Selasa, 16 Juli 2013

Pertanian Selaras Alam



Oleh Jakob Siringoringo
            Secara umum produk utama para petani berasal dari alam pertanian. Produk pertanian yang mereka tanam menjadi hasil yang diharapkan oleh petani demi keberlangsungan hidup sehari-hari. Dengan demikian, mereka tergantung sepenuhnya akan panen dari lahan pertanian.
            Petani zaman sekarang sangat akrab dengan pupuk buatan (: kimia). Mereka ketergantungan terhadap pupuk demi asa yang mereka tunggu di saat panen. Setiap kali menanam jenis tanaman, baik jenis tanaman muda maupun tua/keras, para petani selalu memikirkan pupuk buatan untuk membuat tanamannya tumbuh subur, cepat, dan berbuah banyak. Hasilnya pun bukan menegasi, benar membantu petani dalam meningkatkan cara bertani.
            Pupuk buatan akhirnya menjadi kebiasaann yang sulit mereka lupakan. Untuk apa mereka melupakan pupuk buatan sementara pupuk tersebut menolong petani menggandakan pendapatannya? Pertanyaan seperti ini tentu tidak mudah kita jawab. Kemauan untuk mengubah pola bertani yang sudah ada akan sulit karena petani kita kadung tergantung pada “kekuatan ampuh” pupuk buatan “menyulap” tanaman menghasilkan panen lipat ganda.
            Sekadar mengingatkan kembali, pertanian di Indonesia yang kemudian akrab dengan pupuk buatan dimulai saat “revolusi hijau” dicanangkan pemerintah Orde Baru pada era 1980-an. Tak heran ketika itu, Indonesia booming dengan swasembada pangan. Swasembada lantas melambungkan nama Indonesia, terlebih nama Soeharto sebagai orang nomor satu Orde Baru.
            Kelebihan pertanian ala revolusi hijau telah membuktikan kepada masyarakat bahwa dengan menggunakan pupuk buatan, petani seolah lebih diuntungkan. Penggunaan pupuk buatan pun berjalan lancar tanpa hambatan berarti dari masyarakat. Sampai sekarang, tak terbendung.
            Lalu apa dampak negatifnya? Di sini bukan saja dampak negatif secara teknis, melainkan berjangka panjang. Pertama, pupuk buatan pasti bernilai jual. Setelah petani berhasil tergiur dengan peningkatan jumlah panen seperti dipertontonkan Orde Baru, maka pupuk buatan menjadi buruan berharga. Pupuk bahkan lebih dari emas bagi petani. Singkat cerita, bisnis pupuk buatan mulai menggondol keuntungan besar-besaran. Jangan lupa, masyarakat Indonesia mayoritas bekerja sebagai petani. Indonesia kerap disapa sebagai negara agraris.
            Akibat pupuk buatan, kantong petani mulai “bocor”. Sementara pentingnya pupuk sudah seperti tak tergantikan lagi. Gairah petani dalam bertani bertambah hanya jika pupuk buatan bisa mereka beli dan dapatkan. Beberapa dekade lalu, pupuk buatan boleh lancar. Sementara kini, pupuk selain mahal, yang lebih menyakitkan lagi, langka. Meskipun mahal, petani tetap membelinya, asalkan ada. Ketergantungan terhadap pupuk memaksa emas berubah menjadi pupuk buatan.
            Kedua, pupuk buatan rupanya membiakkan ulat-ulat atau hama tanaman. Tentu saja hama tanaman yang berkembang biak tak hanya satu atau dua jenis, tetapi puluhan. Apa yang dilakukan untuk mengatasi hama? Petani jelas tidak mau mematikan tanamannya apalagi jika sudah menjelang panen. Maka, peramu obat-obatan tanaman pun memasarkan obat baru lagi khusus membunuh hama. Lagi-lagi, petani harus merogoh kocek demi mempertahankan tanaman mereka yang menjadi syarat utama mereka dalam mencari nafkah.
            Ketiga, pupuk buatan ternyata merangsang tanaman terutama tanaman muda yang biasa dikonsumsi seperti sayur-sayuran untuk mendatangkan bibit penyakit. Tanaman sayuran atau buah-buahan dan sebagainya jelas tak higienis akibat dari pupuk buatan atau racun hama yang disemprotkan ke dalamnya. Karena itu, dokter siaga dan menyarankan agar selalu mencucinya terlebih dulu sebelum dimasak atau disajikan jadi santapan keluarga.
            Bahkan sekarang ini, jenis buah-buahan kabarnya tak hanya menyimpan bakteri yang datang dari pupuk buatan dan racun yang disemprot. Buah-buahan segar yang dijual di pasar-pasar tak jarang sudah disuntik dengan pewarna untuk mempercantik tampilan buah tersebut. Tentu bisa dibayangkan betapa tindih-menindih jamur yang melekat dalam buah-buahan. Maka buah-buahan seperti ini bukan membantu manusia lebih sehat, malah sebaliknya menambah penyakit.
            Saya pernah mendengar saran dokter begini: rumus sehat adalah makanan sehat. Mengacu pada makanan sehat, bagaimana lagi memilah makanan sehat dari alam pertanian yang sudah dipenuhi dengan pupuk kimia dan racun hama yang notabene tak bagus buat kesehatan manusia? Agaknya persoalan penyakit merupakan satu dampak terburuk dari pertanian instan ala revolusi hijau. Tentu saja tak bisa dipungkiri, sifat manusia memimpikan keuntungan sebesar-besarnya. Namun inilah ironi yang diciptakan pemerintah negeri sendiri.
            Sebagai refleksi atas kondisi sistem pertanian kita, tak dipungkiri kembali ke sistem pertanian selaras alam (PSA) akan membantu menurunkan tingkat “kerusakan” manusia. Sudah saatnya petani beralih dari kebiasaan lama atas ketergantungan pada pupuk buatan yang menjanjikan keuntungan lipat ganda, tapi dalam jangka pendek. Buktinya, sampai sekarang, petani tidak pernah dibela pemerintah. Artinya, keuntungan petani yang harusnya menjadi kenyataan justru bergeser menjadi mimpi belaka.
            PSA bermaksud mengembalikan rutinitas petani dengan mengandalkan sisi natural dalam bertani. Misalnya, pupuk buatan dapat diganti dengan pupuk kompos yang merupakan olahan petani secara langsung baik dari kotoran hewan peliharaan seperti, ayam, kerbau atau sapi. Cara ini biasa kita dengar yakni penggunaan pupuk organik dan pupuk alami. Dengan menggunakan pupuk organik, risiko tanaman menularkan bakteri atau membuat manusia bisa sakit akan berkurang.
            Kemudian dengan memanfaatkan pupuk alami, para petani bisa lebih memanfaatkan alam setempat yang kemudian menghidupkan kembali tradisi atau budaya lokal. Selain itu, agaknya pemberdayaan masyarakat akan semakin membiasa. Ini artinya, kekerabatan dalam lingkungan semakin erat dengan mengedepankan ciri gotong royong. Dengan demikian, sikap ketergantungan secara ekonomis (material) bisa dikendalikan. Ketatnya budaya material sekarang ini banyak memengaruhi sikap lama masyarakat terlebih petani.
            PSA saya kira bisa dipertimbangkan menjadi jawaban bagi sistem pertanian kita saat ini. Kita tahu jika petani yang sudah ketergantungan pada sistem pertanian saat ini yang turut merusak lingkungan akan sulit diajak berpindah ke sistem pertanian selaras alam. Akan tetapi, tuan dan puan, saya pikir perubahan demi kemaslahatan semua umat harus kita dukung. Tanpa melebih-lebihkan, saya berkeyakinan jika PSA kita galakkan mulai dari sekarang sampai kembali menjadi suatu kebiasaan, maka seluruh kelebihan sistem lama akan dibayar lunas bahkan lebih.
Karena itu, bertani selaras alam mari kita dukung dan wujudkan dengan bekerja keras. Mudah-mudahan dengan pertanian selaras alam, Indonesia kembali dapat surplus, tanpa harus mengimpor segala sesuatunya dari luar negeri. Menurut hemat saya, petani-petani di Indonesia adalah petani yang tangguh dan cerdas, tak elok meragukan itu.
Penulis adalah anggota Kelompok Diskusi dan Aksi Sosial (KDAS)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar