Selasa, 16 Juli 2013

Nasionalisme di Eropa


NASIONALISME

            Bagi Indonesia zaman kita ini kata nasionalisme bukan lagi menjadi pengertian baru atau suatu pengertian yang belum dikenal orang, bahkan bagi seluruh Asia modern kata itu telah menjadi air mandi. Sebab bukankah selama lebih dari setengah abad gerakan kebangsaan menjadi impian dan tujuan beribu-ribu bangsa Indonesia dan bukankah sejarah Asia selama itu boleh dikatakan sangat banyak sangkut pautnya dengan nasionalisme? Akan kita katakan sesuatu tentang sejarah itu, demikian pula tentang gejala yang dinyatakan oleh pengertian itu. Nasionalisme itu awalnya timbul pada zaman renaissance dan kira-kira sama dengan pembaharuan dalam Gereja.
            Tetapi sebelum melukiskan secara kasar tentang sejarah kejadian nasionalisme itu ada buruknya, jika kita melenyapkan  beberapa salah faham yang biasa terjadi dalam hubungan pengertian itu. Cinta kepada tempat kita dilahirkan—menurut Vondel seorang penyair Belanda telah menjadi pembawaan  bagi tiap-tiap manusia—tidak sama dengan nasionalisme walaupun kedua pengertian itu sering dikacaukan orang. Cinta terhadap tempat tumpah darah , untuk membedakan akan kita sebut patriotisme (Latin: pater = ayah, patria = tanah bapa = tanah air). Dan kedua pengertian itu jangan pula kita kacaukan dengan chauvinisme, yakni rasa mesra kepada apa yang menjadi kepunyaan sendiri dengan cara berlebihan. Patriotisme dan chauvinisme itu lebih primitif daripada perasaan nasional. Kedua-duanya berdasarkan rasa mesra yang sudah sewajarnya terdapat pada manusia, boleh kita katakan mesra hewani terhadap apa yang telah menjadi kepunyaan sendiri, kepada apa yang telah menjadi akrab, desa tempat kita dilahirkan, lingkungan tempat orang dibesarkan, tempat orang merasa lebih aman, lebih terjamin daripada di tempat lain karena perasaan yang tak dapat dirumuskan.
            Patriotisme dan chauvinisme itu sedikit hubungannya dengan batas-batas negara tempat kita diam. Erat hubungannya dengan keadaan seseorang, misalnya dari mana ia datang, dan di mana ia dibesarkan. Orang yang pada masa mudanya tak pernah keluar dari tanah Batak, Jawa Tengah atau Flores lebih banyak ikatan patriotnya dengan daerah-daerah itu daripada dengan Indonesia sebagai kesatuan. Lain halnya dengan seseorang yang ibunya berasal dari Bali, ayahnya berasal dari Aceh dan dibesarkan di Jawa Timur. Di Eropa sendiri yang telah lama mengenal “nation” atau bangsa masih terdapat patriot Breton di Perancis, patriot Beleren di Jerman, patriot Skotlandia di tanah Inggris, dan patriot di Friesland di Belanda.
Pada chauvinisme ikatan dengan kepunyaan sendiri sangat melebihi batas. Bagi seorang chauvinis yang terdapat di tempat sendiri pasti lebih baik, lebih indah, lebih berharga. Pada cahuvinisme jelas kelihatan insting seperti yang diajarkan etnologi jadi perasaan yang berdasarkan rasa takut-khawatir, menganggap musuh segala asing baginya. Tetapi orang yang beradab dalam diri mereka masih ada tersembunyi perasaan primitif—merasionalisir perasaan itu, artinya memberikan dasar akal budi pada chauvinisme itu. Bangsa asing tidak lagi diserangnya dengan tombak atau lembing, melainkan menganggap diri dan orang setanah airnya lebih unggul daripada bangsa lain.
            Patriotisme dan cahuvinisme semata-mata reaksi psikologi, sedangkan nasionalisme adalah suatu gejala sejarah; di Eropa asalnya dapat kita cari pada abad ke-15. Akan kita kemukakan saja tingkat-tingkat pertama dalam perkembangan nasionalisme itu, jadi hingga Revolusi Perancis (1789). Pada abad ke-19 nasionalisme itu artinya bertambah luas dan dalam abad ke-20 tidak terbatas di Eropa saja, melainkan telah sampai ke Amerika, Asia bahkan Afrika.
            Sebelum kita membicarakan bagaimana terjadinya nasionalisme akan kita hilangkan sebuah hal lagi, yang juga menimbulkan salah faham. Hal itu dapat kita ketahui dengan pertanyaan: apakah yang disebut bangsa (nation)? Ada yang berpendapat bahwa bangsa dibentuk oleh himpunan manusia yang ada hubungan darahnya yang mempergunakan bahasa yang sama, mempunyai adat kebiasaan yang serupa. jadi, menurut pendapat ini Belgia bukan merupakan suatu bangsa sebab terdiri atas dua kumpulan yakni orang Waal yang memakai bahasa Perancis dan orang Vlaming yang berbahasa Belanda. Demikian pula Swiss. Daerah utara dan timur memakai bahasa Jerman, daerah barat bahasa Perancis, selatan mempergunakan bahasa Italia dan daerah tenggara mempergunakan bahasa keempat, yakni bahasa yang disebut Roman-Thato. Menurut pendapat di atas tadi tak ada bangsa India, Tionghoa atau Indonesia sebab dalam negara-negara itu tidak hanya dua bahasa dipakai orang, ya tak tahu kita berapa banyaknya, walaupun misalnya di Indonesia orang sedang mengusahakan agar bahasa Indonesia menjadi bahasa pergaulan. Di India bahasa Hindi dan Urdu sedang dijadikan bahasa umum, sedangkan di Tiongkok sebuah bahasa klasik dipakai untuk maksud yang sama. Jika orang menganggap bahwa kesadaran nasional dan kesatuan bahasa terjadi sejalan, maka pandangan itu menjadi terlalu sempit atau terlalu luas.
Tadi telah kita berikan contoh bahwa dalam suatu negara dipakai orang lebih dari satu bahasa. Tetapi terdapat pula bahwa beberapa negara mempergunakan bahasa yang sama. Bahasa Jerman dipergunakan di Jerman, Austria; bahasa Inggris di Britania Raya dan Amerika Serikat, walaupun bahasa Perancis di Amerika itu lama-lama mempunyai corak sendiri. Karena nasionalisme itu suatu gejala sejarah, maka di dalamnya terdapat perubahan historis, artinya suatu gejala yang selalu tumbuh dan berubah. Sebagai contoh kita kemukakan negara Inggris. Dalam abad pertengahan, tujuh  buah kerajaan kecil digabungkan menjadi sebuah kerajaan besar. Akhirnya dengan mengalahkan Wales dan Irlandia, raja-raja Inggris lebih besar daerah kekuasaannya dan karena warisan dan penaklukan mereka menjadi raja Skotlandia. Bahasa Inggris menjadi satu-satunya bahasa resmi. Dengan kekerasan Inggris dapat menguasai Irlandia. Pada 1921 Irlandia mencapai kemerdekaannya dan sejak itu dengan segala daya dicoba orang menghidupkan kembali bahasa Irlandia yang telah hampir mati itu. Di daerah Wales dan Skotlandia bahasa daerah masih dipergunakan, tetapi hanya golongan yang termasuk hyper-patriot akan menentang bahasa Inggris sebagai bahasa umum, lisan maupun tulisan. Jika kita mengetahui bahwa nasionlisme itu timbul dalam jalan sejarah, maka lebih baik kita menerima faham lain tentang apa yang disebut bangsa itu. Faham itu yakni: bangsa yaitu suatu suku bangsa atau beberapa suku bangsa yang mendirikan suatu negara atau sama-sama berusaha mendirikan suatu negara dan negara yang didirikan atau yang akan didirikan bersama itu ialah suatu negara nasional, artinya suatu negara dengan penduduknya yang sama hak dan kewajibannya, berdiri sama tinggi duduk sama rendah, penduduk yang ingin mengikat nasibnya dalam suatu negara bersama.
Ada pula yang disebut negara supernasional, terjadi akibat penaklukan; dalam negara itu penduduk tak sama haknya. Negara semacam itu dulu misalnya kerajaan Turki. Di dalam kerajaan itu, di samping bangsa Turki terdapat bangsa-bangsa yang dianggap golongan klas dua saja misalnya bangsa Arab, Barbar, bangsa-bangsa beragama nasrani dan sebagainya. Demikian pula monarki Donau, kekaisaran Rusia dahulu itu. Bangsa Finlandia, bangsa-bangsa Baltik, Kaukasia dan Kirgiz dan sebagainya.  Itu dirusiakan secara paksaan. Uni Soviet menjalankan politik lain, yakni berusaha mempersatukan bangsa-bangsa itu menjadi satu “nation” dengan memberikan hak-hak yang sama kepada mereka, misalnya boleh mempergunakan bahasa sendiri dan boleh memupuk kebudayaan sendiri. Tiongkok menjadikan kerajaan Tiongkok yang bersifat supernasional itu menjadi suatu negara nasional. Mencoba menjadikan sebab nasionalisme bukan sesuatu hal yang terjadi dengan serta-merta, melainkan suatu kesadaran yang tumbuh berangsur-angsur karena kepentingan bersama. Pertumbuhannya dapat disokong atau digiatkan dengan faktor-faktor yang dapat mengikat persatuan misalnya: asal, jenis bangsa, bahasa, kepentingan ekonomi, nilai-nilai kebudayaan dsb. Sebab itu lama sebelum terjadinya negara nasional yang sebenarnya,  telah dapat kita lihat tanda-tanda kelahiran negara nasional itu, misalnya jika ancaman yang sama memaksa orang mendekati. Polis-polis Yunani telah mempunyai kesadaran persatuan, buktinya mereka bersama-sama mengadakan permainan Olympiade itu. Mereka mengadakan suatu federasi ketika merasa dirinya terancam oleh Roma, yakni dalam abad ke-2 sebelum masehi. Dalam masa perpindahan bangsa-bangsa itu telah timbul permulaan kesadaran nasional pada bangsa-bangsa yang dalam masa kekacauan dan masa tidak adanya kepastian itu, berhasil membentuk suatu negara yakni bangsa Got di Italia dan kerajaan Franka. Dalam perang-perang salib bangsa Inggris, Perancis, Jerman dan Italia mengadakan kerja sama. Karena kepentingan mereka berbeda-beda, maka mereka sadar bahwa mereka berbeda bahasa dan bahwa mereka masing-masing merupakan satu bangsa.
            Tetapi untuk sementara pertentangan antara negara-negara itu belum meruncing. Pertentangan terjadi karena sama-sama melakukan pekerjaan besar, misalnya Perang Salib itu. Sebab selama kekuasaan negara-negara itu masih kecil—misalnya dalam masa feodalisme itu—pertentangan dan perselisihan antara berbagai golongan dalam negara-negara itu sendiri lebih penting daripada pertentangan dengan negara lain. Hal itu berubah ketika kekuasaan raja menjadi besar dan kokoh. Sebagai contoh kita kemukakan Perancis.  Hingga abad ke-14 kedudukan raja di antara kaum bangsawan tak lebih “primus interpares” saja (pertama di antara yang sama. Ingat akan kata Inggris, pairs: anggota bangsawan tinggi). Kekuasaannya yang sesunguhnya hanya terbatas di sekitar Paris saja, daerah lain dikuasai oleh hertog, graaf, atau baron yang merdeka dari raja itu. Keadaan semacam itu berabad-abad kemudian masih terdapat di tanah Arab, Persia atau Afganistan; kepala-kepala suku hanya sedikit atau sama sekali tak mengindahkan kekuasaan raja.
            Kekuasaan yang terpecah-pecah itu pasti merugikan, ya bahkan merugikan perdagangan. Perdagangan akan beroleh manfaat jika dalam seluruh negara terdapat hukum yang sama, jika ada organisasi sentral atau jika lalu lintas aman. Sebab itu kota-kota menyokong raja, ketika ia memulihkan seluruh kekuasaannya itu. Dalam sejarah Perancis yang lengkap, dapat kita ikuti selangkah demi selangkah bagaimana raja dapat mengembalikan daerah-daerah tadi ke bawah kekuasaannya, bagaimana raja menyamakan corak pemerintahan dan hukum dengan daerah asalnya dan bagaimana dengan perbuatan itu seakan-akan raja membantuk suatu bangsa dari atas. Bangsa Perancis merasakan perubahan itu sebagai berkurangnya penghisapan pemangku kekuasaan setempat sebagai perbaikan keamanan, sebagai berakhirnya peperangan-peperangan yang diadakan pertuanan-pertuanan itu, peperangan yang sangat merugikan petani dan penduduk kota. Segala-galanya mereka anggap sebagai usaha raja, juru selamat yang tidak kelihatan, yang jauh diamnya dari mereka yakni di Paris kota kerajaan itu. Justru karena kesetiaan rakyat yang kian tumbuh itu, makin kelihatan kekuasaan raja. Di mana-mana ada orang pegawai kerajaan mengendalikan kerajaan. Hakim dan prajurit diperbolehkan masuk ke mana-mana. Raja mengumumkan perang dan untuk mengadakan perdamaian. Baik oleh bangsa Jerman kuno, baik oleh orang besar, raja dianggap mempunyai sifat suci, walaupun pada bangsa Jerman menurut namanya raja dipilih oleh rakyat. Raja lalu menganggap mereka menjadi raja karena karunia Tuhan, jadi atas kehendak Tuhan. Dengan hikmat rakyat terhadap raja mendekati rasa keagamaan. Jika raja memperlihatkan diri di muka rakyat, maka orang sakit atau orang cacat mengalir datang melihatnya agar sembuh. Dari rakyat yang tak terikat dalam suatu ikatan persatuan itu lahirlah suatu bangsa raja menjadi lambang kebangsaan. Kesetiaan dan pengabdian tidak ditujukan kepada pribadi raja, melainkan kepada raja sebagai lambang bangsa. Jadi berbeda dengan bangsa Jerman dahulu. Ini dapat kita ketahui pada ucapan: Le roy est mort, vive le roy (raja mangkat, dirgahayu raja). Kata-kata itu diucapkan jika seorang raja meninggal diganti oleh raja baru. Hal itu akan lebih jelas lagi pada sejarah Jeanne d’Arc.
Pada permulaan abad ke-15 bangsa Perancis berperang dengan bangsa Inggris. Inggris dapat menduduki hampir seluruh tanah Perancis. Jeanne d’Arc seorang anak tani dapat membangkitkan semangat perjuangan dalam sanubari bangsanya. Dipimpinnya tentara dan dengan penuh kejayaan dibawanya raja katedral di Rheims supaya dilantik menjadi raja, padahal sebagai pribadi, raja itu masih muda, lemah dan tak ada artinya.
            Menyusun kekuasaan raja yang dipusatkan itu memerlukan biaya. Kota-kota yang memperoleh manfaat dari keadaan yang lebih teratur itu siap menyediakan uang, tetapi tidak dengan cuma-cuma. Sekarang raja diwajibkan memerintah bersama-sama dengan suatu badan perwakilan. Dalam badan itu terdapat wakil-wakil dari ketiga golongan: kaum agama, yang mewakili golongannya dan daerah desa yang menjadi milik gereja dan bihara (kira-kira sepertiga); kaum bangsawan yang tidak lagi mempunyai kekuasaan memerintah, tetapi masih memiliki tanah yang sangat luas bersama-sama kaum agama tadi; wakil-wakil yang disebut golongan ketiga, yakni penduduk kota tadi. Di tanah Perancis lama-lama raja berhasil mengokohkan kekuasaannya dengan tentaranya hingga tak merasa perlu menyuruh wakil-wakil ketiga golongan itu bersidang. Keadaan itu berjalan hingga 1789, yakni saat runtuhnya kekuasaan raja yang mutlak itu.
            Jadi, di tanah Perancis kita lihat sistem perwakilan itu mati karena absolutime, tetapi sebaliknya di tanah Inggris kita lihat perkembangan perwakilan rakyat yang tak terputus-putus. Perwakilan itu disebut parlemen (artinya pembicaraan atau pemufakatan). Kaum demokrat bangsa Inggris abad ke-19 mengemukakan bahwa parlemen mulai dengan Magna Charta tahun 1215 yang mereka jadikan semacam undang-undang dasar tertua. Pada hakikatnya piagam itu adalah suatu bukti kekuasaan baron-baron Inggris. Mereka dapat memaksa John Lackland yang lemah itu menetapkan hak-hak mereka dalam piagam itu. Salah satu hak itu ialah jika raja akan mengadakan satu pajak, terlebih dahulu harus ia minta pertimbangan majelis-majelis baron. Raja-raja sesudah John itu lebih mencari sokongan pada golongan paura. Wakil golongan itu akhirnya dimasukkan dalam majelis tadi di samping kaum bangsawan itu. Pada akhir abad ke-13 telah terbentuk parlemen yang sebenarnya terdiri atas House of Lords (bangsawan tinggi) dan House of Commons (bangsawan rendah dan penduduk kota). Di tanah Inggris pun dalam abad ke-15 dan ke-16 ada raja-raja yang mencoba memerintah tanpa parlemen, tetapi mendapat perlawanan hebat. Charles I yang menanamkan absolutisme itu membayar usahanya dengan mahkota dan kepalanya (1649). Pembentukan negara nasional di tanah Inggris lebih baik daripada di tanah Perancis.  Mungkin karena Inggris lebih kecil daerahnya dan sebagai pula yang terpencil lebih mudah bersatu.
            Akan kita kemukakan suatu faktor yang mempercepat terjadinya negara nasional, tidak hanya di tanah Inggris, tetapi juga dalam sebagaian bangsa lain. Bahaya dari luar memperkuat persatuan dalam negeri di mana persatuan itu di tanah Inggris telah lama timbul karena penyerbuan bangsa Noorman kira-kira tahun 1000 Masehi. Di tanah Perancis, proses itu dipercepat oleh Perang Seratus Tahun dengan Inggris (kira-kira 1350 hingga 1450). Peperangan itu menguntungkan Perancis karena tindakan Jeanne d’Arc tadi itu. Negara nasional ketiga di Eropa Barat yakni Spanyol bersatu melawan orang Islam.
            Sekarang kita ajukan pertanyaan, mengapakah Eropa yang mula-mula menjadi panggung nasionalisme dan panggung negara-negara nasional? Tak ubahnya dengan pengetahuan lain, sejarah tidak hanya menanyakan “bagaimana”, melainkan juga menanyakan  “apa sebabnya” dan “mengapa”; tidak hanya mengemukakan apa yang telah terjadi, tetapi juga menanyakan sebab-musabab kejadian itu. Menurut pengalaman, seorang ahli sejarah harus berhati-hati. Ahli pengetahuan eksak dapat mempergunakan percobaan dan pengamatan. Kedua hal itu tak ada pada seorang ahli sejarah. Pertanyaan “bagaimana” hanya dapat dijawabnya dengan cerita-cerita yang sering tidak murni pula, sering tidak lengkap, cacat. Kecuali itu bahan penyelidikannya itu sangat variasi dan sangat banyak sangkut pautnya. Telah kita lihat terjadinya negara nasional di tanah Perancis berbeda dengan di tanah Inggris dan jika perkembangan di Spanyol kita selidiki pula, akan kita ketahui bahwa di sana pun perkembangannya berbeda pula. Tambahan lagi gambaran yang kita utarakan dalam ruang yang terbatas ini harus kita sahajakan dan kita kemukakan garis-garis besar saja. Kita belum memperoleh  keterangan yang setepat-tepatnya atas keterangan yang ada. Berbeda dengan gejala ilmu alam atau biologi yang dapat diterangkan atau dibuktikan berdasarkan eksperimen yang tak terbatas atau berdasarkan pengamatan sendiri. Keterangan kita tidak lebih dari hanya menunjukkan faktor-faktor yang banyak atau sedikit mempengaruhi perkembangan suatu kejadian. Kita tidak berusaha memberikan jawaban apa yang terjadi andai kata salah satu faktor itu tidak ada.
            Telah kita lihat bahwa negara nasional itu terjadi, karena bagian-bagian yang tadinya hanya secara formal termasuk dalam negara, dengan lambat laun menjadi satu, menjadi sama. Dahulu hanya secara formal saja raja memegang kekuasaan tertinggi, tetapi kekuasaan sebenarnya tak ada padanya. Proses menyatukan itu—lebih daripada proses menyamakan—tentulah akibat daripada jerih usaha yang hebat dan lama.  Di tanah Perancis proses itu terjadi sejak pemerintahan Philippe Auguste ( kira-kira 1200) hingga  Kar VII (kira-kira 1450). Proses sentralisasi yang tegang itu hanya mungkin terjadi dalam daerah yang dapat disebut kecil, jadi misalnya dalam negara-negara Eropa Barat zaman itu. Kaisar Tiongkok atau Mongol-Besar di India atau sultan kerajaan Turki telah puas dengan memegang kekuasaan tertinggi. Mereka tak berusaha merubah negara supernasional itu menjadi negara nasional. Sebab-sebabnya karena Tiongkok, India dan Turki jauh lebih besar dari Perancis, Inggris, dan Spanyol. Pembentukan negara nasional di tanah-tanah Eropa Timur yang lebih besar itu, baru terjadi kemudian. Kemaharajaan Rusia, Austria-Hongaria hingga abad ke-19 dan 20 masih merupakan kerajaan supernasional. Hal ini kurang lebih berlaku pula bagi Jerman. Jerman baru menjadi negara nasional dalam tahun 1918 dan Rusia sesudah revolusi 1917 itu. Dengan berhati-hati Rusia melebur minoritas nasional yang lama ditindas itu menjadi anggota yang sederajat. Faktor kedua, yang penting bagi perkembangan nasionalisme itu yakni pertumbuhan kota dagang dan kota industri yang memberikan bantuan kepada raja dalam usahanya mengadakan persatuan itu. Dengan faktor kedua itu erat hubungannya suatu negara nasional yang dapat dinyatakan dengan kata-kata parlementerisme dan demokrasi.
            Tetapi masalah nasionalisme itu tidaklah semudah dugaan kita. Buktinya dapat kita lihat pada Italia. Italia tidak lebih besar daripada Perancis dan tanah itu ada kota-kotanya yang mengalami perkembangan hebat. Sesudah kerajaan Got runtuh, Italia terpecah-pecah menjadi negara kecil yang selalu bermusuh-musuhan dan menjadi permainan dalam perjuangan negara-negara besar. Baru pada tahun1861 Italia menjadi negara nasional. Faktor geografi yakni luas daerah memang ada artinya, tetapi faktor itu sendiri menentukan.
            Di samping pengaruh-pengaruh lain, boleh kita katakan rupa-rupanya ada dua faktor yang menyebabkan Asia baru dalam abad ke-20 mengenal nasionalisme, jadi juga baru dalam abad itu mengenal parlementerisme dan demokrasi. Kedua faktor itu yakni: luas Asia dan tak adanya “borjuis”. Baru dalam abad ke-20 “luas daerah” sebagai faktor penghalang hilang pengaruhnya  akibat perkembangan teknik lalu lintas. Baru dalam abad ke-20 di Asia timbul suatu golongan yang dapat disamakan dengan golongan ketiga Eropa akibat perluasan dan akibat alat-alat pemerintahan dipegang dalam tangan pegawai.
            Jadi, nasionalisme itu dalam sejarah terjadinya, erat hubungannya dengan perluasan kekuasaan dari suatu pusat kekuasaan. Sejak semula nasionalisme itu mempunyai sifat agresif. Bukan karena kebetulan saja bahwa hewan megah dipakai sebagai lambang kerajaan: singa, rajawali, ayam jantan Gailia, beruang Rusia dsb. Hewan megah biasanya binatang buas. Tak pernah lambang negara mempergunakan keledai atau tupai. Sepanjang pengetahuan kami hanya India dan Indonesia mempergunakan binatang jinak sebagai lambang: sapi dan burung, bukan burung buas, Eropa itu, tetapi perkembangannya lebih cepat. Perkembangan proses itu mulai kita lihat di Afrika.

Referensi:
Romein, J.M., Area Eropa: Peradaban Eropa sebagai Penyimpangan dari Pola Umum, Bandung-Djakarta-Amsterdam: Ganaco N.V., 1956.

1 komentar: