NASIONALISME
Bagi
Indonesia zaman kita ini kata nasionalisme bukan lagi menjadi pengertian baru
atau suatu pengertian yang belum dikenal orang, bahkan bagi seluruh Asia modern
kata itu telah menjadi air mandi. Sebab bukankah selama lebih dari setengah abad
gerakan kebangsaan menjadi impian dan tujuan beribu-ribu bangsa Indonesia dan
bukankah sejarah Asia selama itu boleh dikatakan sangat banyak sangkut pautnya
dengan nasionalisme? Akan kita katakan sesuatu tentang sejarah itu, demikian
pula tentang gejala yang dinyatakan oleh pengertian itu. Nasionalisme itu
awalnya timbul pada zaman renaissance dan kira-kira sama dengan pembaharuan
dalam Gereja.
Tetapi
sebelum melukiskan secara kasar tentang sejarah kejadian nasionalisme itu ada
buruknya, jika kita melenyapkan beberapa
salah faham yang biasa terjadi dalam hubungan pengertian itu. Cinta kepada
tempat kita dilahirkan—menurut Vondel seorang penyair Belanda telah menjadi
pembawaan bagi tiap-tiap manusia—tidak
sama dengan nasionalisme walaupun kedua pengertian itu sering dikacaukan orang.
Cinta terhadap tempat tumpah darah , untuk membedakan akan kita sebut
patriotisme (Latin: pater = ayah, patria = tanah bapa = tanah air). Dan kedua
pengertian itu jangan pula kita kacaukan dengan chauvinisme, yakni rasa mesra kepada apa yang menjadi kepunyaan
sendiri dengan cara berlebihan. Patriotisme dan chauvinisme itu lebih primitif daripada perasaan nasional.
Kedua-duanya berdasarkan rasa mesra yang sudah sewajarnya terdapat pada
manusia, boleh kita katakan mesra hewani terhadap apa yang telah menjadi
kepunyaan sendiri, kepada apa yang telah menjadi akrab, desa tempat kita
dilahirkan, lingkungan tempat orang dibesarkan, tempat orang merasa lebih aman,
lebih terjamin daripada di tempat lain karena perasaan yang tak dapat
dirumuskan.
Patriotisme
dan chauvinisme itu sedikit
hubungannya dengan batas-batas negara tempat kita diam. Erat hubungannya dengan
keadaan seseorang, misalnya dari mana ia datang, dan di mana ia dibesarkan.
Orang yang pada masa mudanya tak pernah keluar dari tanah Batak, Jawa Tengah
atau Flores lebih banyak ikatan patriotnya dengan daerah-daerah itu daripada
dengan Indonesia sebagai kesatuan. Lain halnya dengan seseorang yang ibunya
berasal dari Bali, ayahnya berasal dari Aceh dan dibesarkan di Jawa Timur. Di
Eropa sendiri yang telah lama mengenal “nation” atau bangsa masih terdapat
patriot Breton di Perancis, patriot Beleren di Jerman, patriot Skotlandia di
tanah Inggris, dan patriot di Friesland di Belanda.
Pada chauvinisme ikatan dengan kepunyaan sendiri sangat melebihi batas.
Bagi seorang chauvinis yang terdapat
di tempat sendiri pasti lebih baik, lebih indah, lebih berharga. Pada cahuvinisme jelas kelihatan insting
seperti yang diajarkan etnologi jadi perasaan yang berdasarkan rasa
takut-khawatir, menganggap musuh segala asing baginya. Tetapi orang yang
beradab dalam diri mereka masih ada tersembunyi perasaan
primitif—merasionalisir perasaan itu, artinya memberikan dasar akal budi pada chauvinisme itu. Bangsa asing tidak lagi
diserangnya dengan tombak atau lembing, melainkan menganggap diri dan orang
setanah airnya lebih unggul daripada bangsa lain.
Patriotisme
dan cahuvinisme semata-mata reaksi
psikologi, sedangkan nasionalisme adalah suatu gejala sejarah; di Eropa asalnya
dapat kita cari pada abad ke-15. Akan kita kemukakan saja tingkat-tingkat
pertama dalam perkembangan nasionalisme itu, jadi hingga Revolusi Perancis
(1789). Pada abad ke-19 nasionalisme itu artinya bertambah luas dan dalam abad
ke-20 tidak terbatas di Eropa saja, melainkan telah sampai ke Amerika, Asia
bahkan Afrika.
Sebelum
kita membicarakan bagaimana terjadinya nasionalisme akan kita hilangkan sebuah
hal lagi, yang juga menimbulkan salah faham. Hal itu dapat kita ketahui dengan
pertanyaan: apakah yang disebut bangsa (nation)? Ada yang berpendapat bahwa
bangsa dibentuk oleh himpunan manusia yang ada hubungan darahnya yang
mempergunakan bahasa yang sama, mempunyai adat kebiasaan yang serupa. jadi,
menurut pendapat ini Belgia bukan merupakan suatu bangsa sebab terdiri atas dua
kumpulan yakni orang Waal yang memakai bahasa Perancis dan orang Vlaming yang
berbahasa Belanda. Demikian pula Swiss. Daerah utara dan timur memakai bahasa
Jerman, daerah barat bahasa Perancis, selatan mempergunakan bahasa Italia dan
daerah tenggara mempergunakan bahasa keempat, yakni bahasa yang disebut
Roman-Thato. Menurut pendapat di atas tadi tak ada bangsa India, Tionghoa atau
Indonesia sebab dalam negara-negara itu tidak hanya dua bahasa dipakai orang,
ya tak tahu kita berapa banyaknya, walaupun misalnya di Indonesia orang sedang
mengusahakan agar bahasa Indonesia menjadi bahasa pergaulan. Di India bahasa
Hindi dan Urdu sedang dijadikan bahasa umum, sedangkan di Tiongkok sebuah
bahasa klasik dipakai untuk maksud yang sama. Jika orang menganggap bahwa
kesadaran nasional dan kesatuan bahasa terjadi sejalan, maka pandangan itu
menjadi terlalu sempit atau terlalu luas.
Tadi telah kita berikan contoh
bahwa dalam suatu negara dipakai orang lebih dari satu bahasa. Tetapi terdapat
pula bahwa beberapa negara mempergunakan bahasa yang sama. Bahasa Jerman
dipergunakan di Jerman, Austria; bahasa Inggris di Britania Raya dan Amerika
Serikat, walaupun bahasa Perancis di Amerika itu lama-lama mempunyai corak
sendiri. Karena nasionalisme itu suatu gejala sejarah, maka di dalamnya
terdapat perubahan historis, artinya suatu gejala yang selalu tumbuh dan
berubah. Sebagai contoh kita kemukakan negara Inggris. Dalam abad pertengahan,
tujuh buah kerajaan kecil digabungkan menjadi
sebuah kerajaan besar. Akhirnya dengan mengalahkan Wales dan Irlandia,
raja-raja Inggris lebih besar daerah kekuasaannya dan karena warisan dan
penaklukan mereka menjadi raja Skotlandia. Bahasa Inggris menjadi satu-satunya
bahasa resmi. Dengan kekerasan Inggris dapat menguasai Irlandia. Pada 1921
Irlandia mencapai kemerdekaannya dan sejak itu dengan segala daya dicoba orang
menghidupkan kembali bahasa Irlandia yang telah hampir mati itu. Di daerah
Wales dan Skotlandia bahasa daerah masih dipergunakan, tetapi hanya golongan
yang termasuk hyper-patriot akan menentang bahasa Inggris sebagai bahasa umum,
lisan maupun tulisan. Jika kita mengetahui bahwa nasionlisme itu timbul dalam
jalan sejarah, maka lebih baik kita menerima faham lain tentang apa yang disebut
bangsa itu. Faham itu yakni: bangsa yaitu suatu suku bangsa atau beberapa suku
bangsa yang mendirikan suatu negara atau sama-sama berusaha mendirikan suatu
negara dan negara yang didirikan atau yang akan didirikan bersama itu ialah
suatu negara nasional, artinya suatu negara
dengan penduduknya yang sama hak dan kewajibannya, berdiri sama tinggi duduk
sama rendah, penduduk yang ingin mengikat nasibnya dalam suatu negara bersama.
Ada pula yang disebut negara
supernasional, terjadi akibat penaklukan; dalam negara itu penduduk tak sama
haknya. Negara semacam itu dulu misalnya kerajaan Turki. Di dalam kerajaan itu,
di samping bangsa Turki terdapat bangsa-bangsa yang dianggap golongan klas dua
saja misalnya bangsa Arab, Barbar, bangsa-bangsa beragama nasrani dan
sebagainya. Demikian pula monarki Donau, kekaisaran Rusia dahulu itu. Bangsa
Finlandia, bangsa-bangsa Baltik, Kaukasia dan Kirgiz dan sebagainya. Itu dirusiakan secara paksaan. Uni Soviet
menjalankan politik lain, yakni berusaha mempersatukan bangsa-bangsa itu
menjadi satu “nation” dengan memberikan hak-hak yang sama kepada mereka,
misalnya boleh mempergunakan bahasa sendiri dan boleh memupuk kebudayaan
sendiri. Tiongkok menjadikan kerajaan Tiongkok yang bersifat supernasional itu
menjadi suatu negara nasional. Mencoba menjadikan sebab nasionalisme bukan
sesuatu hal yang terjadi dengan serta-merta, melainkan suatu kesadaran yang
tumbuh berangsur-angsur karena kepentingan bersama. Pertumbuhannya dapat
disokong atau digiatkan dengan faktor-faktor yang dapat mengikat persatuan
misalnya: asal, jenis bangsa, bahasa, kepentingan ekonomi, nilai-nilai
kebudayaan dsb. Sebab itu lama sebelum terjadinya negara nasional yang
sebenarnya, telah dapat kita lihat
tanda-tanda kelahiran negara nasional itu, misalnya jika ancaman yang sama
memaksa orang mendekati. Polis-polis Yunani telah mempunyai kesadaran
persatuan, buktinya mereka bersama-sama mengadakan permainan Olympiade itu.
Mereka mengadakan suatu federasi ketika merasa dirinya terancam oleh Roma,
yakni dalam abad ke-2 sebelum masehi. Dalam masa perpindahan bangsa-bangsa itu
telah timbul permulaan kesadaran nasional pada bangsa-bangsa yang dalam masa
kekacauan dan masa tidak adanya kepastian itu, berhasil membentuk suatu negara
yakni bangsa Got di Italia dan kerajaan Franka. Dalam perang-perang salib
bangsa Inggris, Perancis, Jerman dan Italia mengadakan kerja sama. Karena
kepentingan mereka berbeda-beda, maka mereka sadar bahwa mereka berbeda bahasa
dan bahwa mereka masing-masing merupakan satu bangsa.
Tetapi
untuk sementara pertentangan antara negara-negara itu belum meruncing.
Pertentangan terjadi karena sama-sama melakukan pekerjaan besar, misalnya
Perang Salib itu. Sebab selama kekuasaan negara-negara itu masih kecil—misalnya
dalam masa feodalisme itu—pertentangan dan perselisihan antara berbagai
golongan dalam negara-negara itu sendiri lebih penting daripada pertentangan
dengan negara lain. Hal itu berubah ketika kekuasaan raja menjadi besar dan
kokoh. Sebagai contoh kita kemukakan Perancis.
Hingga abad ke-14 kedudukan raja di antara kaum bangsawan tak lebih
“primus interpares” saja (pertama di antara yang sama. Ingat akan kata Inggris,
pairs: anggota bangsawan tinggi). Kekuasaannya yang sesunguhnya hanya terbatas
di sekitar Paris saja, daerah lain dikuasai oleh hertog, graaf, atau baron
yang merdeka dari raja itu. Keadaan semacam itu berabad-abad kemudian masih
terdapat di tanah Arab, Persia atau Afganistan; kepala-kepala suku hanya
sedikit atau sama sekali tak mengindahkan kekuasaan raja.
Kekuasaan
yang terpecah-pecah itu pasti merugikan, ya bahkan merugikan perdagangan.
Perdagangan akan beroleh manfaat jika dalam seluruh negara terdapat hukum yang
sama, jika ada organisasi sentral atau jika lalu lintas aman. Sebab itu
kota-kota menyokong raja, ketika ia memulihkan seluruh kekuasaannya itu. Dalam
sejarah Perancis yang lengkap, dapat kita ikuti selangkah demi selangkah
bagaimana raja dapat mengembalikan daerah-daerah tadi ke bawah kekuasaannya,
bagaimana raja menyamakan corak pemerintahan dan hukum dengan daerah asalnya
dan bagaimana dengan perbuatan itu seakan-akan raja membantuk suatu bangsa dari
atas. Bangsa Perancis merasakan perubahan itu sebagai berkurangnya penghisapan
pemangku kekuasaan setempat sebagai perbaikan keamanan, sebagai berakhirnya
peperangan-peperangan yang diadakan pertuanan-pertuanan itu, peperangan yang
sangat merugikan petani dan penduduk kota. Segala-galanya mereka anggap sebagai
usaha raja, juru selamat yang tidak kelihatan, yang jauh diamnya dari mereka
yakni di Paris kota kerajaan itu. Justru karena kesetiaan rakyat yang kian
tumbuh itu, makin kelihatan kekuasaan raja. Di mana-mana ada orang pegawai
kerajaan mengendalikan kerajaan. Hakim dan prajurit diperbolehkan masuk ke
mana-mana. Raja mengumumkan perang dan untuk mengadakan perdamaian. Baik oleh
bangsa Jerman kuno, baik oleh orang besar, raja dianggap mempunyai sifat suci,
walaupun pada bangsa Jerman menurut namanya raja dipilih oleh rakyat. Raja lalu
menganggap mereka menjadi raja karena karunia Tuhan, jadi atas kehendak Tuhan.
Dengan hikmat rakyat terhadap raja mendekati rasa keagamaan. Jika raja
memperlihatkan diri di muka rakyat, maka orang sakit atau orang cacat mengalir
datang melihatnya agar sembuh. Dari rakyat yang tak terikat dalam suatu ikatan
persatuan itu lahirlah suatu bangsa raja menjadi lambang kebangsaan. Kesetiaan
dan pengabdian tidak ditujukan kepada pribadi raja, melainkan kepada raja
sebagai lambang bangsa. Jadi berbeda dengan bangsa Jerman dahulu. Ini dapat
kita ketahui pada ucapan: Le roy est
mort, vive le roy (raja mangkat, dirgahayu raja). Kata-kata itu diucapkan
jika seorang raja meninggal diganti oleh raja baru. Hal itu akan lebih jelas
lagi pada sejarah Jeanne d’Arc.
Pada permulaan abad ke-15
bangsa Perancis berperang dengan bangsa Inggris. Inggris dapat menduduki hampir
seluruh tanah Perancis. Jeanne d’Arc seorang anak tani dapat membangkitkan
semangat perjuangan dalam sanubari bangsanya. Dipimpinnya tentara dan dengan
penuh kejayaan dibawanya raja katedral di Rheims supaya dilantik menjadi raja,
padahal sebagai pribadi, raja itu masih muda, lemah dan tak ada artinya.
Menyusun
kekuasaan raja yang dipusatkan itu memerlukan biaya. Kota-kota yang memperoleh
manfaat dari keadaan yang lebih teratur itu siap menyediakan uang, tetapi tidak
dengan cuma-cuma. Sekarang raja diwajibkan memerintah bersama-sama dengan suatu
badan perwakilan. Dalam badan itu terdapat wakil-wakil dari ketiga golongan:
kaum agama, yang mewakili golongannya dan daerah desa yang menjadi milik gereja
dan bihara (kira-kira sepertiga); kaum bangsawan yang tidak lagi mempunyai
kekuasaan memerintah, tetapi masih memiliki tanah yang sangat luas bersama-sama
kaum agama tadi; wakil-wakil yang disebut golongan ketiga, yakni penduduk kota
tadi. Di tanah Perancis lama-lama raja berhasil mengokohkan kekuasaannya dengan
tentaranya hingga tak merasa perlu menyuruh wakil-wakil ketiga golongan itu
bersidang. Keadaan itu berjalan hingga 1789, yakni saat runtuhnya kekuasaan
raja yang mutlak itu.
Jadi, di
tanah Perancis kita lihat sistem perwakilan itu mati karena absolutime, tetapi
sebaliknya di tanah Inggris kita lihat perkembangan perwakilan rakyat yang tak
terputus-putus. Perwakilan itu disebut parlemen (artinya pembicaraan atau
pemufakatan). Kaum demokrat bangsa Inggris abad ke-19 mengemukakan bahwa parlemen
mulai dengan Magna Charta tahun 1215 yang mereka jadikan semacam undang-undang
dasar tertua. Pada hakikatnya piagam itu adalah suatu bukti kekuasaan
baron-baron Inggris. Mereka dapat memaksa John Lackland yang lemah itu
menetapkan hak-hak mereka dalam piagam itu. Salah satu hak itu ialah jika raja
akan mengadakan satu pajak, terlebih dahulu harus ia minta pertimbangan
majelis-majelis baron. Raja-raja sesudah John itu lebih mencari sokongan pada
golongan paura. Wakil golongan itu akhirnya dimasukkan dalam majelis tadi di
samping kaum bangsawan itu. Pada akhir abad ke-13 telah terbentuk parlemen yang
sebenarnya terdiri atas House of Lords (bangsawan tinggi) dan House
of Commons (bangsawan rendah dan penduduk kota). Di tanah Inggris pun dalam
abad ke-15 dan ke-16 ada raja-raja yang mencoba memerintah tanpa parlemen,
tetapi mendapat perlawanan hebat. Charles I yang menanamkan absolutisme itu
membayar usahanya dengan mahkota dan kepalanya (1649). Pembentukan negara
nasional di tanah Inggris lebih baik daripada di tanah Perancis. Mungkin karena Inggris lebih kecil daerahnya
dan sebagai pula yang terpencil lebih mudah bersatu.
Akan
kita kemukakan suatu faktor yang mempercepat terjadinya negara nasional, tidak
hanya di tanah Inggris, tetapi juga dalam sebagaian bangsa lain. Bahaya dari
luar memperkuat persatuan dalam negeri di mana persatuan itu di tanah Inggris
telah lama timbul karena penyerbuan bangsa Noorman kira-kira tahun 1000 Masehi.
Di tanah Perancis, proses itu dipercepat oleh Perang Seratus Tahun dengan
Inggris (kira-kira 1350 hingga 1450). Peperangan itu menguntungkan Perancis
karena tindakan Jeanne d’Arc tadi itu. Negara nasional ketiga di Eropa Barat
yakni Spanyol bersatu melawan orang Islam.
Sekarang
kita ajukan pertanyaan, mengapakah Eropa yang mula-mula menjadi panggung
nasionalisme dan panggung negara-negara nasional? Tak ubahnya dengan
pengetahuan lain, sejarah tidak hanya menanyakan “bagaimana”, melainkan juga
menanyakan “apa sebabnya” dan “mengapa”;
tidak hanya mengemukakan apa yang telah terjadi, tetapi juga menanyakan
sebab-musabab kejadian itu. Menurut pengalaman, seorang ahli sejarah harus
berhati-hati. Ahli pengetahuan eksak dapat mempergunakan percobaan dan
pengamatan. Kedua hal itu tak ada pada seorang ahli sejarah. Pertanyaan “bagaimana”
hanya dapat dijawabnya dengan cerita-cerita yang sering tidak murni pula,
sering tidak lengkap, cacat. Kecuali itu bahan penyelidikannya itu sangat
variasi dan sangat banyak sangkut pautnya. Telah kita lihat terjadinya negara
nasional di tanah Perancis berbeda dengan di tanah Inggris dan jika
perkembangan di Spanyol kita selidiki pula, akan kita ketahui bahwa di sana pun
perkembangannya berbeda pula. Tambahan lagi gambaran yang kita utarakan dalam
ruang yang terbatas ini harus kita sahajakan dan kita kemukakan garis-garis
besar saja. Kita belum memperoleh
keterangan yang setepat-tepatnya atas keterangan yang ada. Berbeda
dengan gejala ilmu alam atau biologi yang dapat diterangkan atau dibuktikan
berdasarkan eksperimen yang tak terbatas atau berdasarkan pengamatan sendiri.
Keterangan kita tidak lebih dari hanya menunjukkan faktor-faktor yang banyak
atau sedikit mempengaruhi perkembangan suatu kejadian. Kita tidak berusaha
memberikan jawaban apa yang terjadi andai kata salah satu faktor itu tidak ada.
Telah
kita lihat bahwa negara nasional itu terjadi, karena bagian-bagian yang tadinya
hanya secara formal termasuk dalam negara, dengan lambat laun menjadi satu,
menjadi sama. Dahulu hanya secara formal saja raja memegang kekuasaan
tertinggi, tetapi kekuasaan sebenarnya tak ada padanya. Proses menyatukan
itu—lebih daripada proses menyamakan—tentulah akibat daripada jerih usaha yang
hebat dan lama. Di tanah Perancis proses
itu terjadi sejak pemerintahan Philippe Auguste ( kira-kira 1200) hingga Kar VII (kira-kira 1450). Proses sentralisasi
yang tegang itu hanya mungkin terjadi dalam daerah yang dapat disebut kecil,
jadi misalnya dalam negara-negara Eropa Barat zaman itu. Kaisar Tiongkok atau
Mongol-Besar di India atau sultan kerajaan Turki telah puas dengan memegang
kekuasaan tertinggi. Mereka tak berusaha merubah negara supernasional itu
menjadi negara nasional. Sebab-sebabnya karena Tiongkok, India dan Turki jauh
lebih besar dari Perancis, Inggris, dan Spanyol. Pembentukan negara nasional di
tanah-tanah Eropa Timur yang lebih besar itu, baru terjadi kemudian.
Kemaharajaan Rusia, Austria-Hongaria hingga abad ke-19 dan 20 masih merupakan
kerajaan supernasional. Hal ini kurang lebih berlaku pula bagi Jerman. Jerman
baru menjadi negara nasional dalam tahun 1918 dan Rusia sesudah revolusi 1917
itu. Dengan berhati-hati Rusia melebur minoritas nasional yang lama ditindas
itu menjadi anggota yang sederajat. Faktor kedua, yang penting bagi
perkembangan nasionalisme itu yakni pertumbuhan kota dagang dan kota industri
yang memberikan bantuan kepada raja dalam usahanya mengadakan persatuan itu.
Dengan faktor kedua itu erat hubungannya suatu negara nasional yang dapat
dinyatakan dengan kata-kata parlementerisme dan demokrasi.
Tetapi
masalah nasionalisme itu tidaklah semudah dugaan kita. Buktinya dapat kita
lihat pada Italia. Italia tidak lebih besar daripada Perancis dan tanah itu ada
kota-kotanya yang mengalami perkembangan hebat. Sesudah kerajaan Got runtuh,
Italia terpecah-pecah menjadi negara kecil yang selalu bermusuh-musuhan dan
menjadi permainan dalam perjuangan negara-negara besar. Baru pada tahun1861
Italia menjadi negara nasional. Faktor geografi yakni luas daerah memang ada
artinya, tetapi faktor itu sendiri menentukan.
Di
samping pengaruh-pengaruh lain, boleh kita katakan rupa-rupanya ada dua faktor
yang menyebabkan Asia baru dalam abad ke-20 mengenal nasionalisme, jadi juga
baru dalam abad itu mengenal parlementerisme dan demokrasi. Kedua faktor itu
yakni: luas Asia dan tak adanya “borjuis”. Baru dalam abad ke-20 “luas daerah”
sebagai faktor penghalang hilang pengaruhnya
akibat perkembangan teknik lalu lintas. Baru dalam abad ke-20 di Asia
timbul suatu golongan yang dapat disamakan dengan golongan ketiga Eropa akibat
perluasan dan akibat alat-alat pemerintahan dipegang dalam tangan pegawai.
Jadi,
nasionalisme itu dalam sejarah terjadinya, erat hubungannya dengan perluasan
kekuasaan dari suatu pusat kekuasaan. Sejak semula nasionalisme itu mempunyai
sifat agresif. Bukan karena kebetulan saja bahwa hewan megah dipakai sebagai
lambang kerajaan: singa, rajawali, ayam jantan Gailia, beruang Rusia dsb. Hewan
megah biasanya binatang buas. Tak pernah lambang negara mempergunakan keledai
atau tupai. Sepanjang pengetahuan kami hanya India dan Indonesia mempergunakan
binatang jinak sebagai lambang: sapi dan burung, bukan burung buas, Eropa itu,
tetapi perkembangannya lebih cepat. Perkembangan proses itu mulai kita lihat di
Afrika.
Referensi:
Romein, J.M., Area Eropa: Peradaban Eropa sebagai
Penyimpangan dari Pola Umum, Bandung-Djakarta-Amsterdam: Ganaco N.V., 1956.
terima kasih. sangat informatif
BalasHapus