahun 1997 kehidupan kemasyarakatan, kebangsaan, dan
kenegaraan kita banyak diwarnai dengan peristiwa kekerasan antarsesama
warga masyarakat dan penyalahgunaan kekuasaan seperti tindakan
represif, kolusi, korupsi, dan monopoli. Ada pun alasannya
bentuk-bentuk kerusuhan sosial dan penyalahgunaan kekuasaan tersebut,
telah menjauhkan rakyat dari rasa dan semangat keadilan. Kami yakin
bahwa, keadilan merupakan kata kunci untuk merefleksikan semua
peristiwa yang memprihatinkan selama tahun 1997.
2. Berbagai bentuk kerusuhan sosial yang merebak sepanjang tahun 1997
secara nyata memanfaatkan fakta perbedaan yang ada dalam masyarakat
bangsa ini, seperti sara yang sejak dahulu diyakini sebagai kekuatan.
Tentu saja pluralitas bangsa ini bukan penyebab dari
kerusuhan-kerusuhan tersebut.
3. Praktek ketidakadilan dalam proses pembangunan tersebut semakin
merajalela bersamaan dengan maraknya korupsi, kolusi, monopoli,
nepotisme, dan manipulasi yang bersumber dari semakin merosotnya moral
para penyelenggara negara.
4. Di bidang politik kualitas demokrasi sebagai perwujudan demokrasi
Pancasila tidak mengalami peningkatan, bahkan cenderung menurun bentuk
pelanggaran dalam pelaksanaan Pemilu secara kualitas dan kuantitas
mengalami pengalami peningkatan. Hal yang sama juga terjadi dalam
kebijakan keamanan. Tindakan represif dan praktik kambing hitam dalam
berbagai bidang cenderung meningkat dibandingkan tahun-tahun sebelumnya.
5. Kualitas pelaksanaan hukum selama tahun 1997 pun sangat
memprihatinkan. Makin hari rakyat tidak lagi mempercayai hukum sebagai
piranti untuk menjamin rakyat. Pada banyak kejadian hukum justru
digunakan untuk menindas rakyat. Dengan demikian hukum yang sedang kita
praktekkan kini adalah hukum yang bukan diperuntukkan untuk menjamin
keadilan rakyat. Fungsi hukum sebagai alat kontrol pun tidak lagi dapat
berjalan dengan baik.
6. Lemahnya kontrol terhadap penyelenggaraan negara tersebut telah
menimbulkan dampak yang sangat luas dan sistematik. Di dalam masyarakat,
misalnya yang berkembang adalah kritis kepercayaan terhadap pemerintah.
Adanya krisis ini antara lain, telah mendorong rakyat untuk mencari
keadilan secara sendiri-sendiri sebagaimana berwujud dalam bentuk
kerusuhan-kerusuhan sosial. Dampak lain yang tak kalah gawatnya adalah
terjadinya krisis moneter yang sampai hari ini masih mencekam.
Dari keseluruhan kenyataan seperti tersebut di atas, kami, organisasi
kemahasiswaan yang tergabung dalam Kelompok Cipayung menyatakan
penyataan sikap sebagai berikut:
A. Agar merevisi pendekatan pembangunan yang selama ini diterapkan,
sekaligus juga melakukan reformulasi terhadap berbagai kebijakan yang
akan dilaksanakan pada saat-saat mendatang. Kami menegaskan bahwa, apa
pun pendekatan pembangunan yang diterapkan harus secara langsung
memberikan kesempatan pada rakyat seluas-luasnya untuk berperan serta
dan secara secara transparan, serta adil memberikan prioritas kepada
rakyat atau kelompok masyarakat yang secara sosial-ekonomi lebih lemah
untuk meningkatkan kesejahteraan.
B. Menurut adanya penyusutan dan pertanggungjawaban secara tuntas
terhadap praktek-praktek korupsi, kolusi, manipulasi, yang menyebabkan
pemborosan pembangunan dan rusaknya moral para penyelenggara negara.
Selain itu, kami mendesak diadakannya undang-undang yang tegas dan
transparan menolak setiap bentuk manipulasi yang selama ini terbukti
sangat merugikan upaya pembangunan rakyat yang adil, makmur, dan kokoh.
C. Sebagai generasi muda yang bertanggung jawab, kami tentu tidak lari
dari tanggung jawab untuk memikul beban atas berbagai hal yang terjadi,
termasuk utang negara yang kini membumbung. Tetapi perlu kami ingatkan
bahwa, kami tentu menolak menanggung beban utang dan segala konsueksinya
yang bersumber dari keserakahan dan vested interest orang perorang atau
sekelompok orang yang mengatasnamakan negara dan rakyat Indonesia
seluruhnya. Karena itu, kami mendesak agar utang negara dan utang swasta
yang turut membebani perekonomian negara untuk di atasi sesegera
mungkin. Kami juga menuntut agar semua bentuk pinjaman negara atau
swasta agar dimanfaatkan dan dikontrol untuk tujuan-tujuan yang
produktif dan bermanfaatkan bagi kesejateraan rakyat.
D. Sebagai bagian dari bangsa ini, kami terlibat dan sungguh
merasakan kesulitan perekonomian nasional yang saat ini sedang terjadi.
Kami menyatakan keprihatinan dan solidaritas kepada kaum buruh, para
pedagang kecil, para petani, dan lapisan masyarakat bawah yang paling
merasakan dampak dan krisis ekonomi ini. Bersama-sama dengan mereka yang
paling merasakan dampak dari krisis tersebut, kami mengecam setiap
upaya dari pemilik modal yang mencari keuntungan dan keselamatan dirinya
sendiri dengan melarikan modalnya keluar negerinya.
E. Untuk menyelamatkan perekenomian nasional dari krisis yang tengah
terjadi, kami mendesak presiden segera mengeluarkan instruksi dan/ atau
kebijakan yang mengikat secara hukum agar para pemilik modal menarik
dana yang diparkir di luar negeri.
F. Menyambut tahun 1988 yang penuh dengan tantangan, kami mengajak
seluruh lapisan masyarakat untuk melupakan semua peristiwa yang
menyakitkan, peristiwa yang melukai perasaan, atau kejadian apa pun yang
menjadikan kita sebagai korban. Ajakan ini tidak dimaksudkan untuk
mencampakkan begitu saja penegakan keadilan melalui undang-undang atau
peraturan yang berlaku, tetap semata-mata untuk menyatukan semangat,
solidaritas, dan harapan yang baru di atas cita-cita keadilan yang
terbukti telah menyatukan kita selama setengah abad. Tekan untuk
mencapai Indonesia yang cita-citakan akan tercapai bila kita bersatu
dalam semangat dan harapan. Mari kita bersatu membangun, menuntut
keadilan, dan demokrasi!
Jakarta, 24 Desember 1997
PB HMI Anas Urbaningrum, Ketua Umum; PP GMKI P. Foekh, Pjs. Ketua Umum;
Presidium GMNI Ayi Vivananda, Ketua Presidium; PB PMII Saiful Bahri
Anshori, Ketua Umum; PP PMKRI Antonius Doni, Ketua Presidium.
kelompokcipayung.blogspot.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar