Selasa, 16 Juli 2013

Tahu tentang Etnis


1. Apakah itu etnis?

Dalam pengertiannya kata etnis memang sulit untuk didefinisikan karena hampir mirip dengan istilah etnik seperti di kutip dari smartpsikologi.blogspot.com disana di jelaskan bahwa istilah etnik sendiri merujuk pada pengertian kelompok orang-orang, sementara etnis merujuk pada orang-orang dalam kelompok, namun Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) etnis itu sama artinya dengan etnik, dan pengertiannya dalam KBBI sendiri sebagai berikut:
“et·nik /étnik/ a Antr bertalian dng kelompok sosial dl sistem sosial atau kebudayaan yg mempunyai arti atau kedudukan tertentu krn keturunan, adat, agama, bahasa, dsb; etnis”
Sementara itu pengertian dari etnik dari berbagai sumber ialah adalah:
1. Dalam Ensiklopedia Indonesia disebutkan istilah etniik berarti kelompok sosial dalam sistem sosial atau kebudayaan yang mempunyai arti atau kedudukan tertentu karena keturunan, adat, agama, bahasa, dan sebagainya.
2. Menurut Frederich Barth (1988) istilah etnik menunjuk pada suatu kelompok tertentu yang karena kesamaan ras, agama, asal-usul bangsa, ataupun kombinasi dari kategori tersebut terikat pada sistem nilai budayanya.
3. Menurut Anthony Smith, komunitas etnis adalah suatu konsep yang digunakan untuk menggambarkan sekumpulan manusia yang memiliki nenek moyang yang sama, ingatan sosial yang sama (Wattimena, 2008), dan beberapa elemen kultural. Elemen-elemen kultural itu adalah keterkaitan dengan tempat tertentu, dan memiliki sejarah yang kurang lebih sama.
Dari pengertian diatas bisa disimpulkan bahwa etnis adalah sekumpulan manusia yang memiliki kesamaan ras, adat, agama, bahasa, keturunan dan memiliki sejarah yang sama sehingga mereka memiliki keterikatan sosial sehingga mampu menciptakan sebuah sistem budaya dan mereka terikat didalamnya.

B. Pengertian Suku Bangsa
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dijelaskan bahwa :
Suku--bangsa kesatuan sosial yg dapat dibedakan dr kesatuan sosial lain berdasarkan kesadaran akan identitas perbedaan kebudayaan, khususnya bahasa;
Selain itu juga ada pendapat lain yang berusaha men definisikan mengenai apa itu suku bangsa:
1. Dikutip dari id.wikipedia.org Kelompok etnik atau suku bangsa adalah suatu golongan manusia yang anggota-anggotanya mengidentifikasikan dirinya dengan sesamanya, biasanya berdasarkan garis keturunan yang dianggap sama. Identitas suku pun ditandai oleh pengakuan dari orang lain akan ciri khas kelompok tersebut dan oleh kesamaan budaya, bahasa, agama, perilaku atau ciri-ciri biologis.
Menurut pertemuan internasional tentang tantangan-tantangan dalam mengukur dunia etnis pada tahun 1992, "Etnisitas adalah sebuah faktor fundamental dalam kehidupan manusia. Ini adalah sebuah gejala yang terkandung dalam pengalaman manusia" meskipun definisi ini seringkali mudah diubah-ubah. Yang lain, seperti antropolog Fredrik Barth dan Eric Wolf, menganggap etnisitas sebagai hasil interaksi, dan bukan sifat-sifat hakiki sebuah kelompok. Proses-proses yang melahirkan identifikasi seperti itu disebut etnogenesis.
Secara keseluruhan, para anggota dari sebuah kelompok suku bangsa mengklaim kesinambungan budaya melintasi waktu, meskipun para sejarahwan dan antropolog telah mendokumentasikan bahwa banyak dari nilai-nilai, praktik-praktik, dan norma-norma yang dianggap menunjukkan kesinambungan dengan masa lalu itu pada dasarnya adalah temuan yang relatif baru.
Anggota suatu suku bangsa pada umumnya ditentukan menurut garis keturunan ayah (patrilinial) seperti suku bangsa [[Suku Ambon}Ambon]], Minahasa dan Batak, menurut garis keturunan ibu (matrilineal) seperti suku Minang, atau menurut keduanya seperti suku Sunda.
Adapula yang menentukan berdasarkan percampuran ras seperti sebutan "orang peranakan" untuk campuran bangsa Melayu dengan Tionghoa, "orang Indo" sebutan campuran bule dengan bangsa Melayu, "orang Mestis" untuk campuran Hispanik dengan bumiputera, "orang Mulato" campuran ras Negro dengan ras Kaukasoid, Eurosia, dan sebagainya.
Adapula ditentukan menurut agamanya, sebutan Melayu di Malaysia untuk orang bumiputera yang muslim, sebutan Salam bagi orang Muslim Maluku, sebutan Sarane atau Sarani bagi orang Kristen Maluku, Acang bagi orang Muslim Maluku (ketika kerusuhan Ambon 1999), Obet bagi orang Kristen Maluku (ketika kerusuhan Ambon 1999), orang Moro atau Bangsamoro di Filipina Selatan, dan sebagainya

2. Menurut Koentjaraningrat (1989), suku bangsa merupakan kelompok sosial atau kesatuan hidup manusia yang mempunyai sistem interaksi, sistem norma yang mengatur interaksi tersebut, adanya kontinuitas dan rasa identitas yang mempersatuan semua anggotanya serta memiliki sistemkepemimpinan sendiri.


3. Menurut Theodorson dan Theodorson yang dikutip oleh Zulyani Hidayah (1999), kelompok etnik adalah suatu kelompok sosial yang memiliki tradisi kebudayaan dan rasa identitas yang sama sebagai bagian dari kelompok masyarakat yang lebih besar.

4. Menurut Abner Cohen yang dikutip oleh Zulyani Hidayah (1999), kelompok etnik adalah suatu kesatuan orang-orang yang secara bersama-sama menjalani pola-pola tingkah laku normatif, ataukebudayaan, dan yang membentuk suatu bagian dari populasi yang lebih besar, saling berinteraksidalam kerangka suatu sistem sosial bersama, seperti negara.

Jadi kesimpulan dari definisi diatas ialah suku bangsa sebagai kesatuan hidup manusia yang memiliki kebudayaan dan tradisi yang unik, membuat mereka mereka memiliki identitas khusus danberbeda dengan kelompok lainnya, dan suku bangsa merupakan bagian dari populasi yang lebih besar yang disebut dengan bangsa




















2. Mengapa etnis penting untuk dibicarakan dan dipelajari?

Etnis perlu dipelajari karena manfaatnya untuk bidang pendidikan. Pendidikan sebagai usaha sadar untuk membantu peserta didik mengembangkan pandangan hidup, serta sikap hidup dan keterampilan hidup, tidak dapat lepas dari penguasaan pengetahuan.
Pengetahuan tentang peta ilmu, sejarah perkembangannya, sifat hakiki, dan cara kerja ilmu yang diandikan dimiliki oleh mereka yang mau mengelola pendidikan merupakan pokok bahasan dalam kajian sejarah etnis.

Kemajemukan bangsa Indonesia merupakan suatu keanekaregaman budaya, etnis atau suku, bahasa, agama, warna kulit dan adat istiadat yang terintegrasi ke dalam persatuan yang bernaung di bawah bendera merah putih dalam bingkai kesatuan NKRI (negara kesatuan republic Indonesia). Negara yang kaya akan sumber alam dan kemajemukan bangsa, tidak mudah mempersatukan hal yang berbeda, kemajemukan yang mungkin akan berpotensi konflik dan disintegrasi karena perbedaan yang fundamental dari setiap suku yang ada di Indonesia. Bhinneka Tunggal Ika merupakan alat pemersatu bangsa yang majemuk dan mampu untuk mengatakan bahwa berbeda-beda tetapi tetap satu.

Etnisitas merupakan indentitas dari suatu suku bangsa, dimana sesuatu yang membedakan antara satu suku dengan suku yang lainnya yang ditandai dengan atribut-atribut dari kebudayaan, atribut-atribut itu seperti bahasa, agama, makanan khas, senjata khas suku, pakaian adat, aksessoris-aksessoris, rumah adat dsb.

Atribut itu merupakan identitas simbolik untuk membedakan setiap suku bangsa, identitas juga merupakan tanda pengenal atau gambaran dari suatu individu atau kelompok. Identitas simbolik merupakan hal yang penting dari suku bangsa, sebagai contoh : jika seorang individu yang berada di rantau, untuk membuat individu itu berbeda dengan individu-individu yang berada di rantau, ia memaknai dirinya bahwa ia berbeda, dengan latar belakang dari daerah dan suku yang berbeda adalah dengan menggunakan bahasa daerah ketika bertemu dengan individu atau teman dari satu daerah atau suku yang sama, atau dengan membentuk persatuan kelompok seperti ikatan minangkabau, atau juga dengan menggunakan atribut dari daerah asal dengan memakai pakaian khas ketika suatu acara resmi seperti batik bagi orang jawa. Hal-hal dari contoh tersebut merupakan suatu pembeda dengan suku atau kelompok lain.

Pentingnya identitas yang demikian juga merupakan bentuk interaksi antara suku yang sama di daerah rantau dan juga merupakan bentuk bahwa mereka menjunjung nilai-nilai budaya dari daerahnya. Hal pembeda dengan suku lainnya, identitas di bangun dari consensus dari suatu suku yang disebut dengan budaya, budaya merupakan suatu hal yang dipelajari secara social dan diterapkan dalam kehidupan sehari-hari, budaya juga merupakan nilai-nilai dari suatu suku bangsa sebagai system social untuk mengatur prilaku dan sikap masyarakat suatu suku bangsa. Etnisitas menjadi penting karena menyangkut dari nilai-nilai luhur yang harus dijaga dan di lestarikan agar identitas itu tidak hilang, dan juga sebagai tanda untuk membedakan suatu suku dengan suku lainnya.

Etnisitas juga menjadi hal yang dapat menimbulkan potensi konflik karena adanya perbedaan antara suku bangsa yang satu dengan suku bangsa yang lainnya, itu disebabkan oleh adanya rasa bahwa dari setiap suku bangsa merasa sukunya yang paling tinggi kasta atau kelasnya atau paling baik dari suku lainnya, hal demikian disebut sebagai chauvinisme. Konflik yang disebabkan oleh etnisitas banyak terjadi di Indonesia, karena Indonesia merupakan bangsa yang majemuk dan pluralisme jadi potensi untuk konflik itu besar karena perbedaan yang fundamental tadi.

Polemic yang demikian terjadi di daerah Kalimantan, dimana adanya transmigran dari Madura yang datang dan menetap, selama menetap ternyata etnis Madura sangat mendominasi berbagai bidang kehidupan di Kalimantan, sehingga suku asli yaitu Dayak semakin teraliennasi dari berbagai bidang dan termarginalkan, itu karena stigma yang berkembang di tengah masyarakat asli Dayak yang tidak dapat menjadi tuan rumah di tanahnya sendiri, sehingga untuk mengangkat suku Dayak tadi, terjadi lah konflik berdarah yang menyebabkan banyak dari suku Madura di bantai oleh suku Dayak.
Tidaknya hanya di Madura, di Sumatera Barat tepatnya padang, dimana etnis tionghoa atau cina atau kaum minoritas di kotomi ruang geraknya sehingga masyarakat cina di padang tinggal di satu wilayah yang bernama kampung cina di pondok, disana hampir mayoritas masyarakat etnis cina tinggal secara bersama-sama, mereka juga tidak bebas untuk menggunakan bahasa cina untuk berkomunikasi dan berinteraksi, jadinya etnis cina menggunakan bahasa minang dalam kehidupan sehari-hari. Matinya atribut-atribut dari kebudayaan cina di padang membuat etnis cina yang merupakan keturunan menjadi terasing dan terpinggirkan dalam budaya kaum mayoritas.

Secara budaya etnis cina melakukan kegiatan upacara adat cina secara simbolik di satu tempat perkumpulan dan tidak bebas, hal yang demikian disebabkan oleh kurang terbukanya masyarakat kota padang terhadap perbedaan etnis tadi. Secara sosiologis itu merupakan bentuk konflik secara laten dari masyarakat asli minang tadi. Dalam bidang ekonomi pun demikian etnis cina sulit untuk berkembang di kota padang, Etnis yang sama-sama mempunyai jiwa dagang sejak nenek moyang menjadi potensi pendominasian dan persaingan yang tidak sehat dari kedua etnis.
Selain itu bagaimana etnisitas mempengaruhi dari pola konsumsi, kesadaran kolektif merupakan totalitas dari kepercayaan-kepercayaan dan sentiment-sentimen bersama. Emilie Durkheim membagi 2 solidaritas didalam masyarakat yaitu solidaritas organic dan solidaritas mekanik.
Solidaritas mekanik merupakan hubungan social dengan intensitas tinggi dari seluruh komunitas dan anggota masyarakatnya di dalam masyarakat yang berupa ikatan bersama dalam bentuk ikatan persaudaraan sedaerah, keturunan, golongan dll, sedangkan solidaritas organic merupakan hubungan social di dalam masyarakat yang lebih bersifat kepentingan dan individualistic dengan adanya hukum-hukum abstrak yang mengatur masyarakatnya.

Solidaritas mekanik syarat akan banyaknya unsur-unsur dari etnisitas, itu disebabkan adanya tata system tersendiri yang mengatur anggota-anggota komunitasnya, unsure dari solidaritas mekanik terlekat erat dengan etnisitas, dimana etnisitas melalui konsep solidaritas mekanik dapat mempengaruhi pola-pola konsumsi dari para anggota-anggota masyarakat atau komunitasnya. Jika didalam sebuah perkumpulan baik itu ikatan persaudaraan dari satu daerah atau paguyuban yang ada ditengah-tengah masyarakat, fenomena yang dapat ditarik konsepnya bagaimana setiap dari anggota ikatan tadi pola konsumsinya dipengaruhi oleh paguyuban atau ikatan yang merupakan perwujudan dari solidaritas mekanik dengan unsur etnisitas tadi.

Solidaritas mekanik menuntun angggotanya untuk mengkonsumsi tidak berbeda satu sama lain, adanya keseragaman dalam cara dan pola konsumsinya. Contoh setiap anggota paguyuban tadi harus memakai pakaian yang sama misal batik dan kebaya, jika adanya penyimpangan atau perbedaan maka akan terkena sanksi atau hukuman dari para komunitasnya. Dari contoh tersebut dapat diambil konsep bahwa bagaimana etnisitas yang dibangun melalui solidaritas mekanik dapat mempengaruhi pola dan cara konsumsi dari para anggota-anggota komunitasnya.

















3. Coba paperkan ciri khas pada etnik Karo!

Ada banyak ciri khas yang terdapat dalam etnik karo, maka saya akan mencoba memaparkan beberapa hal yang unik yg terdapat dalam etnik karo.

1. MENGANGKAT TULANG-TULANG, CARA ORANG KARO MENGHORMATI LELUHURNYA


     Orang Karo sangat beradat dan menghargai leluhur sehingga secara khusus memilki kebudayaan mengumpulkan kembali tulang-tulang leluhur yang telah lama meningal dunia. Cara ini dikenal dengan Nampeken TULAN-TULAN (Nampeken = mengambil dalam arti mengumpulkan kembali , Tulan-tulan = Tulang/ skeletons). Dalam bahasa sederhananya dikatakan MUAT TULAN-TULAN (MUAT= MENGUMPULKAN). Muat tulan-tulan  merupakan satu dari sekian banyak upacara adat karo,sebagai wujut penghormatan kepada orang tua dan leluhur.

Biasanya acara seperti ini dilakukan di JAMBUR.  Jambur adalah Rumah tempat penyelengaraan kegiatan adat suku Karo yang lebih besar dari sebuah pesta perkawinan. Bayangkan saja sejumlah anak beranak empat hingga lima keturunan berkumpul bersama untuk mengujutkan acara ini.

Dalam sebuah kesempatan:  Ade Fani Ketaren, menyampaikan pengalamannya dalam kegiatan adat budaya KARO ini. Yang bertugas mengali kuburan adalah anakberu,semua tulang2 yang di ambil lalu di cuci bersih,lalu di mandikan dengan lau penguras (air yang dibuat khusus untuk acara ini) yang  dibuat dari ramuan jeruk purut, air kelapa muda dan beberapa rempah lain.Lalu setelah bersih dan di mandikan dengan lau penguras, maka tulang belulang di susun sedamikina rupa dan dibacakan doa-doa. Kemudian di bungkus dengan dagangen (kain putih) lalu di sumpitken (dibungkus sedemikian rupa). Kemudian tulang-tulang tersebut di bawa kerumah sambil menunggu prosesi saudara yang lain selesai.

     Namun belakangan ini  yg bertugas mengali kuburan sekarang sudah mengunakan aron/pekerja yang diminta khusus dan dibayar. Lihat gambar, laki-laki yang jongkok di sebelah kiri itu anak beru “bayaran” istilahnya. Setelah semua tulang belulang sodara2 yang lain terkumpul, maka tulang belulan di masukkan dalam peti kecil dan masing-masing peti di buat nama yang bersangkutan, lalu di adakan acara adat namanya ngampeken tulan-tulan yang biasanya di adakan di jambur. Acara ini biasanya di hadiri oleh seluruh keluarga yang bersangkutan,dan biasanya y hadir sangat banyak lebih banyak dari pesta perkawinan dan adat kematian. Setelah prosesi adat selesai maka tulan-tulan tadi semua dimasukkan ke dalam sau bangunan yang di sebut Geriten (bangunan khusus yang digunakan sebagai tempat mengumpulkan tulang-tulang tersebut).

Kegiatan ini masih terkait dengan keyakinan lama orang Karo dan masih terjaga dengan baik hingga saat ini walaupun acaranya sudah diubah dengan kegiatan yang menggunakan religi yang modern sesuai perkembangan  keyakinan. Kegiatan ini tentunya membutuhkan kerjasama, kesepakatan dan dana yang cukup besar, sehingga ini dapat menjadi salah satu indikator bahwa orang Karo telah memiliki BUDAYA yang tinggi dan menjaga NILAI KEMANUSIAAN HINGGA KELELUHURNYA YANG TELAH MENINGGAL DUNIA.

Ertutur

Kata ertutur satu kosa kata dalam bahasa Karo berasal dari kata dasar tutur yang bermakna tingkat hubungan kekerabatan. Sementara ertutur adalah kata kerja yang bermakna mencari tingkat hubungan kekerabatan sesorang dengan yang lain. Kebiasaan bagi orang Karo bila pertama kali berjumpa dengan seseorang selalu ertutur terlebih dahulu guna mencari hubungan kekerabatan. Ertutur merupakan satu pilar dalam kebudayaan kita. Dewasa ini, semakin banyak orang muda yang tidak mengerti lagi orat tutur membuat kalangan orang tua Karo merasa khawatir dengan kondisi itu, sebab bisa menggoyahkan eksistensi suku Karo dalam peradapan modern ini.
Budaya ertutur di barat disebut orang greetings. Di daerah lain juga ada budaya berkenalan dengan sebutan yang berbeda tentunya. Namun bagi orang Karo ertutur memiliki makna lebih sekedar berkenalan. Di masyarakat Karo yang memiliki karakteristik hidup bermasyarakat secara kolektif yang akrab tercermin lewat sistem sangkep nggeluh merga si lima, rakut si telu dan tutur siwaluh. Semboyan ­eret-eret dengan simbolisasi cecak meneguhkan hal ini. Aku kap kam, kam kap aku! Dan orat tutur merupakan perekat dan penghubung yang sangat penting, sampai-sampai ada seminar ertutur di Jakarta belum lama ini. Meski terkadang orang terkesan banyak berbasa-basi dalam ertutur. “Eak, kita tading i Batu Jongjong, singgah kam ku rumah adi reh kam ku jah”, umpamanya.
Bila berkenalan, orang Karo mencari hubungan kekerabatan seseorang dengan yang lain menurut adat dan tingkatan ganjang-teruhna dalam terombo. Dalam ertutur orang tidak pernah menanyakan piga motorndu? entah piga hektar sawitndu? atau pertanyaan lain menyangkut harta dan tahta. Itu tidak etis. Namun, hal yang sangat mendasar tentunya menanyakan marga/beru, bere-bere hingga soler ada sampai enam lapis (tingkatan keatas-kebawah maupun secara horizontal). Karena marga menentukan hubungan, maka orang yang belum memiliki marga/beru Karo harus ditabalkan dahulu supaya dapat ditentukan hubungannnya dalam sistem kekekerabatan orang Karo. Megawati mantan presiden misalnya, beru Peranginangin, Sudharmono mantan wakil presiden merga Sitepu atau Letjen HBL Mantiri merga Kembaren dst. Selain marga, informasi jumlah anak juga selalu disinggung dalam ertutur karena jaman dahulu (apalagi) anak laki-laki merupakan first asset. Setali tiga uang dengan falsafah orang Toba, Maranak sapulu pitu marboru sapulu onom. Itu wajar saja karena dalam culture yang agraris, dahulu anak laki-laki dan perempuan dipersiapkan untuk bekerja di lahan pertanian. Semakin banyak anak tentu semakin luas lahan yang bisa digarap.
“Anakta sepuluh dua, sebelas dilaki sada diberu. Sintua gelarna Robinhood, jadi penggelarennku Bp. Robin!” contoh dialog dalam ertutur. Nah, bagi orang Karo justru nama terakhir kali disebutkan. Itu pun kesannya nama orang itu tak perlu diingat. Sehingga banyak sekali nama orang tua jaman dahulu tidak dikenal orang banyak, seperti Sibayak Pa Mbelgah, Sibayak Pa Pelita, Pa Tolong dan lainnya tidak diketahui siapa nama sebenarnya. Setelah menikah dan memiliki keturunan maka gelar bagi orang Karo masap, nama populernya langsung diberi nama anaknya paling tua. Sehingga orang belum memiliki anak pun diberi panggilan akrap bapa/nande Sope. Bicara soal yang ini, teringat semasa kecil saya sering ditakut-takuti supaya tidak menyebut nama orang yang lebih tua dari kita. Kari turah jaung ibas igung, katanya. Namun sewaktu di sekolah dasar dahulu, seringkali teman-teman saya saling mengolok-olok dengan menyebut nama orang tuanya. Ada nama bapaknya Tamat di olok-olok ‘masih ada sambungannya!’ Sampai suka terjadi perkelahian.
Berbeda dengan greetings di barat yang memperkenalkan diri lazim menyebut nama dahulu baru yang lainnya. Walau William Shakspear mengatakan, apalah arti sebuah nama? Namun demikian, di barat nama-nama orang dibuat bagus-bagus apalagi kalau dibanding orang Karo tempo doeloe dalam membuat nama terkesan asal-asalan. Selait itu, mungkin letak perbedaan yang lain kita dengan bule, bahwa mereka lebih banyak bertanya soal-soal present and future, dan diakhiri dengan saling tukar kartu nama. Itu lebih menekankan perkenalan pada soal peluang. Sedangkan kita justru lebih mendalam menanyakan masa soal lalu. Bila perlu menanyakan seseorang yang mungkin sudah wafat di satu kampung sekedar mencari tahu pertalian kekerabatan.
“Adi bage, Pa Guntar e kadendu?”
“Iahh, aku erbengkila ku ia, sembuyak bapa kal ia ras bapa si mupus aku.”
“Eee…adi bage kam pe erbengkila bangku, kami senina sepemeren” sepenggal dialog yang lain. Percakapan seperti ini, menunjukkan bagaimana kekerabatan bagi orang Karo sangat dekat. Orang yang jauh sekalipun, bisa dicari-cari jalurnya supaya bisa lebih dekat.
Sementara di barat kekerabatan mungkin lebih pendek, mungkin hanya memiliki dua tingkatan ke atas dan ke bawah, kakek-nenek, ayah-ibu, anak-menantu dan cucu. Pertalian kekerabatannya jauh lebih longgar dibandingkan dengan kita. Karena itu kesan kekeluargaan mereka jauh lebih ‘tipis’. Individualisme disana sangat dipenagruhi dasar negara yang liberal, berbanding terbalik dengan kita yang konon suka bergotong-royong sehingga rasa persaudaraan sangat kental. Hanya saja perkembangan jaman, kebersamaan kita justru makin kendor digogoti individualisme tadi. Bahkan menjadi tak populer lagi, seperti falsafah jawa mangan ora mangan asal ngumpul. Itu tidak relevan lagi!
Hmm, tersinget tersena katak la rikur. Sepertinya saya juga terlalu utopis dengan superioritas budaya barat. Ahh, mirip kuan-kuan kalak Karo. Bagi bernawit ngkapiti biang perburu, nina. Lape kapiti banci kita rintakna!

TENAH KERJA – TUMBUK ERDEMU BAYU / PETUTURKEN


Tumbuk Erdemu Bayu! Alangkah senang dan bahagia jikalau menerima undangan ataupun sekedar kabar berita “Tenah Kerja….. Tumbuk Erdemu Bayu” baik dari anggota keluarga ataupun sahabat kita. Namun, tahukah Anda makna sesungguhnya yang tersirat dalam kepala surat undangan pernikahan Karo tersebut?
Kebanyakan dari kita tidak mau ambil pusing dan dengan gamblang akan mengatakan “itu menandakan undangan pernikahan!” Ya, memang benar! Tapi, apakah sudah sepenuhnya benar atau sudahkah kita yakin akan kebenaran dari pemahaman yang kita terima yang sudah berlangsung dalam kurun waktu yang cukup lama ini? Hm…. Bagaimana? Atau mungkin, setelah membaca ini Anda merasa sedikit dibohongi, ataupun memilih tidak peduli saja?

Ok! Agar jangan membuat Anda bertanya-tanya apa sebenarnya maksud saya, ada baiknya saya mau sekedar mengingatkan(bukan menggurui ataupun mengajari) yang sedikit telupa, keliru, atau mungkin salah tulis tentang adat Nereh – Empo atau perjabun(pernikahan) dalam masyarakat Karo yang berkaitan dengan judul diatas(Erdemu Bayu) yang didasarkan pada jauh dekatnya(jarak) hubungan kekerabatan dari dua belah mempelai(calon pengantin/yang akan menikah), dimana dalam adat Karo dikenal dalam 4(empat) jenis pernikahan, yakni:

1. Petuturken
Petuturken, yaitu penikahan antatara dua belah pihak(laki-laki dan perempuan) yang dimana ayah si perempuan dan ibu si laki-laki, “bukan bersaudara!”(tidak se-merga/beru). Dalam adat Karo dikatakan: “mereka(si laki-laki dan perempuan yang ingin menikah) bukan [e-]rimpal” dan pernikahan yang seperti ini tidak dilarang asalkan mereka bukan erturang(satu merga ataupun sub-merga, kecuali pada beberapa sub-merga dari merga Sembiring dan Peranginangin), erturang sepemeren(tutur) dan erturang impal, atupun adanya perjanjian antara merganya(sub-merga) atau keluarga secara pribadi, seperti pada sub-merga Karo-karo “Sitepu” dengan sub-merga Peranginangin “Sebayang”.

2. Erdemu Bayu
Erdemu Bayu, adalah pernikahan yang dimana ayah si perempuan adalah bersaudara(baik ber-saudara kandung maupun se-merga, atau sub-merga) dengan ibu si laki-laki. Dalam adat Karo hubungan ini(si laki-laki dan perempuan) disebut “[e-]rimpal” Adat Karo sangat mendukung dan menyarankan hubungan(pernikahan) seperti ini! Dalam hal ini, si perempuan disebut dengan beru puhun atau lebih luas dikenal dengan beru singumban.

3. Merkat Sinuan
Merkat Senuan, adalah pernikahan antara perempuan yang kedudukan orang tuan dan keluarganya secara adat dalam keluarga si laki-laki yang hendak menikahinya dalah sebagai Puang Kalimbubu. Ataupun dengan kata lain, antara putri Puang Kalimbubu dengan Anak Beru Menteri-nya (anak beru mentri ayah si perempuan). Atau dengan kata lain, seorang laki-laki hendak menikahi impal dari impalnya(turangku-nya). Dalam adat Karo, hubungan mereka ini sesungguhnya dikatakan er-turangku, yang dimana ditabukan untuk berhubungan bahkan bersapaan-pun dilarang oleh adat(rebu).
Pernikahan yang seperti ini dalam adat Karo sebisa mungkin sangat dihindari, namun dalam beberapa situasi dan keadaan pada zaman sekarang ini sudah dapat dimaklumi dan diterima walau oleh karena beberapa hal sebagai pertimbangan.
Beberapa hal yang biasa menjadi alasam sehingga pernikahan semacam ini terjadi, adalah sebagai berikut.
- Kalimbubu tidak menikahi putri dari Puang Kalimbubu
- Kalimbubu tidak memiliki putra atau bahkan tidak memiliki putra yang seusia dengan putri Puang Kalimbubu untuk menikahi anak(putri) dari Puang Kalimbubu itu.
- Kalimbubu tidak mempunyai putri untuk dinikahi(tidak ada impal kita), sehingga untuk terus menjalin silaturahmi dan terjalinnya terus hubungan kekeluargaan diusulkanlah untuk diadakan hubungan(pernikahan) merkat sinuan ini.
- Perlajangen(perantauan) juga sering menjadi sebuah alasan hubungan ini dapat terjalin. Oleh karena tingal di tempat perantauan yang sama dan tidak ada pria atau wanita Karo ditempat mereka, sehingga untuk mempertahankan darah adat, alasan ini dapat dimaklumi.

4. La Arus
La [h-]Arus(tidak seharusnya, pantang, tabu, dilarang, dihindari) dalam masyarakat(adat) Karo seseorang menikahi(menikah) dengan turang(kecuali pada merga Sembiring dan Peranginangin), turang impal, ataupun turang sepemeren. Hal ini sangat dihindari bahkan dikatakan la arus(tidak seharusnya, tidak pantas), sehingga ada anekdot Karo mengataken “badau(saling memangsa)”, apalagi dengan turang baik se-merga, sub-merga, ataupun turang sepemeren(ibu bersaudara). Mungkin untuk turang sepemeren ini, yang dilarang adalah se-pemeren yang masih dalam satu darah keturunan(ibu bersaudara kandung atau setidaknya satu kakek) walaupun demikian sebisa mungkin ini juga sangat dihindari.
Yups! Itulah empat jenis pernikahan pada masyarakat Karo jika ditinjau dari Orat tutur(sistem kekerabatan) yang berdasarkan jauh dekatnya(jarak) hubungan kekerabatannya.
Bagaimana? Apakah pernikahan Anda juga “Erdemu Bayu” atau Anda merasa ditipu atau dibohongi oleh si-pengundang dengan mengatakan kerja perjabun(pesta pernikahan)-nya merupakan kerja perjabun erdemu bayu? Hehehe.! Tidak usah marah, karena itu sudah menjadi sebuah kekeliruan yang lazim.! Lazim?
Namun, pertanyaanya adalah “Apakan kekeliruan itu akan terus kita pelihara?” Ingat, sedikit kekeliruan mengacu untuk membuat kekeliruan yang lebih besar! Seperti pepatah mengatakan “Sedikit demi sedikit, lama-lama jadi bukit” Hari ini, identitas Karo yang kabur oleh karena pengaruh kepercayan(kepercayaan yang pragmatis) dan bicara(kebiasaan), mungkin besok adat Karo itu yang benar-benar hilang oleh tidak adanya pengetahuan tentang adat Karo yang asli(sebenarnya) dan tidak adanya rasa kecintaan, menghormati, dan keterbebanan untuk mempelajari dan melestarikan, seperti yang diutarakan oleh M. Ukur Ginting: ‘Akar Silo’ taau “Adat Karo Sirulo”. Mejuah-juah! Bujur!















Sumber reverensi:                                                             
1. Kamus besar Bahasa Indonesia Online
2. Id.wikipedia.org
3. Artikel Etnik dan etnisitas dari smartpsikologi.blogspot.com oleh Achmanto Mendatu
4. Artikel Memahami Seluk Beluk antar Etnis bersama Michael E. Brown dari rumahfilsafat.blogspot.com oleh Reza A.A Wattimena
5. Smith 1987
6. "Anthropology. The study of ethnicity, minority groups, and identity," Encyclopaedia Britannica, 2007.
9.  Fredrik Barth ed. 1969 Ethnic Groups and Boundaries: The Social Organization of Cultural Difference; Eric Wolf 1982 Europe and the People Without History hlm. 381
10. Friedlander 1975 Being Indian in Hueyapan, Hobsbawm and Ranger 1983 The Invention of Tradition, Sider 1993 Lumbee Indian Histories.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar