Oleh Jakob
Siringoringo
Secara
umum produk utama para petani berasal dari alam pertanian. Produk pertanian
yang mereka tanam menjadi hasil yang diharapkan oleh petani demi
keberlangsungan hidup sehari-hari. Dengan demikian, mereka tergantung
sepenuhnya akan panen dari lahan pertanian.
Petani
zaman sekarang sangat akrab dengan pupuk buatan (: kimia). Mereka
ketergantungan terhadap pupuk demi asa yang mereka tunggu di saat panen. Setiap
kali menanam jenis tanaman, baik jenis tanaman muda maupun tua/keras, para
petani selalu memikirkan pupuk buatan untuk membuat tanamannya tumbuh subur,
cepat, dan berbuah banyak. Hasilnya pun bukan menegasi, benar membantu petani
dalam meningkatkan cara bertani.
Pupuk
buatan akhirnya menjadi kebiasaann yang sulit mereka lupakan. Untuk apa mereka
melupakan pupuk buatan sementara pupuk tersebut menolong petani menggandakan
pendapatannya? Pertanyaan seperti ini tentu tidak mudah kita jawab. Kemauan
untuk mengubah pola bertani yang sudah ada akan sulit karena petani kita kadung
tergantung pada “kekuatan ampuh” pupuk buatan “menyulap” tanaman menghasilkan
panen lipat ganda.
Sekadar
mengingatkan kembali, pertanian di Indonesia yang kemudian akrab dengan pupuk
buatan dimulai saat “revolusi hijau” dicanangkan pemerintah Orde Baru pada era
1980-an. Tak heran ketika itu, Indonesia booming
dengan swasembada pangan. Swasembada lantas melambungkan nama Indonesia,
terlebih nama Soeharto sebagai orang nomor satu Orde Baru.
Kelebihan
pertanian ala revolusi hijau telah membuktikan kepada masyarakat bahwa dengan
menggunakan pupuk buatan, petani seolah lebih diuntungkan. Penggunaan pupuk
buatan pun berjalan lancar tanpa hambatan berarti dari masyarakat. Sampai
sekarang, tak terbendung.
Lalu apa
dampak negatifnya? Di sini bukan saja dampak negatif secara teknis, melainkan
berjangka panjang. Pertama, pupuk buatan pasti bernilai jual. Setelah petani
berhasil tergiur dengan peningkatan jumlah panen seperti dipertontonkan Orde
Baru, maka pupuk buatan menjadi buruan berharga. Pupuk bahkan lebih dari emas
bagi petani. Singkat cerita, bisnis pupuk buatan mulai menggondol keuntungan
besar-besaran. Jangan lupa, masyarakat Indonesia mayoritas bekerja sebagai
petani. Indonesia kerap disapa sebagai negara agraris.
Akibat
pupuk buatan, kantong petani mulai “bocor”. Sementara pentingnya pupuk sudah
seperti tak tergantikan lagi. Gairah petani dalam bertani bertambah hanya jika
pupuk buatan bisa mereka beli dan dapatkan. Beberapa dekade lalu, pupuk buatan
boleh lancar. Sementara kini, pupuk selain mahal, yang lebih menyakitkan lagi,
langka. Meskipun mahal, petani tetap membelinya, asalkan ada. Ketergantungan
terhadap pupuk memaksa emas berubah menjadi pupuk buatan.
Kedua,
pupuk buatan rupanya membiakkan ulat-ulat atau hama tanaman. Tentu saja hama
tanaman yang berkembang biak tak hanya satu atau dua jenis, tetapi puluhan. Apa
yang dilakukan untuk mengatasi hama? Petani jelas tidak mau mematikan
tanamannya apalagi jika sudah menjelang panen. Maka, peramu obat-obatan tanaman
pun memasarkan obat baru lagi khusus membunuh hama. Lagi-lagi, petani harus
merogoh kocek demi mempertahankan tanaman mereka yang menjadi syarat utama
mereka dalam mencari nafkah.
Ketiga,
pupuk buatan ternyata merangsang tanaman terutama tanaman muda yang biasa
dikonsumsi seperti sayur-sayuran untuk mendatangkan bibit penyakit. Tanaman
sayuran atau buah-buahan dan sebagainya jelas tak higienis akibat dari pupuk
buatan atau racun hama yang disemprotkan ke dalamnya. Karena itu, dokter siaga
dan menyarankan agar selalu mencucinya terlebih dulu sebelum dimasak atau
disajikan jadi santapan keluarga.
Bahkan
sekarang ini, jenis buah-buahan kabarnya tak hanya menyimpan bakteri yang
datang dari pupuk buatan dan racun yang disemprot. Buah-buahan segar yang
dijual di pasar-pasar tak jarang sudah disuntik dengan pewarna untuk
mempercantik tampilan buah tersebut. Tentu bisa dibayangkan betapa
tindih-menindih jamur yang melekat dalam buah-buahan. Maka buah-buahan seperti
ini bukan membantu manusia lebih sehat, malah sebaliknya menambah penyakit.
Saya
pernah mendengar saran dokter begini: rumus sehat adalah makanan sehat. Mengacu
pada makanan sehat, bagaimana lagi memilah makanan sehat dari alam pertanian
yang sudah dipenuhi dengan pupuk kimia dan racun hama yang notabene tak bagus
buat kesehatan manusia? Agaknya persoalan penyakit merupakan satu dampak
terburuk dari pertanian instan ala revolusi hijau. Tentu saja tak bisa
dipungkiri, sifat manusia memimpikan keuntungan sebesar-besarnya. Namun inilah
ironi yang diciptakan pemerintah negeri sendiri.
Sebagai
refleksi atas kondisi sistem pertanian kita, tak dipungkiri kembali ke sistem
pertanian selaras alam (PSA) akan membantu menurunkan tingkat “kerusakan”
manusia. Sudah saatnya petani beralih dari kebiasaan lama atas ketergantungan
pada pupuk buatan yang menjanjikan keuntungan lipat ganda, tapi dalam jangka
pendek. Buktinya, sampai sekarang, petani tidak pernah dibela pemerintah.
Artinya, keuntungan petani yang harusnya menjadi kenyataan justru bergeser
menjadi mimpi belaka.
PSA
bermaksud mengembalikan rutinitas petani dengan mengandalkan sisi natural dalam
bertani. Misalnya, pupuk buatan dapat diganti dengan pupuk kompos yang
merupakan olahan petani secara langsung baik dari kotoran hewan peliharaan
seperti, ayam, kerbau atau sapi. Cara ini biasa kita dengar yakni penggunaan
pupuk organik dan pupuk alami. Dengan menggunakan pupuk organik, risiko tanaman
menularkan bakteri atau membuat manusia bisa sakit akan berkurang.
Kemudian
dengan memanfaatkan pupuk alami, para petani bisa lebih memanfaatkan alam
setempat yang kemudian menghidupkan kembali tradisi atau budaya lokal. Selain
itu, agaknya pemberdayaan masyarakat akan semakin membiasa. Ini artinya,
kekerabatan dalam lingkungan semakin erat dengan mengedepankan ciri gotong
royong. Dengan demikian, sikap ketergantungan secara ekonomis (material) bisa
dikendalikan. Ketatnya budaya material sekarang ini banyak memengaruhi sikap
lama masyarakat terlebih petani.
PSA saya
kira bisa dipertimbangkan menjadi jawaban bagi sistem pertanian kita saat ini.
Kita tahu jika petani yang sudah ketergantungan pada sistem pertanian saat ini
yang turut merusak lingkungan akan sulit diajak berpindah ke sistem pertanian
selaras alam. Akan tetapi, tuan dan puan, saya pikir perubahan demi
kemaslahatan semua umat harus kita dukung. Tanpa melebih-lebihkan, saya
berkeyakinan jika PSA kita galakkan mulai dari sekarang sampai kembali menjadi
suatu kebiasaan, maka seluruh kelebihan sistem lama akan dibayar lunas bahkan
lebih.
Karena itu, bertani selaras alam mari kita dukung dan
wujudkan dengan bekerja keras. Mudah-mudahan dengan pertanian selaras alam,
Indonesia kembali dapat surplus, tanpa harus mengimpor segala sesuatunya dari
luar negeri. Menurut hemat saya, petani-petani di Indonesia adalah petani yang
tangguh dan cerdas, tak elok meragukan itu.
Penulis adalah anggota Kelompok
Diskusi dan Aksi Sosial (KDAS)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar